BREAKING NEWS

AHLUL BAIT NABI SAW: KESAKSIAN-KESAKSIAN AHLUS SUNNAH, SMS +6281809556588

Minggu, 07 Mei 2017

Para Perawi Hadis Dan Pemalsuan Kebenaran


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Terdapat banyak cara yang dilakukan oleh para penulis hadis untuk memalsukan dan menyelewengkan kebenaran. Keta'assuban tampak jelas terlihat di dalam kitab-kitab mereka. Tatkala terlihat oleh mereka hadis-hadis yang berbicara tentang keutamaan Ali, atau menyingkap kekurangan para khalifah dan sahabat, dengan segera tangan mereka merubah hakikatnya. Berikut ini beberapa contoh dari cara-cara tersebut, hingga peranan yang amat berbahaya yang dilakukan oleh para muhaddis di dalam memalsukan kebenaran.


1. Contoh Pertama:

Manakala Muawiyah hendak mengambil baiat untuk anaknya Yazid, Abdurrahman bin Abu Bakar termasuk salah seorang yang paling keras menentang pembaiatan Yazid. Marwan berpidato di mesjid Rasulullah saw, yang ketika itu dia berkedudukan sebagai gubernur Hijaz yang diangkat oleh Muawiyah. Marwan berkata, "Amirul Mukminin menginginkan keutamaan Anda semua. Dia telah menunjuk anaknya Yazid untuk menjadi khalifah sepeninggalnya." Mendengar itu Abdurrahman bin Abu Bakar berdiri dan berkata, "Demi Allah, engkau telah berdusta, ya Marwan. Dan juga engkau telah berdusta, ya Muawiyah. Keutamaan apa yang engkau inginkan bagi umat Muhammad. Engkau tidak lain ingin menjadikannya menjadi kerajaan, di mana setiap seorang raja mati maka diganti dengan raja yang lain." Marwan berkata, "Inilah orang yang Allah SWT telah turunkan padanya, dan orang yang telah berkata kepada kedua orang tuanya, 'Cis, bagi kamu keduanya.'" Aisyah mendengar perkataan Marwan dari balik tabir. Dia berdiri dari balik tabir dan kemudian berkata, "Hai Marwan, hai Marwan." Maka orang-orang pun diam, dan Marwan menghadapkan wajahnya. Lalu Aisyah berkata, "Engkau katakan kepada Abdurrahman bahwa ayat Al-Qur'an ini turun kepadanya. Engkau dusta. Demi Allah, ayat ini bukan turun padanya, melainkan pada Fulan bin Fulan, namun dia adalah kelompok orang yang dilaknat oleh Allah SWT." Pada riawayat lain disebutkan bahwa Aisyah berkata, "Demi Allah, bukan dia yang dimaksud dalam ayat ini. Akan tetapi Rasulullah saw telah melaknat Bapak Marwan pada saat Marwan masih berada di dalam tulang sulbinya. Maka dengan begitu Marwan termasuk kelompok orang yang dilaknat oleh Allah Azza Wajalla."[124]

Sekarang, coba lihat, bagaimana Bukhari menyelewengkan sesuatu yang memburukkan Muawiyah dan Marwan:

"Marwan berkuasa atas Hijaz. Muawiayah menggunakanya. Marwan berpidato, dan menyebut Yazid bin Muawiyah supaya orang-orang berbaiat kepadanya sepeninggal ayahnya. Kemudian Abdurrahman bin Abu Bakar mengatakan sesuatu, lalu Marwan berkata, 'Tangkap dia', maka Abdurrahman bin Abu Bakar masuk ke rumah Aisyah, sehingga mereka tidak mampu menangkapnya. Marwan ber-kata, 'Orang inilah yang Allah telah turunkan padanya ayat, 'Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, 'Cis, bagi kamu berdua.' Apakah Anda menerima alasan saya?!' Kemudian Aisyah berkata dari balik tabir, 'Allah tidak menurunkan sesuatu dari Al-Qur'an padanya, kecuali Allah menurunkan alasan saya.'"[125]

Bukhari membuang perkataan Abdurrahman dan menggantinya dengan mengatakan "Abdurrahman mengatakan sesuatu", sebagaimana juga dia mengganti perkataan Aisyah. Semua ini dilakukan Bukhari untuk menjaga nama baik Muawiyah dan Marwan. Ibnu Hajar telah menceritakan peristiwa ini secara panjang lebar di dalam kitabnya Fath al-Bari. Perhatikanlah, sampai sejauh mana kelurusan Bukhari di dalam menukil kenyataan.


2. Contoh Kedua.

Bukhari membuang fatwa Umar tentang tidak salat. Muslim meriwayatkan dari Syu'bah yang berkata, "Al-Hakam berkata kepada saya, dari Sa'id bin Abdurrahman, dari ayahnya yang berkata, "Seorang laki-laki mendatangi Umar dan berkata, 'Saya berjunub, namun saya tidak menemukan air.' Umar menjawab, 'Jangan kamu salat.'

Lalu Ammar berkata, 'Apakah kamu ingat, wahai Amirul Mukminin, tatkala kamu dan saya berada di dalam pasukan. Pada saat itu kita berjunub, dan kita tidak menemukan air. Kamu pada saat itu tidak mengerjakan salat, sedangkan saya berguling-guling di atas tanah dan kemudian salat. Kemudian Rasulullah saw berkata, 'Cukup kamu memukulkan kedua telapak tanganmu ke atas tanah, kemudian meniup keduanya, dan lalu mengusapkannya ke wajahmu dan kedua punggung tanganmu.'

Umar berkata, 'Bertakwalah kepada Allah, wahai Ammar.' Ammar berkata, 'Jika kamu tidak ingin, saya tidak akan ceritakan."'[126]

Padahal hadis ini dengan jelas menunjukkan kebodohan Umar akan hukum agama yang paling sederhana dan penting, yang diketahui oleh seluruh kaum Muslimin (yaitu hukum tayammum), dan yang dengan jelas dikatakan oleh Al-Qur'an dan diajarkan oleh Rasulullah saw kepada mereka tentang tata caranya. Namun demikian, Umar memberikan fatwa untuk tidak salat. Yang pertama, ini tidak lain merupakan salah satu indikasi kebodohan Umar, dan menunjukkan bahwa Umar tidak begitu menaruh perhatian kepada salat, dan bahkan me-nunjukkan bahwa Umar tidak mengerjakan salat pada saat dia junub, sebagaimana yang dijelaskan oleh riwayat.

Saya ingat, salah seorang teman saya pernah berdiskusi dengan saya tentang ilmunya Umar. Dia berkata kepada saya, "Sesungguhnya Umar sejalan dengan Al-Qur'an sebelum Al-Qur'an turun."

Saya katakan kepadanya, "Ini hanya cerita yang tidak ada hubungannya dengan kenyataan. Karena bagaimana mungkin Umar sejalan dengan Al-Qur'an sebelum Al-Qur'an diturunkan, padahal dia tidak sejalan dengan Al-Qur'an setelah Al-Qur'an turun tentang masalah tayammum dan penentuan mahar wanita. Hadis ini merupakan guncangan yang paling keras yang saya alami selama saya mengkaji tentang pribadi Umar. Karena hadis ini menyingkap secara sempurna sampai sejauh mana tingkat keilmuan dan keberagamaan Umar. Yang lebih mengherankan saya ialah sikap Umar yang tetap bersikeras dengan kebodohannya setelah diberitahukan oleh Ammar tentang hukum agama mengenai masalah itu.

Kemudian, lihatlah bagaimana Bukhari tidak sampai hati meriwayatkan fatwa Umar ini, yang tidak mungkin ada seorang pun yang memfatwakannya meski orang pasar sekali pun. Bukhari mengeluarkan di dalam kitab sahihnya dengan sanad dan redaksi yang sama, namun dengan membuang fatwanya,

"Seorang laki-laki datang kepada Umar bin Khattab dan berkata, 'Saya berjunub namun saya tidak menemukan air.' Lalu Ammar bin Yasir berkata kepada Umar bin Khattab, 'Apakah kamu ingat, wahai Amirul Mukminin, tatkala kamu dan saya ..."[127]


3. Contoh Ketiga:

Ibnu Hajar mengeluarkan di dalam kitabnya Fath al-Barifi Syarh Shahih al-Bukhari, jilid 17, halaman 31, hadis yang berbunyi, "Seorang laki-laki bertanya kepada Umar tentang firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan buah-buahan serta rumput-rumputan', apakah rumput-rumputan itu?'

Umar menjawab, 'Kita dilarang untuk mendalami dan memberatkan diri.'"

Ibnu Hajar berkata, "Di dalam riwayat lain yang berasal dari Tsabit, dari Anas yang berkata bahwa Umar membaca, 'Dan buah-buahan serta abb (sejenis rerumputan).' Lalu orang bertanya, 'Apa abb itu?' Umar menjawab, 'Kita tidak diperintahkan untuk memberatkan diri', atau 'Kita tidak diperintahkan dengan yang demikian ini.'"

Kemudian, perhatikanlah bagaimana Bukhari mengerahkan segenap usahanya untuk membersihkan Umar dari segala sesuatu yang menempel padanya. Kenapa dia tidak meriwayatkan hadis yang membuktikan kebodohan Umar akan Al-Qur'an ini. Karena masalah yang ditanyakan adalah masalah yang sangat sederhana bagi orang yang mengenal Al-Qur'an dan gaya bahasanya. Argumentasi Umar tentang tidak adanya perintah memberatkan diri bukanlah pada tempatnya, karena masalah ini bukan merupakan sebuah tindakan pemberatan diri. Dan membuat-buat alasan dalam urusan ini adalah lebih buruk dari dosa. Ketika Imam Ali as ditanya dengan pertanyaan yang sama, Imam Ali as menjawab berkenaan dengan ayat yang sama, 'Dan buah-buahan serta abb (sejenis rerumputan), untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu', 'Buah-buahan adalah kesenangan untuk kita sedangkan abb adalah kesenangan untuk binatang-binatang ternak. Abb adalah sejenis rerumputan.'"

Bukhari berkata di dalam kitab sahihnya, dari Tsabit, dari Anas yang mengatakan, "Kami berada di samping Umar, lalu dia berkata, 'Kita dilarang untuk memberatkan diri.'"[128]

Hadis ini dan hadis-hadis lainnya termasuk ke dalam kelompok hadis yang tidak sejalan dengan keyakinan Bukhari. Oleh karena itu, dengan sengaja dia pun menghilangkan sebagian, mengganti atau membuang hadis secara keseluruhan. Persis, sebagaimana yang telah dilakukannya terhadap hadis tsaqalain, "Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku ...", yang mana Muslim dan al-Hakim telah mengeluarkannya sesuai dengan syarat Bukhari. Demikian juga dengan hadis-hadis sahih lainnya yang Bukhari tidak mampu menjelaskan dan menyimpangkannya, maka dia pun tidak memasukkannya ke dalam kitab sahihnya. Inilah yang menjadi sebab dasar kenapa kitab Sahih Bukhari dijadikan sebagai kitab yang paling sahih setelah Kitab Allah oleh para penguasa. Saya tidak tahu ada sebab lain selain sebab ini yang dijadikan dasar pertimbangan ini.


4. Contoh Keempat:

Berikut ini saya ketengahkan kepada Anda suatu peristiwa yang darinya Anda dapat mengetahui dengan jelas sampai sejauh mana Bukhari secara sengaja menyelewengkan fakta dan kebenaran. Para ulama Ahlus Sunnah beserta para huffazhnya, seperti Turmudzi di dalam Sahihnya, al-Hakim di dalam Mustadraknya, Ahmad bin Hanbal di dalam Mustadraknya, Nasa'i di dalam Khasha'ishnya, Thabari di dalam Tafsirnya, Jalaluddin as-Suyuthi di dalam tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, Muttaqi al-Hindi di dalam kitabnya Kanz al-'Ummal, Ibnu Atsk di dalam kitab Tarikhnya, dan banyak lagi yang lainnya, mereka meriwayatkan,

"Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Abu Bakar dan memerintahkannya untuk menyeru dengan kalimat ini, yaitu pengingkaran dari Allah dan Rasul-Nya. Kemudian Rasulullah saw memerintahkan Ali untuk menyusul Abu Bakar dan memerintahkannya untuk menyeru dengan kalimat yang sama. Maka Ali as berdiri pada hari-hari tasyrig dan berseru, 'Sesungguhnya Allah SWT dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Maka berjalanlah selama empat bulan di muka bumi. Dan setelah tahun ini tidak boleh ada orang Musyrik yang berhaji, dan tidak boleh ada orang yang bertawaf dalam keadaan telanjang.' Abu Bakar ra kembali dan berkata, 'Apakah ada ayat yang turun berkenaan denganku?' Rasulullah saw menjawab, 'Tidak. Jibril telah datang kepadaku dan berkata, 'Tidak boleh ada yang menunaikan tugas ini selain kamu atau seorang laki-laki dari kamu.'"

Di sini, Bukhari menghadapi dilema. Riwayat ini bertentangan sama sekali dengan mazhab dan keyakinannya. Riwayat ini menetapkan keutamaan Ali as, dan itu pun keutamaan yang sangat besar, sementara pada saat yang sama riwayat ini merendahkan Abu Bakar, atau setidaknya tidak menetapkan sesuatu apa pun bagi Abu Bakar. Bagaimana caranya dia bisa menyelewengkan riwayat ini bagi kepen-tingan keyakinannya, sehingga dengan begitu dia bisa menetapkan keutamaan bagi Abu Bakar dan tidak sesuatu pun bagi Ali.

Marilah Anda perhatikan, bagaimana dengan kelihaiannya Bukhari dapat keluar dari keadaan yang sulit ini.

Bukhari mengeluarkan di dalam Sahihnya, kitab tafsir al-Qur’an, bab firman Allah SWT "Maka berjalanlah selama empat bulan di muka bumi",

Bukhari berkata, "Humaid bin Abdurrahman telah memberitahukan saya bahwa Abu Hurairah ra telah berkata, 'Abu Bakar mengutus saya pada ibadah haji itu ke dalam kelompok orang yang diutus olehnya pada harian menyembelih kurban di Mina untuk mengumumkan bahwa setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji, dan tidak boleh ada orang yang bertawaf dalam keadaan telanjang.' Humaid bin Abdurrahman menambahkan 'Kemudian Rasulullah saw mengikutkan Ali bin Abi Thalib as dan memerintahkannya untuk mengumumkan bara'ah (pengingkaran terhadap orang musyrik). Lalu Abu Hurairah berkata, 'Maka Ali bin Abi Thalib pun bersama-sama kami mengumumkan bara 'ah kepada orang-orang yang sedang ada di Mina pada harian menyembelih kurban, dan bahwa setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji serta tidak boleh ada orang yang bertawaf dalam keadaan telanjang."'[129]

Saya berikan kesempatan kepada Anda, wahai para pembaca, untuk berkomentar, supaya Anda dapat melihat sendiri kepada penyimpangan dan pemutar-balikkan ini. Bagaimana Bukhari melenyapkan keutamaan yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib as, dan sebagai gantinya dia menetapkan keutamaan bagi Abu Bakar, padahal Allah SWT telah memakzulkannya dengan wahyu yang diturunkan olehNya. Jibril Berkata kepada Rasulullah saw, "Tidak boleh ada yang menunaikan tugas ini kecuali kamu atau seorang laki-laki dari kamu." Kemudian, coba lihat, bagaimana Bukhari menjadikan urusan ini berada di tangan Abu Bakar, sehingga dengan begitu Abu Bakar menjadi orang yang memerintah dan menetapkan urusan dengan kehadiran Rasulullah saw!

Masya Allah, bagaimana dia merubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain.


5. Contoh Kelima:

Muslim berserikat di dalam sahihnya dengan Ibnu Hisyam dan Thabari di dalam membuang bagian dari hadis yang mendiskreditkan kedudukan Abu Bakar dan Umar. Setelah Ibnu Hisyam menukil berita tentang peperangan Badar dan informasi yang sampai kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya tentang kafilah dagang Quraisy, Ibnu Hisyam menyebutkan Rasulullah saw mengajak para sahabatnya untuk bermusyawarah. Ibnu Hisyam berkata, "Rasulullah saw mendapat berita tentang perjalanan kafilah dagang Quraisy, dan beliau bermaksud mencegat kafilah dagang tersebut. Maka Rasulullah saw mengajak orang-orang untuk bermusyawarah dan memberitahukan mereka tentang kafilah dagang Quraisy. Maka berdirilah Abu Bakar ash-Shiddiq mengatakan sesuatu, lalu Rasulullah saw berkata, 'Bagus!' Lalu berdiri Umar dan mengatakan sesuatu, kemudian Rasulullah saw berkata, 'Bagus!' Selanjutnya Miqdad bin 'Amr berdiri dan berkata, 'Ya Rasulullah, berjalanlah sesuai dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepada Anda, niscaya kami bersama Anda. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan kepada Anda sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa manakala mereka mengatakan, 'Pergilah kamu berdua denganmu Tuhanmu dan berperanglah, adapun kami biar duduk di sini saja menunggu; melainkan kami mengatakan, 'Pergilah kamu berdua dengan Tuhanmu dan berperanglah, dan kami pun ikut berperang bersama Anda berdua.' Demi Zat yang mengutus Anda dengan kebenaran, meski pun Anda membawa kami ke dalam lautan, kami akan tetap berperang bersama Anda sehingga Anda sampai kepadanya.' Maka Rasulullah saw berkata kepadanya, 'Bagus!', dan beliau berdoa untuknya."

Yang menjadi pertanyaan kita ialah, apa yang dikatakan oleh Abu Bakar dan Umar kepada Rasulullah saw.

Jika memang bagus, lalu kenapa Bukhari tidak menyebutkannya. Kenapa Bukhari menyebutkan apa yang dikatakan oleh Miqdad namun tidak menyebutkan apa yang dikatakan oleh keduanya?!

Selanjutnya, marilah kita kembali kepada Muslim, untuk melihat apakah dia juga melakukan hal yang sama sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibnu Hisyam dan Thabari. Muslim meriwayatkan, "Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabatnya manakala sampai berita kepadanya tentang kedatangan (kafilah) Abu Sufyan.." Muslim berkata, "Maka Abu Bakar berkata, namun Rasulullah saw berpaling darinya. Kemudian berkata Umar, namun Rasulullah saw berpaling darinya... kemudian Muslim menyebutkan kelanjutan hadis."[130]

Muslim juga tidak menyebutkan apa yang telah dikatakan oleh Abu Bakaar dan Umar, namun dia lebih jujur dari Ibnu Hisyam dan Thabari. Karena Muslim mengatakan , "Rasulullah saw berpaling darinya", dan tidak mengatakan, "Bagus!" Meski pun apa yang telah dilakukannya tetap merupakan kejahatan terhadap hadis. Karena dia harus menyebutkan perkataan keduanya. Dan keputusannya untuk tidak menyebutkan perkataan keduanya, menunjukkan adanya kedengkian di dalam perkara ini. Kenapa Rasulullah saw berpaling dari perkataan keduanya, jika perkataan keduanya bagus?!

Dari kedua hadis di atas —setelah terbukti secara jelas pemalsuan yang telah mereka lakukan— menjadi jelas bagi kita bahwa di sana terdapat sesuatu yang tidak layak bagi kedua Syeikh (Abu Bakar dan Umar —penerj.) yang tidak mereka sebutkan. Namun, Allah SWT tetap menampakkan cahaya-Nya meski pun orang-orang kafir tidak suka. Kitab al-Maghazi, karya al-Waqidi, dan kitab Imta' al-Asma, karya Muqrizi, menceritakan kisah ini. Setelah kedua kitab ini menyebutkan khabar di atas, kedua kitab ini menyebutkan, "Maka Umar berkata, 'Ya Rasulullah, Demi Allah, sesungguhnya mereka itu bangsa Quraisy. Demi Allah, kemuliaan mereka belum melemah sejak mereka mulia. Demi Allah, mereka belum beriman sejak mereka kafir. Dan demi Allah, selamanya mereka tidak akan menyerahkan kemuliaannya. Mereka pasti akan memerangi Anda, maka oleh karena itu bersiap sedialah dengan perlengkapan untuk itu."

Dari sini kita dapat mengetahui kenapa Rasulullah saw berpaling dari perkataan Umar. Karena perkataan yang dikatakan oleh Umar ini tidak pantas dikatakan oleh seorang sahabat Rasulullah saw. Bagaimana bisa Umar menyatakan orang musyrikin Quraisy mempunyai kemuliaan?

Apakah Rasulullah saw bermaksud hendak menghinakan mereka?

Sungguh amat disayangkan. Namun, inilah tingkat pengetahuan Umar terhadap Islam, dan begitu juga tingkat peradabannya.

Demikianlah, Bukhari dan Muslim senantiasa mencampurkan kebenaran dengan kebatilan, dan mengganti hadis-hadis yang mereka rasakan menjelekkan Abu Bakar dan Umar.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Penulis Dan Peranan Mereka Di Dalam Menyelewengkan Kebenaran


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Peranan para muhaddis dan sejarahwan mengukuhkan orang-orang yang datang sesudah mereka, yaitu para penulis. Mereka mengerahkan segenap usaha mereka untuk memalsukan kebenaran dan menjelek-jelekkan mazhab Ahlul Bait, dengan menggunakan berbagai macam propaganda dan penyebaran berita dusta. Mereka para penulis telah memperoleh keberhasilan besar di dalam memperdalam kebodohan pada diri anggota mazhab mereka, dan memperlebar jurang di antara mereka dengan pengenalan kepada kebenaran. Mereka telah menggambarkan Syi'ah dalam rupa yang paling buruk. Ini semua disebabkan berbagai khurafat dan sangkaan yang mereka rangkai. Saya tidak mengatakan ini hanya sekedar berupa asumsi, melainkan saya sendiri pernah mengalami kebodohan ini untuk beberapa waktu. Dan saya dapat merasakan lebih besar lagi kebodohan saya tersebut manakala hati saya telah terbuka dan diterangi oleh Allah SWT dengan cahaya Ahlul Bait. Saya menemukan masyarakat saya tenggelam di dalam timbunan kebodohan dan berbagai kebohongan atas Syi'ah. Setiap kali saya bertanya tentang Syi'ah, baik yang ditanya itu seorang ulama atau seorang yang terpelajar, mereka menjawab saya dengan serangkaian kebohongan atas Syi'ah. Misalnya, mereka menjawab bahwa Syi'ah itu mengatakan Ali adalah Rasul Allah yang sebenarnya, namun Jibril melakukan kesalahan dan menurunkan risalah kepada Muhammad. Atau, mereka mengatakan bahwa orang-orang Syi'ah menyembah Ali, atau kebohongan-kebohongan lainnya yang sama sekali bertentangan dengan kenyataan. Dan, cobaan yang paling berat dari semua itu ialah manakala kepada Anda dilontarkan pertanyaan yang mengherankan,

Apakah orang-orang Syi'ah itu Muslim?

Apa perbedaan antara Syi'ah dengan syuyu'iyyah (komunis)?

Kebodohan akan Syi'ah ini, yang dialami oleh sebagian besar dari umat Islam, adalah merupakan hasil logis dari segenap usaha dan kerja keras para penulis, sebagai akibat dari kebodohan yang diterapkan atas generasi-generasi umat ini, supaya mereka menolak dan tidak mengakui mazhab Syi'ah. Ini merupakan kelanjutan dari rencana yang telah dimulai sejak dahulu, dan diteruskan hingga hari ini. Oleh karena itu, Anda dapat menemukan beratus-ratus buku beracun yang menghujat Syi'ah, yang mereka sebarkan ke tengah-tengah masyarakat, dan biasanya dibagi-bagikan secara gratis oleh pihak Wahabi. Alangkah baiknya, jika sekiranya di tengah-tengah atmosfir yang dipenuhi dengan sikap penentangan terhadap Syi'ah, dibolehkan juga buku-buku Syi'ah beredar di tengah-tengah masyarakat, sehingga dengan begitu akan tercipta keseimbangan. Namun, ini tidak terjadi. Cobalah tengok perpustakaan-perpustakaan Islam dari kalangan Ahlus-Sunnah, mereka jarang sekali dan bahkan dapat dikatakan tidak sama sekali memuat buku-buku Syi'ah. Sebaliknya perpustakaan-perpustakaan Syi'ah, baik itu yang untuk dijual maupun yang terdapat di lembaga-lembaga ilmiah, mereka tidak kosong dari kitab-kitab dan referensi-referensi rujukan Ahlus-Sunnah, dengan berbagai macam garis dan pandangannya.

Dan yang lebih parah dari semua itu, jika seandainya Anda memberikan sebuah buku Syi'ah kepada salah seorang dari mereka, mereka tidak akan membacanya, bahkan mungkin akan membakarnya, dengan alasan bahwa dia tidak boleh membaca buku-buku sesat.

Saya masih ingat bagaimana imam mesjid di desa kami dengan lantang menyatakan kekufuran dan kesesatan saya, dan melarang semua orang untuk duduk bersama saya atau membaca buku-buku tulisan saya. Logika macam apakah ini, yang memberangus manusia dari kebebasannya berpikir. Namun, memang beginilah siasat kebodohan dan pembodohan yang mereka tempuh.


Beberapa Kitab Yang Ditulis Untuk Menentang Syi'ah:

1. Muhadharat fi Tarikh al-Umam al-Islamiyyah (Ceramah-Ceramah Tentang Sejarah Umat Islam), karya al-Khudhari.
2. As-Sunnah wa asy-Syi'ah (Sunnah dan Syi'ah), karya Muhammad Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar.
3. Ash-Shira' Baina al-Watsaniyyah wa al-Islam (Pertarungan Antara Paganisme Dengan Islam), karya al-Qashimi.
4. Fajr al-Islam wa Dhuha al-Islam (Fajar Islam), karya Ahmad Amin.
5. Al-Wasyi'ah fi Naqd asy-Syi'ah (Kumpulan Kritikan Terhadap Syi'ah), karya Musa Jarullah.
6. Al-Khuthuth al-'Aridhah (Jaringan yang luas), karya Muhibuddin Khathab.
7. Asy-Syi'ah wa as-Sunnah, asy-Syi'ah wa al-Qur'an, asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, dan asy-Syi'ah wa at-Tasyayyu'', karya Ihsan Ilahi Zhahir.
8. Minhaj as-Sunnah, Ibnu Taimiyyah.
9. Ibthal al-Bathil, Fadhl bin Ruzbahan.
10. Ushul Madzhab asy-Syi'ah, Nashir al-Ghifari.
11. Wa Ja'a Dawr al-Majus, Abdullah Muhammad al-Gharib.
12. At-Tuhfah al-Itsna 'Asyariyyah, ad-Dahlawi.
13. Jawlahfi Rubu'asy-Syarq al-Adna, Muhaddis Tsabit alMishri.

Dan kitab-kitab lainnya yang tendensius. Para ulama Syi'ah telah menjawab kitab-kitab ini dan kitab-kitab yang semisalnya dengan jawaban rinci dan cukup.

Anda dapat saksikan adanya perbedaan metode pembahasan di antara kedua jenis kitab di atas. Anda mendapati kitab-kitab Syi'ah bertujuan untuk membuktikan dan mengokohkan kebenaran mazhabnya dengan dalil-dalil yang kuat dan argumentasi-argumentasi yang cemerlang, yang bersandar kepada kitab-kitab referensi Ahlus Sunnah, dengan tanpa menyerang mazhab lain. Adapun kitab-kitab yang berusaha menolak Syi'ah, sejak awal mereka bertujuan untuk menyerang mazhab Syi'ah dengan berbagai cara, meskipun dengan cara menuduh dan menciptakan kebohongan-kebohongan.

Banyak sekali bukti-bukti yang mendukung ucapan kami. Insya Allah, kami akan kemukakan beberapa contoh darinya dalam pembahasan ini.


Kitab-Kitab Syi'ah Yang Menjawab Dan Mengokohkan Kebenaran Mazhabnya

1. Asy-Syafi fi al-Imamah.

Kitab ini terdiri dari empat jilid. Di dalam kitab ini, penulisnya Syarif al-Murtadha membuktikan keimamaham sebagai dasar agama, sosial dan politik. Dia juga membuktikan dengan dalil naql dan akal yang lurus bahwa keimamahan merupakan keharusan agama dan sosial, bahwasannya Ali as adalah khalifah sepeninggal Rasulullah saw yang telah ditetapkan dengan nas, dan barangsiapa yang menentangnya maka berati dia telah menentang kebenaran. Di dalam kitabnya ini juga Syarif al-Murtadha menjawab seluruh kecurigaan maupun kesamaran yang dikatakan atau yang mungkin akan dikatakan di seputar masalah keimamahan, dan kemudian dia menggugurkannya dengan logika akal dan hujjah yang cemerlang.[131]

2. Nahj al-Haq wa Kasyf ash-Shidq, karya Allamah al-Hilli.

Kitab ini membahas sekumpulan masalah berikut ini,
a. Pemahaman (al-Idrak).
b. Pandangan (an-Nazhar).
c. Sifat-sifat Allah.
d. Kenabian.
e. Keimamahan.
f. Ma’ad (hari kiamat).
g. Ushul Fikih.
h. Masalah-masalah yang berkaitan dengan fikih.

