Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)
Periode Ibnu Taimiyah (Ahmad bin Abdul Halim)
Setelah akidah Asy'ariyyah tersebar luas meliputi sebagian besar negeri Islam, dan menjadi mazhab resmi di dalam bidang akidah bagi mayoritas kaum Muslimin, nama Ahmad bin Hanbal sudah jarang disebut, dan pengaruh akidahnya pun semakin menyusut, hingga kemudian muncul Ibnu Taimiyyah yang lahir pada tahun 661 Hijrah di dalam rumah seorang tokoh Hanbali, di salah satu benteng terpenting kelompok Hanbali di kota Haran. Ibnu Taimiyyah tumbuh di dalam lingkungan keluarga ini, dan belajar kepada ayahnya, yang telah memperuntukkan kursi untuknya di Damaskus setelah kepindahannya ke sana. Ibnu Taimiyyah juga belajar kepada orang lain dalam bidang ilmu hadis, ilmu rijal al-hadis, ilmu bahasa, tafsir, fikih dan ushul. Setelah ayahnya meninggal dunia, Ibnu Taimiyyah memimpin majlis pelajaran yang ditinggalkan ayahnya. Ini merupakan kesempatan baginya untuk mengembalikan kemuliaan ajaran keyakinan Hanbali. Dia memanfaatkan mimbar yang ada untuk berbicara mengenai sifat-sifat Allah SWT, dengan menyebutkan argumentasi-argumentasi yang memperkuat keyakinan orang-orang yang berpegang kepada paham tajsim. Ini tampak jelas sekali manakala dia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh penduduk Hamah kepadanya tentang ayat-ayat sifat. Seperti firman firman Allah SWT yang berbunyi, "Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas '‘Arsy", seperti firman Allah SWT yang berbunyi, "Kemudian Dia menuju ke langit", dan seperti sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Sesungguhnya hati anak Adam berada di antara dua jari Tuhan Yarig Maha Pemurah". Ibnu Taimiyyah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka melalui risalah yang panjang, yang kemudian dinamakan dengan "keyakinan Hamawiyyah". Di dalam risalahnya itu tersingkap keyakinannya tentang faham tajsim dan tasybih, namun dengan tidak secara terang-terangan, melainkan dengan menggunakan kata-kata yang samar, yamg kalau sekiranya kata-kata itu dihilangkan niscaya akan tampak jelas kenyataan yang sesungguhnya. Risalahnya ini telah menimbulkan kegegeran di kalangan para ulama. Para ulama mengecamnya, dan Ibnu Taimiyyah pun meminta perlindungan kepada penguasa Damaskus yang telah membantunya. Ibnu Katsir menuturkan peristiwa ini, "Telah terjadi malapetaka besar bagi Syeikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah di kota Damaskus. Sekelompok para fukaha bangkit menentangnya, dan hendak menghadirkannya ke majlis hakim Jalaluddin al-Hanafi, namun dia tidak hadir. Maka dia pun dipanggil ke pusat kota untuk ditanyai mengenai keyakinan yang pernah ditanyakan penduduk Hamah kepadanya, yang dinamakan dengan "keyakinan Hamawiyyah". Amir Saifuddin Ja'an berpihak kepada Ibnu Taimiyyah, dan dia mengirim surat untuk meminta orang-orang yang telah menentang Ibnu Taimiyyah. Melihat itu, sebagian besar dari mereka pun bersembunyi. Sultan Saifuddin Ja'an memukuli sekelompok orang yang memprotes akidah yang diajarkan oleh Ibnu Taimiyyah, sehingga sebagian yang lainnya pun menjadi diam."[375]
Para ulama bersikap diam terhadap keyakinan yang menyimpang, dikarenakan kekuatan penguasa mendukung keyakinan yang menyim-pang itu. Dengan begitu, Ibnu Taimiiyah mendapat kesempatan untuk berbicara sesukanya. Seorang saksi mata, yang merupakan seorang pengembara terkenal yang bernama Ibnu Bathuthah, telah menukilkan kepada kita tentang keyakinan Ibnu Taimiyyah mengenai Allah SWT. Dia mengatakan bahwa secara kebetulan dia pernah menghadiri pelajaran Ibnu Taimiyyah di mesjid Umawi. Ibnu Bathuthah berkata, "Ketika itu saya sedang berada di kota Damskus. Maka pada hari Jumat saya pergi untuk menghadiri pelajarannya. Di sana, saya mene-mukan dia tengah berbicara di hadapan manusia di atas mimbar mesjid jami'. Salah satu dari pembicaraannya ialah, 'Sesungguhnya Allah SWT turun ke langit dunia sebagaimana turunnya saya ini', sambil dia memperagakan turun satu tingkat anak tangga dari atas mimbar.
