BREAKING NEWS

AHLUL BAIT NABI SAW: KESAKSIAN-KESAKSIAN AHLUS SUNNAH, SMS +6281809556588

Minggu, 07 Mei 2017

Sekilas Kontradiksi Antara Ajaran-ajaran Asy’ariyah


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Kontradiksi antara Ajaran-Ajaran Asy’ariyah

Sejarah menyebutkan bahwa Abul Hasan al-Asy'ari telah berpindah dari madrasah Mu'tazilah, dan mengumumkan kebergabungannya kepada madrasah Hanbaliyyah. Akan tetapi, perpindahan ini tidaklah cukup untuk dapat menjadikan dia terlepas sama sekali dari jalan Mu'tazilah. Pengaruh-pengaruh pemikiran Mu'tazilah tampak dengan jelas di dalam jalannya yang baru. Dia berusaha mengemas keyakinan-keyakinan salaf dengan kemasan akal. Namun dia tidak berhasil di dalam usahanya ini. Karena keyakinan-keyakinan salaf merupakan keyakinan-keyakinan sima'i, yang bersandar kepada hadis. Padahal banyak sekali hadis-hadis yang tidak sahih yang disisipkan oleh musuh-musuh agama ke dalam warisan Islam. Hadis-hadis ini tidak sejalan dengan kaidah-kaidah akal. Dengan demikian, hal ini menciptakan pertentangan dan kontradiksi yang amat jelas di dalam jalan Abul Hasan al-Asy'ari. Maka lahirlah sekumpulan pertentangan dan kontradiksi manakala Abul Hasan al-Asy'ari hendak mengargumentasikan keyakinan-keyakinan Ahlul Hadis dengan metode akal.

Di sini, kita akan kemukakan satu contoh dari pertentangan yang ada di dalam ajarannya. Yaitu masalah melihat Allah (ru'yatullah). Kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah sepakat bahwa Allah SWT akan dapat dilihat. Abul Hasan al-Asy'ari dan murid-muridnya telah ber-usaha untuk mengeluarkan pembahasan ini dari hanya sekedar kerangka hadis kepada kerangka argumentasi akal.

Kitab-kitab Ahlus Sunnah penuh dengan riwayat-riwayat yang secara jelas menyatakan Allah dapat dilihat dengan mata. Berikut ini beberapa contoh dari hadis-hadis tersebut, sebelum kita menyelami pembahasan.

- Dari Jabir yang berkata, "Kami peraah duduk di sisi Rasulullah saw. Lalu, Rasulullah saw melihat ke bulan pada malam bulan purnama. Kemudian Rasulullah saw berkata, 'Kelak kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana sekarang kamu melihat bulan ini, yang tidak samar di dalam melihatnya. Jika kamu mampu untuk tidak bersikap lemah di dalam mengerjakan salat sebelum terbit dan terbenamnya matahari, maka lakukanlah.' Kemudian Rasulullah saw membaca ayat, 'Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit dan terbenamnya matahari.'"

Sahih Bukhari, jilid 1, bab Keutamaan salat Ashar.

Sahih Muslim, jilid 2, bab Keutamaan salat Subuh dan Asar dan memperhatikan keduanya.

- Di dalam sebuah hadis yang panjang, Abu Hurairah meriwayatkan, "Sekelompok orang berkata, 'Ya Rasulallah, apakah kita akan melihat Tuhan kita pada hari kiamat?'

Rasulullah saw berkata, 'Apakah kamu berselisih di dalam melihat bulan pada malam bulan purnama, ketika tidak ada awan?'

Mereka menjawab, 'Tidak, ya Rasulullah.'

Rasulullah saw bersabda, 'Kamu tidak berselisih di dalam melihat Allah pada hari kiamat, sebagaimana kamu tidak berselisih di dalam melihat salah seorang dari kamu.' Sampai Rasulullah saw mengatakan, 'Hingga jika tidak ada yang tersisa kecuali orang yang dahulu menyembah Allah, dari orang yang saleh maupun crrang yang fasik, Allah SWT mendatangi mereka dalam wajah yang paling dekat yang pernah mereka lihat. Allah SWT bertanya, 'Apa yang sedang kamu tunggu?' .... Setiap umat mencari Tuhan yang dahulu disembahnya.

Mereka menjawab, 'Kami meninggalkan manusia ketika di dunia, dan tidak bergaul dengan mereka, dan sekarang kami tengah menunggu Tuhan yang dahulu kami sembah.'

Allah SWT berkata, 'Aku ini Tuhanmu.'

Mereka berkata, 'Kami tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun', sebanyak dua atau tiga kali.

Manakala sebagian dari mereka hampir berpaling, lalu Allah SWT berkata, 'Apakah antara kamu dengan Dia terdapat tanda yang dengannya kamu dapat mengenali-Nya?'

Mereka menjawab, 'Betis.' Maka Allah SWT pun menyingkapkan betisnya." Sahih Bukhari, jilid 6, tafsir surat an-Nisa, dan jilid 9, kitab at-Tauhid. Sahih Muslim, jilid 1, bab "Mengenal Jalan Ru'yah (Melihat Allah)".

- Dari Jarir bin Abdullah yang berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Kelak kamu akan dapat melihat Allah dengan matamu."

Sahih Bukhari, jilid 9, kitab at-Tauhid. Firman Allah SWT yang berbunyi, "Mereka melihat kepada Tuhannya."

Dan, berpuluh-puluh hadis lainnya yang terdapat di dalam kitab-kitab sahih. Ibnu Hajar berkata berkenaan dengan hadis-hadis ru'yah (melihat Allah), "Daruquthni telah mengumpulkan hadis-hadis yang berkenaan dengan melihat Allah pada hari akhirat, sehingga terkumpul lebih dari dua puluh hadis. Ibnul Qayyum menyelidiki hadis-hadis ru'yah di dalam kitab Hadi al-Arwah, sehingga mencapai tiga puluh hadis, dan sebagian besarnya sahih. Daruquthni berkata dengan ber-sanad kepada Yahya bin Mu'in, 'Saya mempunyai tujuh belas hadis tentang ru'yah yang kesemuanya sahih.'"[400]

Dengan hadis-hadis yang mereka anggap sahih ini, mereka mem-bangun keyakinan tentang dapat melihat Allah pada hari kiamat. Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal bersikap berlebihan dengan mengkafirkan setiap orang yang menentang keyakinan ini. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mereka mengatakan mungkinnya Allah SWT dilihat di dunia.

Al-Isfira'ini berkata, "Kalangan Ahlus Sunnah sepakat bahwa Allah SWT akan dapat dilihat oleh orang-orang Mukmin pada hari akhirat. Mereka juga mengatakan, Allah dapat dilihat pada setiap keadaan, bagi setiap yang hidup, berdasarkan jalan akal. Adapun pada hari akhirat, Allah SWT pasti dilihat oleh orang-orang Mukmin, berdasarkan jalan riwayat."[401]

Setelah itu, para ulama mereka mengklaim telah melihat Allah SWT di dalam mimpi. Sya'rani, Ibnu Jauzi dan Syabalanji meriwayat-kan bahwa Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, "Saya mendengar ayah saya berkata, 'Saya telah melihat Tuhan yang Mahamulia di dalam mimpi. Saya berkata kepada-Nya, 'Wahai Tuhan, Sesuatu apa yang paling utama mendekatkan seseorang kepada-Mu?'

Tuhan menjawab, 'Perkataan-Ku, hai Ahmad.' Saya bertanya lagi, 'Dengan pemahaman atau dengan tanpa pe-mahaman.'

Tuhan menjawab, 'Dengan pemahaman maupun dengan tanpa pemahaman.'"[402]

Al-Alusi telah mengaku melihat Allah sebanyak tiga kali di dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma'ani, "Demi Allah, alhamdulillah, saya telah melihat Allah sebanyak tiga kali di dalam mimpi. Adapun kali yang ketiga saya melihat-Nya pada tahun 1246 Hijrah. Saya melihat-Nya terdiri dari cahaya, dan tengah menuju ke timur. Dia berbicara kepadaku dengan kata-kata yang saya lupa ketika saya bangun. Saya pernah satu kali melihat-Nya dalam sebuah mimpi yang panjang, seolah-olah saya tengah berada di dalam surga, berada di antara kedua tangan-Nya, dan antara saya dengan Dia terdapat tirai yang dikepang dengan mutiara yang beraneka ragam warnanya. Lalu Allah SWT memerintahkan saya untuk pergi ke makam Isa as, dan kemudian ke makam Muhammad saw. Maka saya pun pergi ke makam keduanya. Kemudian, saya pun melihat apa yang saya lihat. Dan hanya kepunyaan Allahlah karunia dan keutamaan."[403]

Inilah ringkasan keyakinan mereka tentang melihat Allah SWT. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakan.

Sungguh, mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya.

Tidak diragukan, keyakinan ini menuntut pemikiran-pemikiran sebagai berikuf

1. Sesungguhnya penglihatan inderawi (ar-ru'yah al-hissiyyah), sebagaimana yang ditekankan oleh hadis-hadis ini, menuntut sesuatu yang dilihat itu memiliki kepadatan dan warna, sehingga dapat dilihat. Di antara keharusan dari keyakinan ru 'yah (melihat Allah) ialah bahwa sesuatu yang dilihat tersebut memantulkan cahaya, berada di hadapan yang melihat, terdapat jarak di antara yang melihat dengan yang dilihat, di samping harus sehatnya indera penglihatan. Dengan syarat-syarat ini —nau'udzu billah— tentunya Allah SWT berjisim dan dibatasi oleh tempat. Sungguh, ini adalah sesuatu yang mustahil.

2. Selain itu, keyakinan ini juga mengharuskan Allah SWT tampil dengan wajah-wajah yang berbeda. Sebagaimana kata-kata hadis yang berbunyi, "Allah mendatangi mereka dalam wajah yang tidak mereka kenal. Allah SWT berkata, 'Aku ini Tuhanmu.' Mereka berkata, 'Kami berlindung kepada Allah darimu.' Maka Allah SWT pun mendatangi mereka dalam wajah yang mereka kenal." Adapun jalan yang dengannya mereka dapat mengenal Allah SWT ialah betis Allah. Masya Allah, Allah mempunyai betis yang dapat dibuka dan ditutup...!!

Keyakinan-keyakinan yang jelas-jelas kufur ini, merupakan akibat logis dari hadis-hadis Israiliyyat yang diterima oleh saudara-saudara kita Ahlus Sunnah, yang terdapat di dalam kitab Bukhari dan Muslim. Karena, jika sekiranya hadis-hadis ini tidak ada niscaya akal sehat tidak akan menerima perkataan dan keyakinan ini.

Oleh karena itu, kita mendapati Ahlul Bait as menentang keyakinan ini dan seluruh keyakinan yang mendorong kepada keyakinan tajsim dan tasybih. Mereka mendustakan hadis-hadis yang disisipkan oleh Ka'ab al-Ahbar al-Yahudi dan Wahab bin Manbah al-Yamani, yang telah banyak menyebarkan keyakinan tentang tajsim dan ru 'yah. Keyakinan ini telah memenuhi kitab-kitab Ahlus Sunnah. Sungguh, keyakinan ini amat jauh dari ajaran-ajaran Al-Qur'an.


Beberapa Contoh Hadis Ahlul Bait Yang Menaflkan Keyakinan Ru'yah

1. Muhaddis Abu Qurrah mendatangi Ali Abul Hasan ar-Ridha as. Dia bertanya tentang halal dan haram serta berbagai hukum, hingga pertanyaannya sampai kepada masalah tauhid. Abu Qurrah bertanya,

"Sesungguhnya kami meriwayatkan bahwa Allah SWT Azza Wajalla membagi ru'yah (melihat) dan kalam (bicara) di antara dua orang nabi. Allah SWT memberikan kalam kepada Musa as, dan memberikan ru'yah kepada Muhammad saw."

Abul Hasan as berkata, "Siapa yang menyampaikan ayat-ayat berikut dari Allah SWT kepada jin dan manusia, 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala sesuatu yang dapat dilihat mata', 'Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya', dan juga ayat 'Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya.' Bukankah Muhammad saw?"

Abu Qurrah berkata, "Benar."

Abul Hasan as berkata, "Bagaimana mungkin seorang laki-laki datang kepada seluruh makhluk, lalu mengatakan kepada mereka bahwa dia datang dari sisi Allah, dan menyeru mereka kepada Allah SWT dengan perintah-Nya sambil mengatakan, 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia daoat melihat segala sesuatu yang kelihatan', namun kemudian mengatakan, 'Saya telah melihat-Nya dengan kedua mata saya, dan telah meliputi-Nya dengan ilmu saya, dalam bentuk seorang manusia.'

Tidakkah kamu malu? Orang-orang zindiq tidak dapat menuduhnya dengan tuduhan ini, di mana dia datang dengan membawa sesuatu tentang Allah SWT, lalu kemudian datang lagi dengan membawa sesuatu kebalikannya!!"

Abu Qurrah berkata, "Sesungguhnya Allah SWT telah berkata, 'Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain.'"

Abu Hasan as berkata, "Sesungguhnya setelah ayat ini terdapat ayat lain yang menunjukkan apa yang dilihatnya, di mana Dia berkata, 'Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.' Allah SWT berkata, 'Hati Muhammad tidak mendustakan apa yang telah dilihat kedua matanya.' Kemudian, Allah SWT memberitahukan apa yang telah dilihat oleh Muhammad saw, 'Sesungguhnya dia telah melihat sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.' Tanda-tanda kekuasaan Allah SWT bukanlah Allah SWT. Allah SWT telah berkata, 'Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya.' Jika mata telah melihat-Nya, maka berarti ilmu telah meliputi-Nya."

Abu Hurairah bertanya lagi, "Kalau begitu, berarti Anda mendustakan riwayat-riwayat ini?"

Abul Hasan as berkata, "Jika sebuah riwayat bertentangan dengan Al-Qur'an, maka aku mendustakan riwayat tersebut.

Kaum Muslimim sepakat bahwa Dia tidak dapat diliputi oleh ilmu, tidak dapat digapai oleh penglihatan mata, dan tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya."[404]

2. Abu Abdillah bin Sanan hadir di sisi Imam Abu Ja'far as. Kemudian, seorang laki-laki Khawarij masuk dan berkata, "Wahai Abu Ja'far, apa yang Anda sembah?"

Abu Ja far as menjawab, Allah.

Laki-laki Khawarij itu bertanya lagi, "Kamu telah melihatnya?" Abu Ja'far as menjawab, "Mata tidak dapat melihat-Nya dengan pandangannya, akan tetapi hati dapat melihat-Nya dengan hakikat iman. Dia tidap dapat diketahui dengan qiyas, tidak dapat digapai oleh panca indera, dan tidak dapat diserupakan dengan manusia. Dia disifati dengan ayat-ayat-Nya, dan dikenal dengan tanda-tanda-Nya. Dia tidak berlaku zalim di dalam hukum-Nya. Dia itu adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Dia."

Abu Abdillah bin Sinan berkata, "Maka keluarlah laki-laki Khawarij sambil mengatakan, 'Allah lebih mengetahui di mana Dia harus meletakkan risalah-Nya.'"[405]

3. Ahmad bin Ishaq menulis surat kepada Abul Hasan yang ketiga as, menanyakan tentang keyakinan ru'yah dan beberapa keyakinan yang ada di tengah manusia. Abul Hasan ketiga as menjawab dalam suratnya,

"Ru'yah tidak mungkin terjadi selama di antara yang melihat dan yang dilihat tidak ada udara yang dapat ditembus oleh penglihatan mata. Jika udara terputus, dan tidak ada cahaya di antara yang melihat dan yang dilihat, maka ru'yah tidak terlaksana, disebabkan samar."[406]


Dalil-Dalil Akal Kalangan Asy'ariyyah Tentang Bolehnya Ru'yah, Serta Pembahasannya.

