Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)
Defenisi Ibadah Berdasarkan Pemahaman Al-Qur'an
Ibadah ialah ketundukan kata-kata dan perbuatan, yang bersumber dari keyakinan adanya sifat uluhiyyah atau sifat rububiyyah pada diri sesuatu yang diibadahi, atau keyakinan bahwa sesuatu itu merdeka di dalam perbuatannya, atau memiliki kekuasaan atas salah satu segi dari kehidupannya secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah.
Maka seluruh perbuatan yang disertai dengan keyakinan ini terhitung sebagai perbuatan syirik kepada Allah. Oleh karena itu, kita menemukan orang-orang musyrik jahiliyyah meyakini bahwa sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan. Al-Qur'an al-Karim dengan gamblang telah menjelaskan hal ini. Allah SWT berfirman, "Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka." (QS. Maryam: 81) Artinya, mereka meyakini sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan.
Allah SWT berfirman, "Yaitu orang-orang yang menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah, maka mereka kelak akan mengetahui akibatnya." (QS. al-Hijr: 96)
Ayat-ayat ini membantah perkataan kalangan Wahabi. Ayat ini menjelaskan bahwa terperosoknya para penyembah berhala kedalam kemusyrikan ialah disebabkan mereka meyakini sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan. Allah SWT telah menjelaskan hal ini di dalam firman-Nya yang berbunyi, "Dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok kamu, (yaitu) orang-orang yang menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah; maka kelak mereka akan mengetahui akibatnya." (QS. al-Hijr: 94 - 96)
Ayat-ayat ini menetapkan tolak ukur dasar di dalam masalah syirik. Yaitu keyakinan akan adanya sifat-sifat ketuhanan pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Oleh karena itu, mereka menolak dan mengingkari akidah tauhid yang dibawa oleh Rasulullah saw. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, 'Tiada Tuhan selain Allah', mereka menyombongkan diri." (QS. ash-Shaffat: 35)
Oleh karena itu, dakwah para nabi kepada mereka ditujukan untuk memerangi keyakinan mereka yang mengatakan adanya Tuhan selain Allah. Karena, tidaklah masuk akal ada ibadah yang tidak disertai dengan keyakinan adanya sifat ketuhanan pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Dengan kata lain, meyakini terlebih dahulu, baru kemudian menyembah.
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata, 'Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'" (QS. al-A'raf: 59)
Dengan demikian, Al-Qur'an al-Karim telah menjelaskan penyimpangan mereka dari Tuhan yang sesungguhnya.
Jadi, tolak ukur di dalam masalah syirik ialah ketundukan yang disertai dengan keyakinan akan adanya sifat-sifat ketuhanan. Terkadang, kemusyrikan itu sebagai hasil dari keyakinan adanya sifat rububiyyah pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Artinya, seseorang meyakini bahwa sesembahannya memiliki kekuasaan atas urusannya, seperti urusan penciptaan, pemberian rezeki, hidup dan mati. Atau, dia memiliki syafa'at dan ampunan. Dengan demikian, orang yang tunduk kepada sesuatu dengan keyakinan sesuatu itu mempunyai sifat-sifat rububiyyah maka berarti dia telah beribadah kepadanya. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur'an menyeru orang-orang kafir dan orang-orang musyrik untuk menyembah Tuhan yang Mahabenar. Allah SWT ber-firman,
"Padahal al-Masih berkata, 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabb-mu (Tuhanmu) dan Rabbku (Tuhankuku).'" (QS. al-Maidah: 72)
"Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu (Tuhanmu), maka sembahlah Aku." ( QS. al-Anbiya: 92)
Di sana juga terdapat tolak ukur yang ketiga. Yaitu keyakinan bahwa sesuatu itu merdeka di dalam zat dan perbuatannya, dengan tanpa bersandar kepada Allah SWT. Sikap khudhu' yang disertai dengan keyakinan ini terhitung syirik. Jika Anda tunduk di hadapan seorang manusia, dengan keyakinan bahwa dia merdeka di dalam perbuatannya, baik perbuatannya perbuatan yang biasa, seperti berbicara dan bergerak, atau seperti mukjizat yang dilakukan oleh para nabi, maka ketundukan Anda ini masuk ke dalam kategori ibadah. Bahkan, jika seandainya seorang manusia meyakini bahwa tablet obat menyembuhkan penyakit kepala secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka keyakinannya ini terhitung syirik.
Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa tolak ukur ibadah bukanlah semata-mata penampakkan ketundukan dan perendahan diri, melainkan ketundukan dan perendahan diri dengan ucapan maupun perbuatan kepada sesuatu yang diyakini bahwa dia itu ilah, rabb, atau pemilik salah satu dari urusannya secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT.
Apakah Keyakinan Tentang Dimilikinya Kemerdekaan Atau Tidak Dimilikinya Merupakan Tolak ukur Tauhid Dan Syirik?
Saya mengkhususkan tema ini pada pembahasan tersendiri. Karena di dalamnya terdapat point penting yang menjadi pemisah antara tauhid dan syirik, yang luput dari perhatian kalangan Wahabi. Mau tidak mau kita harus mengetahuinya, supaya kita dapat mengetahui bagaimana cara menyikapi cara-cara alami dan sebab-sebab gaib. Orang-orang Wahabi berpendapat bahwa bertawassul kepada sebab-sebab yang alami tidaklah menjadi masalah. Seperti menggunakan sebab-sebab di dalam keadaan-keadaan alami. Akan tetapi, menurut pandangan mereka, bertawassul kepada sebab-sebab gaib, seperti -misalnya— Anda meminta sesuatu kepada seseorang yang Anda tidak akan memperoleh sesuatu itu melalui cara-cara alami, melainkan cara-cara gaib, adalah syirik. Ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal, di mana mereka menjadikan cara-cara materi dan cara-cara gaib sebagai tolak ukur tauhid dan syirik. Sehingga berpegang kepada cara-cara materi berarti tauhid yang sesungguhnya, sementara berpegang kepada cara-cara gaib berarti syirik yang sebenarnya.
Jika kita melihat secara mendalam kepada cara-cara ini, niscaya kita akan menemukan bahwa tolak ukur tauhid dan syirik berada di luar kerangka cara-cara ini. Tolak ukur tersebut semata-mata kembali kepada diri manusia dan kepada bentuk keyakinannya terhadap cara-cara ini. Jika seorang manusia meyakini bahwa sebab-sebab ini mempunyai kemerdekaan yang terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka keyakinannya ini syirik.
Sebagai contoh, seseorang yakin bahwa suatu obat tertentu dapat menyembuhkan sebuah penyakit secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka perbuatan orang ini syirik. Walau bagaimana pun bentuk sebab-sebab tersebut, apakah melalui cara-cara alami atau cara-cara gaib. Yang menjadi dasar dalam masalah ini ialah ada atau tidak adanya keyakinan akan kemerdekaan dari Allah SWT. Jika seseorang meyakini bahwa semua sebab itu tidak merdeka dan tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT, baik di dalam wujudnya maupun di dalam pemberian pengaruhnya, dan bahkan dia itu tidak lebih hanya merupakan makhluk Allah SWT, yang menjalankan perintah dan kehendak-Nya, maka keyakinan orang ini adalah tauhid yang sesungguhnya.
Saya tidak yakin ada seorang Muslim di muka bumi ini yang mempunyai keyakinan bahwa sebab tertentu dapat memberikan pengaruh secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, kita tidak berhak menisbatkan kemusyrikan dan kekufuran kepada mereka. Adapun tawassul mereka kepada para rasul dan para wali, atau tabarruk mereka kepada bekas-bekas peninggalan mereka untuk meminta syafaat atau yang lainnya, tidak termasuk syirik.
Al-Qur'an al-Karim telah berbicara tentang sebab-sebab, di mana dia menisbatkan sebagian sesuatu kepada Allah SWT, dan ada kalanya menisbatkannya kepada yang menjadi sebab-sebabnya secara langsung. Berikut ini saya kemukakan beberapa contoh darinya:
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah Dia lah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh." Ayat ini menekankan bahwa rezeki berada di tangan Allah SWT.
Jika kita melihat kepada firman Allah SWT yang berbunyi, "Berilah mereka rezeki (belanja) dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. " Di sini kita melihat rezeki dinisbatkan kepada manusia.
Pada ayat yang lain, Allah SWT menyatakan Diri-Nya sebagai penanam yang hakiki. Allah SWT berfirman, "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu tanam? Kamu kah yang menanamnya ataukah Kami yang menanamnya?" (QS. al-Waqi'ah: 63 - 64)
Pada ayat yang lain Allah menisbahkan sifat penanaman tersebut kepada manusia. Allah SWT berfirman, "Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanarnnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir." (QS. al-Fath: 29)
Pada sebuah ayat Allah SWT menjadikan pencabutan nyawa berada di tangan-Nya. Allah SWT berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya."
