BREAKING NEWS

AHLUL BAIT NABI SAW: KESAKSIAN-KESAKSIAN AHLUS SUNNAH, SMS +6281809556588

Rabu, 17 Mei 2017

Musyawarah dan Kekhilafahan Islam Yang Sebenarnya Dalam Sejarah


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Adapun berdasarkan pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka... " terlaksana dengan adanya Rasulullah saw atau orang yang menempati kedudukannya, musyawarah yang sah tidak dapat terlaksana kecuali dengan adanya wali amri, dan wali amri tidak dapat diangkat kecuali dengan musyawarah yang sah, maka ini berarti terjadi dawr (berputar), dan dawr itu mustahil. Karena, tidak mungkin musyawarah yang sah dilaksanakan kecuali setelah adanya wali amri, sementara wali amri tidak mungkin ada kecuali setelah dilaksanakannya msuyawarah yang sah. Ini berarti perkara ini bergantung kepada dirinya, sehingga dengan begitu tidak akan mungkin musyawarah yang sah terlaksana untuk selamanya. Kecuali jika dikatakan bahwa di sana ada seorang wali amri yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, yang keberadaannya lebih dulu dibandingkan keberadaan musyawarah. Ini berarti penerimaan terhadap "pandangan nas", yang dikatakan oleh madrasah Ahlul Bait.

Mungkin ada orang yang mengatakan tidak wajib adanya wali amri di dalam musyawarah, melainkan cukup dengan adanya orang yang bermusyawarah. Jika Anda membantah dengan mengatakan bahwa dhamir pada kata 'azamta menunjukkan hak orang yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan, dan ini menunjukkan bahwa dia itu wali amri di dalam musyawarah, maka bantahan ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa kata in 'azamta (apabila kamu berbulat hati) adalah berarti berbulat hati untuk melaksanakan hasil musyawarah.

Sesungguhnya zahir ayat di atas tidak demikian. Karena yang paling tampak dari ayat ini ialah tertetapkannya hak mengambil keputusan padanya. Dengan kata lain, sesungguhnya perkataan di atas baru dikatakan benar jika pendapat orang-orang yang bermusywarah itu satu; akan tetapi jika pendapat orang-orang yang bermusyawarah itu ber-macam-macam, bagaimana musyawarah dapat mengambil keputusan?

Jika orang itu mengatakan harus berdasarkan suara mayoritas, mana dalilnya? Justru Allah SWT sering mengecam kelompok mayorits di dalam banyak ayatnya, "... kebanyakan orang yang ada di muka bumi berusaha menyesatkan kamu." Bahkan, perkataannya ini bertentangan dengan bunyi ayat yang menyerahkan urusan pengambilan keputusan kepada satu orang yang bermusyawarah manakala terjadi perbedaan pendapat. Jika kita menerima ini, maka berarti orang itu telah keluar dari sifat orang yang bermusyawarah kepada sifat sifat seorang wali di dalam musyawarah. Bahkan, sekali pun orang-orang yang ber-musyawarah sepakat atas suatu pendapat, maka orang itu (wali amri) tetap mempunyai hak untuk menetapkan atau tidak menetapkannya.

Dari pembahasan di atas menjadi jelas bahwa pandangan musya-warah berada di antara dua jalan buntu:

1. Musyawarah dapat dilakukan dengan tanpa adanya Rasulullah saw dan ulul amri. Musyawarah yang seperti ini batal dan tidak sah. Dan pendapat yang mengatakan mungkinnya dilakukan musyawarah dengan tanpa adanya Rasulullah saw dan ulil amri memerlukan kepada dalil agama, namun tidak ada dalil agama yang menunjukkan kepada hal itu.

2. Atau, musyawarah dilakukan dengan adanya wali amri yang dijadikan sebagai rujukan. Kemungkinan ini dapat dibayangkan dalam beberapa bentuk:

a. Wali amri sendiri menobatkan dirinya sebagai wali amril Muslimin. Cara yang seperti ini tentunya sesuatu yang tidak dibolehkan oleh agama. Ini merupakan sebuah perampasan tidak sah terhadap hak-hak kaum Muslimin, sehingga bagaimana bisa ketaatan kepadanya menjadi wajib atas seluruh kaum Muslimin.

b. Atau, adanya sekelompok kecil orang yang mengurusi urusan kaum Muslimin. Di sini pun kita tetap terperosok ke dalam dua jalan buntu yang telah kita bicarakan. Dalam bentuk ini kita akan tetap jatuh kepada pertanyaan, alasan syariat yang mana yang membenarkan kita mentaati mereka, dan mana dalilnya?!

c. Allah SWT dan Rasul-Nya menetapkan seseorang sebagai wali amri. Maka di sini tidak diperlukan lagi musyawarah, disebabkan tidak mungkin menentang Allah SWT dan Rasul-Nya. Pandangan ini sendiri adalah pandangan nas atau pandangan wasiat, sehingga dengan begitu ternafikanlah pandangan musyawarah. Dan sebagai konsekwensinya adalah batalnya kekhilafahan pertama.

Dengan penjelasan-penjelasan ini menjadi jelas batalnya pandangan musyawarah di dalam menentukan khilafah dari semua segi, sehingga kita layak memalingkan tema musyawarah yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur'an al-Karim kepada tema-tema selain pengangkatan wali amril Muslimin, seperti musyawarah mengenai cara-cara penerapan hukum, strategi peperangan dan sebagainya, sebagai-mana yang menjadi konteks ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka di dalam urusan itu. "

Tidak tersisa lagi pintu bagi mereka, kecuali jika mereka mengklaim bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya telah mengangkat dan menetapkan kekhilafahan pertama (kekhilafahan Abu Bakar). Namun, Abu bakar sendiri tidak mengklaim hal itu. Karena jika Abu Bakar mengklaim hal itu, maka tentu dia akan berhujjah dengannya kepada orang-orang Anshar pada saat di Saqifah.

Salah satu hal lain yang juga jelas diketahui dari ayat syura ialah bahwa Allah SWT tidak mempercayai mereka dalam masalah strategi perang, yang masih merupakan sesuatu yang berada di dalam ruang lingkup sesuatu yang dapat dimusyawarahkan —sebagaimana yang dapat dipahami dari konteks ayat, dan— apalagi mempercayai mereka dalam sebuah urusan yang lebih besar, yaitu memilih khalifah pengganti Rasulullah saw. Jika Anda tidak mempercayai seseorang untuk mengelola uang seratus dinar, maka bagaimana mungkin Anda mempercayainya untuk mengelola uang seribu dinar.

Kemudian, bagaimana mungkin masuk akal Allah SWT menyerahkan kepada umat untuk memilih sendiri khalifahnya, padahal Allah SWT dan Rasul-Nya saw telah mengetahui akan terjadinya pembelotan langsung setelah wafatnya Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang (murtad)?..." Jika Anda memperhatikan ayat ini dengan seksama niscaya akan jelas bagi Anda bahwa orang-orang yang diseru di sini adalah orang-orang Muslim. Karena tidak ada artinya pembelotan orang kafir, dan juga tidak bisa pembelotan ini diterapkan kepada Musailamah al-Kadzdzab, karena pembelotannya terjadi pada masa Rasulullah saw.