Seorang Fakih Maliki, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Zahra memprotesnya dan mengecam apa yang dikatakannya. Melihat itu, para hadirin berdiri menyerang Fakih Maliki tersebut. Mereka memukulinya dengan tangan dan sendal, sehingga sorbannya jatuh, dan kemudian tampak di atas kepalanya terdapat kain tipis dari sutera. Melihat itu, mereka pun mengecam pakaian yang dipakainya, dan kemudian membawanya ke rumah 'lzzuddin bin Muslim, seorang qadi Hanbali. Lalu qadi itu memerintahkan supaya Fakih Maliki itu dipenjara dan dipukul."[376]
Perkataan Ibnu Taimiiyah ini direkam oleh Ibnu Hajar al-'Asqalani di dalam kitabnya ad-Durar al-Kaminah, jilid 1, hal 154. Dari perkataannya ini tampak sekali kefanatikannya yang sangat terhadap orang-orang yang mengakui sifat-sifat Allah SWT ini, hingga sampai batas dia menyerupakan dirinya dengan Allah SWT. Sungguh ini merupakan kekufuran yang sesungguhnya.
Dia menyembunyikan keyakinan-keyakinannya ini dengan label keyakinan salaf. Dia membuat kebohongan atas salaf dan berlindung kepada mereka, dengan tujuan untuk menyembunyikan kejelekan-kejelekan keyakinannya. Padahal, dia tahu bahwa hal yang seperti itu pun telah pernah dilakukan oleh orang-orang Hanbali. Mereka berusaha mengenakan pakaian salaf ke atas keyakinan-keyakinan mereka. Namun itu semua tidak mendatangkan manfaat yang banyak, dikarenakan banyaknya mazhab keyakinan, baik yang datang sebelum maupun sesudah Ahmad bin Hanbal. Perselisihan ini membuktikan tidak adanya kesatuan kaum Muslimin di dalam sebuah keyakinan yang sama. Masing-masing dari mazhab tersebut mengklaim merekalah yang mempunyai hubungan dengan Laila, padahal Laila tidak mengakui itu.
Syahrestani membantah pengakuan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa mazhabnya adalah mazhab salaf di dalam kitabnya al-Milal wa an-Nihal, "Sekelompok orang-orang terkemudian bersikap berlebihan atas apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf. Mereka mengatakan, 'Ayat-ayat ini mau tidak mau harus diterapkan pada makna zhahirnya', sehingga mereka pun jatuh ke dalam paham tasybih semata. Yang demikian itu jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh kalangan salaf. Paham tasybih hanya ada pada orang-orang Yahudi, namun tidak pada seluruh mereka,"[377]
Ibnu Taimiyyah telah menipu masyarakat umum dengan generalisasi yang dia lakukan. Sebagai contoh, dia mengatakan, "Adapun yang saya katakan dan tulis sekarang, meskipun saya belum pernah me-nuliskannya pada jawaban-jawaban saya yang telah lalu, namun saya sudah sering mengatakan di majlis-majlis, 'Sesungguhnya berkenaan dengan seluruh ayat sifat yang terdapat di dalam Al-Qur'an, tidak terdapat perselisihan di kalangan para sahabat di dalam pentakwilannya. Saya telah membaca berbagai tafsir yang ternukil dari para sahabat, begitu juga hadis-hadis yang mereka riwayatkan, dan saya juga telah menelaah banyak sekali kitab-kitab, baik yang besar maupun yang kecil, yang jumlahnya lebih dari seratus kitab tafsir, namun saya belum menemukan seorang pun dari para sahabat, hingga saat ini, yang mentakwil ayat-ayat sifat atau hadis-hadis sifat dengan sesuatu yang bertentangan dengan pengertiannya yang sudah dikenal."[378]
Dengan cara inilah masyarakat umum membenarkan perkataannya. Namun, dengan sedikit saja kita merujuk kepada kitab-kitab tafsir ma 'tsurah niscaya akan tampak bagi kita kebohongan Ibnu Taimiyyah. Apakah itu di dalam ketidak-merujukkannya kepada kitab-kitab tafsir, atau di dalam pengklaimannya akan tidak adanya takwil dari para sahabat berkenaan dengan ayat-ayat sifat. Saya kemukakan beberapa contoh berikut ini:
Jika kita merujuk ke dalam kitab tafsir ath-Thabari, yang oleh Ibnu Taimiyyah digambarkan sebagai berikut, "Di dalamnya tidak terdapat bid'ah, dan tidak meriwayatkan dari orang-orang yang menjadi tertuduh."[379]
Ketika kita merujuk kepada ayat kursi, yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap termasuk salah satu ayat sifat yang terbesar, sebagaimana yang dia katakan di dalam kitab al-Fatawa al-Kabirah, jilid 6, hal 322, Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu Abbas, berkenaan dengan penafsiran firman Allah SWT yang berbunyi, "Kursi Allah meliputi langit dan bumi. "
Thabari berkata, "Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat demikian bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan, 'Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.'
Adapun riwayat lainnya yang juga bersandar kepada Ibnu Abbas mengatakan, 'Kursi-Nya adalah ilmu-Nya. Bukankah kita melihat di dalam firman-Nya, 'Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. '"[380]
Perhatikanlah, betapa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah tidak lain kebohongan yang nyata. Dia mengatakan, "Kalangan salaf tidak berbeda pendapat sedikit pun di dalam masalah sifat", padahal Thabari mengatakan, "Para ahli takwil berbeda pendapat". Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, "Saya tidak menemukan hingga saat sekarang ini seorang sahabat yang mentakwil sedikit saja ayat-ayat sifat", disertai dengan pengakuannya bahwa dia telah merujuk seratus kitab tafsir, padahal Thabari menyebutkan dua riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas.
Berikut ini contoh yang kedua, yang masih berasal dari kitab tafsir Thabari. Pada saat menafsirkan firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar", Thabari berkata,
"Para pengkaji berbeda pendapat tentang makna firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.' Sebagian mereka berpendapat, 'Artinya ialah, 'Dan Dia Mahatinggi dari padanan dan bandingan.' Mereka menolak bahwa maknanya ialah 'Dia Mahatinggi dari segi tempat.' Mereka mengatakan, Tidaklah boleh Dia tidak ada di suatu tempat. Maknanya bukanlah Dia tinggi dari segi tempat. Karena yang demikian berarti menyifati Allah SWT ada di sebuah tempat dan tidak ada di tempat yang lain.'"[381]
Demikianlah pendapat kalangan salaf. Sedangkan Ibnu Taimiyyah telah memilih jalan yang lain bagi dirinya, namun kemudian dia tidak menemukan orang yang mendukung jalannya, maka dia pun menisbahkan jalannya kepada salaf. Padahal kita melihat kalangan salaf tidak mempercayai keyakinan tempat bagi Allah SWT, sementara Ibnu Taimiyyah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi untuk membuktikan keyakinan tempat bagi Allah SWT, di dalam risalah yang ditujukannya bagi penduduk kota Hamah. Bahkan, tatkala dia sampai kepada firman Allah SWT yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah SWT bersemayam di atas '‘Arsy", dia mengatakan, "Sesung-guhnya Dia berada di atas langit."[382] Yang dia maksud adalah tempat.
Adapun di dalam kitab tafsir Ibnu 'Athiyyah, yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap sebagai kitab tafsir yang paling dapat dipercaya, disebutkan beberapa riwayat Ibnu Abbas yang telah disebutkan oleh Thabari di dalam kitab tafsirnya. Kemudian, Ibnu 'Athiyyah memberi-kan komentar tentang beberapa riwayat yang disebutkan oleh Thabari, yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Taimiyyah, "Ini adalah perkataan-perkataan bodoh dari kalangan orang-orang yang mempercayai tajsim. Wajib hukumnya untuk tidak menceritakannya."[383]
Berikut ini adalah bukti lainnya berkenaan dengan penafsiran firman Allah SWT yang berbunyi, "Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya" (QS. al-Qashash: 88), dan juga firman Allah SWT yang ber-bunyi, "Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu, yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan" (QS. ar-Rahman: 27), di mana dengan perantaraan kedua ayat ini Ibnu Taimiyyah menetapkan wajah Allah SWT dalam arti yang sesungguhnya.
Thabari berkata, "Mereka berselisih tentang makna firman-Nya, 'kecuali wajah-Nya."' Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah, segala sesuatu pasti binasa kecuali Dia. Sementara sebaaian lain berkata bahwa maknanya ialah, kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dan mereka mengutip sebuah syair untuk mendukung takwil mereka,
"Saya memohon ampun kepada Allah dari dosa yang saya tidak mampu menghitungnya
Tuhan, yang kepada-Nya lah wajah dan amal dihadapkan.""[384]
Al-Baghawai berkata, "Yang dimaksud dengan 'kecuali wajah-Nya' ialah 'kecuali Dia'. Ada juga yang mengatakan, 'kecuali kekuasaan-Nya'."
Abul 'lyalah berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehandaki wajah-Nya'."[385]
Di dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, dari Ibnu Abbas yang berkata, "Artinya ialah 'kecuali yang dikehendaki wajah-Nya'."
Dari Mujahid yang berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehendaki wajahnya.'"
Dari Sufyan yang berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dari amal perbuatan yang saleh'."
Inilah pendapat kalangan salaf yang sesungguhnya. Lantas, atas dasar apa Ibnu Taimiyyah mengatakan tentang keyakinannya, "Ini adalah keyakinan kalangan salaf."
Jangan Anda katakan kepadanya kecuali firman Allah SWT yang berbunyi,
"Mengapa Anda mencampur-adukkan yang hak dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal Anda mengetahui?" (QS. Ali 'lmran: 71)
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh orang-orang yang melaknati. " (QS. al-Baqarah: 159)
Oleh karena itu, para ulama semasanya tidak tinggal diam atas perkataan-perkataannya. Mereka memberi fatwa tentangnya dan memerintahkan manusia untuk menjauhinya. Hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah dipenjara, dilarang menulis di dalam penjara, dan kemudian meninggal dunia di dalam penjara di kota Damaskus, dikarenakan keyakinan-keyakinan sesatnya dan pikiran-pikiran ganjilnya. Banyak dari kalangan para ulama dan huffadz yang telah menulis kitab untuk membantah keyakinan-keyakinannya. Adz-Dzahabi telah menulis surat kepadanya, yang berisi kecaman terhadapnya atas keyakinan-keyakinan yang dibawanya. Surat adz-Dzahabi tersebut cukup panjang, dan kita cukup mengutip beberapa penggalan saja darinya. 'Allamah al-Amini telah menukil surat adz-Dzahabi ini secara lengkap di dalam kitab al-Ghadir, jilid 7, hal 528, yang dia nukil dari kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil, karya al-Kautsari, halaman 190.
Salah satu penggalan dari surat adz-Dzahabi tersebut ialah,
"Betapa meruginya orang yang mengikutimu. Karena mereka dihadapkan kepada kekufuran. Terlebih lagi jika mereka orang yang sedikit ilmunya dan tipis agamanya, serta mengikuti hawa nafsunya. Mereka mendatangkan manfaat bagimu dan membelamu dengan tangan dan lidah mereka. Padahal, sesungguhnya mereka itu adalah musuhmu dengan keadaan dan hati mereka.
Tidaklah mayoritas orang yang mengikutimu melainkan orang yang kurang akalnya, pendusta yang bodoh, orang asing yang kuat makarnya, atau orang jahat yang tidak memiliki pemahaman. Jika kamu tidak percaya apa yang aku katakan, silahkan periksa dan timbang mereka..."
Di dalam kitab ad-Durar al-Kaminah, karya Ibnu Hajar al-'Asqalani, jilid 1, halaman 141 disebutkan, "Dari sana sini orang menolaknya. Tidaklah kebohongan dan pikiran-pikiran ganjil yang diciptakan oleh tangannya yang berlumuran dosa itu berasal dari Al-Qur'an, sunah, ijmak dan qiyas. Dan di kota Damaskus diumumkan, 'Barangsiapa yang berpegang kepada akidah Ibnu Taimiyyah, darah dan hartanya halal.'"
Al-Hafidz Abdul Kafi as-Subki telah berkata tentangnya. Dia juga telah menulis sebuah kitab yang membantah keyakinan-keyakinan Ibnu Taimiyyah, yang diberinya judul Syifa al-Asqamfi Ziyarah Khair al-Anam 'alaihi ash-Shalah wa as-Salam.
Al-Hafidz Abdul Kafi as-Subki telah berkata di dalam pengantar kitabnya, yang berjudul ad-Durrah al-Mudhi'ahfi ar-Radd 'ala Ibnu Taimiyyah, "Manakala Ibnu Taimiyyah membuat sesuatu yang baru di dalam bidang dasar-dasar keyakinan (ushul al-'aqa'id), dan merusak pilar-pilar Islam, setelah sebelumnya dia bersembunyi dengan slogan mengikuti Al-Qur'an dan sunah, menampakkan diri sebagai penyeru kepada kebenaran, dan petunjuk kepada jalan surga, maka dia telah keluar dari mengikuti Al-Qur'an dan sunah kepada membuat bid'ah, menyimpang dari jamaah kaum Muslimin dengan meyalahi ijmak, dan mengatakan sesuatu yang menuntut timbulya keyakinan tajsim dan tarkib pada Zat Yang Mahasuci, dan keyakinan yang mengatakan bahwa butuhnya Allah SWT kepada bagian-Nya bukanlah sesuatu yang mustahil."[386]
Berpuluh-puluh ulama telah mengecam dan memprotesnya. Namun kita tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengemukakan dan meneliti perkataan-perkataan mereka satu persatu. Pada kesempatan ini kita cukup mengemukakan apa yang telah dikatakan oleh Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitsami. Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitsami berkata di dalam biografi Ibnu Taimiyyah, "Ibnu Tamiyyah adalah seorang hamba yang telah dipermalukan oleh Allah, telah disesatkan-Nya, telah dibutakan-Nya, telah dibisukan-Nya dan telah dihinakan-Nya. Oleh karena itu, para imam secara terang-terangan menjelaskan kejelekan-kejelakan keadaannya, dan mendustakan perkataan-perkataannya. Barangsiapa yang ingin mengetahui hal itu, dia harus menelaah Imam al-Mujtahid, yang disepakati keimamahan dan derajat kemujtahidannya, yaitu Abul Hasan as-Subki, dan juga putranya, Syeikh al-Imam al-'Izz bin Jamaah, yang merupakan ahli jamannya. Ibnu Taimiyyah tidak hanya mengecam generasi salaf ter-akhir dari kalangan sufi, melainkan juga mengecam orang seperti Umar bin Khattab ra dan Ali bin Abi Thalib ra. Alhasil, perkataan Ibnu Taimiyyah tidak dapat dijadikan ukuran, melainkan harus dicampak-kan dengan penuh kehinaan. Abul Hasan as-Subki berkata, 'lbnu Tamiyyah adalah pembuat bid'ah, sesat, menyesatkan, dan berlebih-lebihan. Semoga Allah memperlakukannya dengan keadilan-Nya, dan melindungi kita dari jalan, keyakinan dan perbuatan seperti jalan, keyakinan dan perbuatannya. Amin!"'[387]
Kita cukupkan sampai di sini pembahasan tentang Ibnu Taimiyyah. Insya Allah, kita akan mengkaji beberapa pemikirannya berdasarkan analisa ilmiah, dan membantahnya, pada saat kita berbicara tentang faham Wahabi. Karena faham Wahabi adalah merupakan kepanjangan sejarah dari keyakinan-keyakinan Ibnu Taimiyyah, yang pada gilirannya merupakan kepanjangan dari keyakinan-keyakinan Hanbali.
Orang ini amat mahir di dalam mencampur-adukkan antara kebe-naran dengan kebatilan. Oleh karena itu, sebagian kaum Muslimin berbaik sangka kepadanya dan menggelarinya dengan sebutan Syeikh Islam, sehingga dengan demikian namanya menjadi masyhur dan ajarannya menjadi tersebar, padahal itu semua tidak lain hanyalah kebatilan semata.
Amirul Mukminin telah berkata, "Awal mulanya terjadinya fitnah adalah hawa nafsu yang diperturuti, hukum yang dibuat-buat (bid'ah), yang menyalahi Kitab Allah, dan sekelompok orang menguasai sekelompok orang lainnya bukan berdasarkan agama Allah. Sekiranya kebatilan murni dan tidak bercampur dengan kebenaran, niscaya ia tak akan tersembunyi dari orang-orang yang mencarinya. Dan, apabila kebenaran murni dan tidak bercampur dengan kebatilan, niscaya terputuslah lidah para penentang. Namun, yang dilakukan oleh mereka ialah mengambil sedikit dari sini dan sedikit dari sana, dan kemudian mencampur-adukkannya. Maka di sanalah setan menguasai teman temannya, dan terbebaslah orang-orang yang sebelumnya telah men-dapatkan kebajikan dari kami." (Nahj al-Balaghah, khutbah 50)
Periode Muhammad bin Abdul Wahhab
Muhammad bin Abdul Wahhab bangkit menjadi pembaharu bagi akidah Hanbali, setelah hati dan pikirannya disirami pemikiran-pemikkan Ibnu Taimiyyah. Dia mengumumkan gerakannya di kota Najd, dan pergerakannya dimulai di suatu kawasan yang banyak dipenuhi dengan berbagai macam kezaliman, pembunuhan dan penganiayaan. Pada masanya lah keyakinan Hanbali yang kaku, untuk pertama kali di dalam sejarahnya mencapai kemuliaan dan kebesarannya, dan memasuki tataran penerapan pada kenyataan di luar, setelah pada dua periode sebelumnya tidak memperoleh keberhasilan yang besar. Adapun yang menjadi sebabnya ialah karena kelompok Asy'ariyyah secara langsung memonopoli bidang keyakinan sepeninggal Ahmad bin Hanbal. Adapun pada periode kedua, Ibnu Taimiyyah kehilangan lahan yang cukup untuk memenangkan dakwahnya. Karena dia menyebarkan ajar-annya di kalangan orang-orang yang berilmu, yang mana di antara mereka terdapat para ulama besar dan para fukaha. Mereka memadamkan hinggar bingar ajarannya melalui dalil dan argumentasi, sehingga bangkitlah di hadapannya satu gerakan yang memadamkan dakwahnya dan menghancurkan tipu dayanya. Sementara penguasa —pada saat itu—juga membantu para ulama di dalam berkonfrontasi dengannya. Sehingga dengan demikian, benih kerusakan tidak memperoleh tempat selain tersembunyi di antara kitab-kitab, atau menang di hati-hati yang berpenyakit.[388]
Sebaliknya bagi Muhamad bin Abdul Wahhab, situasi dan kondisi amat mendukung baginya untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya yang beracun ke tengah ummat. Karena kebodohan dan kebuta-hurufan menghinggapi seluruh kawasan Najd kala itu. Di samping itu, penguasa Ali Su'ud (keluarga Su'ud) membantu penyebaran dakwahnya dengan pedang. Dengan faktor-faktor inilah mereka memaksa manusia untuk berpegang kepada ajaran Wahabi, dan jika tidak, mereka akan mencapnya dengan label kufur dan syirik, serta menghalalkan harta dan darahnya. Mereka melakukan pembenaran atas tindakannya itu melalui sejumlah keyakinan rusak, dengan label "tauhid yang benar". Muhammad bin Abdul Wahhab memulai pembicaraannya tentang tauhid sebagai berikut:
"Tauhid ada dua macam: Tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah. Adapun mengenai tauhid rububiyyah, baik orang Muslim maupun orang kafir mengakui itu. Adapun tauhid uluhiyyah, dialah yang menjadi pembeda antara kekufuran dan Islam. Hendaknya setiap Muslim dapat membedakan antara kedua jenis tauhid ini, dan mengetahui bahwa orang-orang kafir tidak mengingkari Allah SWT sebagai Pencipta, Pemberi rezeki dan Pengatur. Allah SWT berfirman,
'Katakanlah, 'Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka katakanlah, 'Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?' (QS. Yunus: 31)
'Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, 'Siapakah yang menjadikan langit dan buini dan menundukkan matahari dan bulan? 'Tentu mereka akan menjawab, 'Allah', maka betapakah mereka dapat dipalingkan (dari jalan yang benar).' (QS. al-'Ankabut: 61)