Sementara pada ayat yang lain Allah SWT menjadikan pencabutan nyawa sebagai perbuatan malaikat. Allah SWT berfirman, "Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, dia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya." (QS. al-An'am: 61)
Pada sebuah ayat Allah menyatakan bahwa syafaat hanya khusus milik Allah SWT. Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.'" (QS. az-Zumar: 44)
Sementara pada ayat yang lain Allah SWT memberitahukan tentang adanya para pemberi syafaat selain Allah. Seperti malaikat, misalnya. Allah SWT berfirman, " Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai-Nya." (QS. an-Najm: 26)
Pada sebuah ayat Allah menyatakan bahwa pengetahuan terhadap hal-hal yang gaib adalah sesuatu yang khusus bagi Allah. Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahuiperkarayang gaibkecuali Allah.'" (QS. an-Naml: 65)
Sementara pada ayat yang lain Allah SWT memilih para rasul di antara hamba-hamba-Nya, untuk diperlihatkan kepada mereka hal-hal yang gaib. Allah SWT berfirman, "Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya." (QS. Ali Imran: 179)
Dan begitu juga ayat-ayat yang lainnya.
Seorang yang melihat ayat-ayat ini secara sekilas, mungkin dia mengira di sana terdapat sebuah pertentangan. Pada kenyataannya, sesungguhnya ayat-ayat di atas menetapkan apa yang telah kita kata-kan. Yaitu bahwa hanya Allah SWT sajalah yang merdeka di dalam melakukan segala sesuatu. Adapun sebab-sebab yang lain, di dalam melakukan perbuatannya mereka bersandar dan berada di bawah naungan kekuasaan Allah SWT. Allah SWT telah meringkas pengertian ini di dalam firman-Nya yang berbunyi, "Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar." (QS. al-Anfal: 17)
Allah menyatakan bahwa Rasulullah saw yang telah melempar — dengan kata-kata "ketika kamu melempar". Namun pada saat yang sama Allah SWT menyatakan dirinya sebagai pelempar yang sesung-guhnya, karena sesungguhnya Rasulullah saw tidak melempar melain-kan dengan kekuatan yang telah Allah berikan kepadanya. Sehingga dengan begitu, Rasulullah saw adalah pelempar ikutan (bittaba').
Kita dapat membagi perbuatan Allah kepada dua bagian:
1. Perbuatan dengan tanpa perantara (kunfayakun).
2. Perbuatan dengan perantara. Seperti Allah menurunkan hujan dengan perantaraan awan, menyembuhkan orang sakit dengan perantaraan obat-obatan, dan lain sebagainya.
Jika seorang manusia bergantung dan bertawassul kepada perantara-perantara ini, dengan keyakinan bahwa perantara-perantara tersebut tidak merdeka dan tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka dia itu seorang muwahhid (orang yang mengesakan Allah), namun jika sebaliknya, maka dia orang musyrik.
Apakah Kemampuan Atau Ketidak-mampuan Merupakan Tolak Ukur Tauhid Dan Syirik?
Kalangan orang-orang Wahabi mempunyai kekeliruan yang lain di dalam masalah tauhid dan syirik, dan ini persis sebagaimana yang lalu. Mereka menetapkan bahwa salah satu dari tolak ukur tauhid dan syirik ialah adanya kemampuan atau ketidak-mampuan orang yang diminta pertolongan untuk merealisasikan kebutuhan yang diminta. Jika dia mampu maka tidak masalah, namun jika tidak mampu maka itu syirik. Sungguh ini merupakan kebodohan yang sangat.
Masalah ini sama sekali tidak mempunyai pengaruh di dalam masalah tauhid dan syirik, melainkan hanya merupakan pembahasan tentang bermanfaat atau tidak bermanfaatnya permintaan.
Di antara kekerasan hati orang-orang Wahabi ialah, mereka meng-hardik para peziarah Rasulullah saw dengan mengatakan, "Hai musyrik, Rasulullah saw tidak memberikan manfaat sedikit pun kepadamu."
Mereka memang bodoh. Sesungguhnya masalah bermanfaat atau tidak, itu tidak memberikan pengaruh di dalam masalah tauhid dan syirik.
Bukti kebodohan Wahabi yang lainnya ialah, mereka tidak membolehkan bertawassul dan meminta kepada orang yang sudah meninggal dunia.