Tidak masuk akal jika Allah SWT dan Rasul-Nya membiarkan urusan ini menjadi sia-sia di tengah-tengah kaum Muslimin, padahal Dia tahu akan terjadi berbagai fitnah di antara kaum Muslimin apabila tidak ditentukan pemimpin yang akan menjadi rujukan mereka. Sejarah menjadi saksi akan hal itu, di mana ketiadaan wali amri telah menyebabkan timbulnya berbagai fitnah di tengah-tengah kaum Muslimin. Penyimpangan ini terus berlanjut hingga orang-orang yang fasik, orang-orang yang berbuat kerusakan, dan orang-orang yang tidak mempunyai rasa malu, akhlak dan agama, berkuasa atas kaum Muslimin. Untuk menambah keyakinan Anda, silahkan putar balik jarum jam Anda mulai dari empat belas abad yang lalu, lalu silahkan berhenti sejenak pada masa dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbas, yang memerintah manusia selama periode tertentu, supaya Anda dapat mengenal para penguasa mereka dan bagaimana mereka secara terang-terangan meminum khamar, dan bagaimana mereka bermain dengan anjing dan kera, setelah terlebih dahulu binatang-binatang itu dikenakan baju sutera yang halus dan perhiasan emas; dan perbuatan-perbuatan keji lainnya yang dilakukan para penguasa, yang sejarah pun merasa malu untuk mencatatnya.

Ini merupakan salah satu bukti yang menunjukkan kejelekan-kejelekan konsep "pemilihan" dan sekaligus kemandulan konsep ini sejak dari dasarnya. Karena, orang yang kita pilih hari ini mungkin saja kita benci keesokan harinya, namun kita tidak mampu menurunkannya setelah menempatkan dia sebagai pemimpin. Kaum Muslimin telah berusaha mengerahkan segenap usahanya untuk menurunkan Usman, namun Usman enggan turun dengan mengatakan, "Saya tidak akan melepaskan pakaian yang telah Allah SWT kenakan kepada saya."

Setelah kita membuktikan kelemahan dua dalil yang telah dikemukakan kelompok pertama, yang telah menjadikan konsep musyawarah sebagai pilar dasar di dalam memilih khalifah yang akan mengurusi urusan kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah saw, dan setelah jelas bagi kita jauhnya kedua dalil tersebut dari maqam khilafah dan kepemimpinan, kita kembali memejamkan mata dari kenyataan ini dan tetap saja tunduk dan menerima kedua dalil dalam masalah khilafah dan kepemimpinan ini, serta pura-pura tidak tahu akan penyimpangan-penyimpangan yang dimiliki keduanya.

Apakah sikap pura-pura tidak tahu dan penerimaan akan kemandulan pandangan ini akan dapat menyelesaikan ketidak-jelasan peraturan di dalam semua hal yang berkaitan dengan cara pelaksanaan kandungannya? Kedua dalil ini tidak dapat meluruskan kebengkokan dan menutupi celah-celah kekurangan konsep ini. Karena konsep ini membutuhkan pembatasan dan perincian akan maknanya. Kedua nas yang diisyaratkan di atas, juga kehilangan ukuran-ukuran musyawarah dan cara-cara pengoreksiannya, di samping konsep ini juga memerlukan alat-alat pelaksanaan di dalam penerapannya.

Kita tidak mendapati di dalam hadis-hadis dan riwayat-riwayat serta di dalam sejarah kehidupan Rasulullah saw yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw telah mengemukakan konsep ini dan mengharuskan umat untuk melaksanakannya. Jika Rasulullah saw telah melakukan yang demikian, maka tentu kita mendapati Rasulullah saw telah menetapkan petunjuk-petunjuk yang jelas tentang hal itu, atau tentunya telah membiasakan hal itu di tengah-tengah umatnya guna mempersiapkan mereka, baik dari segi pemikiran, kejiwaan dan politik, supaya bisa melaksanakan konsep ini.

Atau setidaknya beliau telah mempersiapkan beberapa contoh figur yang cakap untuk memegang kepemimpinan percobaan dan pengawasan terhadap syariat dan pelaksanaannya. Namun, sebagaimana yang telah kita kemukakan, tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan kepada yang demikian itu.


Musyawarah dan Kekhilafahan Islam

Pertama:

PEMBAHASAN TENTANG AYAT-AYAT MUSYAWARAH

Baik dahulu maupun sekarang kaum Muslimin berbeda pendapat di dalam cara bagaimana menentukan imam dan khalifah. Pada jaman dahulu perbedaan pendapat tersebut lebih banyak berwujud dalam tataraan kenyataan praktis dan pencrapaan lapangan dibandingkan pada tingkatan teori dan pemikiran. Adapun pada jaman sckarang perbedaan tersebut hanya terbatas pada tataran pemikiran, tidak melampaui tingkat pertengkaran ucapan dan argumentasi teoritis.

Partisipasi kita di dalam menyelesaikan pertengkaran ini ialah dengan cara kita akan mendiskusikan penunjukkan (dilalah) ayat-ayat musyawarah (syura) yang terdapat di dalam Al-Qur'an yang dijadikan sandaran oleh kalangan Ahlus Sunnah di dalam pandangan mereka. Kemudian setelah itu kita akan mengkaji musyawarah dalam tataran kenyataan praktis setelah wafatnya Rasulullah saw dan sekaligus ber-bagai peristwa yang terjadi sesudahnya.

Allah SWT berfirman,

"Maka disebabkan rahmat dan Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkaniah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS. Ali Imran: 159)

"Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Danjika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Baqarah: 233)

"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. " (QS. asy-Syura: 38)

Kalangan Ahlus Sunnah, di dalam masalah kekhilafahan bersandar kepada konsep syura. Mereka mengatakan bahwa kekhilafahan kaum Muslimin tidak dapat ditentukan kecuali melalui musyawarah. Oleh karena itu, mereka mensyahkan kekhilafahan Abu Bakar, yang terpilih melalui musyawarah di Saqifah Bani Sa'idah. Sedangkan pandangan kedua, yaitu kalangan Syi'ah, memandang bahwa masalah kekhilafahan harus ditentukan dan diangkat oleh Allah SWT, karena tidak ada jaminan terpilihnya orang yang paling layak berdasarkan pandangan pertama. Hal itu dikarenakan masalah musyawarah sangat dipengamhi dengan pengaruh-pengaruh emosi dan perasaan manusia, pandangan-pandangan pemikiran dan kejiwaan mereka dan juga afiliasi mereka kepada keyakinan, sosial dan politik tertentu. Di samping itu, musya-warah juga membutuhkan tingkat ketulusan, objektifitas dan keter-bebasan dari berbagai pengaruh yang disadari maupun yang tidak disadarl. Oleh karena itu, mereka (kalangan Syi'ah) mengatakan Rasulullah harus mempunyai wasiat yang jelas di dalam masalah kckhilafahan. Mereka mengatakan Rasulullah saw telah menetapkan khalifah dan bahkan khalifah-khalifah sepeninggalnya. Atas dasar itu, mereka meyakini kekhilafahan Ali bin Abi Thalib as, dan bahwa musyawarah yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanyalah diperuntukkan bagi beberapa tema permasalahan yang khusus berkaitan dengan pelaksanaan dan penerapan hukum, bukan berkaitan dengan penentuan hakim (pemimpin), yang merupakan kedudukan Ilahi.