Jika telah terbukti bagi Anda bahwa orang-orang kafir mengakui yang demikian, niscaya Anda mengetahui bahwa perkataan Anda yang mengatakan "Sesungguhnya tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah, serta tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah", tidaklah menjadikan diri anda seorang Muslim sampai Anda mengatakan, 'Tidak ada Tuhan selain Allah' dengan disertai melaksanakan artinya."[389]
Dengan pemahaman yang sederhana ini, yang tidak timbul melainkan dari kebodohan akan hikmah dan ayat-ayat Allah SWT, dia mengkafirkan seluruh masyarakat dengan mengatakan, "Sesungguh-nya orang-orang musyrik jaman kita —yaitu orang-orang Muslim— lebih keras kemusyrikannya dibandingkan orang-orang musyrik yang pertama. Karena, orang-orang musyrik jaman dahulu, mereka hanya menyekutukan Allah di saat lapang, sementara di saat genting mereka mentauhidkan-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi, 'Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)."'[390]
Setiap orang yang bertawassul kepada Rasulullah saw dan para Ahlul Baitnya, atau menziarahi kuburan mereka, maka dia itu kafir dan musyrik; dan bahkan kemusyrikannya jauh lebih besar daripada kemusyrikan para penyembah Lata, 'Uzza, Mana dan Hubal. Di bawah naungan keyakinan inilah mereka membunuh orang-orang Muslim yang tidak berdosa dan merampas harta benda mereka. Adapun slogan yang sering mereka kumandangkan ialah,
Masuklah ke dalam ajaran Wahabi. Dan jika tidak, niscaya Anda terbunuh, istri Anda menjadi janda, dan anak Anda menjadi yatim.
Saudaranya yang bernama Sulaiman bin Abdul Wahhab membantahnya di dalam kitabnya yang berjudul ash-Shawa'iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd 'ala al-Wahabiyyah, "Sejak jaman sebelum Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu pada jaman para imam Islam, belum pernah ada yang meriwayatkan bahwa seorang imam kaum Muslimin mengkafirkan mereka, mengatakan mereka murtad dan memerintahkan untuk memerangi mereka. Belum pernah ada seorang pun dari para imam kaum Muslimin yang menamakan negeri kaum Muslimin sebagai negeri syirik dan negeri perang, sebagaimana yang Anda katakan sekarang. Bahkan lebih jauh lagi, Anda mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan perbuatan-perbuatan ini, meskipun dia tidak melakukannya. Kurang lebih telah berjalan delapan ratus tahun atas para imam kaum Muslimin, namun demikian tidak ada seorang pun dari para ulama kaum Muslimin yang meriwayatkan bahwa mereka (para imam kaum Muslimin) mengkafirkan orang Muslim. Demi Allah, keharusan dari perkataan Anda ini ialah Anda mengatakan bahwa seluruh umat setelah jaman Ahmad —semoga rahmat Allah tercurah atasnya— baik para ulamanya, para penguasanya dan masyarakatnya, semua mereka itu kafir dan murtad. —Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un."[391]
Sulaiman bin Abdul Wahhab juga berkata di dalam halaman 4, "Hari ini umat mendapat musibah dengan orang yang menisbahkan dirinya kepada Al-Qur'an dan sunnah, menggali ilmu keduanya, namun tidak mempedulikan orang yang menentangnya. Jika dia diminta untuk memperlihatkan perkataannya kepada ahli ilmu, dia tidak akan me-lakukannya. Bahkan, dia mengharuskan manusia untuk menerima per-kataan dan pemahamannya. Barangsiapa yang menentangnya, maka dalam pandangannya orang itu seorang yang kafir. Demi Allah, pada dirinya tidak ada satu pun sifat seorang ahli ijtihad. Namun demikian, begitu mudahnya perkataannya menipu orang-orang yang bodoh. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Ya Allah, berilah petunjuk orang yang sesat ini, dan kembalikanlah dia kepada kebenaran."
(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar