Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)
Kontradiksi antara Ajaran-Ajaran Asy’ariyah
Sejarah menyebutkan bahwa Abul Hasan al-Asy'ari telah berpindah dari madrasah Mu'tazilah, dan mengumumkan kebergabungannya kepada madrasah Hanbaliyyah. Akan tetapi, perpindahan ini tidaklah cukup untuk dapat menjadikan dia terlepas sama sekali dari jalan Mu'tazilah. Pengaruh-pengaruh pemikiran Mu'tazilah tampak dengan jelas di dalam jalannya yang baru. Dia berusaha mengemas keyakinan-keyakinan salaf dengan kemasan akal. Namun dia tidak berhasil di dalam usahanya ini. Karena keyakinan-keyakinan salaf merupakan keyakinan-keyakinan sima'i, yang bersandar kepada hadis. Padahal banyak sekali hadis-hadis yang tidak sahih yang disisipkan oleh musuh-musuh agama ke dalam warisan Islam. Hadis-hadis ini tidak sejalan dengan kaidah-kaidah akal. Dengan demikian, hal ini menciptakan pertentangan dan kontradiksi yang amat jelas di dalam jalan Abul Hasan al-Asy'ari. Maka lahirlah sekumpulan pertentangan dan kontradiksi manakala Abul Hasan al-Asy'ari hendak mengargumentasikan keyakinan-keyakinan Ahlul Hadis dengan metode akal.
Di sini, kita akan kemukakan satu contoh dari pertentangan yang ada di dalam ajarannya. Yaitu masalah melihat Allah (ru'yatullah). Kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah sepakat bahwa Allah SWT akan dapat dilihat. Abul Hasan al-Asy'ari dan murid-muridnya telah ber-usaha untuk mengeluarkan pembahasan ini dari hanya sekedar kerangka hadis kepada kerangka argumentasi akal.
Kitab-kitab Ahlus Sunnah penuh dengan riwayat-riwayat yang secara jelas menyatakan Allah dapat dilihat dengan mata. Berikut ini beberapa contoh dari hadis-hadis tersebut, sebelum kita menyelami pembahasan.
- Dari Jabir yang berkata, "Kami peraah duduk di sisi Rasulullah saw. Lalu, Rasulullah saw melihat ke bulan pada malam bulan purnama. Kemudian Rasulullah saw berkata, 'Kelak kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana sekarang kamu melihat bulan ini, yang tidak samar di dalam melihatnya. Jika kamu mampu untuk tidak bersikap lemah di dalam mengerjakan salat sebelum terbit dan terbenamnya matahari, maka lakukanlah.' Kemudian Rasulullah saw membaca ayat, 'Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit dan terbenamnya matahari.'"
Sahih Bukhari, jilid 1, bab Keutamaan salat Ashar.
Sahih Muslim, jilid 2, bab Keutamaan salat Subuh dan Asar dan memperhatikan keduanya.
- Di dalam sebuah hadis yang panjang, Abu Hurairah meriwayatkan, "Sekelompok orang berkata, 'Ya Rasulallah, apakah kita akan melihat Tuhan kita pada hari kiamat?'
Rasulullah saw berkata, 'Apakah kamu berselisih di dalam melihat bulan pada malam bulan purnama, ketika tidak ada awan?'
Mereka menjawab, 'Tidak, ya Rasulullah.'
Rasulullah saw bersabda, 'Kamu tidak berselisih di dalam melihat Allah pada hari kiamat, sebagaimana kamu tidak berselisih di dalam melihat salah seorang dari kamu.' Sampai Rasulullah saw mengatakan, 'Hingga jika tidak ada yang tersisa kecuali orang yang dahulu menyembah Allah, dari orang yang saleh maupun crrang yang fasik, Allah SWT mendatangi mereka dalam wajah yang paling dekat yang pernah mereka lihat. Allah SWT bertanya, 'Apa yang sedang kamu tunggu?' .... Setiap umat mencari Tuhan yang dahulu disembahnya.
Mereka menjawab, 'Kami meninggalkan manusia ketika di dunia, dan tidak bergaul dengan mereka, dan sekarang kami tengah menunggu Tuhan yang dahulu kami sembah.'
Allah SWT berkata, 'Aku ini Tuhanmu.'
Mereka berkata, 'Kami tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun', sebanyak dua atau tiga kali.
Manakala sebagian dari mereka hampir berpaling, lalu Allah SWT berkata, 'Apakah antara kamu dengan Dia terdapat tanda yang dengannya kamu dapat mengenali-Nya?'
Mereka menjawab, 'Betis.' Maka Allah SWT pun menyingkapkan betisnya." Sahih Bukhari, jilid 6, tafsir surat an-Nisa, dan jilid 9, kitab at-Tauhid. Sahih Muslim, jilid 1, bab "Mengenal Jalan Ru'yah (Melihat Allah)".
- Dari Jarir bin Abdullah yang berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Kelak kamu akan dapat melihat Allah dengan matamu."
Sahih Bukhari, jilid 9, kitab at-Tauhid. Firman Allah SWT yang berbunyi, "Mereka melihat kepada Tuhannya."
Dan, berpuluh-puluh hadis lainnya yang terdapat di dalam kitab-kitab sahih. Ibnu Hajar berkata berkenaan dengan hadis-hadis ru'yah (melihat Allah), "Daruquthni telah mengumpulkan hadis-hadis yang berkenaan dengan melihat Allah pada hari akhirat, sehingga terkumpul lebih dari dua puluh hadis. Ibnul Qayyum menyelidiki hadis-hadis ru'yah di dalam kitab Hadi al-Arwah, sehingga mencapai tiga puluh hadis, dan sebagian besarnya sahih. Daruquthni berkata dengan ber-sanad kepada Yahya bin Mu'in, 'Saya mempunyai tujuh belas hadis tentang ru'yah yang kesemuanya sahih.'"[400]
Dengan hadis-hadis yang mereka anggap sahih ini, mereka mem-bangun keyakinan tentang dapat melihat Allah pada hari kiamat. Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal bersikap berlebihan dengan mengkafirkan setiap orang yang menentang keyakinan ini. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mereka mengatakan mungkinnya Allah SWT dilihat di dunia.
Al-Isfira'ini berkata, "Kalangan Ahlus Sunnah sepakat bahwa Allah SWT akan dapat dilihat oleh orang-orang Mukmin pada hari akhirat. Mereka juga mengatakan, Allah dapat dilihat pada setiap keadaan, bagi setiap yang hidup, berdasarkan jalan akal. Adapun pada hari akhirat, Allah SWT pasti dilihat oleh orang-orang Mukmin, berdasarkan jalan riwayat."[401]
Setelah itu, para ulama mereka mengklaim telah melihat Allah SWT di dalam mimpi. Sya'rani, Ibnu Jauzi dan Syabalanji meriwayat-kan bahwa Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, "Saya mendengar ayah saya berkata, 'Saya telah melihat Tuhan yang Mahamulia di dalam mimpi. Saya berkata kepada-Nya, 'Wahai Tuhan, Sesuatu apa yang paling utama mendekatkan seseorang kepada-Mu?'
Tuhan menjawab, 'Perkataan-Ku, hai Ahmad.' Saya bertanya lagi, 'Dengan pemahaman atau dengan tanpa pe-mahaman.'
Tuhan menjawab, 'Dengan pemahaman maupun dengan tanpa pemahaman.'"[402]
Al-Alusi telah mengaku melihat Allah sebanyak tiga kali di dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma'ani, "Demi Allah, alhamdulillah, saya telah melihat Allah sebanyak tiga kali di dalam mimpi. Adapun kali yang ketiga saya melihat-Nya pada tahun 1246 Hijrah. Saya melihat-Nya terdiri dari cahaya, dan tengah menuju ke timur. Dia berbicara kepadaku dengan kata-kata yang saya lupa ketika saya bangun. Saya pernah satu kali melihat-Nya dalam sebuah mimpi yang panjang, seolah-olah saya tengah berada di dalam surga, berada di antara kedua tangan-Nya, dan antara saya dengan Dia terdapat tirai yang dikepang dengan mutiara yang beraneka ragam warnanya. Lalu Allah SWT memerintahkan saya untuk pergi ke makam Isa as, dan kemudian ke makam Muhammad saw. Maka saya pun pergi ke makam keduanya. Kemudian, saya pun melihat apa yang saya lihat. Dan hanya kepunyaan Allahlah karunia dan keutamaan."[403]
Inilah ringkasan keyakinan mereka tentang melihat Allah SWT. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakan.
Sungguh, mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya.
Tidak diragukan, keyakinan ini menuntut pemikiran-pemikiran sebagai berikuf
1. Sesungguhnya penglihatan inderawi (ar-ru'yah al-hissiyyah), sebagaimana yang ditekankan oleh hadis-hadis ini, menuntut sesuatu yang dilihat itu memiliki kepadatan dan warna, sehingga dapat dilihat. Di antara keharusan dari keyakinan ru 'yah (melihat Allah) ialah bahwa sesuatu yang dilihat tersebut memantulkan cahaya, berada di hadapan yang melihat, terdapat jarak di antara yang melihat dengan yang dilihat, di samping harus sehatnya indera penglihatan. Dengan syarat-syarat ini —nau'udzu billah— tentunya Allah SWT berjisim dan dibatasi oleh tempat. Sungguh, ini adalah sesuatu yang mustahil.
2. Selain itu, keyakinan ini juga mengharuskan Allah SWT tampil dengan wajah-wajah yang berbeda. Sebagaimana kata-kata hadis yang berbunyi, "Allah mendatangi mereka dalam wajah yang tidak mereka kenal. Allah SWT berkata, 'Aku ini Tuhanmu.' Mereka berkata, 'Kami berlindung kepada Allah darimu.' Maka Allah SWT pun mendatangi mereka dalam wajah yang mereka kenal." Adapun jalan yang dengannya mereka dapat mengenal Allah SWT ialah betis Allah. Masya Allah, Allah mempunyai betis yang dapat dibuka dan ditutup...!!
Keyakinan-keyakinan yang jelas-jelas kufur ini, merupakan akibat logis dari hadis-hadis Israiliyyat yang diterima oleh saudara-saudara kita Ahlus Sunnah, yang terdapat di dalam kitab Bukhari dan Muslim. Karena, jika sekiranya hadis-hadis ini tidak ada niscaya akal sehat tidak akan menerima perkataan dan keyakinan ini.
Oleh karena itu, kita mendapati Ahlul Bait as menentang keyakinan ini dan seluruh keyakinan yang mendorong kepada keyakinan tajsim dan tasybih. Mereka mendustakan hadis-hadis yang disisipkan oleh Ka'ab al-Ahbar al-Yahudi dan Wahab bin Manbah al-Yamani, yang telah banyak menyebarkan keyakinan tentang tajsim dan ru 'yah. Keyakinan ini telah memenuhi kitab-kitab Ahlus Sunnah. Sungguh, keyakinan ini amat jauh dari ajaran-ajaran Al-Qur'an.
Beberapa Contoh Hadis Ahlul Bait Yang Menaflkan Keyakinan Ru'yah
1. Muhaddis Abu Qurrah mendatangi Ali Abul Hasan ar-Ridha as. Dia bertanya tentang halal dan haram serta berbagai hukum, hingga pertanyaannya sampai kepada masalah tauhid. Abu Qurrah bertanya,
"Sesungguhnya kami meriwayatkan bahwa Allah SWT Azza Wajalla membagi ru'yah (melihat) dan kalam (bicara) di antara dua orang nabi. Allah SWT memberikan kalam kepada Musa as, dan memberikan ru'yah kepada Muhammad saw."
Abul Hasan as berkata, "Siapa yang menyampaikan ayat-ayat berikut dari Allah SWT kepada jin dan manusia, 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala sesuatu yang dapat dilihat mata', 'Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya', dan juga ayat 'Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya.' Bukankah Muhammad saw?"
Abu Qurrah berkata, "Benar."
Abul Hasan as berkata, "Bagaimana mungkin seorang laki-laki datang kepada seluruh makhluk, lalu mengatakan kepada mereka bahwa dia datang dari sisi Allah, dan menyeru mereka kepada Allah SWT dengan perintah-Nya sambil mengatakan, 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia daoat melihat segala sesuatu yang kelihatan', namun kemudian mengatakan, 'Saya telah melihat-Nya dengan kedua mata saya, dan telah meliputi-Nya dengan ilmu saya, dalam bentuk seorang manusia.'
Tidakkah kamu malu? Orang-orang zindiq tidak dapat menuduhnya dengan tuduhan ini, di mana dia datang dengan membawa sesuatu tentang Allah SWT, lalu kemudian datang lagi dengan membawa sesuatu kebalikannya!!"
Abu Qurrah berkata, "Sesungguhnya Allah SWT telah berkata, 'Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain.'"
Abu Hasan as berkata, "Sesungguhnya setelah ayat ini terdapat ayat lain yang menunjukkan apa yang dilihatnya, di mana Dia berkata, 'Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.' Allah SWT berkata, 'Hati Muhammad tidak mendustakan apa yang telah dilihat kedua matanya.' Kemudian, Allah SWT memberitahukan apa yang telah dilihat oleh Muhammad saw, 'Sesungguhnya dia telah melihat sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.' Tanda-tanda kekuasaan Allah SWT bukanlah Allah SWT. Allah SWT telah berkata, 'Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya.' Jika mata telah melihat-Nya, maka berarti ilmu telah meliputi-Nya."
Abu Hurairah bertanya lagi, "Kalau begitu, berarti Anda mendustakan riwayat-riwayat ini?"
Abul Hasan as berkata, "Jika sebuah riwayat bertentangan dengan Al-Qur'an, maka aku mendustakan riwayat tersebut.
Kaum Muslimim sepakat bahwa Dia tidak dapat diliputi oleh ilmu, tidak dapat digapai oleh penglihatan mata, dan tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya."[404]
2. Abu Abdillah bin Sanan hadir di sisi Imam Abu Ja'far as. Kemudian, seorang laki-laki Khawarij masuk dan berkata, "Wahai Abu Ja'far, apa yang Anda sembah?"
Abu Ja far as menjawab, Allah.
Laki-laki Khawarij itu bertanya lagi, "Kamu telah melihatnya?" Abu Ja'far as menjawab, "Mata tidak dapat melihat-Nya dengan pandangannya, akan tetapi hati dapat melihat-Nya dengan hakikat iman. Dia tidap dapat diketahui dengan qiyas, tidak dapat digapai oleh panca indera, dan tidak dapat diserupakan dengan manusia. Dia disifati dengan ayat-ayat-Nya, dan dikenal dengan tanda-tanda-Nya. Dia tidak berlaku zalim di dalam hukum-Nya. Dia itu adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Dia."
Abu Abdillah bin Sinan berkata, "Maka keluarlah laki-laki Khawarij sambil mengatakan, 'Allah lebih mengetahui di mana Dia harus meletakkan risalah-Nya.'"[405]
3. Ahmad bin Ishaq menulis surat kepada Abul Hasan yang ketiga as, menanyakan tentang keyakinan ru'yah dan beberapa keyakinan yang ada di tengah manusia. Abul Hasan ketiga as menjawab dalam suratnya,
"Ru'yah tidak mungkin terjadi selama di antara yang melihat dan yang dilihat tidak ada udara yang dapat ditembus oleh penglihatan mata. Jika udara terputus, dan tidak ada cahaya di antara yang melihat dan yang dilihat, maka ru'yah tidak terlaksana, disebabkan samar."[406]
Dalil-Dalil Akal Kalangan Asy'ariyyah Tentang Bolehnya Ru'yah, Serta Pembahasannya.
Menurut kalangan Asy'ariyyah, tidak ada halangan dari sisi akal tentang kemungkinan melihat Allah SWT dengan mata. Karena, ke-mungkinan ini tidak menuntut penetapan sesuatu yang mustahil menurut akal atas Allah SWT. Adapun alasan-alasannya adalah sebagai berikut:
1. Di dalam keyakinan bolehnya Allah SWT dilihat dengan mata tidak terdapat penetapan ke-hudutsan-Nya. Karena, sesuatu yang dapat dilihat tidak menjadi sesuatu yang dapat dilihat disebabkan karena ke-hudutsan-Nya (kebaruannya, atau didahului oleh ketiadaan). Karena jika tidak demikian, maka berarti setiap yang huduts dapat dilihat.
2. Di dalam ru'yah tidak terdapat "huduts makna" pada sesuatu yang dilihat. Karena, warna dapat dilihat, namun "huduts makna" tidak terjadi atasnya. Disebabkan warna adalah 'aradh (sifat).
3. Di dalam penetapan dapat dilihatnya Allah SWT dengan mata (ru'yah) tidak terdapat tasybih (penyerupaan Allah SWT dengan makhluk), tajnis, dan juga tidak mengubah-Nya dari hakikat-Nya. Karena warna hitam dan putih tidak homogen (mutajanisan) dan tidak serupa (mutasyabihan) dengan terjadinya penglihatan atas keduanya.
Marilah kita perhatikan klaim-klaim mereka di atas,
1. Kita katakan, benar, bahwa huduts bukan merupakan syarat yang cukup di dalam ru'yah, dan diperlukan syarat-syarat lainnya, seperti jarak yang sesuai, kepadatan yang memungkinkan terpantulnya cahaya, dan tidak teijadinya beberapa kejadian yang menyebabkan tidak adanya ru'yah. Namun, ru'yah itu sendiri mengharuskan adanya arah (disebabkan faktor berada di hadapan), dan sifat fisik (disebabkan faktor kepadatan), yang mana keduanya ini mengharuskan adanya huduts. Sehingga dengan demikian, segala sesuatu yang dapat dilihat oleh mata adalah muhdats (baru, atau didahului oleh ketiadaan), namun tidak sebaliknya.
Berkenaan dengan point yang kedua (Di dalam ru'yah tidak terdapat penetapan "huduts makna"), kita mengatakan, sesungguhnya makna terjadi dikarenakan bersambung dengan cahaya dan mugabalah (berada di hadapan). Jika tidak ada cahaya dan muqabalah, niscaya tidak akan berlangsung penglihatan dengan mata.
Adapun berkenaan dengan point yang ketiga, kita mengatakan, sesungguhnya point yang ketiga hanya semata-mata pengakuan, sebagaimana sebelum-sebelumnya. Karena sesungguhnya tasybih tetap terjadi, dan mereka tidak dapat memungkirinya. Oleh karena hakikat ru'yah terlaksana dengan adanya mugabalah (berada di hadapan), dan muqabalah tidak terlepas dari kenyataan bahwa sesuatu yang dilihat berada pada arah dan tempat tertentu. Dengan demikian, tidak ada tasybih yang lebih jelas dari ini. Disebabkan adanya arah dan sifat fisik. Mahatinggi Allah dari yang demikian itu. Sungguh, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.
2. Baqilani berkata, "Adapun hujjah atas yang demikian itu ialah bahwa Allah SWT ada. Sesungguhnya sesuatu dapat dilihat disebabkan karena dia ada. Sesuatu tidak dapat dilihat karena jins-nya. Karena kita tidak melihat jins yang bermacam-macam. Demikian juga, sesuatu dapat dilihat bukan karena ke-hudutsan-nya".[407]
Dengan penjelasan lain, "Selama kita melihat a'radh (jamak dari kata 'aradh, yang berarti sifat) maka tentunya kita pun melihat jawahir (jamak dari kata jawhar, yang berarti substansi)."[408]
"Sesungguhnya ru'yah merupakan kesamaan di antara jawhar dan 'aradh. Oleh karena itu, mau tidak mau ru 'yah harus memiliki satu sebab, yaitu kalau tidak wujud maka huduts. Huduts itu sendiri tidak dapat menjadi sebab ('illah), dikarenakan dia adalah perkara ketiadaan ('adami). Sehingga dengan demikian, maka wujudlah yang menjadi sebab dari ru'yah. Kemudian, dapat disimpulkan bahwa ru'yah dapat berlaku pada al-Wajib dan al-mumkin"[409]
Lemahnya argumentasi ini tampak jelas sekali. Karena banyak sekali sesuatu yang tidak dapat dilihat namun keberadaannya (wujudnya) tidak diragukan. Seperti pikiran, keyakinan, dan keinginan.
Ini menunjukkan akan adanya sebab lain bagi ru'yah, namun bukan wujud.
Oleh karena itu, dari kalangan Asy'ari sendiri banyak yang memprotes argumentasi ini. Seperti pensyarah kitab al-Mawaqif, demikian juga Taftazani di dalam Syarh al-Mathali', dan juga al-Qusyji di dalam kitab Syarh at-Tajrid.[410]
Kata "wujud" lebih pas dari kata "huduts" untuk dijadikan sebagai syarat bagi ru'yah. Namun ungkapan yang mengatakan secara mutlak bahwa "setiap yang ada dapat dilihat" adalah ungkapan yang salah. Supaya menjadi benar, ungkapan tersebut harus diberi batasan dengan syarat-syarat ru'yah. Dan, syarat-syarat ru'yah tidak sejalan kecuali dengan mawjud yang berupa makhluk. Adapun berkenaan dengan Allah SWT, tidak mungkin membandingkan makhluk dengan Pencipta, "Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. " Jangan lupa, bahwa penerapan hukum-hukum alamiah atas Allah SWT adalah tasybih dan kebodohan.
Dalil-Dalil Kalangan Asy'ariyyah Tentang Ru'yah Dari Al-Qur'an al-Karim, Dan Pembahasannya.
Allah SWT berfirman, "Sekali-kali janganlah demikian. Sebenamya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (kehidupan) akhirat. Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. " (QS. al-Qiyamah: 20 - 25)
Kalangan Asy'ari telah membeda-bedakan arti kata an-nazhar. Pertama, dengan arti mengambil pelajaran (i'tibar). Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Maka apakah mereka tidak mengambil pelajaran dari unta, bagaimana dia diciptakan." (QS. al-Ghasyiyah: 17) Kedua, dengan arti menunggu (intizhar). Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja." (QS. Yasin: 49) Ketiga, dengan arti rahmat. Sebagaimana dalam ayat yang berbunyi, "Dan Allah tidak akan memberikan rahmat kepada mereka." (Ali 'lmran: 77) Adapun yang keempat ialah dengan arti melihat.
Dari sekian arti ini, kalangan Asy'ari memilih arti "melihat", disebabkan tidak sesuainya arti-arti yang lain. Adapun berkenaan dengan arti yang pertama, yaitu mengambil pelajaran (i'tibar), sesungguhnya negeri akhirat bukanlah negeri pengambilan pelajaran melainkan negeri balasan. Sementara arti yang kedua, yaitu menunggu (intizhar) sesungguhnya kata ini dikaitkan dengan wajah. Di samping itu, pekerjaan menunggu adalah sesuatu yang melelahkan, dan ini tidak sesuai dengan keadaan para ahli surga. Adapun arti rahmat, tidak dapat diterima, dikarenakan tidak mungkin makhluk memberikan rahmat dan kasih sayang kepada pencipta.
Kemudian, mereka memilih makna melihat, dengan petunjuk berdasarkan lidah orang Arab. Yaitu bahwa kata nazhar dengan arti "melihat" selalu diimbuhi kata ila, dan orang-orang Arab tidak menggunakan kata nazhar untuk arti menunggu dengan menggunakan imbuhan ila. Seperti firman-Nya yang berbunyi, "Ma Yandzuruna illa shaihatan wahidah" (Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja). Ketika Allah SWT menghendaki arti menunggu, Dia tidak mengim-buhi dengan kata ila. Oleh karena itu, tatkala Allah SWT mengatakan "Ila Rabbiha Nazhirah " (Kepada Tuhannyalah mereka melihat), maka kita tahu bahwa Dia tidak menginginkan arti menunggu, melainkan yang Dia inginkan adalah arti melihat. Demikian juga, tatkala Allah SWT menyertai arti "melihat" dengan menyebut kata "wajah", maka dari situ kita tahu bahwa melihat di sini ialah melihat dengan kedua mata yang ada di wajah."