Menurut kalangan Asy'ariyyah, tidak ada halangan dari sisi akal tentang kemungkinan melihat Allah SWT dengan mata. Karena, ke-mungkinan ini tidak menuntut penetapan sesuatu yang mustahil menurut akal atas Allah SWT. Adapun alasan-alasannya adalah sebagai berikut:

1. Di dalam keyakinan bolehnya Allah SWT dilihat dengan mata tidak terdapat penetapan ke-hudutsan-Nya. Karena, sesuatu yang dapat dilihat tidak menjadi sesuatu yang dapat dilihat disebabkan karena ke-hudutsan-Nya (kebaruannya, atau didahului oleh ketiadaan). Karena jika tidak demikian, maka berarti setiap yang huduts dapat dilihat.

2. Di dalam ru'yah tidak terdapat "huduts makna" pada sesuatu yang dilihat. Karena, warna dapat dilihat, namun "huduts makna" tidak terjadi atasnya. Disebabkan warna adalah 'aradh (sifat).

3. Di dalam penetapan dapat dilihatnya Allah SWT dengan mata (ru'yah) tidak terdapat tasybih (penyerupaan Allah SWT dengan makhluk), tajnis, dan juga tidak mengubah-Nya dari hakikat-Nya. Karena warna hitam dan putih tidak homogen (mutajanisan) dan tidak serupa (mutasyabihan) dengan terjadinya penglihatan atas keduanya.


Marilah kita perhatikan klaim-klaim mereka di atas,

1. Kita katakan, benar, bahwa huduts bukan merupakan syarat yang cukup di dalam ru'yah, dan diperlukan syarat-syarat lainnya, seperti jarak yang sesuai, kepadatan yang memungkinkan terpantulnya cahaya, dan tidak teijadinya beberapa kejadian yang menyebabkan tidak adanya ru'yah. Namun, ru'yah itu sendiri mengharuskan adanya arah (disebabkan faktor berada di hadapan), dan sifat fisik (disebabkan faktor kepadatan), yang mana keduanya ini mengharuskan adanya huduts. Sehingga dengan demikian, segala sesuatu yang dapat dilihat oleh mata adalah muhdats (baru, atau didahului oleh ketiadaan), namun tidak sebaliknya.

Berkenaan dengan point yang kedua (Di dalam ru'yah tidak terdapat penetapan "huduts makna"), kita mengatakan, sesungguhnya makna terjadi dikarenakan bersambung dengan cahaya dan mugabalah (berada di hadapan). Jika tidak ada cahaya dan muqabalah, niscaya tidak akan berlangsung penglihatan dengan mata.

Adapun berkenaan dengan point yang ketiga, kita mengatakan, sesungguhnya point yang ketiga hanya semata-mata pengakuan, sebagaimana sebelum-sebelumnya. Karena sesungguhnya tasybih tetap terjadi, dan mereka tidak dapat memungkirinya. Oleh karena hakikat ru'yah terlaksana dengan adanya mugabalah (berada di hadapan), dan muqabalah tidak terlepas dari kenyataan bahwa sesuatu yang dilihat berada pada arah dan tempat tertentu. Dengan demikian, tidak ada tasybih yang lebih jelas dari ini. Disebabkan adanya arah dan sifat fisik. Mahatinggi Allah dari yang demikian itu. Sungguh, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.

2. Baqilani berkata, "Adapun hujjah atas yang demikian itu ialah bahwa Allah SWT ada. Sesungguhnya sesuatu dapat dilihat disebabkan karena dia ada. Sesuatu tidak dapat dilihat karena jins-nya. Karena kita tidak melihat jins yang bermacam-macam. Demikian juga, sesuatu dapat dilihat bukan karena ke-hudutsan-nya".[407]

Dengan penjelasan lain, "Selama kita melihat a'radh (jamak dari kata 'aradh, yang berarti sifat) maka tentunya kita pun melihat jawahir (jamak dari kata jawhar, yang berarti substansi)."[408]

"Sesungguhnya ru'yah merupakan kesamaan di antara jawhar dan 'aradh. Oleh karena itu, mau tidak mau ru 'yah harus memiliki satu sebab, yaitu kalau tidak wujud maka huduts. Huduts itu sendiri tidak dapat menjadi sebab ('illah), dikarenakan dia adalah perkara ketiadaan ('adami). Sehingga dengan demikian, maka wujudlah yang menjadi sebab dari ru'yah. Kemudian, dapat disimpulkan bahwa ru'yah dapat berlaku pada al-Wajib dan al-mumkin"[409]

Lemahnya argumentasi ini tampak jelas sekali. Karena banyak sekali sesuatu yang tidak dapat dilihat namun keberadaannya (wujudnya) tidak diragukan. Seperti pikiran, keyakinan, dan keinginan.

Ini menunjukkan akan adanya sebab lain bagi ru'yah, namun bukan wujud.

Oleh karena itu, dari kalangan Asy'ari sendiri banyak yang memprotes argumentasi ini. Seperti pensyarah kitab al-Mawaqif, demikian juga Taftazani di dalam Syarh al-Mathali', dan juga al-Qusyji di dalam kitab Syarh at-Tajrid.[410]

Kata "wujud" lebih pas dari kata "huduts" untuk dijadikan sebagai syarat bagi ru'yah. Namun ungkapan yang mengatakan secara mutlak bahwa "setiap yang ada dapat dilihat" adalah ungkapan yang salah. Supaya menjadi benar, ungkapan tersebut harus diberi batasan dengan syarat-syarat ru'yah. Dan, syarat-syarat ru'yah tidak sejalan kecuali dengan mawjud yang berupa makhluk. Adapun berkenaan dengan Allah SWT, tidak mungkin membandingkan makhluk dengan Pencipta, "Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. " Jangan lupa, bahwa penerapan hukum-hukum alamiah atas Allah SWT adalah tasybih dan kebodohan.


Dalil-Dalil Kalangan Asy'ariyyah Tentang Ru'yah Dari Al-Qur'an al-Karim, Dan Pembahasannya.

Allah SWT berfirman, "Sekali-kali janganlah demikian. Sebenamya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (kehidupan) akhirat. Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. " (QS. al-Qiyamah: 20 - 25)

Kalangan Asy'ari telah membeda-bedakan arti kata an-nazhar. Pertama, dengan arti mengambil pelajaran (i'tibar). Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Maka apakah mereka tidak mengambil pelajaran dari unta, bagaimana dia diciptakan." (QS. al-Ghasyiyah: 17) Kedua, dengan arti menunggu (intizhar). Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja." (QS. Yasin: 49) Ketiga, dengan arti rahmat. Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Dan Allah tidak akan memberikan rahmat kepada mereka." (Ali 'lmran: 77) Adapun yang keempat ialah dengan arti melihat.

Dari sekian arti ini, kalangan Asy'ari memilih arti "melihat", disebabkan tidak sesuainya arti-arti yang lain. Adapun berkenaan dengan arti yang pertama, yaitu mengambil pelajaran (i'tibar), sesungguhnya negeri akhirat bukanlah negeri pengambilan pelajaran melainkan negeri balasan. Sementara arti yang kedua, yaitu menunggu (intizhar) sesungguhnya kata ini dikaitkan dengan wajah. Di samping itu, pekerjaan menunggu adalah sesuatu yang melelahkan, dan ini tidak sesuai dengan keadaan para ahli surga. Adapun arti rahmat, tidak dapat diterima, dikarenakan tidak mungkin makhluk memberikan rahmat dan kasih sayang kepada pencipta.

Kemudian, mereka memilih makna melihat, dengan petunjuk berdasarkan lidah orang Arab. Yaitu bahwa kata nazhar dengan arti "melihat" selalu diimbuhi kata ila, dan orang-orang Arab tidak menggunakan kata nazhar untuk arti menunggu dengan menggunakan imbuhan ila. Seperti firman-Nya yang berbunyi, "Ma Yandzuruna illa shaihatan wahidah" (Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja). Ketika Allah SWT menghendaki arti menunggu, Dia tidak mengim-buhi dengan kata ila. Oleh karena itu, tatkala Allah SWT mengatakan "Ila Rabbiha Nazhirah " (Kepada Tuhannyalah mereka melihat), maka kita tahu bahwa Dia tidak menginginkan arti menunggu, melainkan yang Dia inginkan adalah arti melihat. Demikian juga, tatkala Allah SWT menyertai arti "melihat" dengan menyebut kata "wajah", maka dari situ kita tahu bahwa melihat di sini ialah melihat dengan kedua mata yang ada di wajah."

Mereka juga beragumentasi bahwa kata nazhar di dalam ayat ini tidak mungkin berarti menunggu (intizhar). Karena menunggu (intizhar) merupakan pengurangan, dan yang demikian itu tidak ada pada hari kiamat. Oleh karena surga adalah tempat kenikmatan dan bukan tempat pahala atau siksaan.


Beberapa Catatan Atas Dalil-Dalil Di Atas

1. Adapun perkataan mereka yang mengatakan, jika kata nazhar berarti melihat maka diimubuhi kata ila, sedangkan jika berarti menunggu maka tidak diimbuhi kata ila, perlu kita jawab sebagai berikut: Sesungguhnya kata nazhirah yang terdapat pada ayat di atas adalah isim fa'il. Isim fa'il di dalam amalnya merupakan cabang dari fi'il. Dan, kecabangan (far'iyyah) ini menyebabkan lemahnya 'amil, sehingga oleh karena itu, dia memerlukan sesuatu yang menguatkannya. Di samping itu, di sini, ma'mul juga didahulukan (muqaddam), dan pendahuluan (taqdim) ini tentunya merupakan sebab lainnya lemahnya 'amil. Oleh karena itu, kata nazhirah di sini diimbuhi kata ila.

Di samping itu, penggunaan kata nazhara yang diimbuhi dengan kata ila, dengan arti melihat, juga digunakan di dalam perkataan orang Arab. Sebagaimana perkataan Hasan bin Tsabit di dalam syairnya,

"Wujuhun Yauma Badr Nazhirat Ilar Rahman Ya'ti bil Falah. "

(Pada hari badar, wajah-wajah menanti Tuhan
yang akan datang dengan membawa kemenangan)
Penggunaan yang seperti ini banyak sekali digunakan.

Al-Qur'an al-Karim juga telah mengimbuhi kata isim fa'il nazhirah dengan imbuhan huruf ba di dalam ayatnya yang berbunyi, "Fa Nazhirah Bima Yarji' al-Mursalun". Yang artinya, "Dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu."

Ini artinya, bahwa kata nazhirah dapat berarti "menunggu", baik dengan imbuhan maupun dengan tanpa imbuhan.

2. Adapun perkataan mereka yang mengatakan bahwa "menunggu" adalah berarti pengurangan dan tidak sesuai dengan ahli surga, kita perlu bertanya, dari mana dapat diketahui bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang surga?!

Bahkan, kita dapat mengetahui bahwa ayat-ayat ini tengah berbicara tentang saat "hisab", berdasarkan petunjuk ungkapan ayat, "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat." Rangkaian ayat ini menceritakan tentang keadaan mereka sebelum masuk ke tempat mereka yang kekal. Karena, jika mereka masuk ke dalam nereka, maka berarti telah ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat.

Oleh karena itu, arti "menunggu" sangat tepat sekali. Terlebih lagi, ini merupakan penggunaan yang sebenarnya dalam lidah orang Arab. Dengan demikian, kelompok Asy'ari tidak berhak memblokade makna ini.

Jika kita mengatakan bahwa kata nazhar di dalam ayat di atas berarti menunggu, maka itu artinya kita menafikan Allah dapat dilihat secara inderawi. Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa kata nazhar di dalam ayat di atas berarti melihat, maka yang dimaksud darinya ialah penggunaannya sebagaimana arti kiasan (majazi). Penetapan penggunaan yang seperti ini (yaitu penggunaan kata nazhar dengan arti melihat sebagai arti kiasan) telah dilakukan oleh Syeikh Ja'far Subhani. Yaitu dengan cara men-taqdir-kan (menentukan) adanya mudhaf yang dibuang, sehingga berdasarkan taqdirnya bunyi ayat di atas berbunyi, "ila tsawabi rabbiha nazhirah" (Mereka menunggu ganjaran Tuhannya). Penetapan taqdir yang seperti ini dibenarkan oleh hukum akal, setelah menghadapkan satu sama lain di antara ayat-ayat yang ada. Ayat yang ketiga dihadapkan kepada ayat yang pertama, dan ayat yang keempat dihadapkan kepada ayat yang kedua. Ketika dilakukan penghadapan yang seperti ini, maka kesamaran yang ada pada ayat yang kedua dapat dilenyapkan dengan ayat yang keempat. Berikut ini penyusunan ayat-ayat di atas berdasarkan perbandingan,
a. Ayat "Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri", dibandingkan dengan ayat "Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram".
b. Ayat "Kepada Tuhannyalah mereka melihat" dibandingkan ayat "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat".

Oleh karena ayat yang keempat, yang berbunyi "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat", jelas artinya, maka dia menjadi petunjuk bagi maksud dari ayat yang kedua, yaitu yang berbunyi "Kepada Tuhannya lah mereka melihat".

Jika maksud dari ayat yang keempat ialah bahwa orang-orang yang berdosa tengah menantikan azab pedih yang akan turun kepadanya, maka ini menjadi petunjuk bahwa kelompok orang-orang yang taat tengah menantikan rahmat dan karunia Allah yang dijanjikan kepada mereka. Sehingga dengan demikian, arti melihat di sini bukanlah berarti melihat kepada Zat Allah SWT. Karena jika tidak, maka tentu dua hal yang saling berhadapan (mutaqabilan) ini telah keluar dari keadaan berhadapan (taqabul), dan ini tentunya menyalahi.

"Dua hal yang saling taqabul —berdasarkan hukum taqabul— harus mempunyai makna dan pemahaman yang sama, dan tidak berbeda sedikit pun di antara keduanya kecuali dalam masalah positif (itsbat) dan negatif (nafi)".[411]

Dengan muqabalah ini ayat menjadi jelas artinya. Terlebih lagi rangkaian ayat ini tengah berbicara tentang saat hisab, sehingga dengan demikian tidak ada yang diharapkan selain dari ganjaran dan rahmat.

Sejumlah riwayat mengisyaratkan kepada makna ini. Seperti riwayat yang terdapat di dalam kitab Tawhid ash-Shaduq, yang berasal dari Imam ar-Ridha as, tentang firman Allah SWT yang berbunyi "Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada Tuhannya", yaitu yang artinya "wajah-wajah mereka berbinar menantikan ganjaran Tuhannya".[412]

Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa pemahaman "melihat kepada Zat Allah" itu telah keluar dari kerangka ayat ini dengan kedua kemungkinannya. Jika arti dari kata nazhirah itu menunggu, tentunya terkubur kemungkinan penunjukkan arti ayat ini kepada melihat dengan mata (ru'yah). Demikian juga, jika arti dari kata nazhirah itu melihat, maka itu tidak lain hanya merupakan kiasan dari menunggu rahmat Allah SWT. Sebagaimana ungkapan yang berbunyi, "Jangan kamu melihat kepada tangan si Fulan", dengan arti "Jangan kamu mengharapkan pemberian si Fulan". Penggunaan ungkapan yang seperti ini biasa digunakan. Sebagai contoh, seorang penyair berkata,

"Sesungguhnya aku melihat kepadamu dikarenakan apa yang telah kamu janjikan

Sebagaimana pandangan seorang yang fakir kepada seorang yang kaya."

Oleh karena itu, orang-orang Mukmin melihat (mengharapkan) kepada rahmat Allah SWT pada hari kiamat. Adapun orang-orang yang kafir, keadaan mereka jelas beradasarkan firman Allah SWT yang berbunyi,

"Dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yangpedih." (QS. Ali 'lmran: 77)

Jelas, yang dimaksud dengan ungkapan "tidak melihat kepada mereka" di dalam ayat di atas ialah Allah tidak memberikan rahmat kepada mereka, dan bukannya mereka tidak dapat melihat Allah SWT.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sekilas Defenisi Ibadah Berdasarkan Pemahaman Al-Qur'an


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Defenisi Ibadah Berdasarkan Pemahaman Al-Qur'an

Ibadah ialah ketundukan kata-kata dan perbuatan, yang bersumber dari keyakinan adanya sifat uluhiyyah atau sifat rububiyyah pada diri sesuatu yang diibadahi, atau keyakinan bahwa sesuatu itu merdeka di dalam perbuatannya, atau memiliki kekuasaan atas salah satu segi dari kehidupannya secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah.

Maka seluruh perbuatan yang disertai dengan keyakinan ini terhitung sebagai perbuatan syirik kepada Allah. Oleh karena itu, kita menemukan orang-orang musyrik jahiliyyah meyakini bahwa sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan. Al-Qur'an al-Karim dengan gamblang telah menjelaskan hal ini. Allah SWT berfirman, "Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka." (QS. Maryam: 81) Artinya, mereka meyakini sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan.

Allah SWT berfirman, "Yaitu orang-orang yang menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah, maka mereka kelak akan mengetahui akibatnya." (QS. al-Hijr: 96)

Ayat-ayat ini membantah perkataan kalangan Wahabi. Ayat ini menjelaskan bahwa terperosoknya para penyembah berhala kedalam kemusyrikan ialah disebabkan mereka meyakini sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan. Allah SWT telah menjelaskan hal ini di dalam firman-Nya yang berbunyi, "Dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok kamu, (yaitu) orang-orang yang menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah; maka kelak mereka akan mengetahui akibatnya." (QS. al-Hijr: 94 - 96)

Ayat-ayat ini menetapkan tolak ukur dasar di dalam masalah syirik. Yaitu keyakinan akan adanya sifat-sifat ketuhanan pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Oleh karena itu, mereka menolak dan mengingkari akidah tauhid yang dibawa oleh Rasulullah saw. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, 'Tiada Tuhan selain Allah', mereka menyombongkan diri." (QS. ash-Shaffat: 35)

Oleh karena itu, dakwah para nabi kepada mereka ditujukan untuk memerangi keyakinan mereka yang mengatakan adanya Tuhan selain Allah. Karena, tidaklah masuk akal ada ibadah yang tidak disertai dengan keyakinan adanya sifat ketuhanan pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Dengan kata lain, meyakini terlebih dahulu, baru kemudian menyembah.

Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata, 'Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'" (QS. al-A'raf: 59)

Dengan demikian, Al-Qur'an al-Karim telah menjelaskan penyimpangan mereka dari Tuhan yang sesungguhnya.

Jadi, tolak ukur di dalam masalah syirik ialah ketundukan yang disertai dengan keyakinan akan adanya sifat-sifat ketuhanan. Terkadang, kemusyrikan itu sebagai hasil dari keyakinan adanya sifat rububiyyah pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Artinya, seseorang meyakini bahwa sesembahannya memiliki kekuasaan atas urusannya, seperti urusan penciptaan, pemberian rezeki, hidup dan mati. Atau, dia memiliki syafa'at dan ampunan. Dengan demikian, orang yang tunduk kepada sesuatu dengan keyakinan sesuatu itu mempunyai sifat-sifat rububiyyah maka berarti dia telah beribadah kepadanya. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur'an menyeru orang-orang kafir dan orang-orang musyrik untuk menyembah Tuhan yang Mahabenar. Allah SWT ber-firman,

"Padahal al-Masih berkata, 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabb-mu (Tuhanmu) dan Rabbku (Tuhankuku).'" (QS. al-Maidah: 72)

"Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu (Tuhanmu), maka sembahlah Aku." ( QS. al-Anbiya: 92)

Di sana juga terdapat tolak ukur yang ketiga. Yaitu keyakinan bahwa sesuatu itu merdeka di dalam zat dan perbuatannya, dengan tanpa bersandar kepada Allah SWT. Sikap khudhu' yang disertai dengan keyakinan ini terhitung syirik. Jika Anda tunduk di hadapan seorang manusia, dengan keyakinan bahwa dia merdeka di dalam perbuatannya, baik perbuatannya perbuatan yang biasa, seperti berbicara dan bergerak, atau seperti mukjizat yang dilakukan oleh para nabi, maka ketundukan Anda ini masuk ke dalam kategori ibadah. Bahkan, jika seandainya seorang manusia meyakini bahwa tablet obat menyembuhkan penyakit kepala secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka keyakinannya ini terhitung syirik.

Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa tolak ukur ibadah bukanlah semata-mata penampakkan ketundukan dan perendahan diri, melainkan ketundukan dan perendahan diri dengan ucapan maupun perbuatan kepada sesuatu yang diyakini bahwa dia itu ilah, rabb, atau pemilik salah satu dari urusannya secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT.


Apakah Keyakinan Tentang Dimilikinya Kemerdekaan Atau Tidak Dimilikinya Merupakan Tolak ukur Tauhid Dan Syirik?

Saya mengkhususkan tema ini pada pembahasan tersendiri. Karena di dalamnya terdapat point penting yang menjadi pemisah antara tauhid dan syirik, yang luput dari perhatian kalangan Wahabi. Mau tidak mau kita harus mengetahuinya, supaya kita dapat mengetahui bagaimana cara menyikapi cara-cara alami dan sebab-sebab gaib. Orang-orang Wahabi berpendapat bahwa bertawassul kepada sebab-sebab yang alami tidaklah menjadi masalah. Seperti menggunakan sebab-sebab di dalam keadaan-keadaan alami. Akan tetapi, menurut pandangan mereka, bertawassul kepada sebab-sebab gaib, seperti -misalnya— Anda meminta sesuatu kepada seseorang yang Anda tidak akan memperoleh sesuatu itu melalui cara-cara alami, melainkan cara-cara gaib, adalah syirik. Ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal, di mana mereka menjadikan cara-cara materi dan cara-cara gaib sebagai tolak ukur tauhid dan syirik. Sehingga berpegang kepada cara-cara materi berarti tauhid yang sesungguhnya, sementara berpegang kepada cara-cara gaib berarti syirik yang sebenarnya.

Jika kita melihat secara mendalam kepada cara-cara ini, niscaya kita akan menemukan bahwa tolak ukur tauhid dan syirik berada di luar kerangka cara-cara ini. Tolak ukur tersebut semata-mata kembali kepada diri manusia dan kepada bentuk keyakinannya terhadap cara-cara ini. Jika seorang manusia meyakini bahwa sebab-sebab ini mempunyai kemerdekaan yang terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka keyakinannya ini syirik.

Sebagai contoh, seseorang yakin bahwa suatu obat tertentu dapat menyembuhkan sebuah penyakit secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka perbuatan orang ini syirik. Walau bagaimana pun bentuk sebab-sebab tersebut, apakah melalui cara-cara alami atau cara-cara gaib. Yang menjadi dasar dalam masalah ini ialah ada atau tidak adanya keyakinan akan kemerdekaan dari Allah SWT. Jika seseorang meyakini bahwa semua sebab itu tidak merdeka dan tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT, baik di dalam wujudnya maupun di dalam pemberian pengaruhnya, dan bahkan dia itu tidak lebih hanya merupakan makhluk Allah SWT, yang menjalankan perintah dan kehendak-Nya, maka keyakinan orang ini adalah tauhid yang sesungguhnya.

Saya tidak yakin ada seorang Muslim di muka bumi ini yang mempunyai keyakinan bahwa sebab tertentu dapat memberikan pengaruh secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, kita tidak berhak menisbatkan kemusyrikan dan kekufuran kepada mereka. Adapun tawassul mereka kepada para rasul dan para wali, atau tabarruk mereka kepada bekas-bekas peninggalan mereka untuk meminta syafaat atau yang lainnya, tidak termasuk syirik.

Al-Qur'an al-Karim telah berbicara tentang sebab-sebab, di mana dia menisbatkan sebagian sesuatu kepada Allah SWT, dan ada kalanya menisbatkannya kepada yang menjadi sebab-sebabnya secara langsung. Berikut ini saya kemukakan beberapa contoh darinya:

Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah Dia lah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh." Ayat ini menekankan bahwa rezeki berada di tangan Allah SWT.

Jika kita melihat kepada firman Allah SWT yang berbunyi, "Berilah mereka rezeki (belanja) dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. " Di sini kita melihat rezeki dinisbatkan kepada manusia.

Pada ayat yang lain, Allah SWT menyatakan Diri-Nya sebagai penanam yang hakiki. Allah SWT berfirman, "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu tanam? Kamu kah yang menanamnya ataukah Kami yang menanamnya?" (QS. al-Waqi'ah: 63 - 64)

Pada ayat yang lain Allah menisbahkan sifat penanaman tersebut kepada manusia. Allah SWT berfirman, "Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanarnnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir." (QS. al-Fath: 29)

Pada sebuah ayat Allah SWT menjadikan pencabutan nyawa berada di tangan-Nya. Allah SWT berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya."

Sementara pada ayat yang lain Allah SWT menjadikan pencabutan nyawa sebagai perbuatan malaikat. Allah SWT berfirman, "Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, dia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya." (QS. al-An'am: 61)

Pada sebuah ayat Allah menyatakan bahwa syafaat hanya khusus milik Allah SWT. Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.'" (QS. az-Zumar: 44)

Sementara pada ayat yang lain Allah SWT memberitahukan tentang adanya para pemberi syafaat selain Allah. Seperti malaikat, misalnya. Allah SWT berfirman, " Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai-Nya." (QS. an-Najm: 26)

Pada sebuah ayat Allah menyatakan bahwa pengetahuan terhadap hal-hal yang gaib adalah sesuatu yang khusus bagi Allah. Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahuiperkarayang gaibkecuali Allah.'" (QS. an-Naml: 65)

Sementara pada ayat yang lain Allah SWT memilih para rasul di antara hamba-hamba-Nya, untuk diperlihatkan kepada mereka hal-hal yang gaib. Allah SWT berfirman, "Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya." (QS. Ali Imran: 179)

Dan begitu juga ayat-ayat yang lainnya.

Seorang yang melihat ayat-ayat ini secara sekilas, mungkin dia mengira di sana terdapat sebuah pertentangan. Pada kenyataannya, sesungguhnya ayat-ayat di atas menetapkan apa yang telah kita kata-kan. Yaitu bahwa hanya Allah SWT sajalah yang merdeka di dalam melakukan segala sesuatu. Adapun sebab-sebab yang lain, di dalam melakukan perbuatannya mereka bersandar dan berada di bawah naungan kekuasaan Allah SWT. Allah SWT telah meringkas pengertian ini di dalam firman-Nya yang berbunyi, "Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar." (QS. al-Anfal: 17)

Allah menyatakan bahwa Rasulullah saw yang telah melempar — dengan kata-kata "ketika kamu melempar". Namun pada saat yang sama Allah SWT menyatakan dirinya sebagai pelempar yang sesung-guhnya, karena sesungguhnya Rasulullah saw tidak melempar melain-kan dengan kekuatan yang telah Allah berikan kepadanya. Sehingga dengan begitu, Rasulullah saw adalah pelempar ikutan (bittaba').

Kita dapat membagi perbuatan Allah kepada dua bagian:
1. Perbuatan dengan tanpa perantara (kunfayakun).
2. Perbuatan dengan perantara. Seperti Allah menurunkan hujan dengan perantaraan awan, menyembuhkan orang sakit dengan perantaraan obat-obatan, dan lain sebagainya.

Jika seorang manusia bergantung dan bertawassul kepada perantara-perantara ini, dengan keyakinan bahwa perantara-perantara tersebut tidak merdeka dan tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka dia itu seorang muwahhid (orang yang mengesakan Allah), namun jika sebaliknya, maka dia orang musyrik.


Apakah Kemampuan Atau Ketidak-mampuan Merupakan Tolak Ukur Tauhid Dan Syirik?

Kalangan orang-orang Wahabi mempunyai kekeliruan yang lain di dalam masalah tauhid dan syirik, dan ini persis sebagaimana yang lalu. Mereka menetapkan bahwa salah satu dari tolak ukur tauhid dan syirik ialah adanya kemampuan atau ketidak-mampuan orang yang diminta pertolongan untuk merealisasikan kebutuhan yang diminta. Jika dia mampu maka tidak masalah, namun jika tidak mampu maka itu syirik. Sungguh ini merupakan kebodohan yang sangat.

Masalah ini sama sekali tidak mempunyai pengaruh di dalam masalah tauhid dan syirik, melainkan hanya merupakan pembahasan tentang bermanfaat atau tidak bermanfaatnya permintaan.

Di antara kekerasan hati orang-orang Wahabi ialah, mereka meng-hardik para peziarah Rasulullah saw dengan mengatakan, "Hai musyrik, Rasulullah saw tidak memberikan manfaat sedikit pun kepadamu."

Mereka memang bodoh. Sesungguhnya masalah bermanfaat atau tidak, itu tidak memberikan pengaruh di dalam masalah tauhid dan syirik.

Bukti kebodohan Wahabi yang lainnya ialah, mereka tidak membolehkan bertawassul dan meminta kepada orang yang sudah meninggal dunia.

Ibnul Qayyum —murid Ibnu Taimiyyah— mengatakan, "Salah satu di antara bentuk syirik ialah meminta kebutuhan dari orang yang telah meninggal dunia, serta memohon pertolongan dan menghadap kepada mereka. Inilah asal muasal syirik yang ada di alam ini. Karena sesungguhnya orang yang telah meninggal dunia, telah terputus amal perbuatannya, dan dia tidak memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mendatangkan bahaya dan manfaat bagi dirinya."[395]

Ini termasuk perkataan yang aneh, yang tidak akan keluar kecuali dari orang yang tidak memiliki ilmu dan pemahaman tentang agama. Bagaimana mungkin permintaan sesuatu dari orang yang masih hidup dikatakan tauhid, sementara permintaan sesuatu yang sama dari orang yang telah meninggal dunia dikatakan syirik?! Jelas, perbuatan yang semacam ini keluar dari kerangka pembahasan tauhid dan syirik, dan kita dapat meletakkannya di dalam kerangka pembahasan apakah permintaan ini berguna atau tidak berguna. Dan permintaan yang tidak berguna tidak termasuk syirik.

Sebagaimana yang telah kita utarakan, sesungguhnya yang menjadi tolak ukur dasar di dalam masalah tauhid dan syirik ialah keyakinan. Keyakinan di sini bersifat mutlak. Tidak dikhususkan bagi orang yang hidup atau orang yang mati. Dengan demikian, perkataan Ibnul Qayyim tampak jelas batalnya. Perkataan dia yang berbunyi, "Sesungguhnya orang yang mati telah terputus amal perbuatannya", seandainya benar, itu tidak lebih hanya menetapkan bahwa meminta dari orang yang mati itu tidak berguna, namun tidak menetapkan bahwa perbuatan itu syirik. Adapun perkataannya yang berbunyi, "Orang yang telah mati tidak memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mendatangkan bahaya atau manfaat bagi dirinya", adalah merupakan perkataan yang umum yang mencakup orang yang telah mati maupun orang yang masih hidup. Karena seluruh makhluk, baik yang hidup maupun yang mati, tidak memiliki sedikit pun kekuasaan atas dirinya. Dia hanya memiliki kekuasaan atas dirinya semata-mata dengan izin dan kehendak Allah.

Juga masih banyak kekeliruan-kekeliruan lain yang dimiliki kalangan Wahabi, namun kita tidak dapat mendiskusikan semuanya di sini. Para pembaca yang mulia, Anda dapat menjawab kekeliruan-kekeliruan mereka itu berdasarkan dasar-dasar keterangan di atas.

Setiap Muslim boleh memohon pertolongan dan bertawassul kepada para wali Allah di dalam setiap urusan, baik yang gaib maupun yang materi, dengan menjaga dan memperhatikan syarat-syarat sebagai-mana yang telah dijelaskan.

Allah SWT berfirman, "Sulaimanberkata, 'Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singga-sananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.' Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin berkata, 'Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.' Se-seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab berkata, 'Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.' Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana hu terletak di hadapannya, ia pun berkata, 'lni termasuk kurnia Tuhanku.'" (QS. an-Naml: 38 - 40)

Jika Sulaiman as meminta perkara gaib ini dari para pengikutnya, dan jika seorang laki-laki yang mempunyai sedikit ilmu dari al-Kitab mampu melaksanakan permintaan itu, maka tentu kita boleh meminta kepada orang yang mempunyai seluruh ilmu al-Kitab. Terlebih lagi kepada Rasulullah saw dan Ahlul Baitnya.


Apakah Bertawassul Kepada Para Nabi Dan Orang-Orang Saleh Itu Haram?

Dari pembahasan yang lalu kita telah mengetahui bahwa tawassul dan istighasah (memohon pertolongan), keluar dari kerangka pembahasan tauhid dan syirik. Sekarang, tersisa pembahasan berikutnya, yaitu, apakah perbuatan itu dibolehkan atau diharamkan.

Belum pernah ada seorang pun dari para ulama Islam —baik dahulu maupun sekarang— yang mengatakan haramnya tawassul. Banyak sekali terdapat riwayat yang memperbolehkan perbuatan tawassul. Berikut ini beberapa contoh dari riwayat-riwayat tersebut:

Usman bin Hanif meriwayatkan,

"Seorang laki-laki buta datang ke hadapan Rasulullah saw dan berkata, 'Berdoalah kepada Allah supaya Dia menyembuhkanku.' Rasulullah saw bersabda, 'Jika kamu ingin, niscaya aku berdoa; namun jika kamu mau, kamu dapat sabar, dan itu lebih baik.' Laki-laki buta itu berkata, 'Berdoalah.' Rasulullah saw memerintahkannya untuk berwudu dengan cara yang paling bagus, kemudian salat dua rakaat, lalu berdoa dengan doa sebagai berikut, 'Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan menghadap kepada-Mu, dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. Hai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap Tuhanku dengan perantaraanmu, supaya Dia memenuhi kebutuhanku. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pemberi syafaat bagiku.," Usman bin Hanif berkata, "Demi Allah, belum sempat kami berpisah, dan belum lama kami berbicara, sehingga laki-laki buta itu menemui kami dalam keadaan bisa melihat dan seolah-olah tidak pernah buta sebelumnya."[396]

Syeikh Ja'far Subhani melakukan kajian tentang sanad hadis ini di dalam bukunya yang berjudul Ma'a al-Wahabiyyinfi Khuthathihim wa 'Aqa'idihim. Dia berkata, "Tidak ada keraguan tentang kesahihan sanad hadis ini. Bahkan, pemimpin kalangan Wahabi (yaitu Ibnu Taimiyyah) mengakui kesahihan sanad hadis ini, dengan mengatakan, 'Sesungguhnya yang dimaksud dengan nama Abu Ja'far yang terdapat di dalam sanad hadis ini adalah Abu Ja'far al-Khaththi. Dia seorang yang dapat dipercaya.'

Raffa'i, seorang penulis Wahabi abad ini, yang berusaha mendaifkan hadis-hadis yang khusus berkaitan dengan tawassul, telah berkata tentang hadis ini, Tidak diragukan bahwa hadis ini sahih dan masyhur. Telah terbukti tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa seorang yang buta dapat melihat kembali dengan perantaraan doa Rasulullah saw."[397]

Raffa'i berkata di dalam kitabnya at-Tawashshul, "Hadis ini telah diriwayatkan oleh Nasa'i, Baihaqi, Turmudzi dan Hakim di dalam kitab Mustadraknya. Zaini Dahlan, di dalam kitabnya Khulashah al-Kalam, menyebutkan hadis ini beserta dengan sanad-sanadnya yang sahih, yang kesemuanya berasal dari Bukhari di dalam tarikhnya, serta Ibnu Majah dan Hakim di dalam Mustadrak mereka berdua. Jalaluddin as-Suyuthi juga menyebutkan hadis ini di dalam kitabnya al-Jami'[398]...[399]"

Di sana juga terdapat riwayat-riwayat lain yang banyak sekali, yang tidak akan kita sebutkan, demi ringkasnya pembahasan. Untuk lebih memperdalam, silahkan merujuk kepada hadis bertawassulnya Adam kepada Rasulullah saw. Sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Mustadrak al-Hakim, jilid 2, halaman 15; kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 1, halaman 59; dengan menukil dari Thabrani, Abu Na'im al-Ishfahani. Demikian juga hadis tentang bertawassulnya Rasulullah dengan hak-hak para nabi sebelumnya. Sebagaimana juga Thabrani meriwayatkannya di dalam kitabnya al-Kabir dan al-Awsath. Begitu juga Ibnu Hibban dan al-Hakim, mereka berdua mensahihkannya. Selanjutnya, hadis bertawassul kepada orang-orang yang memohon, yang terdapat di dalam sahih Ibnu Majjah, jilid 1, halaman 261, bab al-Masajid; dan begitu juga di dalam musnad Ahmad, jilid 3, halaman 21. Demikian juga dengan riwayat-riwayat yang lain

Di samping itu, sesuatu yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul ialah, ijmak kaum Muslimin, dan begitu juga sejarah hidup orang-orang yang sejaman dengan Rasulullah saw. Kaum Muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, mereka bertawassul kepada para nabi dan orang-orang saleh. Tidak ada seorang ulama pun yang memprotes dan mengharamkan perbuatan tawassul.

Kita cukupkan sampai di sini pembahasan mengenai seputar keyakinan-keyakinan Wahabi. Diskusi dengan meraka memerlukan waktu yang panjang dan membutuhkan kitab yang tersendiri. Para ulama telah membantah ajaran kalangan Wahabi di dalam berpuluh-puluh kitab dan makalah yang mereka tulis. 'Allamah Muhsin Amin telah membantah keyakinan-keyakinan Wahabi melalui syairnya yang panjang, yang terdiri dari 546 bait. Silahkan Anda rujuk di dalam kitabnya yang berjudul Kasyf al-Irtiyab fi atba 'i Muhammad bin Abdul Wahhab.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sekilas Diskusi Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Diskusi Tentang Tauhid Rububiyyah

Untuk menjelaskan kesalahan yang dilakukan secara sengaja oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan juga menjelaskan kekeliruan yang menimpa banyak para pengikutnya, yang atas dasar itu kemudian mereka mengkafirkan mayoritas kaum Muslimin hingga jaman kita sekarang ini, mau tidak mau kita harus meletakkan pemikiran-pemikirannya di atas meja pembahasan dan pengkajian.

Kita mulai dengan pembahasan tauhid rububiyyah. Menjelaskan kata ar-rabb dengan arti pencipta, sangat jauh dari apa yang dimaksud oleh Al-Qur'an. Arti kata ar-rabb di dalam bahasa dan di dalam Al-Qur'an al-Karim tidak keluar dari arti "orang yang memiliki urusan pengelolaan dan pengaturan". Makna umum ini sejalan dengan ber-bagai macam ekstensi (mishdaq)-nya, seperti pendidikan, perbaikan, kekuasaan, dan kepemilikan. Akan tetapi, kita tidak bisa menerapkan kata ar-rabb kepada arti penciptaan, sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Wahabi. Untuk membuktikan secara jelas kesalahan ini, marilah kita merenungkan ayat-ayat berikut ini, supaya kita dapat menyingkap arti kata ar-rabb yang terdapat di dalam Al-Qur'an,

Allah SWT berfirman, "Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu." (QS. al-Baqarah: 21)

Allah SWT juga berfirman, "Sebenarnya Rabb kamu ialah Rabb langit dan bumi yang telah menciptakannya. " (QS. al-Anbiya: 56)

Jika kata ar-rabb berarti pencipta maka di sana tidak diperlukan penyebutan kata "yang telah menciptakanmu" atau kata "yang telah menciptakannya". Karena jika tidak, maka berarti terjadi pengulangan kata yang tidak perlu. Jika kita meletakkan kata al-khaliq (pencipta) sebagai ganti kata ar-rabb pada kedua ayat di atas, maka tidak lagi diperlukan penyebutan kata "yang telah menciptakanmu" dan kata "yang telah menciptakannya". Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa arti kata ar-rabb adalah pengatur atau pengelola, maka di sana tetap diperlukan penyebutan kata "yang telah menciptakanmu" dan kata "yang telah menciptakannya". Sehingga dengan demikian, makna ayat yang pertama ialah "sesungguhnya Zat yang telah menciptakan-mu adalah pengatur urusanmu", sementara pada ayat yang kedua ialah "sesungguhnya pencipta langit dan bumi adalah penguasa dan pengatur keduanya." Adapun bukti-bukti yang menunjukkan kepada makna ini banyak sekali, namun kita tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskannya secara rinci.

Oleh karena itu, perkataannya yang berbunyi "Adapun tentang tauhid rububiyyah, baik Muslim maupin kafir mengakuinya" adalah perkataan yang tanpa dasar, dan jelas-jelas ditentang oleh nas-nas Al-Qur'an. Allah SWT berfirman, "Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu." (QS. al-An'am: 164)

Ini merupakan perkataan Allah kepada Rasul-Nya, supaya dia menyampaikannya kepada kaumnya. Yaitu artinya, "Apakah engkau memerintahkan aku untuk mengambil Rabb (Tuhan) yang aku akui pengelolaan dan pengaturannya selain Allah, yang tidak ada pengatur selain-Nya; sebagaimana engkau mengambil berhala-berhalamu dan mengakui pengelolaan dan pengaturannya.

Jika orang-orang kafir mengakui bahwa pengelolaan dan pengaturan hanya semata-mata milik Allah, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka ayat ini tidak mempunyai arti sama sekali, sehingga hanya menjadi sesuatu yang sia-sia, na'udzu billah. Karena setiap manusia —berdasakan sangkaan Muhammad bin Abdul Wahhab— baik Muslim maupun kafir, semuanya mentauhidkan Allah di dalam rububiyyah-Nya, maka tentu mereka tidak memerintahkan untuk mengambil Rabb selain Allah. Juga terdapat ayat yang seperti ini yang berkenaan dengan seorang yang beriman dari kalangan keluarga Fir'aun. Allah SWT berfirman, "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia mengatakan, 'Rabbku ialah Allah', padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. " (QS. al-Mukmin: 28)

Demikian juga, berpuluh-puluh ayat lainnya menguatkan bahwa kata ar-rabb bukanlah berarti pencipta, melainkan pengatur, yang di tangannya terletak pengaturan segala sesuatu. Kata ar-rabb dengan arti ini (yaitu pencipta), sebagaimana ditekankan oleh ayat-ayat Al-Qur'an, tidak menjadi kesepakatan di antara anggota manusia. Dan tidaklah Muhammad bin Abdul Wahhab itu melainkan murid dan pengikut Ibnu Taimiyyah. Dia telah menukil pemikiran ini dari Ibnu Taimiyyah dengan tanpa melalui proses pangkajian, sehingga bahaya yang ditimbulkannya atas kaum Muslimin jauh lebih besar. Ibnu Taimiyyah tidak mengeluarkan pemikiran ini dari kerangka ilmiah. Berbeda dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang ditunjang oleh keadaan sehingga bisa melaksanakan pemikiran ini pada tataran praktis dan menerapkannya pada kaum Muslimin. Maka hasil dari semua ini ialah, mereka mengkafirkan kelompok lain selain Wahabi. Supaya lebih jelas, kita akan mengkaji pandangannya mengenai seputar tauhid uluhiyyah.


Diskusi Tentang Tauhid Uluhiyyah.

Yang dimaksud dengan tauhid uluhiyyah oleh kalangan Wahabi ialah bahwa ibadah semata-mata hanya untuk Allah SWT, dan seseorang tidak boleh menyekutukan-Nya dengan yang lainnya di dalam beribadah kepada-Nya. Inilah tauhid yang menjadi tujuan diutusnya para nabi dan para rasul.

Tidak ada keraguan sedikit pun tentang pemahaman ini. Namun, di sana terdapat kekaburan mengenai istilah. Karena, di dalam Al-Qur'an, Allah SWT bukanlah berarti al-ma'bud (yang disembah). Kita dapat menamakan tauhid ini dengan tauhid ibadah. Namun demikian tidak ada masalah dengan istilah jika kita telah sepakat mengenai pemahaman.

Kaum Muslimin sepakat akan wajibnya menjauhkan diri dari ber-ibadah kepada selain Allah SWT, dan hanya semata-mata beribadah kepada-Nya. Namun yang menjadi perselisihan ialah mengenai batasan pengertian ibadah. Dan, ini merupakan sesuatu yang paling penting di dalam bab ini. Karena, inilah yang menjadi tempat tergelincirnya kaki kalangan Wahabi. Jika kita mengatakan bahwa tauhid yang murni ialah kita mempersembahkan ibadah semata-mata kepada Allah SWT, maka yang demikian tidak akan ada artinya jika kita tidak mendefe-nisikan terlebih dahulu pengertian ibadah, sehingga kita mengetahui batasan-batasannya, yang tentunya akan menjadi tolak ukur yang tetap bagi kita untuk membedakan seorang muwahhid dari seorang musyrik. Sebagai contoh, orang yang bertawassul kepada para wali, menziarahi kuburan mereka, dan mengagungkan mereka, apakah termasuk seorang musyrik atau seorang muwahhid? Sebelum kita menjawab, kita harus terlebih dahulu mempunyai ukuran yang dengannya kita dapat menyingkap ekstensi-ekstensi ibadah pada kenyataan di luar.


Diskusi Wahabi Tentang Pengertian Ibadah

Kalangan Wahabi menganggap, bahwa seluruh ketundukan, pe-rendahan diri dan penghormatan adalah ibadah.

Maka, setiap orang yang tunduk atau merendahkan diri kepada sesuatu, dia dianggap sebagai hamba sesuatu tersebut. Barangsiapa yang tunduk dan merendahkan diri kepada salah seorang nabi Allah atau kepada salah seorang wali Allah, dengan bentuk ketundukan yang bagaimana pun, maka dia telah menyembahnya, dan dengan begitu berarti dia telah menyekutukan Allah. Seorang yang menempuh perjalanan yang jauh dengan tujuan untuk menziarahi Rasulullah saw, sehingga dapat mencium dan menyentuh makamnya yang suci, dengan tujuan bertabarruk, maka dia terhitung sebagai orang kafir dan orang musyrik. Demikian juga halnya dengan orang yang mendirikan bangunan di atas kuburan, untuk menghormati dan mengagungkan orang yang dikubur di dalamnya

Muhammad bin Abdul Wahhab berkata pada salah satu risalahnya, "... Barangsiapa yang menginginkan sesuatu dari kuburan, pohon, bintang, para malaikat atau para rasul, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atau menghilangkan bahaya, maka dia telah menjadikannya sebagai Tuhan selain Allah. Berarti dia telah berdusta dengan ucapannya yang berbunyi 'tidak ada Tuhan selain Allah'. Dia harus diminta bertaubat. Jika dia bertaubat, dia dibebaskan; namun jika tidak, maka dia harus dibunuh. Jika orang musyrik ini berkata, 'Saya tidak bermaksud darinya kecuali hanya untuk bertabarruk, dan saya tahu bahwa Allahlah yang memberikan manfaat dan mendatangkan madharat.' Katakanlah kepadanya, 'Sesungguhnya Bani Israil pun tidak menghendaki kecuali apa yang kamu kehendaki. Sebagaimana yang telah Allah SWT beritakan tentang mereka. Yaitu manakala mereka telah berhasil menyeberangi laut, mereka mendatangi sebuah kaum yang tengah menyembah berhala mereka. Kemudian Bani Israil berkata, 'Hai Musa, buatkanlah untuk kami seorang Tuhan sebagai-mana Tuhan-Tuhan yang mereka miliki', lantas Musa berkata, 'Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh."'[392]

Muhammad bin Abdul Wahhab juga berkata di dalam risalahnya yang lain, "Barangsiapa yang bertabarruk kepada batu atau kayu, atau menyentuh kuburan atau kubah, dengan tujuan untuk bertabarruk kepada mereka, maka berarti dia telah menjadikan mereka sebagai Tuhan-Tuhan yang lain."[393]

Selanjutnya, cobalah perhatikan seorang Wahabi yang bernama Muhammad Sulthan al-Ma'shumi, bagaimana dia menggambarkan orang-orang Muslim yang mengesakan Allah, yang menziarahi kuburan Rasulullah saw, bertabarruk kepadanya, dan mengatakan "Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya" sebagai berikut, "Pada kunjungan saya yang keempat ke kota Madinah, saya menyaksikan di Mesjid Nabawi di sisi kuburan Rasulullah saw yang mulia, banyak sekali terdapat hal-hal yang bertentangan dengan iman, hal-hal yang menghancurkan Islam dan hal-hal yang membatalkan ibadah, yaitu berupa kemusyrikan-kemusyrikan yang muncul disebabkan sikap berlebihan, kebodohan, taklid buta dan ta'assub yang batil. Sebagian besar yang melakukan kemunkaran-kemunkaran ini adalah orang-orang asing yang berasal dari berbagai penjuru dunia, yang mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat agama. Mereka telah menjadikan kuburan Rasulullah saw sebagai berhala, disebabkan cinta yang berlebihan, sementara mereka tidak merasa."[394]

Supaya kebodohan yang telah dilakukan oleh kelompok Wahabi menjadi jelas bagi kita, mau tidak mau kita harus mematahkan dan membatalkan kaidah yang mereka jadikan sebagai ukuran di dalam menentukan dan menetapkan ibadah, yaitu ketundukkan, perendahan diri dan penghormatan.

Baik menurut syariat maupun akal, kita tidak dapat meletakkan secara keseluruhan kata khudhu' (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan diri) sebagai ibadah. Kita melihat banyak sekali perbuatan yang dilakukan oleh manusia di dalam kehidupan sehari-harinya ynag disertai dengan ketundukkan dan perendahan diri. Sebagai contoh —misalnya— ketundukkan seorang murid kepada gurunya dan begitu juga ketundukkan seorang prajurit di hadapan komandannya. Tidak mungkin ada seorang manusia yang berani mengatakan perbuatan yang mereka lakukan itu ibadah. Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menampakkan ketundukkan dan perendahan diri kepada kedua orang tua. Allah SWT berfirman, "Dan turunkanlah sayapmu (rendahkanlah dirimu) di hadapan mereka berdua dengan penuh kasih sayang." Kata "penurunan sayap" di sini adalah merupakan kiasan dari ketundukkan yang sangat. Kita tidak mungkin menyebut perbuatan ini sebagai ibadah. Bahkan, slogan seorang Muslim ialah "tunduk dan merendahkan diri di hadapan seorang Mukmin, serta congkak dan meninggikan diri di hadapan orang kafir". Allah SWT berfirman, "Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir. "

Jika perendahan diri dikatakan sebagai ibadah, berarti Allah telah memerintahkan orang-orang Mukmin untuk beribadah kepada satu sama lainnya. Jelas, ini sesuatu yang mustahil.

Banyak sekali terdapat ayat yang dengan jelas berbicara tentang hal ini, dan menafikan sama sekali klaim yang dikatakan oleh orang-orang Wahabi. Di antaranya ialah, ayat yang menceritakan sujudnya para malaikat kepada Adam. Sujud adalah merupakan peringkat tertinggi dari khudhu' (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan diri).

Allah SWT berfirman, "Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlahkamu kepada Adam.'" (QS. al-Baqarah: 34)

Jika sujud kepada selain Allah SWT dan penampakkan puncak ketundukkan dan perendahan diri itu disebut ibadah, sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan Wahabi, maka tentu para malaikat — na'udzu billah— telah musyrik dan telah kafir. Tidakkah mereka mentadabburi Al-Qur'an? Atau, apakah pada hati mereka terdapat kunci yang menutup?

Dari ayat ini kita dapat mengetahui bahwa puncak dari ketundukkan bukanlah ibadah. Di samping itu, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kata "sujud" di dalam ayat ini bukanlah berarti makna hakiki, atau yang dimaksud dengan sujud kepada Adam ialah menjadikannya sebagai kiblat —sebagaimana kaum Muslimin menjadikan Ka'bah sebagai kiblat mereka. Kedua kemungkinan ini adalah kemungkinan yang batil. Karena, pengertian sujud yang tampak dari ayat ini ialah bentuk sujud sebagaimana yang sudah banyak diketahui, serta tidak bisa dipalingkan kepada makna yang lain. Adapun mengartikannya dengan mengatakan menjadikan Adam sebagai kiblat adalah merupakan sebuah takwil yang tanpa dasar. Karena, sekiranya arti sujud kepada Adam adalah berarti menjadikan Adam sebagai kiblat, maka tidak ada alasan bagi Iblis untuk mengajukan protes. Disebabkan sujud tidak ditujukan kepada Adam dalam arti yang sesungguhnya. Al-Qur'an al-Karim telah mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan kemungkinan di atas. Yaitu melalui perkataan Iblis yang berbunyi, "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?" (QS. al-Isra: 61)

Yang Iblis pahami dari perintah Allah SWT ialah sujud kepada diri Adam itu sendiri. Oleh karena itu, dia protes dengan mengatakan, "Saya lebih baik darinya." Dengan kata lain dia mengatakan, "Saya lebih utama darinya. Bagaimana mungkin seorang yang lebih utama harus sujud kepada orang yang tidak lebih utama." Jika yang dimaksud dengan sujud di sini ialah menjadikan Adam sebagai kiblat, maka tidaklah harus berarti bahwa kiblat lebih utama dari orang yang sujud. Dengan begitu, berarti Adam tidak mempunyai keutamaan atas mereka. Ini jelas bertentangan dengan zahir ayat. Perkataan Iblis menguatkan pengertian ini. Iblis berkata, "Iblis berkata, 'Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?' Iblis berkata, 'Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil'" (QS. al-Isra: 61 - 62)

Keengganan Iblis untuk sujud kepada Adam adalah dikarenakan pada sujud tersebut terdapat kedudukan dan keutamaan yang besar bagi Adam. Pada suatu hari seorang Wahabi —yaitu pemimpin jamaah Ansharus Sunnah di kota Barbar, kawasan utara Sudan— pernah memprotes saya berkenaan dengan pembahasan ini. Dia mengatakan, "Sesungguhnya sujudnya malaikat kepada Adam adalah dikarenakan perintah Allah SWT." Dia menyangka dengan perkataannya itu dapat membungkam saya dan menghancurkan argumentasi saya. Saya katakan kepadanya, "Jika demikian, berarti Anda tetap bersikeras bahwa perbuatan ini —yaitu sujud— termasuk kategori syirik, namun Allah SWTmemerintahkannya."

Dia menjawab, "Ya."

Saya bertanya kepadanya, "Apakah perintah Ilahi ini telah menge-luarkan sujudnya malaikat kepada Adam dari katagori syirik?"

Dia menjawab, "Ya."

Saya berkata, "Ini perkataan yang tidak berdasar, yang tidak akan diterima oleh orang yang bodoh sekali pun, apalagi oleh orang yang berilmu. Karena, perintah Ilahi tidak dapat mengubah esensi sesuatu. Sebagai contoh, esensi dari celaan dan caci maki ialah penghinaan. Jika Allah SWT memerintahkan kita untuk mencaci Fir'aun, lantas apakah perintah Ilahi ini dapat mengubah esensi celaan, sehingga dengan demikian celaan kita menjadi pujian dan penghormatan bagi Fir'aun?

Demikian juga, seandainya Allah SWT melarang kita untuk menjamu seorang tamu tertentu, maka pelarangan ini tidak merubah esensi penjamuan, yaitu berupa penghormatan dan pemuliaan, sehingga —misalnya— penjamuan itu menjadi penghinaan bagi tamu, dan demikian juga sujud yang dikarenakan perintah Allah berubah menjadi tauhid yang murni. Tidak, yang demikian ini mustahil. Dengan perkataan ini berarti Anda telah menuduh para malaikat telah berbuat syirik."

Mulailah tampak keheranan di wajahnya. Dia diam dan tidak bicara.

Saya memutus diamnya dengan mengatakan, "Di hadapan Anda ada dua kemungkinan. Yaitu apakah sujud ini keluar dari katagori ibadah, dan ini adalah apa yang kami katakan. Atau, apakah sujud ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang paling jelas, sehingga dengan demikian berarti malaikat yang sujud telah berbuat syirik, namun perbuatan syirik yang telah diizinkan dan diperintahkan oleh Allah SWT. Perkataan kedua ini adalah perkataan yang tidak mungkin dikatakan oleh seorang Muslirayang berakal, dan jelas-jelas tertolak berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi, "Katakanlah, 'Sesungguhnya Allah tidak menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji.' Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?'" (QS. al-A'raf: 28)

Sekiranya sujud itu ibadah dan perbuatan syirik, tentu Allah SWT tidak akan menyuruhnya.

Al-Qur'an al-Karim juga telah memberitahukan kita akan sujudnya saudara-saudara Yusuf dan juga ayahnya kepada dirinya. Sujud yang mereka lakukan ini bukan dikarenakan perintah Allah, namun demikian Allah SWT tidak menyebutnya sebagai perbuatan syirik, dan tidak menuduh saudara-saudara Yusuf dan juga ayahnya telah melakukan perbuatan syirik. Allah SWT berfirman, "Dan dia menaikan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan Yusuf berkata, 'Wahai ayahku, inilah tabir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.'" (QS. Yusuf: 100)

Mimpi yang dikatakan Yusuf itu terdapat di dalam surat Yusuf, ayat 4, "Ingatlah ketika Yusufberkata kepada ayahnya, 'Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas buah bintang, matahari dan bulan; aku lihat semuanya sujud kepadaku.''

Allah SWT telah menyebut peristiwa sujudnya mereka kepada Yusuf pada dua tempat. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa semata-mata sujud, yaitu perbuatan yang menampakkan ketundukkan, perendahan diri dan pengagungan, bukanlah ibadah.

Atas dasar ini, kita tidak dapat menamakan seorang Muslim muwahhid yang tunduk dan merendahkan diri di hadapan makam Rasulullah, makam para imam dan makam para wali, sebagai orang musyrik yang menyembah kuburan. Karena, ketundukkan bukanlah berarti ibadah. Jika perbuatan yang semacam ini dikatagorikan sebagai perbuatan ibadah kepada kuburan, maka amal perbuatan kaum Muslimin pada ibadah haji, seperti tawaf mengelilingi Ka'bah, melakukan sa'i di antara shafa dan marwah, dan juga mencium batu hajar aswad, tentu juga termasuk ibadah. Karena dilihat dari bentuk zahir, perbuatan-perbuatan ini tidak berbeda dengan perbuatan mengelilingi kuburan Rasulullah saw, menciumi atau menyentuhnya. Di samping itu, kita mendapati Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah mereka melakukan tawaf mengelilingi rumah yang tua itu (Baitullah)." (QS. al-Hajj: 29)

Allah SWT juga berfirman, "Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i di antara keduanya. " (QS. al-Baqarah: 158)

Apakah Anda memandang bahwa bertawaf mengelilingi batu dan tanah (Ka'bah) merupakan ibadah kepadanya?

Seandainya secara umum ketundukkan dikatakan sebagai ibadah, tentu perbuatan-perbuatan ini pun dikatagorikan sebagai ibadah, dan tidak bisa dirubah esensinya melalui perintah Allah. Karena sebagaimana telah kita jelaskan bahwa perintah Allah tidak dapat mengubah esensi suatu perbuatan. Namun yang menjadi masalah bagi kalangan Wahabi ialah mereka tidak mengetahui defmisi ibadah, dan tidak memahami jiwa dan hakikatnya, sehingga mereka hanya berurusan dengan bentuk lahir saja. ketika mereka melihat seorang peziarah kuburan Rasulullah saw menciumi makam Rasulullah saw, maka dengan serta merta terbayang di dalam benak mereka seorang musyrik yang menciumi berhalanya, lalu dengan segera mereka menyamakan perbuatan seorang Muslim muwahhid yang menciumi kuburan Rasulullah saw dengan perbuatan seorang musyrik yang menciumi berhalanya. Jelas ini sebuah kesalahan. Seandainya semata-mata bentuk luar cukup untuk dijadikan dasar penetapan hukum, maka tentunya mereka pun harus mengkafirkan seluruh orang yang mencium hajar aswad. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Seorang Muslim yang mencium hajar aswad, perbuatannya itu dihitung sebagai tauhid yang murni, sementara seorang kafir yang mencium berhala, perbuat-annya itu dihitung sebagai perbuatan syirik yang nyata.

Apa bedanya?!

Terdapat ukuran lain yang dengannya kita dapat mengetahui ibadah.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sekilas Ibnu Taimiyah (Ahmad bin Abdul Halim)


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Periode Ibnu Taimiyah (Ahmad bin Abdul Halim)

Setelah akidah Asy'ariyyah tersebar luas meliputi sebagian besar negeri Islam, dan menjadi mazhab resmi di dalam bidang akidah bagi mayoritas kaum Muslimin, nama Ahmad bin Hanbal sudah jarang disebut, dan pengaruh akidahnya pun semakin menyusut, hingga kemudian muncul Ibnu Taimiyyah yang lahir pada tahun 661 Hijrah di dalam rumah seorang tokoh Hanbali, di salah satu benteng terpenting kelompok Hanbali di kota Haran. Ibnu Taimiyyah tumbuh di dalam lingkungan keluarga ini, dan belajar kepada ayahnya, yang telah memperuntukkan kursi untuknya di Damaskus setelah kepindahannya ke sana. Ibnu Taimiyyah juga belajar kepada orang lain dalam bidang ilmu hadis, ilmu rijal al-hadis, ilmu bahasa, tafsir, fikih dan ushul. Setelah ayahnya meninggal dunia, Ibnu Taimiyyah memimpin majlis pelajaran yang ditinggalkan ayahnya. Ini merupakan kesempatan baginya untuk mengembalikan kemuliaan ajaran keyakinan Hanbali. Dia memanfaatkan mimbar yang ada untuk berbicara mengenai sifat-sifat Allah SWT, dengan menyebutkan argumentasi-argumentasi yang memperkuat keyakinan orang-orang yang berpegang kepada paham tajsim. Ini tampak jelas sekali manakala dia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh penduduk Hamah kepadanya tentang ayat-ayat sifat. Seperti firman firman Allah SWT yang berbunyi, "Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas '‘Arsy", seperti firman Allah SWT yang berbunyi, "Kemudian Dia menuju ke langit", dan seperti sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Sesungguhnya hati anak Adam berada di antara dua jari Tuhan Yarig Maha Pemurah". Ibnu Taimiyyah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka melalui risalah yang panjang, yang kemudian dinamakan dengan "keyakinan Hamawiyyah". Di dalam risalahnya itu tersingkap keyakinannya tentang faham tajsim dan tasybih, namun dengan tidak secara terang-terangan, melainkan dengan menggunakan kata-kata yang samar, yamg kalau sekiranya kata-kata itu dihilangkan niscaya akan tampak jelas kenyataan yang sesungguhnya. Risalahnya ini telah menimbulkan kegegeran di kalangan para ulama. Para ulama mengecamnya, dan Ibnu Taimiyyah pun meminta perlindungan kepada penguasa Damaskus yang telah membantunya. Ibnu Katsir menuturkan peristiwa ini, "Telah terjadi malapetaka besar bagi Syeikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah di kota Damaskus. Sekelompok para fukaha bangkit menentangnya, dan hendak menghadirkannya ke majlis hakim Jalaluddin al-Hanafi, namun dia tidak hadir. Maka dia pun dipanggil ke pusat kota untuk ditanyai mengenai keyakinan yang pernah ditanyakan penduduk Hamah kepadanya, yang dinamakan dengan "keyakinan Hamawiyyah". Amir Saifuddin Ja'an berpihak kepada Ibnu Taimiyyah, dan dia mengirim surat untuk meminta orang-orang yang telah menentang Ibnu Taimiyyah. Melihat itu, sebagian besar dari mereka pun bersembunyi. Sultan Saifuddin Ja'an memukuli sekelompok orang yang memprotes akidah yang diajarkan oleh Ibnu Taimiyyah, sehingga sebagian yang lainnya pun menjadi diam."[375]

Para ulama bersikap diam terhadap keyakinan yang menyimpang, dikarenakan kekuatan penguasa mendukung keyakinan yang menyim-pang itu. Dengan begitu, Ibnu Taimiiyah mendapat kesempatan untuk berbicara sesukanya. Seorang saksi mata, yang merupakan seorang pengembara terkenal yang bernama Ibnu Bathuthah, telah menukilkan kepada kita tentang keyakinan Ibnu Taimiyyah mengenai Allah SWT. Dia mengatakan bahwa secara kebetulan dia pernah menghadiri pelajaran Ibnu Taimiyyah di mesjid Umawi. Ibnu Bathuthah berkata, "Ketika itu saya sedang berada di kota Damskus. Maka pada hari Jumat saya pergi untuk menghadiri pelajarannya. Di sana, saya mene-mukan dia tengah berbicara di hadapan manusia di atas mimbar mesjid jami'. Salah satu dari pembicaraannya ialah, 'Sesungguhnya Allah SWT turun ke langit dunia sebagaimana turunnya saya ini', sambil dia memperagakan turun satu tingkat anak tangga dari atas mimbar.

Seorang Fakih Maliki, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Zahra memprotesnya dan mengecam apa yang dikatakannya. Melihat itu, para hadirin berdiri menyerang Fakih Maliki tersebut. Mereka memukulinya dengan tangan dan sendal, sehingga sorbannya jatuh, dan kemudian tampak di atas kepalanya terdapat kain tipis dari sutera. Melihat itu, mereka pun mengecam pakaian yang dipakainya, dan kemudian membawanya ke rumah 'lzzuddin bin Muslim, seorang qadi Hanbali. Lalu qadi itu memerintahkan supaya Fakih Maliki itu dipenjara dan dipukul."[376]

Perkataan Ibnu Taimiiyah ini direkam oleh Ibnu Hajar al-'Asqalani di dalam kitabnya ad-Durar al-Kaminah, jilid 1, hal 154. Dari perkataannya ini tampak sekali kefanatikannya yang sangat terhadap orang-orang yang mengakui sifat-sifat Allah SWT ini, hingga sampai batas dia menyerupakan dirinya dengan Allah SWT. Sungguh ini merupakan kekufuran yang sesungguhnya.

Dia menyembunyikan keyakinan-keyakinannya ini dengan label keyakinan salaf. Dia membuat kebohongan atas salaf dan berlindung kepada mereka, dengan tujuan untuk menyembunyikan kejelekan-kejelekan keyakinannya. Padahal, dia tahu bahwa hal yang seperti itu pun telah pernah dilakukan oleh orang-orang Hanbali. Mereka berusaha mengenakan pakaian salaf ke atas keyakinan-keyakinan mereka. Namun itu semua tidak mendatangkan manfaat yang banyak, dikarenakan banyaknya mazhab keyakinan, baik yang datang sebelum maupun sesudah Ahmad bin Hanbal. Perselisihan ini membuktikan tidak adanya kesatuan kaum Muslimin di dalam sebuah keyakinan yang sama. Masing-masing dari mazhab tersebut mengklaim merekalah yang mempunyai hubungan dengan Laila, padahal Laila tidak mengakui itu.

Syahrestani membantah pengakuan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa mazhabnya adalah mazhab salaf di dalam kitabnya al-Milal wa an-Nihal, "Sekelompok orang-orang terkemudian bersikap berlebihan atas apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf. Mereka mengatakan, 'Ayat-ayat ini mau tidak mau harus diterapkan pada makna zhahirnya', sehingga mereka pun jatuh ke dalam paham tasybih semata. Yang demikian itu jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh kalangan salaf. Paham tasybih hanya ada pada orang-orang Yahudi, namun tidak pada seluruh mereka,"[377]

Ibnu Taimiyyah telah menipu masyarakat umum dengan generalisasi yang dia lakukan. Sebagai contoh, dia mengatakan, "Adapun yang saya katakan dan tulis sekarang, meskipun saya belum pernah me-nuliskannya pada jawaban-jawaban saya yang telah lalu, namun saya sudah sering mengatakan di majlis-majlis, 'Sesungguhnya berkenaan dengan seluruh ayat sifat yang terdapat di dalam Al-Qur'an, tidak terdapat perselisihan di kalangan para sahabat di dalam pentakwilannya. Saya telah membaca berbagai tafsir yang ternukil dari para sahabat, begitu juga hadis-hadis yang mereka riwayatkan, dan saya juga telah menelaah banyak sekali kitab-kitab, baik yang besar maupun yang kecil, yang jumlahnya lebih dari seratus kitab tafsir, namun saya belum menemukan seorang pun dari para sahabat, hingga saat ini, yang mentakwil ayat-ayat sifat atau hadis-hadis sifat dengan sesuatu yang bertentangan dengan pengertiannya yang sudah dikenal."[378]

Dengan cara inilah masyarakat umum membenarkan perkataannya. Namun, dengan sedikit saja kita merujuk kepada kitab-kitab tafsir ma 'tsurah niscaya akan tampak bagi kita kebohongan Ibnu Taimiyyah. Apakah itu di dalam ketidak-merujukkannya kepada kitab-kitab tafsir, atau di dalam pengklaimannya akan tidak adanya takwil dari para sahabat berkenaan dengan ayat-ayat sifat. Saya kemukakan beberapa contoh berikut ini:

Jika kita merujuk ke dalam kitab tafsir ath-Thabari, yang oleh Ibnu Taimiyyah digambarkan sebagai berikut, "Di dalamnya tidak terdapat bid'ah, dan tidak meriwayatkan dari orang-orang yang menjadi tertuduh."[379]

Ketika kita merujuk kepada ayat kursi, yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap termasuk salah satu ayat sifat yang terbesar, sebagaimana yang dia katakan di dalam kitab al-Fatawa al-Kabirah, jilid 6, hal 322, Thabari mengemukakan dua riwayat yang bersanad kepada Ibnu Abbas, berkenaan dengan penafsiran firman Allah SWT yang berbunyi, "Kursi Allah meliputi langit dan bumi. "

Thabari berkata, "Para ahli takwil berselisih pendapat tentang arti kursi. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ilmu Allah. Orang yang berpendapat demikian bersandar kepada Ibnu Abbas yang mengatakan, 'Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.'

Adapun riwayat lainnya yang juga bersandar kepada Ibnu Abbas mengatakan, 'Kursi-Nya adalah ilmu-Nya. Bukankah kita melihat di dalam firman-Nya, 'Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. '"[380]

Perhatikanlah, betapa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah tidak lain kebohongan yang nyata. Dia mengatakan, "Kalangan salaf tidak berbeda pendapat sedikit pun di dalam masalah sifat", padahal Thabari mengatakan, "Para ahli takwil berbeda pendapat". Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, "Saya tidak menemukan hingga saat sekarang ini seorang sahabat yang mentakwil sedikit saja ayat-ayat sifat", disertai dengan pengakuannya bahwa dia telah merujuk seratus kitab tafsir, padahal Thabari menyebutkan dua riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas.

Berikut ini contoh yang kedua, yang masih berasal dari kitab tafsir Thabari. Pada saat menafsirkan firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar", Thabari berkata,

"Para pengkaji berbeda pendapat tentang makna firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.' Sebagian mereka berpendapat, 'Artinya ialah, 'Dan Dia Mahatinggi dari padanan dan bandingan.' Mereka menolak bahwa maknanya ialah 'Dia Mahatinggi dari segi tempat.' Mereka mengatakan, Tidaklah boleh Dia tidak ada di suatu tempat. Maknanya bukanlah Dia tinggi dari segi tempat. Karena yang demikian berarti menyifati Allah SWT ada di sebuah tempat dan tidak ada di tempat yang lain.'"[381]

Demikianlah pendapat kalangan salaf. Sedangkan Ibnu Taimiyyah telah memilih jalan yang lain bagi dirinya, namun kemudian dia tidak menemukan orang yang mendukung jalannya, maka dia pun menisbahkan jalannya kepada salaf. Padahal kita melihat kalangan salaf tidak mempercayai keyakinan tempat bagi Allah SWT, sementara Ibnu Taimiyyah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi untuk membuktikan keyakinan tempat bagi Allah SWT, di dalam risalah yang ditujukannya bagi penduduk kota Hamah. Bahkan, tatkala dia sampai kepada firman Allah SWT yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah SWT bersemayam di atas '‘Arsy", dia mengatakan, "Sesung-guhnya Dia berada di atas langit."[382] Yang dia maksud adalah tempat.

Adapun di dalam kitab tafsir Ibnu 'Athiyyah, yang oleh Ibnu Taimiyyah dianggap sebagai kitab tafsir yang paling dapat dipercaya, disebutkan beberapa riwayat Ibnu Abbas yang telah disebutkan oleh Thabari di dalam kitab tafsirnya. Kemudian, Ibnu 'Athiyyah memberi-kan komentar tentang beberapa riwayat yang disebutkan oleh Thabari, yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Taimiyyah, "Ini adalah perkataan-perkataan bodoh dari kalangan orang-orang yang mempercayai tajsim. Wajib hukumnya untuk tidak menceritakannya."[383]

Berikut ini adalah bukti lainnya berkenaan dengan penafsiran firman Allah SWT yang berbunyi, "Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya" (QS. al-Qashash: 88), dan juga firman Allah SWT yang ber-bunyi, "Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu, yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan" (QS. ar-Rahman: 27), di mana dengan perantaraan kedua ayat ini Ibnu Taimiyyah menetapkan wajah Allah SWT dalam arti yang sesungguhnya.

Thabari berkata, "Mereka berselisih tentang makna firman-Nya, 'kecuali wajah-Nya."' Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah, segala sesuatu pasti binasa kecuali Dia. Sementara sebaaian lain berkata bahwa maknanya ialah, kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dan mereka mengutip sebuah syair untuk mendukung takwil mereka,

"Saya memohon ampun kepada Allah dari dosa yang saya tidak mampu menghitungnya

Tuhan, yang kepada-Nya lah wajah dan amal dihadapkan.""[384]

Al-Baghawai berkata, "Yang dimaksud dengan 'kecuali wajah-Nya' ialah 'kecuali Dia'. Ada juga yang mengatakan, 'kecuali kekuasaan-Nya'."

Abul 'lyalah berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehandaki wajah-Nya'."[385]

Di dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, dari Ibnu Abbas yang berkata, "Artinya ialah 'kecuali yang dikehendaki wajah-Nya'."

Dari Mujahid yang berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehendaki wajahnya.'"

Dari Sufyan yang berkata, "Yang dimaksud ialah 'kecuali yang dikehendaki wajah-Nya, dari amal perbuatan yang saleh'."

Inilah pendapat kalangan salaf yang sesungguhnya. Lantas, atas dasar apa Ibnu Taimiyyah mengatakan tentang keyakinannya, "Ini adalah keyakinan kalangan salaf."

Jangan Anda katakan kepadanya kecuali firman Allah SWT yang berbunyi,

"Mengapa Anda mencampur-adukkan yang hak dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal Anda mengetahui?" (QS. Ali 'lmran: 71)

"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh orang-orang yang melaknati. " (QS. al-Baqarah: 159)

Oleh karena itu, para ulama semasanya tidak tinggal diam atas perkataan-perkataannya. Mereka memberi fatwa tentangnya dan memerintahkan manusia untuk menjauhinya. Hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah dipenjara, dilarang menulis di dalam penjara, dan kemudian meninggal dunia di dalam penjara di kota Damaskus, dikarenakan keyakinan-keyakinan sesatnya dan pikiran-pikiran ganjilnya. Banyak dari kalangan para ulama dan huffadz yang telah menulis kitab untuk membantah keyakinan-keyakinannya. Adz-Dzahabi telah menulis surat kepadanya, yang berisi kecaman terhadapnya atas keyakinan-keyakinan yang dibawanya. Surat adz-Dzahabi tersebut cukup panjang, dan kita cukup mengutip beberapa penggalan saja darinya. 'Allamah al-Amini telah menukil surat adz-Dzahabi ini secara lengkap di dalam kitab al-Ghadir, jilid 7, hal 528, yang dia nukil dari kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil, karya al-Kautsari, halaman 190.

Salah satu penggalan dari surat adz-Dzahabi tersebut ialah,

"Betapa meruginya orang yang mengikutimu. Karena mereka dihadapkan kepada kekufuran. Terlebih lagi jika mereka orang yang sedikit ilmunya dan tipis agamanya, serta mengikuti hawa nafsunya. Mereka mendatangkan manfaat bagimu dan membelamu dengan tangan dan lidah mereka. Padahal, sesungguhnya mereka itu adalah musuhmu dengan keadaan dan hati mereka.

Tidaklah mayoritas orang yang mengikutimu melainkan orang yang kurang akalnya, pendusta yang bodoh, orang asing yang kuat makarnya, atau orang jahat yang tidak memiliki pemahaman. Jika kamu tidak percaya apa yang aku katakan, silahkan periksa dan timbang mereka..."

Di dalam kitab ad-Durar al-Kaminah, karya Ibnu Hajar al-'Asqalani, jilid 1, halaman 141 disebutkan, "Dari sana sini orang menolaknya. Tidaklah kebohongan dan pikiran-pikiran ganjil yang diciptakan oleh tangannya yang berlumuran dosa itu berasal dari Al-Qur'an, sunah, ijmak dan qiyas. Dan di kota Damaskus diumumkan, 'Barangsiapa yang berpegang kepada akidah Ibnu Taimiyyah, darah dan hartanya halal.'"

Al-Hafidz Abdul Kafi as-Subki telah berkata tentangnya. Dia juga telah menulis sebuah kitab yang membantah keyakinan-keyakinan Ibnu Taimiyyah, yang diberinya judul Syifa al-Asqamfi Ziyarah Khair al-Anam 'alaihi ash-Shalah wa as-Salam.

Al-Hafidz Abdul Kafi as-Subki telah berkata di dalam pengantar kitabnya, yang berjudul ad-Durrah al-Mudhi'ahfi ar-Radd 'ala Ibnu Taimiyyah, "Manakala Ibnu Taimiyyah membuat sesuatu yang baru di dalam bidang dasar-dasar keyakinan (ushul al-'aqa'id), dan merusak pilar-pilar Islam, setelah sebelumnya dia bersembunyi dengan slogan mengikuti Al-Qur'an dan sunah, menampakkan diri sebagai penyeru kepada kebenaran, dan petunjuk kepada jalan surga, maka dia telah keluar dari mengikuti Al-Qur'an dan sunah kepada membuat bid'ah, menyimpang dari jamaah kaum Muslimin dengan meyalahi ijmak, dan mengatakan sesuatu yang menuntut timbulya keyakinan tajsim dan tarkib pada Zat Yang Mahasuci, dan keyakinan yang mengatakan bahwa butuhnya Allah SWT kepada bagian-Nya bukanlah sesuatu yang mustahil."[386]

Berpuluh-puluh ulama telah mengecam dan memprotesnya. Namun kita tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengemukakan dan meneliti perkataan-perkataan mereka satu persatu. Pada kesempatan ini kita cukup mengemukakan apa yang telah dikatakan oleh Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitsami. Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitsami berkata di dalam biografi Ibnu Taimiyyah, "Ibnu Tamiyyah adalah seorang hamba yang telah dipermalukan oleh Allah, telah disesatkan-Nya, telah dibutakan-Nya, telah dibisukan-Nya dan telah dihinakan-Nya. Oleh karena itu, para imam secara terang-terangan menjelaskan kejelekan-kejelakan keadaannya, dan mendustakan perkataan-perkataannya. Barangsiapa yang ingin mengetahui hal itu, dia harus menelaah Imam al-Mujtahid, yang disepakati keimamahan dan derajat kemujtahidannya, yaitu Abul Hasan as-Subki, dan juga putranya, Syeikh al-Imam al-'Izz bin Jamaah, yang merupakan ahli jamannya. Ibnu Taimiyyah tidak hanya mengecam generasi salaf ter-akhir dari kalangan sufi, melainkan juga mengecam orang seperti Umar bin Khattab ra dan Ali bin Abi Thalib ra. Alhasil, perkataan Ibnu Taimiyyah tidak dapat dijadikan ukuran, melainkan harus dicampak-kan dengan penuh kehinaan. Abul Hasan as-Subki berkata, 'lbnu Tamiyyah adalah pembuat bid'ah, sesat, menyesatkan, dan berlebih-lebihan. Semoga Allah memperlakukannya dengan keadilan-Nya, dan melindungi kita dari jalan, keyakinan dan perbuatan seperti jalan, keyakinan dan perbuatannya. Amin!"'[387]

Kita cukupkan sampai di sini pembahasan tentang Ibnu Taimiyyah. Insya Allah, kita akan mengkaji beberapa pemikirannya berdasarkan analisa ilmiah, dan membantahnya, pada saat kita berbicara tentang faham Wahabi. Karena faham Wahabi adalah merupakan kepanjangan sejarah dari keyakinan-keyakinan Ibnu Taimiyyah, yang pada gilirannya merupakan kepanjangan dari keyakinan-keyakinan Hanbali.

Orang ini amat mahir di dalam mencampur-adukkan antara kebe-naran dengan kebatilan. Oleh karena itu, sebagian kaum Muslimin berbaik sangka kepadanya dan menggelarinya dengan sebutan Syeikh Islam, sehingga dengan demikian namanya menjadi masyhur dan ajarannya menjadi tersebar, padahal itu semua tidak lain hanyalah kebatilan semata.

Amirul Mukminin telah berkata, "Awal mulanya terjadinya fitnah adalah hawa nafsu yang diperturuti, hukum yang dibuat-buat (bid'ah), yang menyalahi Kitab Allah, dan sekelompok orang menguasai sekelompok orang lainnya bukan berdasarkan agama Allah. Sekiranya kebatilan murni dan tidak bercampur dengan kebenaran, niscaya ia tak akan tersembunyi dari orang-orang yang mencarinya. Dan, apabila kebenaran murni dan tidak bercampur dengan kebatilan, niscaya terputuslah lidah para penentang. Namun, yang dilakukan oleh mereka ialah mengambil sedikit dari sini dan sedikit dari sana, dan kemudian mencampur-adukkannya. Maka di sanalah setan menguasai teman temannya, dan terbebaslah orang-orang yang sebelumnya telah men-dapatkan kebajikan dari kami." (Nahj al-Balaghah, khutbah 50)


Periode Muhammad bin Abdul Wahhab

Muhammad bin Abdul Wahhab bangkit menjadi pembaharu bagi akidah Hanbali, setelah hati dan pikirannya disirami pemikiran-pemikkan Ibnu Taimiyyah. Dia mengumumkan gerakannya di kota Najd, dan pergerakannya dimulai di suatu kawasan yang banyak dipenuhi dengan berbagai macam kezaliman, pembunuhan dan penganiayaan. Pada masanya lah keyakinan Hanbali yang kaku, untuk pertama kali di dalam sejarahnya mencapai kemuliaan dan kebesarannya, dan memasuki tataran penerapan pada kenyataan di luar, setelah pada dua periode sebelumnya tidak memperoleh keberhasilan yang besar. Adapun yang menjadi sebabnya ialah karena kelompok Asy'ariyyah secara langsung memonopoli bidang keyakinan sepeninggal Ahmad bin Hanbal. Adapun pada periode kedua, Ibnu Taimiyyah kehilangan lahan yang cukup untuk memenangkan dakwahnya. Karena dia menyebarkan ajar-annya di kalangan orang-orang yang berilmu, yang mana di antara mereka terdapat para ulama besar dan para fukaha. Mereka memadamkan hinggar bingar ajarannya melalui dalil dan argumentasi, sehingga bangkitlah di hadapannya satu gerakan yang memadamkan dakwahnya dan menghancurkan tipu dayanya. Sementara penguasa —pada saat itu—juga membantu para ulama di dalam berkonfrontasi dengannya. Sehingga dengan demikian, benih kerusakan tidak memperoleh tempat selain tersembunyi di antara kitab-kitab, atau menang di hati-hati yang berpenyakit.[388]

Sebaliknya bagi Muhamad bin Abdul Wahhab, situasi dan kondisi amat mendukung baginya untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya yang beracun ke tengah ummat. Karena kebodohan dan kebuta-hurufan menghinggapi seluruh kawasan Najd kala itu. Di samping itu, penguasa Ali Su'ud (keluarga Su'ud) membantu penyebaran dakwahnya dengan pedang. Dengan faktor-faktor inilah mereka memaksa manusia untuk berpegang kepada ajaran Wahabi, dan jika tidak, mereka akan mencapnya dengan label kufur dan syirik, serta menghalalkan harta dan darahnya. Mereka melakukan pembenaran atas tindakannya itu melalui sejumlah keyakinan rusak, dengan label "tauhid yang benar". Muhammad bin Abdul Wahhab memulai pembicaraannya tentang tauhid sebagai berikut:

"Tauhid ada dua macam: Tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah. Adapun mengenai tauhid rububiyyah, baik orang Muslim maupun orang kafir mengakui itu. Adapun tauhid uluhiyyah, dialah yang menjadi pembeda antara kekufuran dan Islam. Hendaknya setiap Muslim dapat membedakan antara kedua jenis tauhid ini, dan mengetahui bahwa orang-orang kafir tidak mengingkari Allah SWT sebagai Pencipta, Pemberi rezeki dan Pengatur. Allah SWT berfirman,

'Katakanlah, 'Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka katakanlah, 'Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?' (QS. Yunus: 31)

'Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, 'Siapakah yang menjadikan langit dan buini dan menundukkan matahari dan bulan? 'Tentu mereka akan menjawab, 'Allah', maka betapakah mereka dapat dipalingkan (dari jalan yang benar).' (QS. al-'Ankabut: 61)

Jika telah terbukti bagi Anda bahwa orang-orang kafir mengakui yang demikian, niscaya Anda mengetahui bahwa perkataan Anda yang mengatakan "Sesungguhnya tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang memberi rezeki kecuali Allah, serta tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah", tidaklah menjadikan diri anda seorang Muslim sampai Anda mengatakan, 'Tidak ada Tuhan selain Allah' dengan disertai melaksanakan artinya."[389]

Dengan pemahaman yang sederhana ini, yang tidak timbul melainkan dari kebodohan akan hikmah dan ayat-ayat Allah SWT, dia mengkafirkan seluruh masyarakat dengan mengatakan, "Sesungguh-nya orang-orang musyrik jaman kita —yaitu orang-orang Muslim— lebih keras kemusyrikannya dibandingkan orang-orang musyrik yang pertama. Karena, orang-orang musyrik jaman dahulu, mereka hanya menyekutukan Allah di saat lapang, sementara di saat genting mereka mentauhidkan-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi, 'Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)."'[390]

Setiap orang yang bertawassul kepada Rasulullah saw dan para Ahlul Baitnya, atau menziarahi kuburan mereka, maka dia itu kafir dan musyrik; dan bahkan kemusyrikannya jauh lebih besar daripada kemusyrikan para penyembah Lata, 'Uzza, Mana dan Hubal. Di bawah naungan keyakinan inilah mereka membunuh orang-orang Muslim yang tidak berdosa dan merampas harta benda mereka. Adapun slogan yang sering mereka kumandangkan ialah,

Masuklah ke dalam ajaran Wahabi. Dan jika tidak, niscaya Anda terbunuh, istri Anda menjadi janda, dan anak Anda menjadi yatim.

Saudaranya yang bernama Sulaiman bin Abdul Wahhab membantahnya di dalam kitabnya yang berjudul ash-Shawa'iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd 'ala al-Wahabiyyah, "Sejak jaman sebelum Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu pada jaman para imam Islam, belum pernah ada yang meriwayatkan bahwa seorang imam kaum Muslimin mengkafirkan mereka, mengatakan mereka murtad dan memerintahkan untuk memerangi mereka. Belum pernah ada seorang pun dari para imam kaum Muslimin yang menamakan negeri kaum Muslimin sebagai negeri syirik dan negeri perang, sebagaimana yang Anda katakan sekarang. Bahkan lebih jauh lagi, Anda mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan perbuatan-perbuatan ini, meskipun dia tidak melakukannya. Kurang lebih telah berjalan delapan ratus tahun atas para imam kaum Muslimin, namun demikian tidak ada seorang pun dari para ulama kaum Muslimin yang meriwayatkan bahwa mereka (para imam kaum Muslimin) mengkafirkan orang Muslim. Demi Allah, keharusan dari perkataan Anda ini ialah Anda mengatakan bahwa seluruh umat setelah jaman Ahmad —semoga rahmat Allah tercurah atasnya— baik para ulamanya, para penguasanya dan masyarakatnya, semua mereka itu kafir dan murtad. —Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un."[391]

Sulaiman bin Abdul Wahhab juga berkata di dalam halaman 4, "Hari ini umat mendapat musibah dengan orang yang menisbahkan dirinya kepada Al-Qur'an dan sunnah, menggali ilmu keduanya, namun tidak mempedulikan orang yang menentangnya. Jika dia diminta untuk memperlihatkan perkataannya kepada ahli ilmu, dia tidak akan me-lakukannya. Bahkan, dia mengharuskan manusia untuk menerima per-kataan dan pemahamannya. Barangsiapa yang menentangnya, maka dalam pandangannya orang itu seorang yang kafir. Demi Allah, pada dirinya tidak ada satu pun sifat seorang ahli ijtihad. Namun demikian, begitu mudahnya perkataannya menipu orang-orang yang bodoh. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Ya Allah, berilah petunjuk orang yang sesat ini, dan kembalikanlah dia kepada kebenaran."

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sekilas Hadis Tajsim


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Contoh-Contoh Hadis Tajsim

Berikut ini beberapa contoh dari riwayat-riwayat tajsim, yang kami pilih dari kitab as-Sunnah, yang telah diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, dan juga dari kitab at-Tauhid, karya Ibnu Khuzaimah.

1. Abdullah bin Ahmad meriwayatkan, disertai dengan menyebut sanad-sanadnya. Dia berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, Tuhan kita telah menertawakan keputus-asaan hamba-hamba-Nya dan kedekatan yang lainnya. Perawi berkata, 'Saya bertanya, 'Ya Rasulallah, apakah Tuhan tertawa?' Rasulullah saw menjawab, 'Ya.' Saya berkata, 'Kita tidak kehilangan Tuhan yang tertawa dalam kebaikan."'[361]

2. Abdullah berkata, "Saya membacakan kepada ayahku. Lalu, dia menyebutkan sanadnya hingga kepada Sa'id bin Jubair yang berkata, 'Sesungguhnya mereka berkata, 'Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu yaqut-Nya. Saya tidak tahu, apakah dia mengatakan merah atau tidak?' Saya berkata kepada Sa'id bin Jubair, lalu dia berkata, 'Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari batu zamrud dan naskah tulisan emas, yang Tuhan menuliskannya dengan tangan-Nya, sehingga para penduduk langit dapat mendengar suara gerak pena-Nya."[362]

3. Abdullah berkata, "Ayahku berkata kepadaku dengan sanad dari Abi 'Ithaq yang berkata, 'Allah menuliskan Taurat bagi Musa dengan tangan-Nya, dalam keadaan menyandarkan punggungnya ke batu, pada lembaran-lembaran yang terbuat dari mutiara. Musa dapat mendengar bunyi suara pena Tuhannya, sementara tidak ada penghalang antara dirinya dengan Tuhannya kecuali sebuah tirai.'"[363]

Apakah Anda dapat memahami sesuatu selain tajsim dan tasybih dari riwayat-riwayat ini? Sungguh dusta orang yang mempercayai hadis-hadis ini namun mengatakan bahwa dirinya tidak membayangkan Tuhannya. Tidak, mereka pasti membayangkannya.

Telah berlangsung sebuah diskusi di antara saudara saya dengan salah seorang tokoh Wahabi, yang merupakan kepanjangandari keyakinan Hanbali. Diskusi mereka mengenai seputar sifat-sifat Allah. Saudara saya mensucikan Allah dari sifat-sifat yang seperti ini, dan dengan berbagai jalan berusaha membuktikan keburukan keyakinan-keyakinan tersebut. Namun, semuanya itu tidak mendatangkan manfaat, hingga akhimya saudara saya mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya,

"Jika memang SWT mempunyai sifat-sifat ini, yaitu Dia mempunyai wajah, mempunyai dua tangan, dua kaki, dua mata, dan sifat-sifat lainnya yang mereka alamatkan kepada Tuhan mereka, apakah tidak mungkin kemudian seorang manusia membayangkan dan mengkhayalkann-Nya? Dan dia pasti akan membayangkan-Nya. Karena jiwa manusia tercipta sedemikian rupa, sehingga dia akan membayangkan sesuatu yang telah diberi sifat-sifat yang seperti ini." Jawaban yang diberikan oleh tokoh Wahabi tersebut benar-benar menjelaskan keyakinannya tentang tajsim. Dia berkata, "Ya, seseorang dapat membayangkan-Nya, namun dia tidak diperkenankan memberitahukannya..!!"

Saudara saya berkata kepadanya, "Apa bedanya antara Anda meletakkan sebuah berhala di hadapan Anda dan kemudin Anda menyembahnya, dengan Anda membayangkan sebuah berhala dan kemudian menyembahnya?"

Tokoh Wahabi itu berkata, "Ini adalah perkataan kelompok Rafidhi —semoga Allah memburukkan mereka. Mereka beriman kepada Allah namun mereka tidak mensifati-Nya dengan sifat-sifat seperti ini. Sehingga dengan demikian, mereka menyembah Tuhan yang tidak ada."

Saudara saya berkata, "Sesungguhnya Allah yang Mahabenar, Dia tidak dapat diliputi oleh akal, tidak dapat digapai oleh penglihatan, tidak dapat ditanya di mana dan bagaimana, serta tidak dapat dikatakan kepada-Nya kenapa dan bagaimana. Karena Dialah yang telah menciptakan di mana dan bagaimana. Segala sesuatu yang tidak dapat Anda bayangkan itulah Allah, dan segala sesuatu yang dapat Anda bayangkan adalah makhluk. Kami telah belajar dari para Imam Ahlul Bait as. Mereka berkata, 'Segala sesuatu yang kamu bayangkan, meski pun dalam bentuk yang paling rumit, dia itu makhluk seperti kamu.' Keseluruhan pengenalan Allah ialah ketidak-mampuan mengenal-Nya."

Tokoh Wahabi itu berkata dengan penuh emosi, "Kami menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya, dan itu cukup."

Kemudian, cobalah lihat bagaimana mereka menetapkan bahwa Allah mempunyai jari, dan mereka juga menetapkan bahwa di antara jari-jari-Nya itu terdapat jari kelingking, serta jari kelingking-Nya mempunyai sendi. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah di dalam kitab at-Tauhid. Ibnu Khuzaimah berkata, dengan bersanad dari Anas bin Malik yang berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Manakala Tuhannya menaiki gunung, Dia mengangkat jari kelingking-Nya, dan mengerutkan sendi jari kelingkingnya iru, sehingga dengan begitu lenyaplah gunung.'"

Humaid bertanya kepadanya, "Apakah kamu akan menyampaikan hadis ini?" Dia menjawab, "Anas menyampaikan hadis ini kepada kami dari Rasulullah, lalu kamu menyuruh kami untuk tidak menyampaikan hadis ini?"[364]

Mereka menetapkan Allah SWT mempunyai tangan, tangan-Nya mempunyai jari, dan di antara jari-Nya itu ialah jari kelingking. Kemu-dian mereka juga mengatakan jari kelingking itu mempunyai sendi...!! Mari kita teruskan, supaya lebih jelas gambaran untuk Anda.

Mereka juga mengatakan Allah SWT mempunyai dua tangan dan dada. Abdullah berkata, "Ayahku berkata kepadaku...lalu dia pun me-nyebutkan sanadnya yang berasal dari Abdullah bin Umar yang berkata, 'Malaikat telah diciptakan dari cahaya dada dan dua tangan (Allah).'"[365]

Abdullah juga berkata, dengan bersanad dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw yang bersabda, "Sesungguhnya kekasaran kulit orang Kafir panjangnya tujuh puluh dua hasta, dengan ukuran panjang tangan Yang Maha Perkasa."[366]

Dari hadis ini dapat dipahami, di samping Tuhan mempunyai dada dan dua tangan, juga kedua tangan Tuhan mempunyai ukuran panjang tertentu. Karena jika tidak, maka tidak mungkin kedua tangan tersebut menjadi ukuran bagi satuan panjang.

Mereka tidak hanya cukup sampai di sini, melainkan mereka juga menjadikan Allah mempunyai kaki.

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dengan bersanad kepada Anas bin Malik yang berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Orang-orang kafir dilemparkan ke dalam neraka. Lalu neraka berkata, 'Apakah masih ada tambahan lagi?', maka Allah pun meletakkankaki-Nya ke dalam neraka, sehingga neraka berkata, 'Cukup, cukup.'"[367]

Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulallah saw yang bersabda, "Neraka tidak menjadi penuh sehingga Allah me-letakkan kaki-Nya ke dalamnya. Lalu, neraka pun berkata, 'Cukup, cukup.' Ketika itu lah neraka menjadi penuh."[368]

Mereka melangkah lebih jauh lagi. Mereka juga menetapkan bahwa Allah SWT mempunyai nafas. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, dengan bersanad kepada Ubay bin Ka'ab yang berkata, "Janganlah kamu melaknat angin, karena sesungguhnya angin berasal dari nafas Tuhan."[369]

Apa yang yang masih tersisa, terutama setelah mereka menetapkan Allah SWT mempunyai wajah. Bagaimana dengan suara-Nya?!

Mereka telah menetapkannya dan bahkan menyerupakannya dengan suara besi. Abdullah bin Ahmad, dengan sanadnya telah berkata, "Jika Allah berkata-kata menyampaikan wahyu, para penduduk langit mendengar suara bising tidak ubahnya suara bising besi di suasana yang hening."[370]

Kemudian, mereka menetapkan bahwa Allah SWT mempunyai bobot. Oleh karena itu, terdengar suara derit kursi ketika Allah sedang mendudukinya. Jika Allah tidak mempunyai bobot, lantas apa arti dari suara derit?

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan, dengan bersanad dari Umar yang berkata, "Jika Allah duduk di atas kursi, akan ter-dengar suara derit tidak ubahnya seperti suara deritnya koper besi."[371] Atau, tidak ubahnya seperti suara kantong pelana unta yang dinaiki oleh penunggang yang berat.

Dia juga berkata, dengan bersanad kepada Abdullah bin Khalifah yang berkata, "Seorang wanita datang kepada Nabi saw lalu berkata, 'Mohonlah kepada Allah supaya Dia memasukkan saya kedalam surga.' Nabi saw berkata, 'Maha Agung Tuhan.' Rasulullah saw kembali berkata, 'Sungguh luas kursi-Nya yang mencakup langit dan bumi. Dia mendudukinya, sehingga tidak ada ruang yang tersisa darinya kecuali hanya seukuran empat jari. Dan sesungguhnya Dia mempunyai suara tidak ubahnya seperti suara derit pelana tatkala dinaiki."'[372]

Sempurna lah bentuk yang jelek ini. Dengan demikian, Allah SWT menjadi seorang manusia, yang mempunyai sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia. Inilah yang tampak dari mereka, meskipun mereka mengingkarinya. Bahkan, mereka mengatakan lebih dari itu.

Di dalam sebuah hadis disebutkan, Allah SWT menciptakan Adam berdasarkan wajah-Nya, setinggi tujuh puluh hasta.

Mereka juga menetapkan bahwa Allah SWT dapat dilihat. Seba-gaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, dengan bersanad kepada Ibnu Abbas yang berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Aku melihat Tuhanku dalam bentuk-Nya yang paling bagus. Lalu Tuhanku berkata, 'Ya Muhammad.' Aku menjawab, 'Aku datang me-menuhi seruan-Mu.' Tuhanku berkata lagi, 'Dalam persoalan apa malaikat tertinggi bertengkar?' Aku menjawab, 'Aku tidak tahu, wahai Tuhanku.' Rasulullah saw melanjutkan sabdanya, 'Kemudian Allah meletakkan tangan-Nya di antara dua pundak aku, sehingga aku dapat merasakan dinginnya tangan-Nya di antara kedua tetekku, maka aku pun mengetahui apa yang ada di antara timur dan barat.'"[373]

Dia juga berkata, sesungguhnya Abdullah bin Umar bin Khattab mengirim surat kepada Abdullah bin Abbas. Abdullah bin Umar bertanya, 'Apakah Muhammad telah melihat Tuhannya?' Maka Abdullah bin Abbas pun mengirim surat jawaban kepadanya. Abdullah bin Abbas menjawab, 'Benar.' Abdullah bin Umar kembali mengirim surat untuk menanyakan bagaimana Rasulullah saw melihat Tuhannya. Abdullah bin Abbas mengirim surat jawaban, 'Rasulullah saw melihat Tuhannya di sebuah taman yang hijau, dengan tanpa permadani dari emas. Dia tengah duduk di atas kursi yang terbuat dari emas, yang diusung empat orang malaikat. Seorang malaikat dalam rupa seorang laki-laki, seorang lagi dalam rupa seekor sapi jantan, seorang lagi dalam rupa seekor burung elang, dan seorang lagi dalam rupa seekor singa.'"[374]

Manakala sebagian kelompok Hanbali melihat buruknya apa yang telah mereka buat, mereka berusaha memberikan pembenaran terhadap hal itu, dan memberikan alasan dengan mengatakan: Tanpa bentuk (bi la kaif).

Abul Hasan al-Asy'ari telah bersandar kepada pembenaran ini. Dia mengatakan di dalam kitabnya al-Ibanah, halaman 18, "Sesungguhnya Allah mempunyai wajah dengan tanpa bentuk (kaif), sebagaimana firman-Nya, 'Dan tetap kekal wajah Tuhanmu, yang mempunyai kebe-saran dan kemuliaan.' Allah SWT juga mempunyai dua tangan dengan tanpa bentuk, sebagaiman firtnan-Nya, 'Aku mencipta dengan tangan-Ku."'

Sungguh benar apa yang dikatakan seorang penyair,

"Mereka telah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya
namun mereka takut akan kecaman manusia
maka oleh karena itu mereka pun menyembunyikannya
dengan mengatakan tanpa bentuk."

Bagi setiap orang yang berakal sehat, pembenaran ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Karena ketidak-tahuan akan bentuk tidak memberikan faidah sedikit pun, dan tidak mendorong kepada arti yang benar. Justru dia lebih dekat kepada kesamaran. Karena, penetapan kata-kata ini kepada makna hakikinya adalah berarti penetapan bentuk itu sendiri bagi kata-kata tersebut. Karena kata-kata berdiri dengan bentuknya itu sendiri, dan penetapan sifat-sifat ini ke dalam artinya sebagaimana yang sudah dikenal adalah berarti tajsim dan tasybih itu sendiri. Adapun alasan yang mereka kemukakan, bahwa itu tanpa bentuk (kaif), tidak lebih hanya merupakan silat lidah saja.

Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang dosen saya di kampus tentang seputar masalah duduknya Allah di atas ‘Arsy. Ketika dia ter-desak dia mengemukakan alasan, "Kami hanya akan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf, 'Arti duduk (al-istiwa) diketahui, bentuk duduk (al-kaif) tidak diketahui, dan pertanyaan tentang-nya adalah bid'ah.'"

Saya katakan kepadanya, "Anda tidak menambahankan apa-apa kecuali kesamaran, dan Anda hanya menafsirkan air dengan air setelah semua usaha ini."

Dia berkata, "Bagaimana mungkin, padahal diskusi demikian serius."

Saya katakan, "Jika arti duduk diketahui, maka tentu bentuknya pun diketahui juga.

Sebaliknya, jika bentuk tidak diketahui, maka duduk pun tidak diketahui, karena tidak terpisah darinya. Pengetahuan tentang "duduk" adalah pengetahuan tentang "bentuk" itu sendiri, dan akal tidak akan memisahkan antara sifat sesuatu dengan bentuknya, karena keduanya adalah satu.

Jika Anda mengatakan si Fulan duduk, maka ilmu Anda tentang duduknya adalah ilmu Anda tentang bentuk (kaifiyyah) duduknya.

Ketika Anda mengatakan, "duduk" diketahui, maka ilmu anda tentang duduk itu adalah ilmu Anda tentang bentuk duduk itu sendiri. Karena jika tidak, maka tentu terdapat pertentangan di dalam perkataan Anda, yang mana pertentangan itu bersifat zat. Ini tidak ada bedanya dengan pernyataan bahwa Anda mengetahui "duduk", namun pada saat yang sama Anda mengatakan bahwa Anda tidak mengetahui bentuknya."

Dia pun terdiam beberapa saat, lalu dengan tergesa-gesa dia meminta ijin untuk pergi.

Semua yang dikatakan mereka tentang tidak adanya kaif (bentuk), namun dengan tetap menerapkan arti hakiki pada kata-kata di atas, tidak lain merupakan dua hal yang saling bertentangan. Sebagaimana mereka mengatakan bahwa Allah SWT mempunyai tangan dalam arti yang sesungguhnya, namun tangan-Nya tidak sebagaimana tangan, adalah sebuah perkataan yang mana bagian akhirnya menyalahi bagian awalnya, dan begitu juga sebaliknya. Karena tangan dalam arti yang sesungguhnya (hakiki), mempunyai bentuk sebagaimana yang telah diketahui. Dan, penafian bentuk darinya adalah berarti membuang hakikatnya.

Jika kata-kata yang kosong ini cukup untuk menetapkan kesucian Allah SWT, maka tentunya kita dapat mengatakan, Allah SWT mempunyai jisim namun tanpa bentuk, Allah mempunyai darah namun tanpa bentuk, Allah mempunyai daging namun tanpa bentuk, dan Allah mempunyai rambut namun tanpa bentuk.

Bahkan, salah seorang dari mereka sampai mengatakan, "Sesungguhnya saya malu untuk menetapkan Allah mempunyai kemaluan dan janggut. Oleh karena itu, maafkanlah saya, dan tanyalah kepada saya selain dari keduanya."

Juga perlu diingat, jangan sampai dari keterangan ini Anda memahami bahwa kita mempercayai takwil di dalam ayat-ayat yang seperti ini. Karena pentakwilan makna zahir Al-Qur'an dan sunnah dengan alasan bahwa makna tersebut bertentangan dengan akal, tidaklah dibolehkan. Karena di dalam Al-Qur'an dan sunnah tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan akal. Adapun apa yang terbersit bahwa makna zahir Al-Qur'an dan hadis bertentangan dengan akal, sebenarnya itu bukanlah makna zahir, melainkan sebuah makna yang mereka bayangkan sebagai makna zahir.

Berkenaan dengan ayat-ayat yang seperti ini, tidak diperlukan adanya takwil. Karena bahasa, di dalam penunjukkan maknanya, terbagi kepada dua bagian:
1. Penunjukkan makna ifradi.
2. Penunjukkan makna tarkibi.

Terkadang, makna ifradi berbeda dari makna tarkibi, jika di sana terdapat petunjuk (qarinah) yang memalingkan makna tarkibi dari makna ifradi. Sebaliknya, makna tarkibi akan sejalan dengan makna ifradi apabila tidak terdapat qarinah (petunjuk) yang memalingkannya dari makna ifradi. Sebagai contoh, tatkala kita menyebutkan kata "singa" —yaitu berupa kata tunggal— maka dengan serta merta ter-bayang di dalam benak kita binatang buas yang hidup di hutan. Makna yang sama pun akan hadir di dalam benak kita manakala kata tersebut disebutkan dalam bentuk susunan kata (tarkibi) yang tidak mengan-dung petunjuk (qarinah) yang memalingkannya dari makna ifradi. Seperti kalimat yang berbunyi, "Saya melihat seekor singa tengah memakan mangsanya di hutan."

Sebaliknya, makna kata singa akan berubah sama sekali apabila di dalam susunan kata (kalimat) kita mengatakan, "Saya melihat singa tengah menyetir mobil."

Maka yang dimaksud dari kata singa yang ada di dalam kalimat ini adalah seorang laki-laki pemberani. Inilah kebiasaan orang Arab di dalam memahami perkataan. Manakala seorang penyair berkata,

"Dia menjadi singa atas saya,
namun di medan perang
dia tidak lebih hanya seekor burung onta yang lari
karena suara terompet perang yang dibunyikan."

Dari syair ini kita dapat mengetahui bahwa kata singa di atas tidak lain adalah seorang laki-laki yang berpura-pura berani di hadapan orang-orang yang lemah, namun kemudian lari sebagai seorang pengecut tatkala berhadapan dengan musuh.

Orang yang mengerti perkataan ini, tidak mungkin akan menamakannya sebagai orang yang mentakwil nas dengan sesuatu yang keluar dari makna zahir perkataan.

Demikian juga halnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang seperti ini. Ketika —misalnya— Allah SWT mengatakan, "Tangan Allah di atas tangan mereka ", maka pengartian tangan di sini sebagai kekuasaan bukanlah suatu bentuk takwil. Hal ini tidak berbeda dengan perkataan yang berbunyi, "Negeri berada di dalam genggaman tangan raja". Yaitu artinya berada di bawah kekuasaan dan kehendak raja. Kata-kata ini tetap sesuai diucapkan meskipun pada kenyataannya raja tersebut buntung tangannya. Demikian juga halnya dengan ayat-ayat lainnya. Kita menetapkan makna tarkibi, yang tampak dari sela-sela konteks kalimat, dan kita tidak terpaku dengan makna kata secara leksikal, dengan tanpa melakukan takwil atau tahrif. Itulah yang di-sebut dengan beramal dengan zahir nas. Namun tentunya, zahir yang tampak dari konteks kalimat. Orang-orang Hanbali, mereka menyesatkan manusia dengan makna zahir fardiyyah, dengan tanpa melihat kepada makna keseluruhan (ijmali tarkibi).

Dengan cara inilah makna zahir Al-Qur'an dan sunah menjadi hujjah, yang tidak seorang pun manusia diperbolehkan berpaling darinya, dan juga mentakwilkannya, setelah sebelumnya memperhatikan dengan seksama qarinah-qarinah (petunjuk-petunjuk) yang menyatu maupun yang terpisah. Adapun orang yang berhujjah dengan makna zahir fardiyyah maka dia telah lalai dan menyimpang dari perkataan orang Arab.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Commet Facebook Umum ABNS

 
Copyright © 2014 AHLUL BAIT NABI SAW Powered By AHLUL BAIT NABI SAW.