Oleh karena perbedaan tersebut hanya terbatas di antara dua pandangan ini, maka kebatilan salah satunya akan membuktikan kebenaran yang lainnya, dan sebagai akibatnya membuktikan kebenaran atau kebatilan kekhilafahan khalifah, baik khalifah itu Abu Bakar dan khalifah-khalifah lain yang menggantikannya atau khalifah itu Ali dan para washi yang menggantikannya.

Kita telah membuktikan pada pasal-pasal sebelumnya, dengan tidak meninggalkan keraguan sedikit pun, akan kebenaran pandangan yang mengatakan lebih berhaknya Ahlul Bait di dalarn kekhilafahan Islam, dan bahkan merupakan hak yang khusus bagi mereka dan tidak bagi selain mereka. Namun, untuk lebih menyempurnakan faidah dan menjelaskan hakikat, mau tidak mau kita harus mcndiskusikan konsep musyawarah sebagai semata-mata sebuah konsep, dan sampai sejauh mana kelayakannya di dalam masalah pemilihan khalifah kaum Muslimin.

Kalangan pendukung konsep musyawarah, di dalam menegakkan pandangannya sangat bersandar kcpada ayat-ayat Al-Qur'an yang telah kita scbutkan pada awal pembahasan. Ayat-ayat tersebut menjadi pokok pembahasan di dalam bab ini.

Jika kita mengkaji ayat-ayat di atas niscaya akan jelas bagi kita bahwa konsep musyawarah Islam tergambar dalam dua bentuk:

1. Tema musyawarah yang hendak dimusyawarahkan adalah suatu urusan yang bersifat parsial, di dalam konteks yang sempit dan terbatas, seperti terna penyapihan anak yang masih menyusu, sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat, "Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan..." Jenis musyawarah ini tidak menjadi bahan pertengkaran, dan oleh karena itu kita tidak perlu mendiskusikannya.

2. Tema musyawarah yang hendak dimusyawarahkan adalah suatu perkara umum yang mcnjadi perhatian seluruh kaum Muslimin, Seperti mengumumkan perang terhadap musuh atau memilih khalifah kaum Muslimin.

Tidak diragukan, bahwa dalam masalah yang seperti ini kaum Muslimin harus merujuk kepada Rasulullah saw. Karena tidak lah logis sebuah musyawarah terlaksana dengan tidak ada pendapat Rasulullah saw di dalamnya. Bahkan, termasuk buruk dalam pandan-gan umum ('urf) dan pembangkangan menurut syariat jika sebuah musyawarah dilakukan dengan tanpa merujuk kepada Rasulullah saw atau orang yang menempati kedudukannya, yaitu wali amri. Allah SWT berfirman, "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dari mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)." (QS. an-Nisa: 83)

Jenis musyawarah ini berdasarkan ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah..." mempunyai tiga rukun:

1. Adanya orang-orang yang bermusyawarah, sehingga musyawarah terlaksana. Dan ini ditunjukkan oleh kata ganti hum (mereka) di dalam kata "wa syawirhun".

2. Adanya materi dan tema yang dimusyawarahkan, sehingga dengan itu musyawarah terlaksana.

3. Adanya pemimpin yang mengatur musyawarah, dan putusan terakhir bergantung kepada pandangannya. Ini ditunjukkan oleh kata ganti ta mukhaththab (orang kedua) pada kalimat "faidza 'azamta fatawakkal 'alallah..." Tidak diragukan, jika yang menjadi tema adalah urusan umum yang berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin maka yang mempunyai hak memutuskan ialah wali amril Muslimin.

Tidak mungkin musyawarah yang sah dalam bentuknya yang Islami dapat terlaksana dengan tidak adanya salah satu di antara ketiga rukun di atas. Bisa saja wali aniri ada, orang yang bermusyawarah ada, namun tema musyawarah tidak ada, maka di sini musyawarah tidak terselenggara sama sekali. Oleh karena tidak ada permasalahan yang dapat mereka diskusikan dan musyawarahkan. Atau, bisa juga wali amri ada, tema musyawarah ada, namun kumpulan manusia yang akan bermusyawarah tidak ada, maka di sini berubah status dari musya-warah kepada nas atau perintah.

Atau juga, kumpulan manusia yang bermusyawarah ada, tema musyawarah ada, namun wali amri tidak ada, maka di sini musyawarah tidak berlangsung dengan bentuknya yang sah sebagaimana yang telah Allah SWT tetapkan di dalam Kitab-Nya, ketika Dia mewajibkan adanya pengawas atas musyawarah, yang menjadi tempat kembalinya urusan, Ketika masing-masing dari mereka mengeluarkan pandangannya, maka dia (wali amr) harus menjadi rujukan seluruh pandangan.

Musyawarah yang tidak sah ini tidak mungkin bisa mengeluarkan keputusan-keputusan yang sah dan mengikat seluruh kaum Muslimin. Karena musyawarah ini bertentangan dengan apa yang telah ditekankan oleh ayat bahwa pada akhirnya urusan bcrgantung kepada wali amri, "Kemudian apabila kamu telah berketetapan hati, maka bertawakallah kepada Allah."

Mungkin saja ada orang yang membantah dan berkata bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan rnereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah..." adalah khusus untuk Rasulullah, sehingga tidak mengharuskan adanya wali amri di dalam musyawarah; dan tidak ada halangan musyawarah dilaksanakan dengan tanpa adanya wali amri, berdasarkan petunjuk ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. " Karena di dalam zahir ayat tidak terdapat kata wali amri yang berketetapan hati dan bertawakal, sebagaimana yang terdapat di dalam ayat yang pertama.

Bantahan ini dapat dijawab dengan beberapa jawaban berikut:

1. Sesungguhnya seluruh yang tertelapkan bagi Rasulullah saw, seperti hak ketaatan, juga tertetapkan bagi wali amri, berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi, "Taatilah Allah, taatilah Rasul dan ulil amri dari kamu." Dengan begitu menjadi jelas bahwa jenis ketaatan kepada wali amri adalah jenis kctaatan yang sama dengan ketaatan kepada Rasulullah saw, disebabkan adanya athaf secara pasti, sebagaimana digunakannya satu kata (yaitu kata "taatilah") untuk keduanya, yaitu "Taatilah Rasul dan ulil amri dari kamu... " Jika seandainya digunakan kata "athi'u" untuk ketiga kalinya bagi ulil amri, maka barulah benar perkataan yang mengatakan di sana terdapat perbedaan di antara dua ketaatan tersebut.