Tampak sekali bagi para pembaca kitab ini bahwa penulisnya adalah seorang pengkaji yang objektif, yang tidak ta'assub terhadap pandangannya, dan tidak mendukung salah satu keyakinan pada permulaannya. Dia tidak membahas dan mencari dalil untuk medukung keyakinannya, melainkan dia menempatkan pendapat dan keyakinannya mengikuti Al-Qur'an, serta pendapat dan keyakinannya tunduk kepada dalil.

Fadhl bin Ruzbahan al-Asy'ari telah menulis sebuah kitab untuk mengkritik kitab ini, dan memberinya judul Ibthal al-Bathil wa Ihmal Kasyf al-'Athil. Namun dia tidak menggunakan metode sebagaimana yang digunakan oleh Allamah al-Hilli. Dia justru banyak menyerang dan mengecam. Namun, secara relatif kitab ini dapat dikatagorikan sebagai kitab yang dapat dipegang hujjahnya dan berisi diskusi ilmiah.

3. Ihqaq al-Haq, karya Sayyid Nurullah al-Husaini al-Tusturi.

Sebuah kitab yang besar, yang ditulis oleh penulisnya untuk menjawab kitab Ibthal al-Bathil yang ditulis oleh Fadhl bin Ruzbahan. Kitab lhqaq al-Haq ini telah diberi catatan oleh Ayatullah Syihabuddin al-Mar'asyi an-Najafi, sehingga tebalnya mencapai dua puluh lima jilid ukuran besar. Penulis kitab ini telah melakukan usaha yang besar dan tidak kenal lelah di dalam meneliti dan mengeluarkan hadis-hadis dan riwayat-riwayat dari kitab-kitab Ahlus Sunnah. Sungguh, alangkah bagusnya jika kitab ini ditempatkan di tempat-tempat penyimpanan barang berharga, karena dapat dikatakan sebagai sebuah karya besar, yang mungkin sebuah tim khusus pun tidak dapat menghasilkannya.

4. Jawaban terhadap Fadhl bin Ruzbahan juga diberikan oleh Allamah al-Mudzaffar, di dalam tiga jilid kitab yang berjudul Dala'il ash-Shidq. Kitab ini juga merupakan jawaban terhadap kitab Minhaj as-Sunnah, karya Ibnu Taimiyyah, yang ditulis untuk menjawab Allamah al-Hilli di dalam kitabnya yang berjudul Minhaj al-Karamah. Namun, Allamah al-Mudzaffar tidak membahas secara panjang lebar di dalam menjawab Ibnu Taimiyyah. Dia memberikan isyarat di dalam mukaddimahnya, "Apabila tidak ada kerendahan pada point-point pembahasannya, kekotoran lidah pada penanya, bertele-telenya ungkapannya, serta permusuhannya terhadap diri Nabi al-Amin dan anak-anaknya yang suci, maka tentu layak melakukan pembahasan dengannya."[132]

5. Ensiklopedia al-Ghadir, terdiri dari 11 jilid, karya Allamah Abdul Husain al-Amini.

Ini merupakan karya besar yang dipersembahkan oleh penulisnya. Kitab ini membuktikan kebenaran mazhab Ahlul Bait melalui segenap jalan dan argumentasi. Yang lebih mengagumkan ialah, bahwa penulisnya telah menghimpun kurang lebih sembilan puluh empat ribu kitab rujukan Ahlus Sunnah di dalamnya.

Kitab al-Ghadir ini ditujukan untuk menjawab beberapa kitab Ahlus Sunnah yang ditulis untuk menentang Syi'ah, seperti kitab:
a. al-'Iqd al-Farid.
b. al-Farq Baina al-Firaq.
c. al-Milal wa an-Nihal.
d. al-Bidayah wa an-Nihayah.
e. al-Mahshar.
f. as-Sunnahwaasy-Syi'ah.
h. ash-Shira''.
i. Fajr al-Islam.
j. Zhuhr al-Islam.
k. Dhuha al-Islam.
l. 'Agidah asy-Syi'ah.
m. al-Wasyi'ah.
n. Minhaj as-Sunnah.

Allamah al-Amini telah menjawab mereka dengan baik, dengan menggunakan dalil-dalil yang terang dan argumentasi-argumentasi yang cemerlang.

Dia memiliki kelebihan dari sisi kajian yang objektif, yang tidak cenderung kepada sikap ta'assub.

6. Juga termasuk salah satu ensiklopedia besar yang membuktikan kebenaran mazhab Syi'ah, yang menjawab serangan musuh-musuhnya ialah kitab 'Abagat al-Anwar fi Imamah al-Aimmah al-Athhar, karya Sayyid Hamid Husain Ibnu Sayyid Muhammad Qili al-Hindi, namun saya belum mendapatkan naskah aslinya. Saya baru mendapat kitab ringkasannya yang berjudul Khulashah 'Abagat al-Anwar, karya Ali Husain al-Milani. Kitab ini terdiri dari 10 jilid. Kitab ini merupakan jawaban atas kitab at-Tuhfah al-Itsna 'Asyariyyah, karya Abdul Aziz ad-Dahlawi, yang mengkritik keyakinan-keyakinan Syi'ah. Sekumpulan para ulama Syi'ah telah menjawab kitab at-Tuhfah ini dengan beberapa kitab, yang di antaranya adalah kitab as-Saif al-Maslul 'ala Mukhrib Din ar-Rasul, karya Abu Ahmad bin Abdun Nabi an-Naisaburi, kitab yang terdiri dari empat jilid, yang masing-masing jilidnya dengan nama Sayyid Deldor Ali Taqi; kitab an-Nazhah al-ltsna 'Asyariyyah, karya Muhammad Qili, yang terdiri dari sekumpulan beberapa jilid kitab besar; berikutnya kitab al-Wajiz fi al-Ushul, karya Syeikh Subhan Ali Khan al-Hindi; dan kitab al-Imamah, karya Sayyid Muhammad bin Sayyid. Sayyid Muhammad bin Sayyid juga mempunyai kitab jawaban terhadap kitab at-Tuhfah dalam bahasa Persia, yang berjudul al-Bawariq al-Ilahiyyah.

Dan kitab-kitab lainnya yang merupakan jawaban terhadap ad-Dahlwi, yang disebutkan oleh penulis kitab adz-Dzari'ah dan kitab A'yan asy-Syi'ah. Dari kitab-kitab jawaban ini yang terbesar adalah kitab al- 'Abagat. Tampak dengan jelas, dari isi kitab ini, kebesaran penulis, ketajaman pandangannya, keluasan ilmunya, ketelitiannya terhadap berbagai perkataan, dan keamanahannya di penukilan ilmiah terhadap berbagai pembahasan, dan di dalam metodologinya di dalam menjawab berbagai kritikan dan sanggahan terhadap argumentasi-argumentasi yang diajukan. Dia telah memutus seluruh jalan dan alasan dengan sekuat-kuatnya hujjah dan sekokoh-kokohnya argumentasi, dan telah menolak berbagai keraguan, sehingga tidak tersisa lagi celah bagi musuh untuk menikam mazhab Syi'ah, mencela dalil dan melemahkan hadis. Dia telah menangkis semuanya dengan cara yang paling baik, dan telah menjawabnya dengan jawaban yang indah, disertai dengan penelitian yang anggun, penyelidikan yang cekatan, argumentasi yang kokoh, istidlal Alawi dan kebangkitan Ridhawi, dengan bersandar seluruhnya kepada kitab-kitab Ahlus Sunnah, dan berargumentasi dengan perkataan pilar-pilar ulama mereka, di dalam berbagai macam disiplin ilmu."[133]

Untuk melakukan itu dia telah dibantu oleh perpustakaan keluarganya yang terkenal yang terdiri lebih dari 30 ribu kitab, baik yang berupa kitab cetakan maupun kitab yang masih berupa transkrif, dari berbagai mazhab dan golongan. Hingga saat sekarang ini kita belum menemukan adanya kitab jawaban terhadap kitab al-'Abaqat, padahal kitab at-Tuhfah telah banyak mendapat jawaban. Adapun yang pertama menjawab kitab at-Tuhfah adalah Sayyid Deldor Ali di dalam kitabnya yang berjudul ash-Shawarim alllahiyyah dan kitab Sharim al-hlam. Lantas kedua kitab Sayyid Deldor itu dijawab oleh Rasyi-duddin ad-Dahlawi, murid penulis kitab at-Tuhfah, dengan kitabnya yang berjudul asy-Syawkah al'Umariyyah. Selanjutnya kitab asy-Syawkah al-'Umariyyah itu dijawab oleh Baqir Ali dengan kitabnya al-Hamlah al-Haidariyyah. Demikian juga kitab at-Tuhfah dijawab oleh al-Mirza di dalam kitabnya an-Nazhah al-Itsna 'Asyariyyah. Lalu salah seorang Ahlus Sunnah menjawab kitab an-Nazhah al-Itsna 'Asyariyyah dengan kitab Rujum asy-Syayathin. Selanjutnya kitab ar-Rujum asy-Syayathin dijawab oleh Sayyid Ja'far al-Musawi dengan kitabnya Mu'in ash-Shadiqin fl Radd Rujum asy-Syayathin.

Begitu juga kitab at-Tuhfah dijawab oleh Sayyid Muhammad Qili, ayah penulis kitab al- 'Abagat dengan kitabnya yang berjudul al-Ajnad al-Itsna 'Asyariiyah al-Muhammadiyyah. Selanjutnya kitab tersebut dijawab oleh Muhammad Rasyid ad-Dahlawi. Lalu Sayyid Muhammad Qili kembali menjawabnya dengan kitab al-Ajwibah al-Fakhirahfi ar-Radd 'ala al-Asya'irah, hingga akhrinya polemik ini disudahi oleh penulis kitab al'Abaqat, dan hingga sekarang belum ada yang menjawabnya. Ini cukup untuk membuktikan kelemahan dari pihak Ahlus Sunnah.

7. Ma'alim al-Madrasatain, karya Murtadha al-'Askari.

Kitab ini merupakan kitab perbandingan di antara madrasah Ahlul Bait dengan madrasah para khulafa. Penulis kitab ini bersandar kepada sikap objektif dan kajian ilmiah yang teliti. Kitab ini terdiri dari tiga juz.

8. Kitab al-Muraja'at (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Dialog Sunnah Syi'ah" —penerj.), karya Abdul Husain Syarafuddin.

Kitab ini merupakan hasil dialog di antara penulisnya dengan Syeikh al-Azhar, Salim al-Bisyri. Kitab ini terhitung sebagai dialog yang langka, di mana di dalamnya kedua orang yang berdialog menggunakan metode yang tenang dan percakapan yang santun. Abdul Husain juga mempunyai banyak kitab lain di dalam masalah ini, di antaranya adalah kitab an-Nash wa al-ljtihad, kitab al-Fushul al-Muhimmah fi Ta'lif al-Ummah, kitab al-Kalimah al-Gharra' fi Tafdhil az-Zahra, dan kitab Abu Hurairah.

Juga terdapat berbagai jawaban dari kalangan ulama Syi'ah terhadap kitab-kitab Ahlus Sunnah, seperti:
1. Ajwibah Masa'il Jarullah, oleh Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi.
2. Ma 'a al-Khathibfi Khuthuth al- 'Aridhah, karya Luthfullah ash-Shafi.
3. Syubhat Hawla asy-Syi'ah.
4. Kadzib 'ala asy-Syi'ah.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sekilas Kontradiksi Antara Ajaran-ajaran Asy’ariyah


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Kontradiksi antara Ajaran-Ajaran Asy’ariyah

Sejarah menyebutkan bahwa Abul Hasan al-Asy'ari telah berpindah dari madrasah Mu'tazilah, dan mengumumkan kebergabungannya kepada madrasah Hanbaliyyah. Akan tetapi, perpindahan ini tidaklah cukup untuk dapat menjadikan dia terlepas sama sekali dari jalan Mu'tazilah. Pengaruh-pengaruh pemikiran Mu'tazilah tampak dengan jelas di dalam jalannya yang baru. Dia berusaha mengemas keyakinan-keyakinan salaf dengan kemasan akal. Namun dia tidak berhasil di dalam usahanya ini. Karena keyakinan-keyakinan salaf merupakan keyakinan-keyakinan sima'i, yang bersandar kepada hadis. Padahal banyak sekali hadis-hadis yang tidak sahih yang disisipkan oleh musuh-musuh agama ke dalam warisan Islam. Hadis-hadis ini tidak sejalan dengan kaidah-kaidah akal. Dengan demikian, hal ini menciptakan pertentangan dan kontradiksi yang amat jelas di dalam jalan Abul Hasan al-Asy'ari. Maka lahirlah sekumpulan pertentangan dan kontradiksi manakala Abul Hasan al-Asy'ari hendak mengargumentasikan keyakinan-keyakinan Ahlul Hadis dengan metode akal.

Di sini, kita akan kemukakan satu contoh dari pertentangan yang ada di dalam ajarannya. Yaitu masalah melihat Allah (ru'yatullah). Kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah sepakat bahwa Allah SWT akan dapat dilihat. Abul Hasan al-Asy'ari dan murid-muridnya telah ber-usaha untuk mengeluarkan pembahasan ini dari hanya sekedar kerangka hadis kepada kerangka argumentasi akal.

Kitab-kitab Ahlus Sunnah penuh dengan riwayat-riwayat yang secara jelas menyatakan Allah dapat dilihat dengan mata. Berikut ini beberapa contoh dari hadis-hadis tersebut, sebelum kita menyelami pembahasan.

- Dari Jabir yang berkata, "Kami peraah duduk di sisi Rasulullah saw. Lalu, Rasulullah saw melihat ke bulan pada malam bulan purnama. Kemudian Rasulullah saw berkata, 'Kelak kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana sekarang kamu melihat bulan ini, yang tidak samar di dalam melihatnya. Jika kamu mampu untuk tidak bersikap lemah di dalam mengerjakan salat sebelum terbit dan terbenamnya matahari, maka lakukanlah.' Kemudian Rasulullah saw membaca ayat, 'Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit dan terbenamnya matahari.'"

Sahih Bukhari, jilid 1, bab Keutamaan salat Ashar.

Sahih Muslim, jilid 2, bab Keutamaan salat Subuh dan Asar dan memperhatikan keduanya.

- Di dalam sebuah hadis yang panjang, Abu Hurairah meriwayatkan, "Sekelompok orang berkata, 'Ya Rasulallah, apakah kita akan melihat Tuhan kita pada hari kiamat?'

Rasulullah saw berkata, 'Apakah kamu berselisih di dalam melihat bulan pada malam bulan purnama, ketika tidak ada awan?'

Mereka menjawab, 'Tidak, ya Rasulullah.'

Rasulullah saw bersabda, 'Kamu tidak berselisih di dalam melihat Allah pada hari kiamat, sebagaimana kamu tidak berselisih di dalam melihat salah seorang dari kamu.' Sampai Rasulullah saw mengatakan, 'Hingga jika tidak ada yang tersisa kecuali orang yang dahulu menyembah Allah, dari orang yang saleh maupun crrang yang fasik, Allah SWT mendatangi mereka dalam wajah yang paling dekat yang pernah mereka lihat. Allah SWT bertanya, 'Apa yang sedang kamu tunggu?' .... Setiap umat mencari Tuhan yang dahulu disembahnya.

Mereka menjawab, 'Kami meninggalkan manusia ketika di dunia, dan tidak bergaul dengan mereka, dan sekarang kami tengah menunggu Tuhan yang dahulu kami sembah.'

Allah SWT berkata, 'Aku ini Tuhanmu.'

Mereka berkata, 'Kami tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun', sebanyak dua atau tiga kali.

Manakala sebagian dari mereka hampir berpaling, lalu Allah SWT berkata, 'Apakah antara kamu dengan Dia terdapat tanda yang dengannya kamu dapat mengenali-Nya?'

Mereka menjawab, 'Betis.' Maka Allah SWT pun menyingkapkan betisnya." Sahih Bukhari, jilid 6, tafsir surat an-Nisa, dan jilid 9, kitab at-Tauhid. Sahih Muslim, jilid 1, bab "Mengenal Jalan Ru'yah (Melihat Allah)".

- Dari Jarir bin Abdullah yang berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Kelak kamu akan dapat melihat Allah dengan matamu."

Sahih Bukhari, jilid 9, kitab at-Tauhid. Firman Allah SWT yang berbunyi, "Mereka melihat kepada Tuhannya."

Dan, berpuluh-puluh hadis lainnya yang terdapat di dalam kitab-kitab sahih. Ibnu Hajar berkata berkenaan dengan hadis-hadis ru'yah (melihat Allah), "Daruquthni telah mengumpulkan hadis-hadis yang berkenaan dengan melihat Allah pada hari akhirat, sehingga terkumpul lebih dari dua puluh hadis. Ibnul Qayyum menyelidiki hadis-hadis ru'yah di dalam kitab Hadi al-Arwah, sehingga mencapai tiga puluh hadis, dan sebagian besarnya sahih. Daruquthni berkata dengan ber-sanad kepada Yahya bin Mu'in, 'Saya mempunyai tujuh belas hadis tentang ru'yah yang kesemuanya sahih.'"[400]

Dengan hadis-hadis yang mereka anggap sahih ini, mereka mem-bangun keyakinan tentang dapat melihat Allah pada hari kiamat. Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal bersikap berlebihan dengan mengkafirkan setiap orang yang menentang keyakinan ini. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mereka mengatakan mungkinnya Allah SWT dilihat di dunia.

Al-Isfira'ini berkata, "Kalangan Ahlus Sunnah sepakat bahwa Allah SWT akan dapat dilihat oleh orang-orang Mukmin pada hari akhirat. Mereka juga mengatakan, Allah dapat dilihat pada setiap keadaan, bagi setiap yang hidup, berdasarkan jalan akal. Adapun pada hari akhirat, Allah SWT pasti dilihat oleh orang-orang Mukmin, berdasarkan jalan riwayat."[401]

Setelah itu, para ulama mereka mengklaim telah melihat Allah SWT di dalam mimpi. Sya'rani, Ibnu Jauzi dan Syabalanji meriwayat-kan bahwa Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, "Saya mendengar ayah saya berkata, 'Saya telah melihat Tuhan yang Mahamulia di dalam mimpi. Saya berkata kepada-Nya, 'Wahai Tuhan, Sesuatu apa yang paling utama mendekatkan seseorang kepada-Mu?'

Tuhan menjawab, 'Perkataan-Ku, hai Ahmad.' Saya bertanya lagi, 'Dengan pemahaman atau dengan tanpa pe-mahaman.'

Tuhan menjawab, 'Dengan pemahaman maupun dengan tanpa pemahaman.'"[402]

Al-Alusi telah mengaku melihat Allah sebanyak tiga kali di dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma'ani, "Demi Allah, alhamdulillah, saya telah melihat Allah sebanyak tiga kali di dalam mimpi. Adapun kali yang ketiga saya melihat-Nya pada tahun 1246 Hijrah. Saya melihat-Nya terdiri dari cahaya, dan tengah menuju ke timur. Dia berbicara kepadaku dengan kata-kata yang saya lupa ketika saya bangun. Saya pernah satu kali melihat-Nya dalam sebuah mimpi yang panjang, seolah-olah saya tengah berada di dalam surga, berada di antara kedua tangan-Nya, dan antara saya dengan Dia terdapat tirai yang dikepang dengan mutiara yang beraneka ragam warnanya. Lalu Allah SWT memerintahkan saya untuk pergi ke makam Isa as, dan kemudian ke makam Muhammad saw. Maka saya pun pergi ke makam keduanya. Kemudian, saya pun melihat apa yang saya lihat. Dan hanya kepunyaan Allahlah karunia dan keutamaan."[403]

Inilah ringkasan keyakinan mereka tentang melihat Allah SWT. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakan.

Sungguh, mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya.

Tidak diragukan, keyakinan ini menuntut pemikiran-pemikiran sebagai berikuf

1. Sesungguhnya penglihatan inderawi (ar-ru'yah al-hissiyyah), sebagaimana yang ditekankan oleh hadis-hadis ini, menuntut sesuatu yang dilihat itu memiliki kepadatan dan warna, sehingga dapat dilihat. Di antara keharusan dari keyakinan ru 'yah (melihat Allah) ialah bahwa sesuatu yang dilihat tersebut memantulkan cahaya, berada di hadapan yang melihat, terdapat jarak di antara yang melihat dengan yang dilihat, di samping harus sehatnya indera penglihatan. Dengan syarat-syarat ini —nau'udzu billah— tentunya Allah SWT berjisim dan dibatasi oleh tempat. Sungguh, ini adalah sesuatu yang mustahil.

2. Selain itu, keyakinan ini juga mengharuskan Allah SWT tampil dengan wajah-wajah yang berbeda. Sebagaimana kata-kata hadis yang berbunyi, "Allah mendatangi mereka dalam wajah yang tidak mereka kenal. Allah SWT berkata, 'Aku ini Tuhanmu.' Mereka berkata, 'Kami berlindung kepada Allah darimu.' Maka Allah SWT pun mendatangi mereka dalam wajah yang mereka kenal." Adapun jalan yang dengannya mereka dapat mengenal Allah SWT ialah betis Allah. Masya Allah, Allah mempunyai betis yang dapat dibuka dan ditutup...!!

Keyakinan-keyakinan yang jelas-jelas kufur ini, merupakan akibat logis dari hadis-hadis Israiliyyat yang diterima oleh saudara-saudara kita Ahlus Sunnah, yang terdapat di dalam kitab Bukhari dan Muslim. Karena, jika sekiranya hadis-hadis ini tidak ada niscaya akal sehat tidak akan menerima perkataan dan keyakinan ini.

Oleh karena itu, kita mendapati Ahlul Bait as menentang keyakinan ini dan seluruh keyakinan yang mendorong kepada keyakinan tajsim dan tasybih. Mereka mendustakan hadis-hadis yang disisipkan oleh Ka'ab al-Ahbar al-Yahudi dan Wahab bin Manbah al-Yamani, yang telah banyak menyebarkan keyakinan tentang tajsim dan ru 'yah. Keyakinan ini telah memenuhi kitab-kitab Ahlus Sunnah. Sungguh, keyakinan ini amat jauh dari ajaran-ajaran Al-Qur'an.


Beberapa Contoh Hadis Ahlul Bait Yang Menaflkan Keyakinan Ru'yah

1. Muhaddis Abu Qurrah mendatangi Ali Abul Hasan ar-Ridha as. Dia bertanya tentang halal dan haram serta berbagai hukum, hingga pertanyaannya sampai kepada masalah tauhid. Abu Qurrah bertanya,

"Sesungguhnya kami meriwayatkan bahwa Allah SWT Azza Wajalla membagi ru'yah (melihat) dan kalam (bicara) di antara dua orang nabi. Allah SWT memberikan kalam kepada Musa as, dan memberikan ru'yah kepada Muhammad saw."

Abul Hasan as berkata, "Siapa yang menyampaikan ayat-ayat berikut dari Allah SWT kepada jin dan manusia, 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala sesuatu yang dapat dilihat mata', 'Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya', dan juga ayat 'Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya.' Bukankah Muhammad saw?"

Abu Qurrah berkata, "Benar."

Abul Hasan as berkata, "Bagaimana mungkin seorang laki-laki datang kepada seluruh makhluk, lalu mengatakan kepada mereka bahwa dia datang dari sisi Allah, dan menyeru mereka kepada Allah SWT dengan perintah-Nya sambil mengatakan, 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia daoat melihat segala sesuatu yang kelihatan', namun kemudian mengatakan, 'Saya telah melihat-Nya dengan kedua mata saya, dan telah meliputi-Nya dengan ilmu saya, dalam bentuk seorang manusia.'

Tidakkah kamu malu? Orang-orang zindiq tidak dapat menuduhnya dengan tuduhan ini, di mana dia datang dengan membawa sesuatu tentang Allah SWT, lalu kemudian datang lagi dengan membawa sesuatu kebalikannya!!"

Abu Qurrah berkata, "Sesungguhnya Allah SWT telah berkata, 'Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain.'"

Abu Hasan as berkata, "Sesungguhnya setelah ayat ini terdapat ayat lain yang menunjukkan apa yang dilihatnya, di mana Dia berkata, 'Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.' Allah SWT berkata, 'Hati Muhammad tidak mendustakan apa yang telah dilihat kedua matanya.' Kemudian, Allah SWT memberitahukan apa yang telah dilihat oleh Muhammad saw, 'Sesungguhnya dia telah melihat sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.' Tanda-tanda kekuasaan Allah SWT bukanlah Allah SWT. Allah SWT telah berkata, 'Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya.' Jika mata telah melihat-Nya, maka berarti ilmu telah meliputi-Nya."

Abu Hurairah bertanya lagi, "Kalau begitu, berarti Anda mendustakan riwayat-riwayat ini?"

Abul Hasan as berkata, "Jika sebuah riwayat bertentangan dengan Al-Qur'an, maka aku mendustakan riwayat tersebut.

Kaum Muslimim sepakat bahwa Dia tidak dapat diliputi oleh ilmu, tidak dapat digapai oleh penglihatan mata, dan tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya."[404]

2. Abu Abdillah bin Sanan hadir di sisi Imam Abu Ja'far as. Kemudian, seorang laki-laki Khawarij masuk dan berkata, "Wahai Abu Ja'far, apa yang Anda sembah?"

Abu Ja far as menjawab, Allah.

Laki-laki Khawarij itu bertanya lagi, "Kamu telah melihatnya?" Abu Ja'far as menjawab, "Mata tidak dapat melihat-Nya dengan pandangannya, akan tetapi hati dapat melihat-Nya dengan hakikat iman. Dia tidap dapat diketahui dengan qiyas, tidak dapat digapai oleh panca indera, dan tidak dapat diserupakan dengan manusia. Dia disifati dengan ayat-ayat-Nya, dan dikenal dengan tanda-tanda-Nya. Dia tidak berlaku zalim di dalam hukum-Nya. Dia itu adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Dia."

Abu Abdillah bin Sinan berkata, "Maka keluarlah laki-laki Khawarij sambil mengatakan, 'Allah lebih mengetahui di mana Dia harus meletakkan risalah-Nya.'"[405]

3. Ahmad bin Ishaq menulis surat kepada Abul Hasan yang ketiga as, menanyakan tentang keyakinan ru'yah dan beberapa keyakinan yang ada di tengah manusia. Abul Hasan ketiga as menjawab dalam suratnya,

"Ru'yah tidak mungkin terjadi selama di antara yang melihat dan yang dilihat tidak ada udara yang dapat ditembus oleh penglihatan mata. Jika udara terputus, dan tidak ada cahaya di antara yang melihat dan yang dilihat, maka ru'yah tidak terlaksana, disebabkan samar."[406]


Dalil-Dalil Akal Kalangan Asy'ariyyah Tentang Bolehnya Ru'yah, Serta Pembahasannya.

Menurut kalangan Asy'ariyyah, tidak ada halangan dari sisi akal tentang kemungkinan melihat Allah SWT dengan mata. Karena, ke-mungkinan ini tidak menuntut penetapan sesuatu yang mustahil menurut akal atas Allah SWT. Adapun alasan-alasannya adalah sebagai berikut:

1. Di dalam keyakinan bolehnya Allah SWT dilihat dengan mata tidak terdapat penetapan ke-hudutsan-Nya. Karena, sesuatu yang dapat dilihat tidak menjadi sesuatu yang dapat dilihat disebabkan karena ke-hudutsan-Nya (kebaruannya, atau didahului oleh ketiadaan). Karena jika tidak demikian, maka berarti setiap yang huduts dapat dilihat.

2. Di dalam ru'yah tidak terdapat "huduts makna" pada sesuatu yang dilihat. Karena, warna dapat dilihat, namun "huduts makna" tidak terjadi atasnya. Disebabkan warna adalah 'aradh (sifat).

3. Di dalam penetapan dapat dilihatnya Allah SWT dengan mata (ru'yah) tidak terdapat tasybih (penyerupaan Allah SWT dengan makhluk), tajnis, dan juga tidak mengubah-Nya dari hakikat-Nya. Karena warna hitam dan putih tidak homogen (mutajanisan) dan tidak serupa (mutasyabihan) dengan terjadinya penglihatan atas keduanya.


Marilah kita perhatikan klaim-klaim mereka di atas,

1. Kita katakan, benar, bahwa huduts bukan merupakan syarat yang cukup di dalam ru'yah, dan diperlukan syarat-syarat lainnya, seperti jarak yang sesuai, kepadatan yang memungkinkan terpantulnya cahaya, dan tidak teijadinya beberapa kejadian yang menyebabkan tidak adanya ru'yah. Namun, ru'yah itu sendiri mengharuskan adanya arah (disebabkan faktor berada di hadapan), dan sifat fisik (disebabkan faktor kepadatan), yang mana keduanya ini mengharuskan adanya huduts. Sehingga dengan demikian, segala sesuatu yang dapat dilihat oleh mata adalah muhdats (baru, atau didahului oleh ketiadaan), namun tidak sebaliknya.

Berkenaan dengan point yang kedua (Di dalam ru'yah tidak terdapat penetapan "huduts makna"), kita mengatakan, sesungguhnya makna terjadi dikarenakan bersambung dengan cahaya dan mugabalah (berada di hadapan). Jika tidak ada cahaya dan muqabalah, niscaya tidak akan berlangsung penglihatan dengan mata.

Adapun berkenaan dengan point yang ketiga, kita mengatakan, sesungguhnya point yang ketiga hanya semata-mata pengakuan, sebagaimana sebelum-sebelumnya. Karena sesungguhnya tasybih tetap terjadi, dan mereka tidak dapat memungkirinya. Oleh karena hakikat ru'yah terlaksana dengan adanya mugabalah (berada di hadapan), dan muqabalah tidak terlepas dari kenyataan bahwa sesuatu yang dilihat berada pada arah dan tempat tertentu. Dengan demikian, tidak ada tasybih yang lebih jelas dari ini. Disebabkan adanya arah dan sifat fisik. Mahatinggi Allah dari yang demikian itu. Sungguh, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.

2. Baqilani berkata, "Adapun hujjah atas yang demikian itu ialah bahwa Allah SWT ada. Sesungguhnya sesuatu dapat dilihat disebabkan karena dia ada. Sesuatu tidak dapat dilihat karena jins-nya. Karena kita tidak melihat jins yang bermacam-macam. Demikian juga, sesuatu dapat dilihat bukan karena ke-hudutsan-nya".[407]

Dengan penjelasan lain, "Selama kita melihat a'radh (jamak dari kata 'aradh, yang berarti sifat) maka tentunya kita pun melihat jawahir (jamak dari kata jawhar, yang berarti substansi)."[408]

"Sesungguhnya ru'yah merupakan kesamaan di antara jawhar dan 'aradh. Oleh karena itu, mau tidak mau ru 'yah harus memiliki satu sebab, yaitu kalau tidak wujud maka huduts. Huduts itu sendiri tidak dapat menjadi sebab ('illah), dikarenakan dia adalah perkara ketiadaan ('adami). Sehingga dengan demikian, maka wujudlah yang menjadi sebab dari ru'yah. Kemudian, dapat disimpulkan bahwa ru'yah dapat berlaku pada al-Wajib dan al-mumkin"[409]

Lemahnya argumentasi ini tampak jelas sekali. Karena banyak sekali sesuatu yang tidak dapat dilihat namun keberadaannya (wujudnya) tidak diragukan. Seperti pikiran, keyakinan, dan keinginan.

Ini menunjukkan akan adanya sebab lain bagi ru'yah, namun bukan wujud.

Oleh karena itu, dari kalangan Asy'ari sendiri banyak yang memprotes argumentasi ini. Seperti pensyarah kitab al-Mawaqif, demikian juga Taftazani di dalam Syarh al-Mathali', dan juga al-Qusyji di dalam kitab Syarh at-Tajrid.[410]

Kata "wujud" lebih pas dari kata "huduts" untuk dijadikan sebagai syarat bagi ru'yah. Namun ungkapan yang mengatakan secara mutlak bahwa "setiap yang ada dapat dilihat" adalah ungkapan yang salah. Supaya menjadi benar, ungkapan tersebut harus diberi batasan dengan syarat-syarat ru'yah. Dan, syarat-syarat ru'yah tidak sejalan kecuali dengan mawjud yang berupa makhluk. Adapun berkenaan dengan Allah SWT, tidak mungkin membandingkan makhluk dengan Pencipta, "Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. " Jangan lupa, bahwa penerapan hukum-hukum alamiah atas Allah SWT adalah tasybih dan kebodohan.


Dalil-Dalil Kalangan Asy'ariyyah Tentang Ru'yah Dari Al-Qur'an al-Karim, Dan Pembahasannya.

Allah SWT berfirman, "Sekali-kali janganlah demikian. Sebenamya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (kehidupan) akhirat. Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. " (QS. al-Qiyamah: 20 - 25)

Kalangan Asy'ari telah membeda-bedakan arti kata an-nazhar. Pertama, dengan arti mengambil pelajaran (i'tibar). Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Maka apakah mereka tidak mengambil pelajaran dari unta, bagaimana dia diciptakan." (QS. al-Ghasyiyah: 17) Kedua, dengan arti menunggu (intizhar). Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja." (QS. Yasin: 49) Ketiga, dengan arti rahmat. Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Dan Allah tidak akan memberikan rahmat kepada mereka." (Ali 'lmran: 77) Adapun yang keempat ialah dengan arti melihat.

Dari sekian arti ini, kalangan Asy'ari memilih arti "melihat", disebabkan tidak sesuainya arti-arti yang lain. Adapun berkenaan dengan arti yang pertama, yaitu mengambil pelajaran (i'tibar), sesungguhnya negeri akhirat bukanlah negeri pengambilan pelajaran melainkan negeri balasan. Sementara arti yang kedua, yaitu menunggu (intizhar) sesungguhnya kata ini dikaitkan dengan wajah. Di samping itu, pekerjaan menunggu adalah sesuatu yang melelahkan, dan ini tidak sesuai dengan keadaan para ahli surga. Adapun arti rahmat, tidak dapat diterima, dikarenakan tidak mungkin makhluk memberikan rahmat dan kasih sayang kepada pencipta.

Kemudian, mereka memilih makna melihat, dengan petunjuk berdasarkan lidah orang Arab. Yaitu bahwa kata nazhar dengan arti "melihat" selalu diimbuhi kata ila, dan orang-orang Arab tidak menggunakan kata nazhar untuk arti menunggu dengan menggunakan imbuhan ila. Seperti firman-Nya yang berbunyi, "Ma Yandzuruna illa shaihatan wahidah" (Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja). Ketika Allah SWT menghendaki arti menunggu, Dia tidak mengim-buhi dengan kata ila. Oleh karena itu, tatkala Allah SWT mengatakan "Ila Rabbiha Nazhirah " (Kepada Tuhannyalah mereka melihat), maka kita tahu bahwa Dia tidak menginginkan arti menunggu, melainkan yang Dia inginkan adalah arti melihat. Demikian juga, tatkala Allah SWT menyertai arti "melihat" dengan menyebut kata "wajah", maka dari situ kita tahu bahwa melihat di sini ialah melihat dengan kedua mata yang ada di wajah."

Mereka juga beragumentasi bahwa kata nazhar di dalam ayat ini tidak mungkin berarti menunggu (intizhar). Karena menunggu (intizhar) merupakan pengurangan, dan yang demikian itu tidak ada pada hari kiamat. Oleh karena surga adalah tempat kenikmatan dan bukan tempat pahala atau siksaan.


Beberapa Catatan Atas Dalil-Dalil Di Atas

1. Adapun perkataan mereka yang mengatakan, jika kata nazhar berarti melihat maka diimubuhi kata ila, sedangkan jika berarti menunggu maka tidak diimbuhi kata ila, perlu kita jawab sebagai berikut: Sesungguhnya kata nazhirah yang terdapat pada ayat di atas adalah isim fa'il. Isim fa'il di dalam amalnya merupakan cabang dari fi'il. Dan, kecabangan (far'iyyah) ini menyebabkan lemahnya 'amil, sehingga oleh karena itu, dia memerlukan sesuatu yang menguatkannya. Di samping itu, di sini, ma'mul juga didahulukan (muqaddam), dan pendahuluan (taqdim) ini tentunya merupakan sebab lainnya lemahnya 'amil. Oleh karena itu, kata nazhirah di sini diimbuhi kata ila.

Di samping itu, penggunaan kata nazhara yang diimbuhi dengan kata ila, dengan arti melihat, juga digunakan di dalam perkataan orang Arab. Sebagaimana perkataan Hasan bin Tsabit di dalam syairnya,

"Wujuhun Yauma Badr Nazhirat Ilar Rahman Ya'ti bil Falah. "

(Pada hari badar, wajah-wajah menanti Tuhan
yang akan datang dengan membawa kemenangan)
Penggunaan yang seperti ini banyak sekali digunakan.

Al-Qur'an al-Karim juga telah mengimbuhi kata isim fa'il nazhirah dengan imbuhan huruf ba di dalam ayatnya yang berbunyi, "Fa Nazhirah Bima Yarji' al-Mursalun". Yang artinya, "Dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu."

Ini artinya, bahwa kata nazhirah dapat berarti "menunggu", baik dengan imbuhan maupun dengan tanpa imbuhan.

2. Adapun perkataan mereka yang mengatakan bahwa "menunggu" adalah berarti pengurangan dan tidak sesuai dengan ahli surga, kita perlu bertanya, dari mana dapat diketahui bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang surga?!

Bahkan, kita dapat mengetahui bahwa ayat-ayat ini tengah berbicara tentang saat "hisab", berdasarkan petunjuk ungkapan ayat, "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat." Rangkaian ayat ini menceritakan tentang keadaan mereka sebelum masuk ke tempat mereka yang kekal. Karena, jika mereka masuk ke dalam nereka, maka berarti telah ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat.

Oleh karena itu, arti "menunggu" sangat tepat sekali. Terlebih lagi, ini merupakan penggunaan yang sebenarnya dalam lidah orang Arab. Dengan demikian, kelompok Asy'ari tidak berhak memblokade makna ini.

Jika kita mengatakan bahwa kata nazhar di dalam ayat di atas berarti menunggu, maka itu artinya kita menafikan Allah dapat dilihat secara inderawi. Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa kata nazhar di dalam ayat di atas berarti melihat, maka yang dimaksud darinya ialah penggunaannya sebagaimana arti kiasan (majazi). Penetapan penggunaan yang seperti ini (yaitu penggunaan kata nazhar dengan arti melihat sebagai arti kiasan) telah dilakukan oleh Syeikh Ja'far Subhani. Yaitu dengan cara men-taqdir-kan (menentukan) adanya mudhaf yang dibuang, sehingga berdasarkan taqdirnya bunyi ayat di atas berbunyi, "ila tsawabi rabbiha nazhirah" (Mereka menunggu ganjaran Tuhannya). Penetapan taqdir yang seperti ini dibenarkan oleh hukum akal, setelah menghadapkan satu sama lain di antara ayat-ayat yang ada. Ayat yang ketiga dihadapkan kepada ayat yang pertama, dan ayat yang keempat dihadapkan kepada ayat yang kedua. Ketika dilakukan penghadapan yang seperti ini, maka kesamaran yang ada pada ayat yang kedua dapat dilenyapkan dengan ayat yang keempat. Berikut ini penyusunan ayat-ayat di atas berdasarkan perbandingan,
a. Ayat "Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri", dibandingkan dengan ayat "Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram".
b. Ayat "Kepada Tuhannyalah mereka melihat" dibandingkan ayat "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat".

Oleh karena ayat yang keempat, yang berbunyi "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat", jelas artinya, maka dia menjadi petunjuk bagi maksud dari ayat yang kedua, yaitu yang berbunyi "Kepada Tuhannya lah mereka melihat".

Jika maksud dari ayat yang keempat ialah bahwa orang-orang yang berdosa tengah menantikan azab pedih yang akan turun kepadanya, maka ini menjadi petunjuk bahwa kelompok orang-orang yang taat tengah menantikan rahmat dan karunia Allah yang dijanjikan kepada mereka. Sehingga dengan demikian, arti melihat di sini bukanlah berarti melihat kepada Zat Allah SWT. Karena jika tidak, maka tentu dua hal yang saling berhadapan (mutaqabilan) ini telah keluar dari keadaan berhadapan (taqabul), dan ini tentunya menyalahi.

"Dua hal yang saling taqabul —berdasarkan hukum taqabul— harus mempunyai makna dan pemahaman yang sama, dan tidak berbeda sedikit pun di antara keduanya kecuali dalam masalah positif (itsbat) dan negatif (nafi)".[411]

Dengan muqabalah ini ayat menjadi jelas artinya. Terlebih lagi rangkaian ayat ini tengah berbicara tentang saat hisab, sehingga dengan demikian tidak ada yang diharapkan selain dari ganjaran dan rahmat.

Sejumlah riwayat mengisyaratkan kepada makna ini. Seperti riwayat yang terdapat di dalam kitab Tawhid ash-Shaduq, yang berasal dari Imam ar-Ridha as, tentang firman Allah SWT yang berbunyi "Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada Tuhannya", yaitu yang artinya "wajah-wajah mereka berbinar menantikan ganjaran Tuhannya".[412]

Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa pemahaman "melihat kepada Zat Allah" itu telah keluar dari kerangka ayat ini dengan kedua kemungkinannya. Jika arti dari kata nazhirah itu menunggu, tentunya terkubur kemungkinan penunjukkan arti ayat ini kepada melihat dengan mata (ru'yah). Demikian juga, jika arti dari kata nazhirah itu melihat, maka itu tidak lain hanya merupakan kiasan dari menunggu rahmat Allah SWT. Sebagaimana ungkapan yang berbunyi, "Jangan kamu melihat kepada tangan si Fulan", dengan arti "Jangan kamu mengharapkan pemberian si Fulan". Penggunaan ungkapan yang seperti ini biasa digunakan. Sebagai contoh, seorang penyair berkata,

"Sesungguhnya aku melihat kepadamu dikarenakan apa yang telah kamu janjikan

Sebagaimana pandangan seorang yang fakir kepada seorang yang kaya."

Oleh karena itu, orang-orang Mukmin melihat (mengharapkan) kepada rahmat Allah SWT pada hari kiamat. Adapun orang-orang yang kafir, keadaan mereka jelas beradasarkan firman Allah SWT yang berbunyi,

"Dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yangpedih." (QS. Ali 'lmran: 77)

Jelas, yang dimaksud dengan ungkapan "tidak melihat kepada mereka" di dalam ayat di atas ialah Allah tidak memberikan rahmat kepada mereka, dan bukannya mereka tidak dapat melihat Allah SWT.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sekilas Defenisi Ibadah Berdasarkan Pemahaman Al-Qur'an


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Defenisi Ibadah Berdasarkan Pemahaman Al-Qur'an

Ibadah ialah ketundukan kata-kata dan perbuatan, yang bersumber dari keyakinan adanya sifat uluhiyyah atau sifat rububiyyah pada diri sesuatu yang diibadahi, atau keyakinan bahwa sesuatu itu merdeka di dalam perbuatannya, atau memiliki kekuasaan atas salah satu segi dari kehidupannya secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah.

Maka seluruh perbuatan yang disertai dengan keyakinan ini terhitung sebagai perbuatan syirik kepada Allah. Oleh karena itu, kita menemukan orang-orang musyrik jahiliyyah meyakini bahwa sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan. Al-Qur'an al-Karim dengan gamblang telah menjelaskan hal ini. Allah SWT berfirman, "Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka." (QS. Maryam: 81) Artinya, mereka meyakini sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan.

Allah SWT berfirman, "Yaitu orang-orang yang menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah, maka mereka kelak akan mengetahui akibatnya." (QS. al-Hijr: 96)

Ayat-ayat ini membantah perkataan kalangan Wahabi. Ayat ini menjelaskan bahwa terperosoknya para penyembah berhala kedalam kemusyrikan ialah disebabkan mereka meyakini sesembahan-sesembahan mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan. Allah SWT telah menjelaskan hal ini di dalam firman-Nya yang berbunyi, "Dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok kamu, (yaitu) orang-orang yang menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah; maka kelak mereka akan mengetahui akibatnya." (QS. al-Hijr: 94 - 96)

Ayat-ayat ini menetapkan tolak ukur dasar di dalam masalah syirik. Yaitu keyakinan akan adanya sifat-sifat ketuhanan pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Oleh karena itu, mereka menolak dan mengingkari akidah tauhid yang dibawa oleh Rasulullah saw. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, 'Tiada Tuhan selain Allah', mereka menyombongkan diri." (QS. ash-Shaffat: 35)

Oleh karena itu, dakwah para nabi kepada mereka ditujukan untuk memerangi keyakinan mereka yang mengatakan adanya Tuhan selain Allah. Karena, tidaklah masuk akal ada ibadah yang tidak disertai dengan keyakinan adanya sifat ketuhanan pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Dengan kata lain, meyakini terlebih dahulu, baru kemudian menyembah.

Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata, 'Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.'" (QS. al-A'raf: 59)

Dengan demikian, Al-Qur'an al-Karim telah menjelaskan penyimpangan mereka dari Tuhan yang sesungguhnya.

Jadi, tolak ukur di dalam masalah syirik ialah ketundukan yang disertai dengan keyakinan akan adanya sifat-sifat ketuhanan. Terkadang, kemusyrikan itu sebagai hasil dari keyakinan adanya sifat rububiyyah pada diri ma'bud (sesuatu yang disembah). Artinya, seseorang meyakini bahwa sesembahannya memiliki kekuasaan atas urusannya, seperti urusan penciptaan, pemberian rezeki, hidup dan mati. Atau, dia memiliki syafa'at dan ampunan. Dengan demikian, orang yang tunduk kepada sesuatu dengan keyakinan sesuatu itu mempunyai sifat-sifat rububiyyah maka berarti dia telah beribadah kepadanya. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur'an menyeru orang-orang kafir dan orang-orang musyrik untuk menyembah Tuhan yang Mahabenar. Allah SWT ber-firman,

"Padahal al-Masih berkata, 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabb-mu (Tuhanmu) dan Rabbku (Tuhankuku).'" (QS. al-Maidah: 72)

"Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu (Tuhanmu), maka sembahlah Aku." ( QS. al-Anbiya: 92)

Di sana juga terdapat tolak ukur yang ketiga. Yaitu keyakinan bahwa sesuatu itu merdeka di dalam zat dan perbuatannya, dengan tanpa bersandar kepada Allah SWT. Sikap khudhu' yang disertai dengan keyakinan ini terhitung syirik. Jika Anda tunduk di hadapan seorang manusia, dengan keyakinan bahwa dia merdeka di dalam perbuatannya, baik perbuatannya perbuatan yang biasa, seperti berbicara dan bergerak, atau seperti mukjizat yang dilakukan oleh para nabi, maka ketundukan Anda ini masuk ke dalam kategori ibadah. Bahkan, jika seandainya seorang manusia meyakini bahwa tablet obat menyembuhkan penyakit kepala secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka keyakinannya ini terhitung syirik.

Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa tolak ukur ibadah bukanlah semata-mata penampakkan ketundukan dan perendahan diri, melainkan ketundukan dan perendahan diri dengan ucapan maupun perbuatan kepada sesuatu yang diyakini bahwa dia itu ilah, rabb, atau pemilik salah satu dari urusannya secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT.


Apakah Keyakinan Tentang Dimilikinya Kemerdekaan Atau Tidak Dimilikinya Merupakan Tolak ukur Tauhid Dan Syirik?

Saya mengkhususkan tema ini pada pembahasan tersendiri. Karena di dalamnya terdapat point penting yang menjadi pemisah antara tauhid dan syirik, yang luput dari perhatian kalangan Wahabi. Mau tidak mau kita harus mengetahuinya, supaya kita dapat mengetahui bagaimana cara menyikapi cara-cara alami dan sebab-sebab gaib. Orang-orang Wahabi berpendapat bahwa bertawassul kepada sebab-sebab yang alami tidaklah menjadi masalah. Seperti menggunakan sebab-sebab di dalam keadaan-keadaan alami. Akan tetapi, menurut pandangan mereka, bertawassul kepada sebab-sebab gaib, seperti -misalnya— Anda meminta sesuatu kepada seseorang yang Anda tidak akan memperoleh sesuatu itu melalui cara-cara alami, melainkan cara-cara gaib, adalah syirik. Ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal, di mana mereka menjadikan cara-cara materi dan cara-cara gaib sebagai tolak ukur tauhid dan syirik. Sehingga berpegang kepada cara-cara materi berarti tauhid yang sesungguhnya, sementara berpegang kepada cara-cara gaib berarti syirik yang sebenarnya.

Jika kita melihat secara mendalam kepada cara-cara ini, niscaya kita akan menemukan bahwa tolak ukur tauhid dan syirik berada di luar kerangka cara-cara ini. Tolak ukur tersebut semata-mata kembali kepada diri manusia dan kepada bentuk keyakinannya terhadap cara-cara ini. Jika seorang manusia meyakini bahwa sebab-sebab ini mempunyai kemerdekaan yang terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka keyakinannya ini syirik.

Sebagai contoh, seseorang yakin bahwa suatu obat tertentu dapat menyembuhkan sebuah penyakit secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka perbuatan orang ini syirik. Walau bagaimana pun bentuk sebab-sebab tersebut, apakah melalui cara-cara alami atau cara-cara gaib. Yang menjadi dasar dalam masalah ini ialah ada atau tidak adanya keyakinan akan kemerdekaan dari Allah SWT. Jika seseorang meyakini bahwa semua sebab itu tidak merdeka dan tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT, baik di dalam wujudnya maupun di dalam pemberian pengaruhnya, dan bahkan dia itu tidak lebih hanya merupakan makhluk Allah SWT, yang menjalankan perintah dan kehendak-Nya, maka keyakinan orang ini adalah tauhid yang sesungguhnya.

Saya tidak yakin ada seorang Muslim di muka bumi ini yang mempunyai keyakinan bahwa sebab tertentu dapat memberikan pengaruh secara merdeka dan terlepas dari kekuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, kita tidak berhak menisbatkan kemusyrikan dan kekufuran kepada mereka. Adapun tawassul mereka kepada para rasul dan para wali, atau tabarruk mereka kepada bekas-bekas peninggalan mereka untuk meminta syafaat atau yang lainnya, tidak termasuk syirik.

Al-Qur'an al-Karim telah berbicara tentang sebab-sebab, di mana dia menisbatkan sebagian sesuatu kepada Allah SWT, dan ada kalanya menisbatkannya kepada yang menjadi sebab-sebabnya secara langsung. Berikut ini saya kemukakan beberapa contoh darinya:

Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah Dia lah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh." Ayat ini menekankan bahwa rezeki berada di tangan Allah SWT.

Jika kita melihat kepada firman Allah SWT yang berbunyi, "Berilah mereka rezeki (belanja) dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. " Di sini kita melihat rezeki dinisbatkan kepada manusia.

Pada ayat yang lain, Allah SWT menyatakan Diri-Nya sebagai penanam yang hakiki. Allah SWT berfirman, "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu tanam? Kamu kah yang menanamnya ataukah Kami yang menanamnya?" (QS. al-Waqi'ah: 63 - 64)

Pada ayat yang lain Allah menisbahkan sifat penanaman tersebut kepada manusia. Allah SWT berfirman, "Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanarnnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir." (QS. al-Fath: 29)

Pada sebuah ayat Allah SWT menjadikan pencabutan nyawa berada di tangan-Nya. Allah SWT berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya."

Sementara pada ayat yang lain Allah SWT menjadikan pencabutan nyawa sebagai perbuatan malaikat. Allah SWT berfirman, "Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, dia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya." (QS. al-An'am: 61)

Pada sebuah ayat Allah menyatakan bahwa syafaat hanya khusus milik Allah SWT. Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.'" (QS. az-Zumar: 44)

Sementara pada ayat yang lain Allah SWT memberitahukan tentang adanya para pemberi syafaat selain Allah. Seperti malaikat, misalnya. Allah SWT berfirman, " Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai-Nya." (QS. an-Najm: 26)

Pada sebuah ayat Allah menyatakan bahwa pengetahuan terhadap hal-hal yang gaib adalah sesuatu yang khusus bagi Allah. Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahuiperkarayang gaibkecuali Allah.'" (QS. an-Naml: 65)

Sementara pada ayat yang lain Allah SWT memilih para rasul di antara hamba-hamba-Nya, untuk diperlihatkan kepada mereka hal-hal yang gaib. Allah SWT berfirman, "Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya." (QS. Ali Imran: 179)

Dan begitu juga ayat-ayat yang lainnya.

Seorang yang melihat ayat-ayat ini secara sekilas, mungkin dia mengira di sana terdapat sebuah pertentangan. Pada kenyataannya, sesungguhnya ayat-ayat di atas menetapkan apa yang telah kita kata-kan. Yaitu bahwa hanya Allah SWT sajalah yang merdeka di dalam melakukan segala sesuatu. Adapun sebab-sebab yang lain, di dalam melakukan perbuatannya mereka bersandar dan berada di bawah naungan kekuasaan Allah SWT. Allah SWT telah meringkas pengertian ini di dalam firman-Nya yang berbunyi, "Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar." (QS. al-Anfal: 17)

Allah menyatakan bahwa Rasulullah saw yang telah melempar — dengan kata-kata "ketika kamu melempar". Namun pada saat yang sama Allah SWT menyatakan dirinya sebagai pelempar yang sesung-guhnya, karena sesungguhnya Rasulullah saw tidak melempar melain-kan dengan kekuatan yang telah Allah berikan kepadanya. Sehingga dengan begitu, Rasulullah saw adalah pelempar ikutan (bittaba').

Kita dapat membagi perbuatan Allah kepada dua bagian:
1. Perbuatan dengan tanpa perantara (kunfayakun).
2. Perbuatan dengan perantara. Seperti Allah menurunkan hujan dengan perantaraan awan, menyembuhkan orang sakit dengan perantaraan obat-obatan, dan lain sebagainya.

Jika seorang manusia bergantung dan bertawassul kepada perantara-perantara ini, dengan keyakinan bahwa perantara-perantara tersebut tidak merdeka dan tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka dia itu seorang muwahhid (orang yang mengesakan Allah), namun jika sebaliknya, maka dia orang musyrik.


Apakah Kemampuan Atau Ketidak-mampuan Merupakan Tolak Ukur Tauhid Dan Syirik?

Kalangan orang-orang Wahabi mempunyai kekeliruan yang lain di dalam masalah tauhid dan syirik, dan ini persis sebagaimana yang lalu. Mereka menetapkan bahwa salah satu dari tolak ukur tauhid dan syirik ialah adanya kemampuan atau ketidak-mampuan orang yang diminta pertolongan untuk merealisasikan kebutuhan yang diminta. Jika dia mampu maka tidak masalah, namun jika tidak mampu maka itu syirik. Sungguh ini merupakan kebodohan yang sangat.

Masalah ini sama sekali tidak mempunyai pengaruh di dalam masalah tauhid dan syirik, melainkan hanya merupakan pembahasan tentang bermanfaat atau tidak bermanfaatnya permintaan.

Di antara kekerasan hati orang-orang Wahabi ialah, mereka meng-hardik para peziarah Rasulullah saw dengan mengatakan, "Hai musyrik, Rasulullah saw tidak memberikan manfaat sedikit pun kepadamu."

Mereka memang bodoh. Sesungguhnya masalah bermanfaat atau tidak, itu tidak memberikan pengaruh di dalam masalah tauhid dan syirik.

Bukti kebodohan Wahabi yang lainnya ialah, mereka tidak membolehkan bertawassul dan meminta kepada orang yang sudah meninggal dunia.

Ibnul Qayyum —murid Ibnu Taimiyyah— mengatakan, "Salah satu di antara bentuk syirik ialah meminta kebutuhan dari orang yang telah meninggal dunia, serta memohon pertolongan dan menghadap kepada mereka. Inilah asal muasal syirik yang ada di alam ini. Karena sesungguhnya orang yang telah meninggal dunia, telah terputus amal perbuatannya, dan dia tidak memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mendatangkan bahaya dan manfaat bagi dirinya."[395]

Ini termasuk perkataan yang aneh, yang tidak akan keluar kecuali dari orang yang tidak memiliki ilmu dan pemahaman tentang agama. Bagaimana mungkin permintaan sesuatu dari orang yang masih hidup dikatakan tauhid, sementara permintaan sesuatu yang sama dari orang yang telah meninggal dunia dikatakan syirik?! Jelas, perbuatan yang semacam ini keluar dari kerangka pembahasan tauhid dan syirik, dan kita dapat meletakkannya di dalam kerangka pembahasan apakah permintaan ini berguna atau tidak berguna. Dan permintaan yang tidak berguna tidak termasuk syirik.

Sebagaimana yang telah kita utarakan, sesungguhnya yang menjadi tolak ukur dasar di dalam masalah tauhid dan syirik ialah keyakinan. Keyakinan di sini bersifat mutlak. Tidak dikhususkan bagi orang yang hidup atau orang yang mati. Dengan demikian, perkataan Ibnul Qayyim tampak jelas batalnya. Perkataan dia yang berbunyi, "Sesungguhnya orang yang mati telah terputus amal perbuatannya", seandainya benar, itu tidak lebih hanya menetapkan bahwa meminta dari orang yang mati itu tidak berguna, namun tidak menetapkan bahwa perbuatan itu syirik. Adapun perkataannya yang berbunyi, "Orang yang telah mati tidak memiliki sedikit pun kekuasaan untuk mendatangkan bahaya atau manfaat bagi dirinya", adalah merupakan perkataan yang umum yang mencakup orang yang telah mati maupun orang yang masih hidup. Karena seluruh makhluk, baik yang hidup maupun yang mati, tidak memiliki sedikit pun kekuasaan atas dirinya. Dia hanya memiliki kekuasaan atas dirinya semata-mata dengan izin dan kehendak Allah.

Juga masih banyak kekeliruan-kekeliruan lain yang dimiliki kalangan Wahabi, namun kita tidak dapat mendiskusikan semuanya di sini. Para pembaca yang mulia, Anda dapat menjawab kekeliruan-kekeliruan mereka itu berdasarkan dasar-dasar keterangan di atas.

Setiap Muslim boleh memohon pertolongan dan bertawassul kepada para wali Allah di dalam setiap urusan, baik yang gaib maupun yang materi, dengan menjaga dan memperhatikan syarat-syarat sebagai-mana yang telah dijelaskan.

Allah SWT berfirman, "Sulaimanberkata, 'Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singga-sananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.' Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin berkata, 'Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.' Se-seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab berkata, 'Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.' Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana hu terletak di hadapannya, ia pun berkata, 'lni termasuk kurnia Tuhanku.'" (QS. an-Naml: 38 - 40)

Jika Sulaiman as meminta perkara gaib ini dari para pengikutnya, dan jika seorang laki-laki yang mempunyai sedikit ilmu dari al-Kitab mampu melaksanakan permintaan itu, maka tentu kita boleh meminta kepada orang yang mempunyai seluruh ilmu al-Kitab. Terlebih lagi kepada Rasulullah saw dan Ahlul Baitnya.


Apakah Bertawassul Kepada Para Nabi Dan Orang-Orang Saleh Itu Haram?

Dari pembahasan yang lalu kita telah mengetahui bahwa tawassul dan istighasah (memohon pertolongan), keluar dari kerangka pembahasan tauhid dan syirik. Sekarang, tersisa pembahasan berikutnya, yaitu, apakah perbuatan itu dibolehkan atau diharamkan.

Belum pernah ada seorang pun dari para ulama Islam —baik dahulu maupun sekarang— yang mengatakan haramnya tawassul. Banyak sekali terdapat riwayat yang memperbolehkan perbuatan tawassul. Berikut ini beberapa contoh dari riwayat-riwayat tersebut:

Usman bin Hanif meriwayatkan,

"Seorang laki-laki buta datang ke hadapan Rasulullah saw dan berkata, 'Berdoalah kepada Allah supaya Dia menyembuhkanku.' Rasulullah saw bersabda, 'Jika kamu ingin, niscaya aku berdoa; namun jika kamu mau, kamu dapat sabar, dan itu lebih baik.' Laki-laki buta itu berkata, 'Berdoalah.' Rasulullah saw memerintahkannya untuk berwudu dengan cara yang paling bagus, kemudian salat dua rakaat, lalu berdoa dengan doa sebagai berikut, 'Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan menghadap kepada-Mu, dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. Hai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap Tuhanku dengan perantaraanmu, supaya Dia memenuhi kebutuhanku. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pemberi syafaat bagiku.," Usman bin Hanif berkata, "Demi Allah, belum sempat kami berpisah, dan belum lama kami berbicara, sehingga laki-laki buta itu menemui kami dalam keadaan bisa melihat dan seolah-olah tidak pernah buta sebelumnya."[396]

Syeikh Ja'far Subhani melakukan kajian tentang sanad hadis ini di dalam bukunya yang berjudul Ma'a al-Wahabiyyinfi Khuthathihim wa 'Aqa'idihim. Dia berkata, "Tidak ada keraguan tentang kesahihan sanad hadis ini. Bahkan, pemimpin kalangan Wahabi (yaitu Ibnu Taimiyyah) mengakui kesahihan sanad hadis ini, dengan mengatakan, 'Sesungguhnya yang dimaksud dengan nama Abu Ja'far yang terdapat di dalam sanad hadis ini adalah Abu Ja'far al-Khaththi. Dia seorang yang dapat dipercaya.'

Raffa'i, seorang penulis Wahabi abad ini, yang berusaha mendaifkan hadis-hadis yang khusus berkaitan dengan tawassul, telah berkata tentang hadis ini, Tidak diragukan bahwa hadis ini sahih dan masyhur. Telah terbukti tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa seorang yang buta dapat melihat kembali dengan perantaraan doa Rasulullah saw."[397]

Raffa'i berkata di dalam kitabnya at-Tawashshul, "Hadis ini telah diriwayatkan oleh Nasa'i, Baihaqi, Turmudzi dan Hakim di dalam kitab Mustadraknya. Zaini Dahlan, di dalam kitabnya Khulashah al-Kalam, menyebutkan hadis ini beserta dengan sanad-sanadnya yang sahih, yang kesemuanya berasal dari Bukhari di dalam tarikhnya, serta Ibnu Majah dan Hakim di dalam Mustadrak mereka berdua. Jalaluddin as-Suyuthi juga menyebutkan hadis ini di dalam kitabnya al-Jami'[398]...[399]"

Di sana juga terdapat riwayat-riwayat lain yang banyak sekali, yang tidak akan kita sebutkan, demi ringkasnya pembahasan. Untuk lebih memperdalam, silahkan merujuk kepada hadis bertawassulnya Adam kepada Rasulullah saw. Sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Mustadrak al-Hakim, jilid 2, halaman 15; kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 1, halaman 59; dengan menukil dari Thabrani, Abu Na'im al-Ishfahani. Demikian juga hadis tentang bertawassulnya Rasulullah dengan hak-hak para nabi sebelumnya. Sebagaimana juga Thabrani meriwayatkannya di dalam kitabnya al-Kabir dan al-Awsath. Begitu juga Ibnu Hibban dan al-Hakim, mereka berdua mensahihkannya. Selanjutnya, hadis bertawassul kepada orang-orang yang memohon, yang terdapat di dalam sahih Ibnu Majjah, jilid 1, halaman 261, bab al-Masajid; dan begitu juga di dalam musnad Ahmad, jilid 3, halaman 21. Demikian juga dengan riwayat-riwayat yang lain

Di samping itu, sesuatu yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul ialah, ijmak kaum Muslimin, dan begitu juga sejarah hidup orang-orang yang sejaman dengan Rasulullah saw. Kaum Muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, mereka bertawassul kepada para nabi dan orang-orang saleh. Tidak ada seorang ulama pun yang memprotes dan mengharamkan perbuatan tawassul.

Kita cukupkan sampai di sini pembahasan mengenai seputar keyakinan-keyakinan Wahabi. Diskusi dengan meraka memerlukan waktu yang panjang dan membutuhkan kitab yang tersendiri. Para ulama telah membantah ajaran kalangan Wahabi di dalam berpuluh-puluh kitab dan makalah yang mereka tulis. 'Allamah Muhsin Amin telah membantah keyakinan-keyakinan Wahabi melalui syairnya yang panjang, yang terdiri dari 546 bait. Silahkan Anda rujuk di dalam kitabnya yang berjudul Kasyf al-Irtiyab fi atba 'i Muhammad bin Abdul Wahhab.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sekilas Diskusi Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Diskusi Tentang Tauhid Rububiyyah

Untuk menjelaskan kesalahan yang dilakukan secara sengaja oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan juga menjelaskan kekeliruan yang menimpa banyak para pengikutnya, yang atas dasar itu kemudian mereka mengkafirkan mayoritas kaum Muslimin hingga jaman kita sekarang ini, mau tidak mau kita harus meletakkan pemikiran-pemikirannya di atas meja pembahasan dan pengkajian.

Kita mulai dengan pembahasan tauhid rububiyyah. Menjelaskan kata ar-rabb dengan arti pencipta, sangat jauh dari apa yang dimaksud oleh Al-Qur'an. Arti kata ar-rabb di dalam bahasa dan di dalam Al-Qur'an al-Karim tidak keluar dari arti "orang yang memiliki urusan pengelolaan dan pengaturan". Makna umum ini sejalan dengan ber-bagai macam ekstensi (mishdaq)-nya, seperti pendidikan, perbaikan, kekuasaan, dan kepemilikan. Akan tetapi, kita tidak bisa menerapkan kata ar-rabb kepada arti penciptaan, sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Wahabi. Untuk membuktikan secara jelas kesalahan ini, marilah kita merenungkan ayat-ayat berikut ini, supaya kita dapat menyingkap arti kata ar-rabb yang terdapat di dalam Al-Qur'an,

Allah SWT berfirman, "Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu." (QS. al-Baqarah: 21)

Allah SWT juga berfirman, "Sebenarnya Rabb kamu ialah Rabb langit dan bumi yang telah menciptakannya. " (QS. al-Anbiya: 56)

Jika kata ar-rabb berarti pencipta maka di sana tidak diperlukan penyebutan kata "yang telah menciptakanmu" atau kata "yang telah menciptakannya". Karena jika tidak, maka berarti terjadi pengulangan kata yang tidak perlu. Jika kita meletakkan kata al-khaliq (pencipta) sebagai ganti kata ar-rabb pada kedua ayat di atas, maka tidak lagi diperlukan penyebutan kata "yang telah menciptakanmu" dan kata "yang telah menciptakannya". Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa arti kata ar-rabb adalah pengatur atau pengelola, maka di sana tetap diperlukan penyebutan kata "yang telah menciptakanmu" dan kata "yang telah menciptakannya". Sehingga dengan demikian, makna ayat yang pertama ialah "sesungguhnya Zat yang telah menciptakan-mu adalah pengatur urusanmu", sementara pada ayat yang kedua ialah "sesungguhnya pencipta langit dan bumi adalah penguasa dan pengatur keduanya." Adapun bukti-bukti yang menunjukkan kepada makna ini banyak sekali, namun kita tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskannya secara rinci.

Oleh karena itu, perkataannya yang berbunyi "Adapun tentang tauhid rububiyyah, baik Muslim maupin kafir mengakuinya" adalah perkataan yang tanpa dasar, dan jelas-jelas ditentang oleh nas-nas Al-Qur'an. Allah SWT berfirman, "Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu." (QS. al-An'am: 164)

Ini merupakan perkataan Allah kepada Rasul-Nya, supaya dia menyampaikannya kepada kaumnya. Yaitu artinya, "Apakah engkau memerintahkan aku untuk mengambil Rabb (Tuhan) yang aku akui pengelolaan dan pengaturannya selain Allah, yang tidak ada pengatur selain-Nya; sebagaimana engkau mengambil berhala-berhalamu dan mengakui pengelolaan dan pengaturannya.

Jika orang-orang kafir mengakui bahwa pengelolaan dan pengaturan hanya semata-mata milik Allah, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka ayat ini tidak mempunyai arti sama sekali, sehingga hanya menjadi sesuatu yang sia-sia, na'udzu billah. Karena setiap manusia —berdasakan sangkaan Muhammad bin Abdul Wahhab— baik Muslim maupun kafir, semuanya mentauhidkan Allah di dalam rububiyyah-Nya, maka tentu mereka tidak memerintahkan untuk mengambil Rabb selain Allah. Juga terdapat ayat yang seperti ini yang berkenaan dengan seorang yang beriman dari kalangan keluarga Fir'aun. Allah SWT berfirman, "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia mengatakan, 'Rabbku ialah Allah', padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. " (QS. al-Mukmin: 28)

Demikian juga, berpuluh-puluh ayat lainnya menguatkan bahwa kata ar-rabb bukanlah berarti pencipta, melainkan pengatur, yang di tangannya terletak pengaturan segala sesuatu. Kata ar-rabb dengan arti ini (yaitu pencipta), sebagaimana ditekankan oleh ayat-ayat Al-Qur'an, tidak menjadi kesepakatan di antara anggota manusia. Dan tidaklah Muhammad bin Abdul Wahhab itu melainkan murid dan pengikut Ibnu Taimiyyah. Dia telah menukil pemikiran ini dari Ibnu Taimiyyah dengan tanpa melalui proses pangkajian, sehingga bahaya yang ditimbulkannya atas kaum Muslimin jauh lebih besar. Ibnu Taimiyyah tidak mengeluarkan pemikiran ini dari kerangka ilmiah. Berbeda dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang ditunjang oleh keadaan sehingga bisa melaksanakan pemikiran ini pada tataran praktis dan menerapkannya pada kaum Muslimin. Maka hasil dari semua ini ialah, mereka mengkafirkan kelompok lain selain Wahabi. Supaya lebih jelas, kita akan mengkaji pandangannya mengenai seputar tauhid uluhiyyah.


Diskusi Tentang Tauhid Uluhiyyah.

Yang dimaksud dengan tauhid uluhiyyah oleh kalangan Wahabi ialah bahwa ibadah semata-mata hanya untuk Allah SWT, dan seseorang tidak boleh menyekutukan-Nya dengan yang lainnya di dalam beribadah kepada-Nya. Inilah tauhid yang menjadi tujuan diutusnya para nabi dan para rasul.

Tidak ada keraguan sedikit pun tentang pemahaman ini. Namun, di sana terdapat kekaburan mengenai istilah. Karena, di dalam Al-Qur'an, Allah SWT bukanlah berarti al-ma'bud (yang disembah). Kita dapat menamakan tauhid ini dengan tauhid ibadah. Namun demikian tidak ada masalah dengan istilah jika kita telah sepakat mengenai pemahaman.

Kaum Muslimin sepakat akan wajibnya menjauhkan diri dari ber-ibadah kepada selain Allah SWT, dan hanya semata-mata beribadah kepada-Nya. Namun yang menjadi perselisihan ialah mengenai batasan pengertian ibadah. Dan, ini merupakan sesuatu yang paling penting di dalam bab ini. Karena, inilah yang menjadi tempat tergelincirnya kaki kalangan Wahabi. Jika kita mengatakan bahwa tauhid yang murni ialah kita mempersembahkan ibadah semata-mata kepada Allah SWT, maka yang demikian tidak akan ada artinya jika kita tidak mendefe-nisikan terlebih dahulu pengertian ibadah, sehingga kita mengetahui batasan-batasannya, yang tentunya akan menjadi tolak ukur yang tetap bagi kita untuk membedakan seorang muwahhid dari seorang musyrik. Sebagai contoh, orang yang bertawassul kepada para wali, menziarahi kuburan mereka, dan mengagungkan mereka, apakah termasuk seorang musyrik atau seorang muwahhid? Sebelum kita menjawab, kita harus terlebih dahulu mempunyai ukuran yang dengannya kita dapat menyingkap ekstensi-ekstensi ibadah pada kenyataan di luar.


Diskusi Wahabi Tentang Pengertian Ibadah

Kalangan Wahabi menganggap, bahwa seluruh ketundukan, pe-rendahan diri dan penghormatan adalah ibadah.