Ibnul Qayyum —murid Ibnu Taimiyyah— mengatakan, "Salah satu di antara bentuk syirik ialah meminta kebutuhan dari orang yang telah meninggal dunia, serta memohon pertolongan dan menghadap kepada mereka. Inilah asal muasal syirik yang ada di alam ini. Karena sesungguhnya orang yang telah meninggal dunia, telah terputus amal perbuatannya, dan dia tidak memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mendatangkan bahaya dan manfaat bagi dirinya."[395]
Ini termasuk perkataan yang aneh, yang tidak akan keluar kecuali dari orang yang tidak memiliki ilmu dan pemahaman tentang agama. Bagaimana mungkin permintaan sesuatu dari orang yang masih hidup dikatakan tauhid, sementara permintaan sesuatu yang sama dari orang yang telah meninggal dunia dikatakan syirik?! Jelas, perbuatan yang semacam ini keluar dari kerangka pembahasan tauhid dan syirik, dan kita dapat meletakkannya di dalam kerangka pembahasan apakah permintaan ini berguna atau tidak berguna. Dan permintaan yang tidak berguna tidak termasuk syirik.
Sebagaimana yang telah kita utarakan, sesungguhnya yang menjadi tolak ukur dasar di dalam masalah tauhid dan syirik ialah keyakinan. Keyakinan di sini bersifat mutlak. Tidak dikhususkan bagi orang yang hidup atau orang yang mati. Dengan demikian, perkataan Ibnul Qayyim tampak jelas batalnya. Perkataan dia yang berbunyi, "Sesungguhnya orang yang mati telah terputus amal perbuatannya", seandainya benar, itu tidak lebih hanya menetapkan bahwa meminta dari orang yang mati itu tidak berguna, namun tidak menetapkan bahwa perbuatan itu syirik. Adapun perkataannya yang berbunyi, "Orang yang telah mati tidak memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mendatangkan bahaya atau manfaat bagi dirinya", adalah merupakan perkataan yang umum yang mencakup orang yang telah mati maupun orang yang masih hidup. Karena seluruh makhluk, baik yang hidup maupun yang mati, tidak memiliki sedikit pun kekuasaan atas dirinya. Dia hanya memiliki kekuasaan atas dirinya semata-mata dengan izin dan kehendak Allah.
Juga masih banyak kekeliruan-kekeliruan lain yang dimiliki kalangan Wahabi, namun kita tidak dapat mendiskusikan semuanya di sini. Para pembaca yang mulia, Anda dapat menjawab kekeliruan-kekeliruan mereka itu berdasarkan dasar-dasar keterangan di atas.
Setiap Muslim boleh memohon pertolongan dan bertawassul kepada para wali Allah di dalam setiap urusan, baik yang gaib maupun yang materi, dengan menjaga dan memperhatikan syarat-syarat sebagai-mana yang telah dijelaskan.
Allah SWT berfirman, "Sulaimanberkata, 'Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singga-sananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.' Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin berkata, 'Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.' Se-seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab berkata, 'Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.' Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana hu terletak di hadapannya, ia pun berkata, 'lni termasuk kurnia Tuhanku.'" (QS. an-Naml: 38 - 40)
Jika Sulaiman as meminta perkara gaib ini dari para pengikutnya, dan jika seorang laki-laki yang mempunyai sedikit ilmu dari al-Kitab mampu melaksanakan permintaan itu, maka tentu kita boleh meminta kepada orang yang mempunyai seluruh ilmu al-Kitab. Terlebih lagi kepada Rasulullah saw dan Ahlul Baitnya.
Apakah Bertawassul Kepada Para Nabi Dan Orang-Orang Saleh Itu Haram?
Dari pembahasan yang lalu kita telah mengetahui bahwa tawassul dan istighasah (memohon pertolongan), keluar dari kerangka pembahasan tauhid dan syirik. Sekarang, tersisa pembahasan berikutnya, yaitu, apakah perbuatan itu dibolehkan atau diharamkan.