2. Sesungguhnya tata cara musyawarah yang telah Allah tetapkan dalam urusan-urusan umum yang berhubungan dengan seluruh kaum Muslimin adalah satu, "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudianjika kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah." Sehingga penggunaan tata cara lain menuntut adanya dalil syariat yang menghasilkan perkara-perkara syariat, seperti kewajiban taat terhadap apa yang dihasilkan oleh musyawarah ini. Dan berargumentasi dengan ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka" untuk cara yang kedua dari musyawarah tidaklah sempurna.

Karena perkataan ini mendapat bantahan bahwa —tidak diragukan— ayat ini turun kepada Rasulullah saw. Dalam arti, ayat ini turun pada saat Rasulullah masih hidup di tengah-tengah kaum Muslimin. Akal dan agama tentunya melarang kaum Muslimin bermusyawarah tentang suatu urusan umum yang menyangkut urusan seluruh kaum Muslimin dengan tanpa kehadiran Rasulullah saw di antara niereka dan dengan tanpa merujuk kepada beliau. Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah harus berada di tengah mereka ialah, bahwa kata ganti hum (mereka) di dalam ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka " mencakup Rasulullah saw. Di samping itu, sesungguhnya konteks ayat di atas berbicara tentang sifat-sifat orang Mukmin yang menang, "Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal Dan (bagl) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi rnaaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka; dan merteka menafkahkan sebagian reieki yang Kami berikan kepada mereka." (QS. asy-Syura: 36-38)

Tidak diragukan bahwa seutama-utamanya ekstensi (mishdaq) orang-orang Mukmin adalah Rasulullah saw. Tidak diragukan bahwa Rasulullah saw adalah salah seorang dari mereka. Jika telah terbukti bahwa Rasulullah saw termasuk bagian dari musyawarah ini, maka tentu Anda tahu bahwa urusan musyawarah di dalam ayat ini kembali kepada Rasulullah saw, dan tentunya musyawarah ini tidak akan sempurna kecuali dengan ketetapan hati beliau, "Kemudian jika kamu telah berbulat hati maka bertawakallah kepada Allah."

Dengan demikian, sesungguhnya musyawarah ialah sebagaimana cara yang pertama. Seluruh yang terdapat di dalam ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka" adalah bersifat umum dan mujmal, sedangkan ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apahila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah" adalah merupakan penjelas dan perinci baginya.

Setelah saya menjelaskan ini, dengan segera saya menambahkan bahwa kita akan sampai kepada hasil yang terbatas jika kita berpendapat bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka..." ini hanya khusus untuk Rasulullah saw, dan tidak untuk ulil amri. Karena jika demikian musyawarah tidak akan bisa berlangsung kecuali dengan adanya Rasulullah. Dan jika Rasulullah saw meninggal dunia maka tidak ada musyawarah, disebabkan tidak adanya salah satu rukun dasar di dalam musyawarah, yaitu Rasulullah saw. Namun jika kita me-ngatakan ayat ini tidak hanya khusus terbatas bagi Rasulullah saw saja, maka berarti kita mengatakan ayat ini juga mencakup ulil amri, sehingga dengan begitu musyawarah tetap ada dan sah dengan syarat adanya wali amri di dalamnya. Dan wali amri memiliki hak-hak yang dimiliki oleh Rasulullah saw di dalam musyawarah, karena dia menempati tempat Rasulullah. Sehingga dengan demikian, makna "Dan urusan mereka (diselesaikan) dengan permusyawatan di antara mereka' ialah mereka tidak dapat menyimpulkan suatu urusan dengan tanpa bermusyawarah kepada Rasulullah saw, di dalam urusan-urusan agama yang mereka perlukan. Sebagaimana firman Allah SWT, "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri dari mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri)."

Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pandangan musyawarah di dalam pengangkatan khalifah menemui jalan buntu, yang berakibat kepada batalnya pandangan tersebut. Berdasarkan pendapat pertama, yaitu yang mengatakan "Dan bermusyawarahlah dengan mereka di dalam urusan itu..." hanya khusus untuk Rasulullah saw, sebagaimana diketahui bahwa musyawarah yang diselenggarakan untuk meng-angkat khalifah pertama itu dilakukan setelah wafatnya Rasuullah saw, sehingga dengan begitu tentunya dia merupakan musyawarah yang tidak sah menurut hukum Islam dan pandangan Al-Qur'an, dan dengan begitu maka berarti seluruh keputusan yang dihasilkan darinya adalah tidak sah, yang salah satunya adalah pengangkatan khalifah pertama, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kitab-kitab sejarah dan kitab-kitab hadis tentang tata cara pengangkatannya, pada sebuah tempat yang mereka namakan dengan Saqifah Bani Sa'idah. Adz-Dzahabi telah merekam peristiwa tersebut di dalam kitab sejarahnya. Sebagaimana peristiwa ini direkam juga di dalam Sahih Bukhari, di dalam kitab al-hudud, bab merajam wanita yang mengandung hasil perbuatan zina, dengan riwayat dari Umar bin Khatab. Ibnu Jarir ath-Thabari juga merekam peristiwa ini di dalam kitab sejarahnya tatkala dia menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 11 Hijrah, di dalam jilid 2 dari kitab sejarahnya. Demikian juga Ibnu Atsir, dan Ibnu Qutaibah di dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa, jilid 1. Dan begitu juga kitab-kitab referensi sejarah lainnya.


MUSYAWARAH DALAM KENYATAAN PELAKSANAAN

KEDUA:

Musyawarah Dan Saqifah Bani Sa'idah

Para sejarahwan menyebutkan bahwa kekhalifahan Abu Bakar diperoleh melalui jalan pencalonan dan pemilihannya di Saqifah Bani Sa'idah. Peristiwa Saqifah, pada kenyataannya merupakan pijakan dasar yang dijadikan sandaran oleh Abu Bakar di dalam kekhalifahannya atas kaum Muslimin. Tidak mungkin seorang Muslim berpegang kepada kekhalifahannya kecuali jika dia mempercayai bahwa apa yang terjadi di Saqifah itu benar, dan menganggapnya sebagai satu-satunya jalan untuk bisa menentukan khalifah kaum Muslimin. Oleh karena pada pembahasan yang lalu kita telah membuktikan ketidakbenaran konsep musyawarah sebagai alat untuk mengangkat khalifah kaum Muslimin, maka pada kesempatan ini kita bermaksud ingin mengemukakan peristiwa Saqifah, yang merupakan penerapan lapangan dari konsep musyawarah, sehingga kita dapat menyingkap sampai sejauh mana kelurusan dan kebenaran konsep ini, untuk kemudian kita menyimpulkan apakah akan berpegang kepadanya atau tidak berpegang kepadanya.


Saqifah Di Dalam Kitab Tarikh Thabari.

Thabari menceritakan peristiwa ini secara rinci di dalam kita tarikhnya, jilid 2, terbitan al-Istiqlal Kairo, tahun 1358 Hijrah, atau bertepatan dengan tahun 1939 Masehi. Kita akan menukilkannya secara ringkas, sesuai kebutuhan, dari halaman 455 - 460 sebagai berikut:

"Orang-orang Anshar telah berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah. Mereka meninggalkan jenezah Rasulullah saw yang sedang dimandikan oleh keluarganya. Mereka berkata, 'Kami menyerahkan urusan ini kepada Sa'ad bin 'Ubadah sepeninggal Rasulullah saw. Kemudian mereka menghadirkan Sa'ad bin 'Ubadah ke tengah-tengah mereka yang ketika itu sedang sakit. Maka Sa'ad bin 'Ubadah pun mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, lalu dia menyebutkan kedahuluan mereka di dalam agama, keutamaan-keutamaan mereka di dalam Islam, pemuliaan mereka terhadap Rasulullah dan para sahabatnya, serta jihad mereka di dalam melawan musuh-musuhnya, sehingga bangsa Arab tegak dan Rasulullah saw meninggal dunia dalam keadaan rida kepada mereka. Sa'ad bin 'Ubadah berkata, 'Maka gengamlah kuat-kuat urusan ini, jangan sampai orang lain yang menggenggamnya.' Orang-orang Anshar menjawab, 'Sungguh tepat pendapat Anda, dan sungguh benar perkataan Anda. Kami tidak akan melanggar apa yang Anda perintahkan, dan akan kami angkat Anda sebagai pemimpin. Dan kaum Muslimin yang saleh tentu akan menyenangi.'

Kemudian mereka saling bertukar kata di antara mereka. Sebagian di antara mereka berkata, 'Bagaimana apabila kaum Muhajirin menolak dan berkata, 'Kami adalah kaum Muhajirin dan sahabat-sahabat Rasulullah saw yang pertama, kami adalah keluarganya dan wali-walinya, maka kenapa Anda hendak bertengkar dengan kami mengenai kepemimpinan sesudah Rasulullah saw?' Lalu sebagian mereka yang lain berkata, 'Jika demikian, maka kita akan menjawab, 'Seorang pemimpin dari kami, dan seorang pemimpin dari kamu. Selain begini, kita sama sekali tidak akan rela. Kita adalah pemberi perumahan, pelindung dan penolong, sementara mereka yang melakukan hijrah. Kita berpegang kepada Al-Qur'an sebagaimana mereka. Apa pun alasan yang mereka ajukan, kita akan mengajukan dalil yang sama. Kita tidak hendak memonopoli kekuasaan terhadap mereka, maka bagi kita harus ada seorang pemimpin dan bagi mereka seorang pemimpin.' Maka berkatalah Sa'ad bin 'Ubadah, 'lniah awal kelemahan!'

Abu Bakar dan Umar mendengar apa yang tengah dilakukan oleh orang-orang Anshar, maka mereka berdua pun bergegas pergi ke Saqifah dengan ditemani oleh Abu 'Ubaidah bin Jarrah, dan kemudian bergabung bersama mereka Usaid bin Hudhair, 'Awim bin Sa'idah dan 'Ashim bin 'Adi, dari kalangan Bani 'Ajlan. Kemudian Abu Bakar berbicara, setelah sebelumnya melarang 'Umar berbicara. Pertama-tama Abu Bakar mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, dan kemudian menyebutkan kedahuluan orang-orang Muhajir di dalam membenarkan Rasulullah saw, sebelum seluruh orang Arab yang lain. Abu Bakar berkata, 'Mereka adalah orang-orang yang pertama menyembah Allah SWT di muka bumi dan beriman kepada Rasulullah saw. Mereka itu adalah keluarganya dan wali-walinya, dan manusia yang paling berhak atas urusan ini sepeninggalnya, serta tidak ada yang bertengkar dengan mereka di dalam urusan itu kecuali orang yang zalim.' Kemudian Abu Bakar menyebutkan keutamaan-keutamaan orang Anshar. Setelah itu dia berkata, 'Setelah orang-orang Muhajir yang pertama tidak ada orang yang mempunyai kedudukan di sisi kita selain orang-orang Anshar. Maka oleh karena itu kami adalah pemimpin sedangkan Anda adalah wazir (pembantu).'

Maka Hubab bin Mundzir berkata, 'Wahai kaum Anshar, peganglah urusan Anda. Sesungguhnya manusia berada di bawah naungan Anda, dan tidak akan ada seorang pemberani yang berani menentang Anda. Oleh karena itu, janganlah Anda berselisih, sehingga akan merasak pendapat Anda dan menodai urusan Anda. Apabila mereka menolak kecuali sebagaimana yang telah Anda dengar, maka biarlah dari kita seorang pemimpin dan dari mereka seorang pemimpin.'

Umar berkata, 'Demi Allah, dua pedang tidak akan masuk ke dalam satu sarung. Orang Arab tidak akan menerima kepemimpinan Anda, wahai orang Anshar, karena Nabi bukan berasal dari Anda. Akan tetapi orang Arab tidak akan keberatan dipimpin oleh kaum yang Nabi berasal dari mereka. Tentang ini, kami mempunyai bukti yang jelas. Siapa yang memperselisihkan kami atas kekuasaan Muhammad dan pemerintahannya, padahal kami adalah wali-walinya dan kaum kerabatnya.'

Hubab bin Mundzir berdiri dan berkata, 'Wahai kaum Anshar, jangan Anda dengarkan orang-orang ini, Umar dan sahabat-sahabatnya. Mereka akan mengambil hak Anda dan merampas kebebasan kalian untuk memilih. Jika mereka tidak setuju, kirim mereka pulang dan biarkan mereka membentuk pemerintahannya sendiri di sana. Demi Allah, Anda lebih berhak menjadi pemimpin dari mereka. Karena dengan perantaraan pedang Anda, orang-orang yang sebelumnya tidak memeluk agama ini menjadi memeluk agama ini.'

Umar berkata, 'Kalau begitu, mudah-mudahan Allah SWT membunuhmu.'

Hubab bin Mundzir berdiri, 'Tidak, justru mudah-mudahan kamu yang dibunuh oleh Allah SWT.'

Abu 'Ubaidah berkata, 'Wahai kaum Anshar, Anda adalah yang pertama membela Islam, maka janganlah Anda menjadi orang yang pertama memisahkan diri dan berubah.'

Maka berdirilah Basyir bin Sa'ad al-Khazraji, ayah Nu'man bin Basyir berkata, 'Wahai kaum Anshar, kita kaum Anshar telah memerangi kaum kafir dan membela Islam bukanlah untuk kehormatan duniawi, tetapi untuk memperoleh keridaan Allah SWT. Kita tidak mengejar kedudukan. Nabi Muhammad adalah orang Quraisy, dari kaum Muhajirin, dan layaklah sudah apabila seorang dari keluarganya menjadi penggantinya. Saya bersumpah dengan nama Allah, bahwa saya tidak akan melawan mereka. Saya harap Anda sekalian pun demikian.'

Kemudian Abu Bakar berdiri dan berkata, 'lni Umar, dan ini Abu 'Ubaidah, silahkan Anda baiat yang mana saja di antara mereka yang Anda suka.'

Tetapi keduanya berkata, 'Demi Allah, kami tidak akan mau memegang urusan ini selama Anda masih ada.'

Lalu Abdurrahman bin 'Auf berdiri dan berkata, 'Wahai kaum Anshar, meskipun Anda berada di atas keutamaan, namun tidak ada di tengah Anda orang seperti Abu Bakar, Umar dan Ali.' Mendengar itu Mundzir bin Arqam berdiri dan berkata, 'Kami tidak menolak keutamaan orang-orang yang Anda sebutkan, namun di antara mereka ada seseorang yang jika dia menuntut urusan ini maka tidak ada seorang pun yang memperselisihkannya, yaitu Ali bin Abi Thalib.'

(Maka orang-orang Anshar atau sebagian orang Anshar berkata, 'Kami tidak akan membaiat kecuali Ali.')

(Umar berkata, 'Suasana menjadi hangat dan suara-suara menjadi keras, dan untuk menghindari perpecahan saya berkata, 'Bentangkan tangan Anda, wahai Abu Bakar, supaya aku membaitmu!') Manakala keduanya bangkit hendak membait Abu Bakar, Basyir bin Sa'ad men-dahului keduanya membait Abu Bakar.

Hubab bin Mundzir berteriak kepada Basyir bin Sa'ad, 'Wahai Basyir bin Sa'ad! Hai orang durhaka, orang tuamu sendiri tidak menyukaimu. Engkau telah menyangkal ikatan keluarga, engkau dengki dan tidak mau melihat saudara sepupumu menjadi pemimpin.'

Basyir bin Sa'ad berkata, 'Tidak, demi Allah, aku tidak mau berselisih dengan satu kaum tentang suatu hak yang telah Allah SWT jadikan untuk mereka.' Manakala kaum Aus melihat apa yang telah dilakukan Basyir bin Sa'ad, apa yang diseru oleh kaum Quraisy dan apa yang diminta oleh kaum Khazraj untuk menjadikan Sa'ad bin 'Ubadah sebagai pemimpin, sebagian mereka berkata kepada sebagian mereka yang lain, di antaranya adalah Usaid bin Hudhair, 'Demi Allah, bila kaum Khazraj sekali berkuasa atas dirimu, mereka akan seterasnya mempertahankan keunggulannya atas diri kamu, dan tidak akan pernah membagi kekuasaan itu kepadamu untuk selama-lama-nya; maka berdirilah, dan baiatlah Abu Bakar.'

Maka mereka pun berdiri dan membaiatnya. Dan hancurlah kesepakatan yang telah mereka peroleh atas Sa'ad bin 'Ubadah dan kaum Khazraj. Orang-orang berdatangan dari semua sudut untuk membaiat Abu Bakar, hingga hampir saja mereka menginjak Sa'ad bin 'Ubadah.

Para sahabat Sa'ad bin 'Ubadah berkata, 'Hati-hati, jangan sampai menginjak Sa'ad.'

Pada saat itu Umar berkata, 'Bunuh dia, mudah-mudahan Allah membunuhnya.'

Kemudian Umar mendekatinya seraya berkata, 'Saya ingin menginjak-injak engkau sampai remuk.'

Putra Sa'ad bin 'Ubadah, Qais, menjambak janggut Umar dan berkata kepadanya, 'Bila engkau menyentuh sehelai saja rambutnya, aku akan rontokkan semua gigimu!'

Abu Bakar berteriak, 'Tenang Umar! Dalam keadaan seperti ini kita harus tenang.'

Maka Umar pun pergi meninggalkan Sa'ad, tetapi Sa'ad berteriak, 'Demi Allah, seandainya aku dapat berdiri, aku akan membuat huru hara di kota Madinah, agar engkau dan teman-temanmu bersembunyi ketakutan. Kemudian aku akan menjadikanmu pelayan, bukan penguasa. Bawa aku dari tempat ini.' Maka mereka pun membawa Sa'ad bin 'Ubadah dan memasukkannya ke dalam rumahnya..."

Kejadian ini tidak memerlukan penjelasan dan komentar lagi, dia sendiri dapat menyingkap bagaimana proses terjadinya pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifab... Sungguh proses tersebut jauh sekali dari proses musyawarah. Musyawarah tidak layak dilakukan di tempat yang tidak tepat ini, di mana Saqifah Bani Sa'idah terletak di sebuah ladang di luar kota Madinah. Tentunya Mesjid Rasulullah saw lebih utama untuk dijadikan tempat melakukan hal ini. Karena Mesjid Rasulullah saw adalah tempat berkumpulnya kaum Muslimin dan tempat dilakukannya musyawarah untuk membahas urusan-urusan dunia dan urusan-urusan agama. Di samping juga waktunya tidak sesuai, karena jenazah Rasulullah saw masih terbujur dan belum di-makamkan. Bagaimana bisa mereka meninggalkan jenazah Rasulullah saw dalam keadaan seperti ini, untuk memperebutkan urusan kekhalifahan, sementara sahabat-sahabat besar sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah saw.

Apakah ada seorang yang berakal yang menamakan peristiwa ini sebagai musyawarah?!

Pada kenyataannya mereka tidak sedang mencari kekhilafahan Islam yang mendapat petunjuk, yang dengan perantaraannya akan terjaga persatuan dan eksistensi kaum Muslimin. Kata-kata yang mereka ucapkan memberi petunjuk kepada hal ini.

Kata-kata Sa'ad yang berbunyi, "Maka genggamlah kuat-kuat urusan ini, jangan sampai orang lain yang menggenggamnya", lalu orang-orang Anshar menjawab, "Sungguh tepat pendapat Anda, dan sungguh benar perkataan Anda. Kami tidak akan melanggar apa yang Anda perintahkan", dan begitu juga kata-kata Umar yang berbunyi, "Siapa yang memperselisihkan kami atas kekuasaan Muhammad dan pemerintahannya?"

Seluruh kata-kata ini menyingkap jati diri mereka. Mereka tidak menginginkan apa-apa kecuali kekuasaan.

Di samping kata-kata kasar yang terjadi di antara para sahabat, padahal Rasulullah saw telah bersusah payah mendidik mereka selama dua puluh tiga tahun. Misalnya perkataan Umar terhadap Hubab, "Mudah-mudahan Allah membunuhmu", dan begitu juga perkataan Hubab terhadap Umar, "Tidak, justru mudah-mudahan engkau yang dibunuh oleh Allah." Atau perkataan Umar kepada Sa'ad bin Ubadah, "Bunuhlah dia, mudah-mudahan Allah membunuhnya." Atau perkata-an Umar yang lain kepada Sa'ad, "Saya akan menginjak-injak engkau hingga remuk." Atau perkataan Qais bin Sa'ad kepada Umar sambil menjambak janggutnya, "Demi Allah, apabila engkau sentuh satu helai saja dari rambutnya, aku akan rontokkan semua gigimu." Semua ini memberikan gambaran yang jelas bagi Anda.

Kata-kata keji yang seperti ini yang dilontarkan di tempat pemilihan yang sangat sensitif ini, hingga sampai tahap ancaman, pemukulan dan ajakkan untuk membunuh, semua ini menunjukkan betapa orang-orang yang berkumpul tersebut dipenuhi dengan rasa kedengkian dan permusuhan terhadap satu sama lain. Bagaimana mungkin kita bisa menerima musyawarah dari orang-orang seperti mereka —itu pun apabila musyawarah itu sah.

Kemudian, lihatlah kata-kata dan argumentasi yang mereka lontarkan terhadap satu sama lain, semua itu adalah argumentasi yang kosong dan jauh dari kebenaran. Sebagai contoh —misalnya— argumentasi Umar, yang merupakan argumentasi yang paling kuat, "Orang Arab tidak akan menerima kepemimpinan Anda, wahai orang Anshar, karena Nabi bukan berasal dari Anda. Akan tetapi orang Arab akan menerima dipimpin apabila oleh kaum yang Nabi berasal dari mereka."

Jika orang Arab tidak menerima kepemimpinan orang yang jauh dari Rasulullah saw, maka tentu mereka akan menerima kepemimpinan orang yang paling dekat hubungannya dengan Rasulullah saw, yaitu Ali bin Abi Thalib as. Oleh karena itu, Amirul Mukminin as berhujjah, "Mereka berhujjah dengan pohan kenabian namun mereka meninggal-kan buahnya."[92]

Jika orang Arab tidak menerima kepemimpinan Ali as, maka tentu mereka lebih tidak menerima lagi kepemimpinan seorang laki-laki yang berasal dari kabilah Tim. Jika ini yang menjadi hujjah mereka, maka tentu hal ini akan menjadi hujjah yang kuat bagi Ali as

Abu Bakar al-Jawahiri berkata tentang argumentasi Ali as, "Ali berkata, 'Saya adalah hamba Allah dan saudara Rasulullah.' Berita itu sampai kepada Abu Bakar. Lalu Abu Bakar berkata kepada Ali, 'Berbaiatlah.' Ali as menjawab, 'Aku lebih berhak dari Anda atas kepemimpinan ini. Aku tidak akan berbaiat kepada Anda, justru Anda yang lebih layak berbaiat kepadaku. Anda telah merebut kepemimpinan ini dari kaum Anshar dengan berhujjah kepada mereka dengan kekerabat-an Anda dengan Rasulullah, maka mereka pun menyerahkan kepe-mimpinan kepada Anda. Dan sekarang saya mengajukan hujjah yang sama dengan hujjah yang Anda ajukan kepada orang-orang Anshar. Maka bersikap adillah kepada kami, jika Anda memang mengkhawatirkan Allah atas diri Anda. Dan berikanlah pengakuan yang serupa kepada kami sebagaimana yang telah diberikan oleh kaum Anshar kepada Anda. Jika tidak, maka berarti Anda telah berlaku zalim dan Anda mengetahuinya.'

Umar berkata kepada Ali, 'Anda tidak akan dibiarkan hingga Anda berbaiat.'

Ali menjawab, 'Anda sedang memerah susu untuk Abu Bakar dan diri Anda sendiri. Anda bekerja untuknya hari ini, dan besok dia akan mengangkat Anda menjadi penggantinya. Demi Allah, saya tidak akan menerima kata-kata Anda, dan tidak akan mengikuti Anda.'"[93]

Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan baiat dari Ali, bahkan dengan cara kekerasan sekali pun.

Umar berkata, "Kita mendapat kabar bahwa Ali dan Zubair serta orang-orang yang bersamanya memisahkan diri dari kita dan ber-kumpul di rumah Fatimah."[94]

Kemudian Umar datang beserta rombongannya dengan membawa kayu bakar dan bermaksud membakar rumah Fatimah. Maka Fatimah datang menemui mereka dan berkata, "Apakah Anda datang dengan maksud hendak membakar rumah kami, wahai Putra Khattab?"

Umar menjawab, "Ya, atau Anda semua melakukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh umat."[95]

Dalam kitab Ansab al-Asyraf disebutkan,

"Fatimah menemui Umar di pintu dan berkata kepadanya,

'Wahai Putra Khattab, apakah Anda akan tetap membakar rumah sementara aku berada di belakang pintunya?'

Umar menjawab, 'Ya.'"[96]

Para sejarahwan mencatat orang-orang yang datang menyerbu untuk membakar rumah Fatimah:
1. Umar bin Khattab.
2. Khalid bin Walid.
3. Abdurrahman bin 'Auf.
4. Tsabit bin Qais bin Syammas.
5. Ziyad bin Labid.
6. Muhammad bin Muslim.
7. Zaid bin Tsabit.
8. Salmah bin Salamah bin Waghasy.
9. Salmah bin Aslam.
10. Usaid bin Hudhair.

Ya'qubi berkata, "Mereka datang berkelompok menyerang rumah, hingga pedang Ali patah dan mereka masuk ke dalam rumah."[97]

Thabari berkata, "Umar memasuki rumah Ali, sementara di dalam rumah ada Zubair, Thalhah dan beberapa orang dari kaum Muhajir. Kemudian Zubair keluar dengan pedang terhunus, namun dia tergelincir dan pedangnya lepas dari tangannya. Maka mereka pun menangkap dan membawanya."[98]

Fatimah melihat apa yang dilakukan Umar terhadap keduanya – Ali dan Zubair— maka dia berdiri di samping pintu kamar dan berkata, "Hai Abu Bakar, alangkah cepatnya Anda menyerang keluarga Rasulullah. Demi Allah, saya tidak akan berbicara dengan Umar sampai saya menemui Allah."[99]

Karena peristiwa ini dan juga karena peristiwa penahanan warisan yang diterimanya dari Rasulullah saw serta peristiwa-peristiwa lainnya, Fatimah marah kepada Abu Bakar, dan tidak mau berbicara dengannya hingga meninggal dunia. Fatimah az-Zahra hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah saw. Ketika Fatimah az-Zahra wafat, jenazahnya dikuburkan oleh suaminya pada malam hari, dan tidak diizinkan Abu Bakar untuk melihat jenazahnya.[100]

Pada sebuah riwayat disebutkan bahwa Fatimah az-Zahra berkata kepada Abu Bakar, "Demi Allah, saya akan mendoakan keburukan bagimu pada setiap salat yang saya kerjakan."[101]

Oleh karena itu, Abu Bakar berkata pada saat hendak meninggal dunia, "Tidak ada satu pun yang saya sesali dari dunia ini kecuali tiga hal yang telah saya lakukan. Saya sangat berharap tidak melakukannya." (Hingga dia mengatakan), "Adapun ketiga hal yang telah saya lakukan itu: Saya sangat berharap tidak membuka paksa rumah Fatimah, meski pun mereka menguncinya untuk melakukan peperangan."[102]

Di dalam Tarikh Ya'qubi disebutkan, "Oh, seandainya saya tidak membuka paksa rumah Fatimah dan memasukkan orang-orang ke dalamnya meski pun mereka menguncinya untuk melakukan peperangan."[103]

Seorang penyair Mesir, Hafidz Ibrahim, menulis di dalam syairnya,

"Kepada Ali, Umar berkata, 'Rumahmu akan kubakar!