Maka, setiap orang yang tunduk atau merendahkan diri kepada sesuatu, dia dianggap sebagai hamba sesuatu tersebut. Barangsiapa yang tunduk dan merendahkan diri kepada salah seorang nabi Allah atau kepada salah seorang wali Allah, dengan bentuk ketundukan yang bagaimana pun, maka dia telah menyembahnya, dan dengan begitu berarti dia telah menyekutukan Allah. Seorang yang menempuh perjalanan yang jauh dengan tujuan untuk menziarahi Rasulullah saw, sehingga dapat mencium dan menyentuh makamnya yang suci, dengan tujuan bertabarruk, maka dia terhitung sebagai orang kafir dan orang musyrik. Demikian juga halnya dengan orang yang mendirikan bangunan di atas kuburan, untuk menghormati dan mengagungkan orang yang dikubur di dalamnya

Muhammad bin Abdul Wahhab berkata pada salah satu risalahnya, "... Barangsiapa yang menginginkan sesuatu dari kuburan, pohon, bintang, para malaikat atau para rasul, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atau menghilangkan bahaya, maka dia telah menjadikannya sebagai Tuhan selain Allah. Berarti dia telah berdusta dengan ucapannya yang berbunyi 'tidak ada Tuhan selain Allah'. Dia harus diminta bertaubat. Jika dia bertaubat, dia dibebaskan; namun jika tidak, maka dia harus dibunuh. Jika orang musyrik ini berkata, 'Saya tidak bermaksud darinya kecuali hanya untuk bertabarruk, dan saya tahu bahwa Allahlah yang memberikan manfaat dan mendatangkan madharat.' Katakanlah kepadanya, 'Sesungguhnya Bani Israil pun tidak menghendaki kecuali apa yang kamu kehendaki. Sebagaimana yang telah Allah SWT beritakan tentang mereka. Yaitu manakala mereka telah berhasil menyeberangi laut, mereka mendatangi sebuah kaum yang tengah menyembah berhala mereka. Kemudian Bani Israil berkata, 'Hai Musa, buatkanlah untuk kami seorang Tuhan sebagai-mana Tuhan-Tuhan yang mereka miliki', lantas Musa berkata, 'Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh."'[392]

Muhammad bin Abdul Wahhab juga berkata di dalam risalahnya yang lain, "Barangsiapa yang bertabarruk kepada batu atau kayu, atau menyentuh kuburan atau kubah, dengan tujuan untuk bertabarruk kepada mereka, maka berarti dia telah menjadikan mereka sebagai Tuhan-Tuhan yang lain."[393]

Selanjutnya, cobalah perhatikan seorang Wahabi yang bernama Muhammad Sulthan al-Ma'shumi, bagaimana dia menggambarkan orang-orang Muslim yang mengesakan Allah, yang menziarahi kuburan Rasulullah saw, bertabarruk kepadanya, dan mengatakan "Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya" sebagai berikut, "Pada kunjungan saya yang keempat ke kota Madinah, saya menyaksikan di Mesjid Nabawi di sisi kuburan Rasulullah saw yang mulia, banyak sekali terdapat hal-hal yang bertentangan dengan iman, hal-hal yang menghancurkan Islam dan hal-hal yang membatalkan ibadah, yaitu berupa kemusyrikan-kemusyrikan yang muncul disebabkan sikap berlebihan, kebodohan, taklid buta dan ta'assub yang batil. Sebagian besar yang melakukan kemunkaran-kemunkaran ini adalah orang-orang asing yang berasal dari berbagai penjuru dunia, yang mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat agama. Mereka telah menjadikan kuburan Rasulullah saw sebagai berhala, disebabkan cinta yang berlebihan, sementara mereka tidak merasa."[394]

Supaya kebodohan yang telah dilakukan oleh kelompok Wahabi menjadi jelas bagi kita, mau tidak mau kita harus mematahkan dan membatalkan kaidah yang mereka jadikan sebagai ukuran di dalam menentukan dan menetapkan ibadah, yaitu ketundukkan, perendahan diri dan penghormatan.

Baik menurut syariat maupun akal, kita tidak dapat meletakkan secara keseluruhan kata khudhu' (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan diri) sebagai ibadah. Kita melihat banyak sekali perbuatan yang dilakukan oleh manusia di dalam kehidupan sehari-harinya ynag disertai dengan ketundukkan dan perendahan diri. Sebagai contoh —misalnya— ketundukkan seorang murid kepada gurunya dan begitu juga ketundukkan seorang prajurit di hadapan komandannya. Tidak mungkin ada seorang manusia yang berani mengatakan perbuatan yang mereka lakukan itu ibadah. Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menampakkan ketundukkan dan perendahan diri kepada kedua orang tua. Allah SWT berfirman, "Dan turunkanlah sayapmu (rendahkanlah dirimu) di hadapan mereka berdua dengan penuh kasih sayang." Kata "penurunan sayap" di sini adalah merupakan kiasan dari ketundukkan yang sangat. Kita tidak mungkin menyebut perbuatan ini sebagai ibadah. Bahkan, slogan seorang Muslim ialah "tunduk dan merendahkan diri di hadapan seorang Mukmin, serta congkak dan meninggikan diri di hadapan orang kafir". Allah SWT berfirman, "Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir. "

Jika perendahan diri dikatakan sebagai ibadah, berarti Allah telah memerintahkan orang-orang Mukmin untuk beribadah kepada satu sama lainnya. Jelas, ini sesuatu yang mustahil.

Banyak sekali terdapat ayat yang dengan jelas berbicara tentang hal ini, dan menafikan sama sekali klaim yang dikatakan oleh orang-orang Wahabi. Di antaranya ialah, ayat yang menceritakan sujudnya para malaikat kepada Adam. Sujud adalah merupakan peringkat tertinggi dari khudhu' (ketundukkan) dan tadzallul (perendahan diri).

Allah SWT berfirman, "Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlahkamu kepada Adam.'" (QS. al-Baqarah: 34)

Jika sujud kepada selain Allah SWT dan penampakkan puncak ketundukkan dan perendahan diri itu disebut ibadah, sebagaimana yang dikatakan oleh kalangan Wahabi, maka tentu para malaikat — na'udzu billah— telah musyrik dan telah kafir. Tidakkah mereka mentadabburi Al-Qur'an? Atau, apakah pada hati mereka terdapat kunci yang menutup?

Dari ayat ini kita dapat mengetahui bahwa puncak dari ketundukkan bukanlah ibadah. Di samping itu, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kata "sujud" di dalam ayat ini bukanlah berarti makna hakiki, atau yang dimaksud dengan sujud kepada Adam ialah menjadikannya sebagai kiblat —sebagaimana kaum Muslimin menjadikan Ka'bah sebagai kiblat mereka. Kedua kemungkinan ini adalah kemungkinan yang batil. Karena, pengertian sujud yang tampak dari ayat ini ialah bentuk sujud sebagaimana yang sudah banyak diketahui, serta tidak bisa dipalingkan kepada makna yang lain. Adapun mengartikannya dengan mengatakan menjadikan Adam sebagai kiblat adalah merupakan sebuah takwil yang tanpa dasar. Karena, sekiranya arti sujud kepada Adam adalah berarti menjadikan Adam sebagai kiblat, maka tidak ada alasan bagi Iblis untuk mengajukan protes. Disebabkan sujud tidak ditujukan kepada Adam dalam arti yang sesungguhnya. Al-Qur'an al-Karim telah mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan kemungkinan di atas. Yaitu melalui perkataan Iblis yang berbunyi, "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?" (QS. al-Isra: 61)

Yang Iblis pahami dari perintah Allah SWT ialah sujud kepada diri Adam itu sendiri. Oleh karena itu, dia protes dengan mengatakan, "Saya lebih baik darinya." Dengan kata lain dia mengatakan, "Saya lebih utama darinya. Bagaimana mungkin seorang yang lebih utama harus sujud kepada orang yang tidak lebih utama." Jika yang dimaksud dengan sujud di sini ialah menjadikan Adam sebagai kiblat, maka tidaklah harus berarti bahwa kiblat lebih utama dari orang yang sujud. Dengan begitu, berarti Adam tidak mempunyai keutamaan atas mereka. Ini jelas bertentangan dengan zahir ayat. Perkataan Iblis menguatkan pengertian ini. Iblis berkata, "Iblis berkata, 'Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?' Iblis berkata, 'Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil'" (QS. al-Isra: 61 - 62)

Keengganan Iblis untuk sujud kepada Adam adalah dikarenakan pada sujud tersebut terdapat kedudukan dan keutamaan yang besar bagi Adam. Pada suatu hari seorang Wahabi —yaitu pemimpin jamaah Ansharus Sunnah di kota Barbar, kawasan utara Sudan— pernah memprotes saya berkenaan dengan pembahasan ini. Dia mengatakan, "Sesungguhnya sujudnya malaikat kepada Adam adalah dikarenakan perintah Allah SWT." Dia menyangka dengan perkataannya itu dapat membungkam saya dan menghancurkan argumentasi saya. Saya katakan kepadanya, "Jika demikian, berarti Anda tetap bersikeras bahwa perbuatan ini —yaitu sujud— termasuk kategori syirik, namun Allah SWTmemerintahkannya."

Dia menjawab, "Ya."

Saya bertanya kepadanya, "Apakah perintah Ilahi ini telah menge-luarkan sujudnya malaikat kepada Adam dari katagori syirik?"

Dia menjawab, "Ya."

Saya berkata, "Ini perkataan yang tidak berdasar, yang tidak akan diterima oleh orang yang bodoh sekali pun, apalagi oleh orang yang berilmu. Karena, perintah Ilahi tidak dapat mengubah esensi sesuatu. Sebagai contoh, esensi dari celaan dan caci maki ialah penghinaan. Jika Allah SWT memerintahkan kita untuk mencaci Fir'aun, lantas apakah perintah Ilahi ini dapat mengubah esensi celaan, sehingga dengan demikian celaan kita menjadi pujian dan penghormatan bagi Fir'aun?

Demikian juga, seandainya Allah SWT melarang kita untuk menjamu seorang tamu tertentu, maka pelarangan ini tidak merubah esensi penjamuan, yaitu berupa penghormatan dan pemuliaan, sehingga —misalnya— penjamuan itu menjadi penghinaan bagi tamu, dan demikian juga sujud yang dikarenakan perintah Allah berubah menjadi tauhid yang murni. Tidak, yang demikian ini mustahil. Dengan perkataan ini berarti Anda telah menuduh para malaikat telah berbuat syirik."

Mulailah tampak keheranan di wajahnya. Dia diam dan tidak bicara.

Saya memutus diamnya dengan mengatakan, "Di hadapan Anda ada dua kemungkinan. Yaitu apakah sujud ini keluar dari katagori ibadah, dan ini adalah apa yang kami katakan. Atau, apakah sujud ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang paling jelas, sehingga dengan demikian berarti malaikat yang sujud telah berbuat syirik, namun perbuatan syirik yang telah diizinkan dan diperintahkan oleh Allah SWT. Perkataan kedua ini adalah perkataan yang tidak mungkin dikatakan oleh seorang Muslirayang berakal, dan jelas-jelas tertolak berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi, "Katakanlah, 'Sesungguhnya Allah tidak menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji.' Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?'" (QS. al-A'raf: 28)

Sekiranya sujud itu ibadah dan perbuatan syirik, tentu Allah SWT tidak akan menyuruhnya.

Al-Qur'an al-Karim juga telah memberitahukan kita akan sujudnya saudara-saudara Yusuf dan juga ayahnya kepada dirinya. Sujud yang mereka lakukan ini bukan dikarenakan perintah Allah, namun demikian Allah SWT tidak menyebutnya sebagai perbuatan syirik, dan tidak menuduh saudara-saudara Yusuf dan juga ayahnya telah melakukan perbuatan syirik. Allah SWT berfirman, "Dan dia menaikan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan Yusuf berkata, 'Wahai ayahku, inilah tabir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.'" (QS. Yusuf: 100)

Mimpi yang dikatakan Yusuf itu terdapat di dalam surat Yusuf, ayat 4, "Ingatlah ketika Yusufberkata kepada ayahnya, 'Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas buah bintang, matahari dan bulan; aku lihat semuanya sujud kepadaku.''

Allah SWT telah menyebut peristiwa sujudnya mereka kepada Yusuf pada dua tempat. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa semata-mata sujud, yaitu perbuatan yang menampakkan ketundukkan, perendahan diri dan pengagungan, bukanlah ibadah.

Atas dasar ini, kita tidak dapat menamakan seorang Muslim muwahhid yang tunduk dan merendahkan diri di hadapan makam Rasulullah, makam para imam dan makam para wali, sebagai orang musyrik yang menyembah kuburan. Karena, ketundukkan bukanlah berarti ibadah. Jika perbuatan yang semacam ini dikatagorikan sebagai perbuatan ibadah kepada kuburan, maka amal perbuatan kaum Muslimin pada ibadah haji, seperti tawaf mengelilingi Ka'bah, melakukan sa'i di antara shafa dan marwah, dan juga mencium batu hajar aswad, tentu juga termasuk ibadah. Karena dilihat dari bentuk zahir, perbuatan-perbuatan ini tidak berbeda dengan perbuatan mengelilingi kuburan Rasulullah saw, menciumi atau menyentuhnya. Di samping itu, kita mendapati Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah mereka melakukan tawaf mengelilingi rumah yang tua itu (Baitullah)." (QS. al-Hajj: 29)

Allah SWT juga berfirman, "Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i di antara keduanya. " (QS. al-Baqarah: 158)

Apakah Anda memandang bahwa bertawaf mengelilingi batu dan tanah (Ka'bah) merupakan ibadah kepadanya?

Seandainya secara umum ketundukkan dikatakan sebagai ibadah, tentu perbuatan-perbuatan ini pun dikatagorikan sebagai ibadah, dan tidak bisa dirubah esensinya melalui perintah Allah. Karena sebagaimana telah kita jelaskan bahwa perintah Allah tidak dapat mengubah esensi suatu perbuatan. Namun yang menjadi masalah bagi kalangan Wahabi ialah mereka tidak mengetahui defmisi ibadah, dan tidak memahami jiwa dan hakikatnya, sehingga mereka hanya berurusan dengan bentuk lahir saja. ketika mereka melihat seorang peziarah kuburan Rasulullah saw menciumi makam Rasulullah saw, maka dengan serta merta terbayang di dalam benak mereka seorang musyrik yang menciumi berhalanya, lalu dengan segera mereka menyamakan perbuatan seorang Muslim muwahhid yang menciumi kuburan Rasulullah saw dengan perbuatan seorang musyrik yang menciumi berhalanya. Jelas ini sebuah kesalahan. Seandainya semata-mata bentuk luar cukup untuk dijadikan dasar penetapan hukum, maka tentunya mereka pun harus mengkafirkan seluruh orang yang mencium hajar aswad. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Seorang Muslim yang mencium hajar aswad, perbuatannya itu dihitung sebagai tauhid yang murni, sementara seorang kafir yang mencium berhala, perbuat-annya itu dihitung sebagai perbuatan syirik yang nyata.

Apa bedanya?!

Terdapat ukuran lain yang dengannya kita dapat mengetahui ibadah.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Commet Facebook Umum ABNS

 
Copyright © 2014 AHLUL BAIT NABI SAW Powered By AHLUL BAIT NABI SAW.