Belum pernah ada seorang pun dari para ulama Islam —baik dahulu maupun sekarang— yang mengatakan haramnya tawassul. Banyak sekali terdapat riwayat yang memperbolehkan perbuatan tawassul. Berikut ini beberapa contoh dari riwayat-riwayat tersebut:
Usman bin Hanif meriwayatkan,
"Seorang laki-laki buta datang ke hadapan Rasulullah saw dan berkata, 'Berdoalah kepada Allah supaya Dia menyembuhkanku.' Rasulullah saw bersabda, 'Jika kamu ingin, niscaya aku berdoa; namun jika kamu mau, kamu dapat sabar, dan itu lebih baik.' Laki-laki buta itu berkata, 'Berdoalah.' Rasulullah saw memerintahkannya untuk berwudu dengan cara yang paling bagus, kemudian salat dua rakaat, lalu berdoa dengan doa sebagai berikut, 'Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan menghadap kepada-Mu, dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. Hai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap Tuhanku dengan perantaraanmu, supaya Dia memenuhi kebutuhanku. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pemberi syafaat bagiku.," Usman bin Hanif berkata, "Demi Allah, belum sempat kami berpisah, dan belum lama kami berbicara, sehingga laki-laki buta itu menemui kami dalam keadaan bisa melihat dan seolah-olah tidak pernah buta sebelumnya."[396]
Syeikh Ja'far Subhani melakukan kajian tentang sanad hadis ini di dalam bukunya yang berjudul Ma'a al-Wahabiyyinfi Khuthathihim wa 'Aqa'idihim. Dia berkata, "Tidak ada keraguan tentang kesahihan sanad hadis ini. Bahkan, pemimpin kalangan Wahabi (yaitu Ibnu Taimiyyah) mengakui kesahihan sanad hadis ini, dengan mengatakan, 'Sesungguhnya yang dimaksud dengan nama Abu Ja'far yang terdapat di dalam sanad hadis ini adalah Abu Ja'far al-Khaththi. Dia seorang yang dapat dipercaya.'
Raffa'i, seorang penulis Wahabi abad ini, yang berusaha mendaifkan hadis-hadis yang khusus berkaitan dengan tawassul, telah berkata tentang hadis ini, Tidak diragukan bahwa hadis ini sahih dan masyhur. Telah terbukti tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa seorang yang buta dapat melihat kembali dengan perantaraan doa Rasulullah saw."[397]
Raffa'i berkata di dalam kitabnya at-Tawashshul, "Hadis ini telah diriwayatkan oleh Nasa'i, Baihaqi, Turmudzi dan Hakim di dalam kitab Mustadraknya. Zaini Dahlan, di dalam kitabnya Khulashah al-Kalam, menyebutkan hadis ini beserta dengan sanad-sanadnya yang sahih, yang kesemuanya berasal dari Bukhari di dalam tarikhnya, serta Ibnu Majah dan Hakim di dalam Mustadrak mereka berdua. Jalaluddin as-Suyuthi juga menyebutkan hadis ini di dalam kitabnya al-Jami'[398]...[399]"
Di sana juga terdapat riwayat-riwayat lain yang banyak sekali, yang tidak akan kita sebutkan, demi ringkasnya pembahasan. Untuk lebih memperdalam, silahkan merujuk kepada hadis bertawassulnya Adam kepada Rasulullah saw. Sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Mustadrak al-Hakim, jilid 2, halaman 15; kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 1, halaman 59; dengan menukil dari Thabrani, Abu Na'im al-Ishfahani. Demikian juga hadis tentang bertawassulnya Rasulullah dengan hak-hak para nabi sebelumnya. Sebagaimana juga Thabrani meriwayatkannya di dalam kitabnya al-Kabir dan al-Awsath. Begitu juga Ibnu Hibban dan al-Hakim, mereka berdua mensahihkannya. Selanjutnya, hadis bertawassul kepada orang-orang yang memohon, yang terdapat di dalam sahih Ibnu Majjah, jilid 1, halaman 261, bab al-Masajid; dan begitu juga di dalam musnad Ahmad, jilid 3, halaman 21. Demikian juga dengan riwayat-riwayat yang lain
Di samping itu, sesuatu yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul ialah, ijmak kaum Muslimin, dan begitu juga sejarah hidup orang-orang yang sejaman dengan Rasulullah saw. Kaum Muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, mereka bertawassul kepada para nabi dan orang-orang saleh. Tidak ada seorang ulama pun yang memprotes dan mengharamkan perbuatan tawassul.
Kita cukupkan sampai di sini pembahasan mengenai seputar keyakinan-keyakinan Wahabi. Diskusi dengan meraka memerlukan waktu yang panjang dan membutuhkan kitab yang tersendiri. Para ulama telah membantah ajaran kalangan Wahabi di dalam berpuluh-puluh kitab dan makalah yang mereka tulis. 'Allamah Muhsin Amin telah membantah keyakinan-keyakinan Wahabi melalui syairnya yang panjang, yang terdiri dari 546 bait. Silahkan Anda rujuk di dalam kitabnya yang berjudul Kasyf al-Irtiyab fi atba 'i Muhammad bin Abdul Wahhab.
(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar