BREAKING NEWS

AHLUL BAIT NABI SAW: KESAKSIAN-KESAKSIAN AHLUS SUNNAH, SMS +6281809556588

Minggu, 07 Mei 2017

Sekilas Hadis Tajsim


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Contoh-Contoh Hadis Tajsim

Berikut ini beberapa contoh dari riwayat-riwayat tajsim, yang kami pilih dari kitab as-Sunnah, yang telah diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, dan juga dari kitab at-Tauhid, karya Ibnu Khuzaimah.

1. Abdullah bin Ahmad meriwayatkan, disertai dengan menyebut sanad-sanadnya. Dia berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, Tuhan kita telah menertawakan keputus-asaan hamba-hamba-Nya dan kedekatan yang lainnya. Perawi berkata, 'Saya bertanya, 'Ya Rasulallah, apakah Tuhan tertawa?' Rasulullah saw menjawab, 'Ya.' Saya berkata, 'Kita tidak kehilangan Tuhan yang tertawa dalam kebaikan."'[361]

2. Abdullah berkata, "Saya membacakan kepada ayahku. Lalu, dia menyebutkan sanadnya hingga kepada Sa'id bin Jubair yang berkata, 'Sesungguhnya mereka berkata, 'Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu yaqut-Nya. Saya tidak tahu, apakah dia mengatakan merah atau tidak?' Saya berkata kepada Sa'id bin Jubair, lalu dia berkata, 'Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu zamrud dan naskah tulisan emas, yang Tuhan menuliskannya dengan tangan-Nya, sehingga para penduduk langit dapat mendengar suara gerak pena-Nya."[362]

3. Abdullah berkata, "Ayahku berkata kepadaku dengan sanad dari Abi 'Ithaq yang berkata, 'Allah menuliskan Taurat bagi Musa dengan tangan-Nya, dalam keadaan menyandarkan punggungnya ke batu, pada lembaran-lembaran yang terbuat dari mutiara. Musa dapat mendengar bunyi suara pena Tuhannya, sementara tidak ada penghalang antara dirinya dengan Tuhannya kecuali sebuah tirai.'"[363]

Apakah Anda dapat memahami sesuatu selain tajsim dan tasybih dari riwayat-riwayat ini? Sungguh dusta orang yang mempercayai hadis-hadis ini namun mengatakan bahwa dirinya tidak membayangkan Tuhannya. Tidak, mereka pasti membayangkannya.

Telah berlangsung sebuah diskusi di antara saudara saya dengan salah seorang tokoh Wahabi, yang merupakan kepanjangandari keyakinan Hanbali. Diskusi mereka mengenai seputar sifat-sifat Allah. Saudara saya mensucikan Allah dari sifat-sifat yang seperti ini, dan dengan berbagai jalan berusaha membuktikan keburukan keyakinan-keyakinan tersebut. Namun, semuanya itu tidak mendatangkan manfaat, hingga akhimya saudara saya mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya,

"Jika memang SWT mempunyai sifat-sifat ini, yaitu Dia mempunyai wajah, mempunyai dua tangan, dua kaki, dua mata, dan sifat-sifat lainnya yang mereka alamatkan kepada Tuhan mereka, apakah tidak mungkin kemudian seorang manusia membayangkan dan mengkhayalkann-Nya? Dan dia pasti akan membayangkan-Nya. Karena jiwa manusia tercipta sedemikian rupa, sehingga dia akan membayangkan sesuatu yang telah diberi sifat-sifat yang seperti ini." Jawaban yang diberikan oleh tokoh Wahabi tersebut benar-benar menjelaskan keyakinannya tentang tajsim. Dia berkata, "Ya, seseorang dapat membayangkan-Nya, namun dia tidak diperkenankan memberitahukannya..!!"

Saudara saya berkata kepadanya, "Apa bedanya antara Anda meletakkan sebuah berhala di hadapan Anda dan kemudin Anda menyembahnya, dengan Anda membayangkan sebuah berhala dan kemudian menyembahnya?"

Tokoh Wahabi itu berkata, "Ini adalah perkataan kelompok Rafidhi —semoga Allah memburukkan mereka. Mereka beriman kepada Allah namun mereka tidak mensifati-Nya dengan sifat-sifat seperti ini. Sehingga dengan demikian, mereka menyembah Tuhan yang tidak ada."