Mereka juga beragumentasi bahwa kata nazhar di dalam ayat ini tidak mungkin berarti menunggu (intizhar). Karena menunggu (intizhar) merupakan pengurangan, dan yang demikian itu tidak ada pada hari kiamat. Oleh karena surga adalah tempat kenikmatan dan bukan tempat pahala atau siksaan.
Beberapa Catatan Atas Dalil-Dalil Di Atas
1. Adapun perkataan mereka yang mengatakan, jika kata nazhar berarti melihat maka diimubuhi kata ila, sedangkan jika berarti menunggu maka tidak diimbuhi kata ila, perlu kita jawab sebagai berikut: Sesungguhnya kata nazhirah yang terdapat pada ayat di atas adalah isim fa'il. Isim fa'il di dalam amalnya merupakan cabang dari fi'il. Dan, kecabangan (far'iyyah) ini menyebabkan lemahnya 'amil, sehingga oleh karena itu, dia memerlukan sesuatu yang menguatkannya. Di samping itu, di sini, ma'mul juga didahulukan (muqaddam), dan pendahuluan (taqdim) ini tentunya merupakan sebab lainnya lemahnya 'amil. Oleh karena itu, kata nazhirah di sini diimbuhi kata ila.
Di samping itu, penggunaan kata nazhara yang diimbuhi dengan kata ila, dengan arti melihat, juga digunakan di dalam perkataan orang Arab. Sebagaimana perkataan Hasan bin Tsabit di dalam syairnya,
"Wujuhun Yauma Badr Nazhirat Ilar Rahman Ya'ti bil Falah. "
(Pada hari badar, wajah-wajah menanti Tuhan
yang akan datang dengan membawa kemenangan)
Penggunaan yang seperti ini banyak sekali digunakan.
Al-Qur'an al-Karim juga telah mengimbuhi kata isim fa'il nazhirah dengan imbuhan huruf ba di dalam ayatnya yang berbunyi, "Fa Nazhirah Bima Yarji' al-Mursalun". Yang artinya, "Dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu."
Ini artinya, bahwa kata nazhirah dapat berarti "menunggu", baik dengan imbuhan maupun dengan tanpa imbuhan.
2. Adapun perkataan mereka yang mengatakan bahwa "menunggu" adalah berarti pengurangan dan tidak sesuai dengan ahli surga, kita perlu bertanya, dari mana dapat diketahui bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang surga?!
Bahkan, kita dapat mengetahui bahwa ayat-ayat ini tengah berbicara tentang saat "hisab", berdasarkan petunjuk ungkapan ayat, "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat." Rangkaian ayat ini menceritakan tentang keadaan mereka sebelum masuk ke tempat mereka yang kekal. Karena, jika mereka masuk ke dalam nereka, maka berarti telah ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat.
Oleh karena itu, arti "menunggu" sangat tepat sekali. Terlebih lagi, ini merupakan penggunaan yang sebenarnya dalam lidah orang Arab. Dengan demikian, kelompok Asy'ari tidak berhak memblokade makna ini.
Jika kita mengatakan bahwa kata nazhar di dalam ayat di atas berarti menunggu, maka itu artinya kita menafikan Allah dapat dilihat secara inderawi. Sebaliknya, jika kita mengatakan bahwa kata nazhar di dalam ayat di atas berarti melihat, maka yang dimaksud darinya ialah penggunaannya sebagaimana arti kiasan (majazi). Penetapan penggunaan yang seperti ini (yaitu penggunaan kata nazhar dengan arti melihat sebagai arti kiasan) telah dilakukan oleh Syeikh Ja'far Subhani. Yaitu dengan cara men-taqdir-kan (menentukan) adanya mudhaf yang dibuang, sehingga berdasarkan taqdirnya bunyi ayat di atas berbunyi, "ila tsawabi rabbiha nazhirah" (Mereka menunggu ganjaran Tuhannya). Penetapan taqdir yang seperti ini dibenarkan oleh hukum akal, setelah menghadapkan satu sama lain di antara ayat-ayat yang ada. Ayat yang ketiga dihadapkan kepada ayat yang pertama, dan ayat yang keempat dihadapkan kepada ayat yang kedua. Ketika dilakukan penghadapan yang seperti ini, maka kesamaran yang ada pada ayat yang kedua dapat dilenyapkan dengan ayat yang keempat. Berikut ini penyusunan ayat-ayat di atas berdasarkan perbandingan,
a. Ayat "Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri", dibandingkan dengan ayat "Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram".
b. Ayat "Kepada Tuhannyalah mereka melihat" dibandingkan ayat "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat".
Oleh karena ayat yang keempat, yang berbunyi "Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat", jelas artinya, maka dia menjadi petunjuk bagi maksud dari ayat yang kedua, yaitu yang berbunyi "Kepada Tuhannya lah mereka melihat".
Jika maksud dari ayat yang keempat ialah bahwa orang-orang yang berdosa tengah menantikan azab pedih yang akan turun kepadanya, maka ini menjadi petunjuk bahwa kelompok orang-orang yang taat tengah menantikan rahmat dan karunia Allah yang dijanjikan kepada mereka. Sehingga dengan demikian, arti melihat di sini bukanlah berarti melihat kepada Zat Allah SWT. Karena jika tidak, maka tentu dua hal yang saling berhadapan (mutaqabilan) ini telah keluar dari keadaan berhadapan (taqabul), dan ini tentunya menyalahi.
"Dua hal yang saling taqabul —berdasarkan hukum taqabul— harus mempunyai makna dan pemahaman yang sama, dan tidak berbeda sedikit pun di antara keduanya kecuali dalam masalah positif (itsbat) dan negatif (nafi)".[411]
Dengan muqabalah ini ayat menjadi jelas artinya. Terlebih lagi rangkaian ayat ini tengah berbicara tentang saat hisab, sehingga dengan demikian tidak ada yang diharapkan selain dari ganjaran dan rahmat.
Sejumlah riwayat mengisyaratkan kepada makna ini. Seperti riwayat yang terdapat di dalam kitab Tawhid ash-Shaduq, yang berasal dari Imam ar-Ridha as, tentang firman Allah SWT yang berbunyi "Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada Tuhannya", yaitu yang artinya "wajah-wajah mereka berbinar menantikan ganjaran Tuhannya".[412]
Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa pemahaman "melihat kepada Zat Allah" itu telah keluar dari kerangka ayat ini dengan kedua kemungkinannya. Jika arti dari kata nazhirah itu menunggu, tentunya terkubur kemungkinan penunjukkan arti ayat ini kepada melihat dengan mata (ru'yah). Demikian juga, jika arti dari kata nazhirah itu melihat, maka itu tidak lain hanya merupakan kiasan dari menunggu rahmat Allah SWT. Sebagaimana ungkapan yang berbunyi, "Jangan kamu melihat kepada tangan si Fulan", dengan arti "Jangan kamu mengharapkan pemberian si Fulan". Penggunaan ungkapan yang seperti ini biasa digunakan. Sebagai contoh, seorang penyair berkata,
"Sesungguhnya aku melihat kepadamu dikarenakan apa yang telah kamu janjikan
Sebagaimana pandangan seorang yang fakir kepada seorang yang kaya."
Oleh karena itu, orang-orang Mukmin melihat (mengharapkan) kepada rahmat Allah SWT pada hari kiamat. Adapun orang-orang yang kafir, keadaan mereka jelas beradasarkan firman Allah SWT yang berbunyi,
"Dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yangpedih." (QS. Ali 'lmran: 77)
Jelas, yang dimaksud dengan ungkapan "tidak melihat kepada mereka" di dalam ayat di atas ialah Allah tidak memberikan rahmat kepada mereka, dan bukannya mereka tidak dapat melihat Allah SWT.
(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)