Saudara saya berkata, "Sesungguhnya Allah yang Mahabenar, Dia tidak dapat diliputi oleh akal, tidak dapat digapai oleh penglihatan, tidak dapat ditanya di mana dan bagaimana, serta tidak dapat dikatakan kepada-Nya kenapa dan bagaimana. Karena Dialah yang telah menciptakan di mana dan bagaimana. Segala sesuatu yang tidak dapat Anda bayangkan itulah Allah, dan segala sesuatu yang dapat Anda bayangkan adalah makhluk. Kami telah belajar dari para Imam Ahlul Bait as. Mereka berkata, 'Segala sesuatu yang kamu bayangkan, meski pun dalam bentuk yang paling rumit, dia itu makhluk seperti kamu.' Keseluruhan pengenalan Allah ialah ketidak-mampuan mengenal-Nya."

Tokoh Wahabi itu berkata dengan penuh emosi, "Kami menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya, dan itu cukup."

Kemudian, cobalah lihat bagaimana mereka menetapkan bahwa Allah mempunyai jari, dan mereka juga menetapkan bahwa di antara jari-jari-Nya itu terdapat jari kelingking, serta jari kelingking-Nya mempunyai sendi. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah di dalam kitab at-Tauhid. Ibnu Khuzaimah berkata, dengan bersanad dari Anas bin Malik yang berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Manakala Tuhannya menaiki gunung, Dia mengangkat jari kelingking-Nya, dan mengerutkan sendi jari kelingkingnya iru, sehingga dengan begitu lenyaplah gunung.'"

Humaid bertanya kepadanya, "Apakah kamu akan menyampaikan hadis ini?" Dia menjawab, "Anas menyampaikan hadis ini kepada kami dari Rasulullah, lalu kamu menyuruh kami untuk tidak menyampaikan hadis ini?"[364]

Mereka menetapkan Allah SWT mempunyai tangan, tangan-Nya mempunyai jari, dan di antara jari-Nya itu ialah jari kelingking. Kemu-dian mereka juga mengatakan jari kelingking itu mempunyai sendi...!! Mari kita teruskan, supaya lebih jelas gambaran untuk Anda.

Mereka juga mengatakan Allah SWT mempunyai dua tangan dan dada. Abdullah berkata, "Ayahku berkata kepadaku...lalu dia pun me-nyebutkan sanadnya yang berasal dari Abdullah bin Umar yang berkata, 'Malaikat telah diciptakan dari cahaya dada dan dua tangan (Allah).'"[365]

Abdullah juga berkata, dengan bersanad dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw yang bersabda, "Sesungguhnya kekasaran kulit orang Kafir panjangnya tujuh puluh dua hasta, dengan ukuran panjang tangan Yang Maha Perkasa."[366]

Dari hadis ini dapat dipahami, di samping Tuhan mempunyai dada dan dua tangan, juga kedua tangan Tuhan mempunyai ukuran panjang tertentu. Karena jika tidak, maka tidak mungkin kedua tangan tersebut menjadi ukuran bagi satuan panjang.

Mereka tidak hanya cukup sampai di sini, melainkan mereka juga menjadikan Allah mempunyai kaki.

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dengan bersanad kepada Anas bin Malik yang berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Orang-orang kafir dilemparkan ke dalam neraka. Lalu neraka berkata, 'Apakah masih ada tambahan lagi?', maka Allah pun meletakkankaki-Nya ke dalam neraka, sehingga neraka berkata, 'Cukup, cukup.'"[367]

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw yang bersabda, "Neraka tidak menjadi penuh sehingga Allah me-letakkan kaki-Nya ke dalamnya. Lalu, neraka pun berkata, 'Cukup, cukup.' Ketika itu lah neraka menjadi penuh."[368]

Mereka melangkah lebih jauh lagi. Mereka juga menetapkan bahwa Allah SWT mempunyai nafas. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, dengan bersanad kepada Ubay bin Ka'ab yang berkata, "Janganlah kamu melaknat angin, karena sesungguhnya angin berasal dari nafas Tuhan."[369]

Apa yang yang masih tersisa, terutama setelah mereka menetapkan Allah SWT mempunyai wajah. Bagaimana dengan suara-Nya?!

Mereka telah menetapkannya dan bahkan menyerupakannya dengan suara besi. Abdullah bin Ahmad, dengan sanadnya telah berkata, "Jika Allah berkata-kata menyampaikan wahyu, para penduduk langit mendengar suara bising tidak ubahnya suara bising besi di suasana yang hening."[370]

Kemudian, mereka menetapkan bahwa Allah SWT mempunyai bobot. Oleh karena itu, terdengar suara derit kursi ketika Allah sedang mendudukinya. Jika Allah tidak mempunyai bobot, lantas apa arti dari suara derit?

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan, dengan bersanad dari Umar yang berkata, "Jika Allah duduk di atas kursi, akan ter-dengar suara derit tidak ubahnya seperti suara deritnya koper besi."[371] Atau, tidak ubahnya seperti suara kantong pelana unta yang dinaiki oleh penunggang yang berat.

Dia juga berkata, dengan bersanad kepada Abdullah bin Khalifah yang berkata, "Seorang wanita datang kepada Nabi saw lalu berkata, 'Mohonlah kepada Allah supaya Dia memasukkan saya kedalam surga.' Nabi saw berkata, 'Maha Agung Tuhan.' Rasulullah saw kembali berkata, 'Sungguh luas kursi-Nya yang mencakup langit dan bumi. Dia mendudukinya, sehingga tidak ada ruang yang tersisa darinya kecuali hanya seukuran empat jari. Dan sesungguhnya Dia mempunyai suara tidak ubahnya seperti suara derit pelana tatkala dinaiki."'[372]

Sempurna lah bentuk yang jelek ini. Dengan demikian, Allah SWT menjadi seorang manusia, yang mempunyai sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia. Inilah yang tampak dari mereka, meskipun mereka mengingkarinya. Bahkan, mereka mengatakan lebih dari itu.

Di dalam sebuah hadis disebutkan, Allah SWT menciptakan Adam berdasarkan wajah-Nya, setinggi tujuh puluh hasta.

Mereka juga menetapkan bahwa Allah SWT dapat dilihat. Seba-gaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, dengan bersanad kepada Ibnu Abbas yang berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Aku melihat Tuhanku dalam bentuk-Nya yang paling bagus. Lalu Tuhanku berkata, 'Ya Muhammad.' Aku menjawab, 'Aku datang me-menuhi seruan-Mu.' Tuhanku berkata lagi, 'Dalam persoalan apa malaikat tertinggi bertengkar?' Aku menjawab, 'Aku tidak tahu, wahai Tuhanku.' Rasulullah saw melanjutkan sabdanya, 'Kemudian Allah meletakkan tangan-Nya di antara dua pundak aku, sehingga aku dapat merasakan dinginnya tangan-Nya di antara kedua tetekku, maka aku pun mengetahui apa yang ada di antara timur dan barat.'"[373]

Dia juga berkata, sesungguhnya Abdullah bin Umar bin Khattab mengirim surat kepada Abdullah bin Abbas. Abdullah bin Umar bertanya, 'Apakah Muhammad telah melihat Tuhannya?' Maka Abdullah bin Abbas pun mengirim surat jawaban kepadanya. Abdullah bin Abbas menjawab, 'Benar.' Abdullah bin Umar kembali mengirim surat untuk menanyakan bagaimana Rasulullah saw melihat Tuhannya. Abdullah bin Abbas mengirim surat jawaban, 'Rasulullah saw melihat Tuhannya di sebuah taman yang hijau, dengan tanpa permadani dari emas. Dia tengah duduk di atas kursi yang terbuat dari emas, yang diusung empat orang malaikat. Seorang malaikat dalam rupa seorang laki-laki, seorang lagi dalam rupa seekor sapi jantan, seorang lagi dalam rupa seekor burung elang, dan seorang lagi dalam rupa seekor singa.'"[374]

Manakala sebagian kelompok Hanbali melihat buruknya apa yang telah mereka buat, mereka berusaha memberikan pembenaran terhadap hal itu, dan memberikan alasan dengan mengatakan: Tanpa bentuk (bi la kaif).

Abul Hasan al-Asy'ari telah bersandar kepada pembenaran ini. Dia mengatakan di dalam kitabnya al-Ibanah, halaman 18, "Sesungguhnya Allah mempunyai wajah dengan tanpa bentuk (kaif), sebagaimana firman-Nya, 'Dan tetap kekal wajah Tuhanmu, yang mempunyai kebe-saran dan kemuliaan.' Allah SWT juga mempunyai dua tangan dengan tanpa bentuk, sebagaiman firtnan-Nya, 'Aku mencipta dengan tangan-Ku."'

Sungguh benar apa yang dikatakan seorang penyair,

"Mereka telah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya
namun mereka takut akan kecaman manusia
maka oleh karena itu mereka pun menyembunyikannya
dengan mengatakan tanpa bentuk."

Bagi setiap orang yang berakal sehat, pembenaran ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Karena ketidak-tahuan akan bentuk tidak memberikan faidah sedikit pun, dan tidak mendorong kepada arti yang benar. Justru dia lebih dekat kepada kesamaran. Karena, penetapan kata-kata ini kepada makna hakikinya adalah berarti penetapan bentuk itu sendiri bagi kata-kata tersebut. Karena kata-kata berdiri dengan bentuknya itu sendiri, dan penetapan sifat-sifat ini ke dalam artinya sebagaimana yang sudah dikenal adalah berarti tajsim dan tasybih itu sendiri. Adapun alasan yang mereka kemukakan, bahwa itu tanpa bentuk (kaif), tidak lebih hanya merupakan silat lidah saja.

Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang dosen saya di kampus tentang seputar masalah duduknya Allah di atas ‘Arsy. Ketika dia ter-desak dia mengemukakan alasan, "Kami hanya akan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf, 'Arti duduk (al-istiwa) diketahui, bentuk duduk (al-kaif) tidak diketahui, dan pertanyaan tentang-nya adalah bid'ah.'"

Saya katakan kepadanya, "Anda tidak menambahankan apa-apa kecuali kesamaran, dan Anda hanya menafsirkan air dengan air setelah semua usaha ini."

Dia berkata, "Bagaimana mungkin, padahal diskusi demikian serius."

Saya katakan, "Jika arti duduk diketahui, maka tentu bentuknya pun diketahui juga.

Sebaliknya, jika bentuk tidak diketahui, maka duduk pun tidak diketahui, karena tidak terpisah darinya. Pengetahuan tentang "duduk" adalah pengetahuan tentang "bentuk" itu sendiri, dan akal tidak akan memisahkan antara sifat sesuatu dengan bentuknya, karena keduanya adalah satu.

Jika Anda mengatakan si Fulan duduk, maka ilmu Anda tentang duduknya adalah ilmu Anda tentang bentuk (kaifiyyah) duduknya.

Ketika Anda mengatakan, "duduk" diketahui, maka ilmu anda tentang duduk itu adalah ilmu Anda tentang bentuk duduk itu sendiri. Karena jika tidak, maka tentu terdapat pertentangan di dalam perkataan Anda, yang mana pertentangan itu bersifat zat. Ini tidak ada bedanya dengan pernyataan bahwa Anda mengetahui "duduk", namun pada saat yang sama Anda mengatakan bahwa Anda tidak mengetahui bentuknya."

Dia pun terdiam beberapa saat, lalu dengan tergesa-gesa dia meminta ijin untuk pergi.

Semua yang dikatakan mereka tentang tidak adanya kaif (bentuk), namun dengan tetap menerapkan arti hakiki pada kata-kata di atas, tidak lain merupakan dua hal yang saling bertentangan. Sebagaimana mereka mengatakan bahwa Allah SWT mempunyai tangan dalam arti yang sesungguhnya, namun tangan-Nya tidak sebagaimana tangan, adalah sebuah perkataan yang mana bagian akhirnya menyalahi bagian awalnya, dan begitu juga sebaliknya. Karena tangan dalam arti yang sesungguhnya (hakiki), mempunyai bentuk sebagaimana yang telah diketahui. Dan, penafian bentuk darinya adalah berarti membuang hakikatnya.

Jika kata-kata yang kosong ini cukup untuk menetapkan kesucian Allah SWT, maka tentunya kita dapat mengatakan, Allah SWT mempunyai jisim namun tanpa bentuk, Allah mempunyai darah namun tanpa bentuk, Allah mempunyai daging namun tanpa bentuk, dan Allah mempunyai rambut namun tanpa bentuk.

Bahkan, salah seorang dari mereka sampai mengatakan, "Sesungguhnya saya malu untuk menetapkan Allah mempunyai kemaluan dan janggut. Oleh karena itu, maafkanlah saya, dan tanyalah kepada saya selain dari keduanya."

Juga perlu diingat, jangan sampai dari keterangan ini Anda memahami bahwa kita mempercayai takwil di dalam ayat-ayat yang seperti ini. Karena pentakwilan makna zahir Al-Qur'an dan sunnah dengan alasan bahwa makna tersebut bertentangan dengan akal, tidaklah dibolehkan. Karena di dalam Al-Qur'an dan sunnah tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan akal. Adapun apa yang terbersit bahwa makna zahir Al-Qur'an dan hadis bertentangan dengan akal, sebenarnya itu bukanlah makna zahir, melainkan sebuah makna yang mereka bayangkan sebagai makna zahir.

Berkenaan dengan ayat-ayat yang seperti ini, tidak diperlukan adanya takwil. Karena bahasa, di dalam penunjukkan maknanya, terbagi kepada dua bagian:
1. Penunjukkan makna ifradi.
2. Penunjukkan makna tarkibi.

Terkadang, makna ifradi berbeda dari makna tarkibi, jika di sana terdapat petunjuk (qarinah) yang memalingkan makna tarkibi dari makna ifradi. Sebaliknya, makna tarkibi akan sejalan dengan makna ifradi apabila tidak terdapat qarinah (petunjuk) yang memalingkannya dari makna ifradi. Sebagai contoh, tatkala kita menyebutkan kata "singa" —yaitu berupa kata tunggal— maka dengan serta merta ter-bayang di dalam benak kita binatang buas yang hidup di hutan. Makna yang sama pun akan hadir di dalam benak kita manakala kata tersebut disebutkan dalam bentuk susunan kata (tarkibi) yang tidak mengan-dung petunjuk (qarinah) yang memalingkannya dari makna ifradi. Seperti kalimat yang berbunyi, "Saya melihat seekor singa tengah memakan mangsanya di hutan."

Sebaliknya, makna kata singa akan berubah sama sekali apabila di dalam susunan kata (kalimat) kita mengatakan, "Saya melihat singa tengah menyetir mobil."

Maka yang dimaksud dari kata singa yang ada di dalam kalimat ini adalah seorang laki-laki pemberani. Inilah kebiasaan orang Arab di dalam memahami perkataan. Manakala seorang penyair berkata,

"Dia menjadi singa atas saya,
namun di medan perang
dia tidak lebih hanya seekor burung onta yang lari
karena suara terompet perang yang dibunyikan."

Dari syair ini kita dapat mengetahui bahwa kata singa di atas tidak lain adalah seorang laki-laki yang berpura-pura berani di hadapan orang-orang yang lemah, namun kemudian lari sebagai seorang pengecut tatkala berhadapan dengan musuh.

Orang yang mengerti perkataan ini, tidak mungkin akan menamakannya sebagai orang yang mentakwil nas dengan sesuatu yang keluar dari makna zahir perkataan.

Demikian juga halnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang seperti ini. Ketika —misalnya— Allah SWT mengatakan, "Tangan Allah di atas tangan mereka ", maka pengartian tangan di sini sebagai kekuasaan bukanlah suatu bentuk takwil. Hal ini tidak berbeda dengan perkataan yang berbunyi, "Negeri berada di dalam genggaman tangan raja". Yaitu artinya berada di bawah kekuasaan dan kehendak raja. Kata-kata ini tetap sesuai diucapkan meskipun pada kenyataannya raja tersebut buntung tangannya. Demikian juga halnya dengan ayat-ayat lainnya. Kita menetapkan makna tarkibi, yang tampak dari sela-sela konteks kalimat, dan kita tidak terpaku dengan makna kata secara leksikal, dengan tanpa melakukan takwil atau tahrif. Itulah yang di-sebut dengan beramal dengan zahir nas. Namun tentunya, zahir yang tampak dari konteks kalimat. Orang-orang Hanbali, mereka menyesatkan manusia dengan makna zahir fardiyyah, dengan tanpa melihat kepada makna keseluruhan (ijmali tarkibi).

Dengan cara inilah makna zahir Al-Qur'an dan sunah menjadi hujjah, yang tidak seorang pun manusia diperbolehkan berpaling darinya, dan juga mentakwilkannya, setelah sebelumnya memperhatikan dengan seksama qarinah-qarinah (petunjuk-petunjuk) yang menyatu maupun yang terpisah. Adapun orang yang berhujjah dengan makna zahir fardiyyah maka dia telah lalai dan menyimpang dari perkataan orang Arab.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Minggu, 07 Mei 2017

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul Sekilas Hadis Tajsim. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : https://ahlulbaitnabisaw.blogspot.com/2017/05/sekilas-hadis-tajsim.html

Posting Komentar

Commet Facebook Umum ABNS

 
Copyright © 2014 AHLUL BAIT NABI SAW Powered By AHLUL BAIT NABI SAW.