Bila engkau tidak berbaiat kepada Abu Bakar'

Meski pun Fatimah putri Musthafa ada di dalam

Abu Hafshah tidak segan melawan Ali, pahlawan Adnan."

Tidak hanya sampai di situ, bahkan mereka mengancam akan membunuh Ali. Mereka menyeret Ali dengan paksa keluar dari rumahnya, dan membawanya ke hadapan Abu Bakar. Mereka berkata, "Berbaiatlah." Ali berkata, "Kalau aku tidak mau, bagaimana?"

Mereka menjawab, "Kalau demikian, demi Allah, kami akan penggal kepalamu." Ali menjawab, "Kalau begitu, kamu akan memenggal kepala hamba Allah dan saudara Rasulullah?"[104]

Kekhalifahan yang dimulai dengan pemaksaan dan diakhiri dengan ancaman pembunuhan tidak dapat menjadi bukti bagi konsep musyawarah.

Ketika Abu Bakar dan Umar menyadari keburukan yang telah dilakukannya, mereka datang untuk meminta maaf kepada Fatimah. Namun kesempatan telah terlambat.

Fatimah berkata kepada mereka, "Apakah Anda mau mendengar apabila aku katakan kepada Anda suatu perkataan yang berasal dari Rasulullah saw, yang Anda kenal dan Anda telah berjuang untuk beliau?"

Mereka berdua menjawab, "Ya."

Kemudian Fatimah berkata, "Apakah Anda tidak mendengar Rasulullah saw telah bersabda, 'Keridaan Fatimah adalah keridaanku, dan kemarahan Fatimah adalah kemarahanku. Barangsiapa yang mencintai Fatimah, Puteriku, maka berarti dia telah mencintaiku, dan barangsiapa yang membuat Fatimah marah, maka berarti dia telah membuatku marah?"

Mereka berdua menjawab, "Ya, kami telah mendengarnya dari Rasulullah saw."

Kemudian Fatimah berkata, "Saya bersaksi kepada Allah para malaikat-Nya, sesungguhnya Anda berdua telah membuat saya marah dan Anda berdua telah membuat saya tidak rida. Seandainya kelak saya bertemu dengan Nabi saw, saya akan adukan Anda berdua kepada beliau."

Selanjutnya Fatimah berkata kepada Abu Bakar, "... Demi Allah, saya akan mendoakan keburukan bagimu pada setiap salat yang saya kerjakan."[105]

Demikianlah, Abu Bakar tidak berhak atas kekhalifahan kaum Muslimin melalui syura. Karena musyawarah tersebut tidak sah secara teoritis, dan tidak ada wujudnya dalam tataran kenyataan. Jika kita tetap mengakui bahwa Abu Bakar telah memperoleh kekhalifahan kaum Muslimin melalui syura, dan itu merupakan satu-satunya cara untuk itu, maka yang perlu kita tanyakan ialah, atas hak apa Abu Bakar mengangkat Umar menjadi khalifah sepeninggalnya?

Oleh karena itu, Abu Bakar dan kekhalifahannya menghadapi dua masalah:

Pertama, musyawarah sebagai jalan yang Allah SWT tetapkan untuk mengangkat seorang khalifah. Maka di sini berarti Abu Bakar telah membangkang perintah Allah SWT dengan mengangkat Umar sebagai khalifah penggantinya, tanpa proses musyawarah.

Kedua, musyawarah bukan merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT. Maka dengan demikian kekhalifahan Abu Bakar tidak sah, karena muncul melalui musyawarah yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT.

Demikian juga kekhalifahan Umar dan Usman tidak sah, kecuali kekhalifahan Ali as. Seluruh umat sepakat untuk membaiat Ali setelah Usman terbunuh, di samping nas-nas dari Allah dan Rasul-Nya yang menunjukkan kepada kekhalifahan dan keimamahannya. Jika di sana terdapat musyawarah maka kekhalifahan untuk Ali, dan begitu juga jika ditetapkan berdasarkan pengangkatan maka kekhalifahan tetap untuk Ali. Sebagaimana yang diceritakan secara mutawatir oleh riwayat-riwayat.

Untuk menyempurnakan pembahasan, marilah kita akhiri pembahasan ini dengan dialog berikut:

Ali bin Maitsam ditanya, "Kenapa Ali duduk berdiam diri tidak memerangi mereka?"

Ali bin Maitsam menjawab, "Sebagaimana duduk berdiam dirinya Harun terhadap Samiri, padahal mereka telah menyembah patung anak sapi. Seperti Harun ketika mengatakan, '(Harun berkata), 'Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah.' (QS. al-A'raf: 150) Seperti Nuh tatkala berkata, 'Aku ini orang yang dikalahkan, oleh karena itu menangkanlah (aku).'(QS. al-Qamar: 10) Seperti Luth tatkala mengatakan, 'Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).' (QS. Hud: 80) Dan seperti Musa dan Harun tatkala mengatakan, 'Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku.'" (QS. al-Maidah: 25)]

Makna ini dapat kita ambil dari perkataan Amirul Mukminin as manakala sampai berita kepadanya bahwa dia tidak memerangi dua orang yang pertama. Imam Ali as berkata, "Saya mempunyai suri teladan dari enam nabi. Yang pertama ialah Ibrahim al-Khalil as, tatkala dia mengatakan, 'Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah.' (QS. Maryam: 48)

Jika Anda mengatakan, 'Dia menjauhkan diri dari mereka dengan tanpa ada sesuatu yang tidak disukai', maka Anda telah kafir.

Jika Anda mengatakan, 'Dia menjauhkan diri dari mereka disebabkan dia melihat sesuatu yang tidak disukai', maka washi dimaafkan.

Yang berikutnya adalah Luth as, tatkala dia mengatakan, 'Seandainya aku ada mempunyai kekuatan untuk menolakmu atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).' (QS. Hud: 80)

Jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya Luth mempunyai kekuatan untuk menolak mereka', maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya dia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak mereka', maka washi dimaafkan.

Yang berikutnya adalah Yusuf as tatkala dia mengatakan, 'Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku.' (QS. Yusuf: 33)

Jika Anda mengatakan, 'Nabi Yusuf meminta penjara dengan tanpa adanya sesuatu yang tidak disukai yang dibenci oleh Allah SWT', maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya dia diajak kepada sesuatu yang dimurkai Allah', maka washi dimaafkan.

Yang berikutnya adalah Musa as, tatkala dia mengatakan, 'Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu.' (QS. asy-Syu'ara: 21)

Jika anda mengatakan, 'Sesungguhnya Nabi Musa as lari dengan tanpa ada sesuatu yang ditakutkan', maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya dia lari meninggalkan mereka disebabkan mereka ingin berbuat jahat kepadanya', maka washi dimaafkan.

Yang berikutnya adalah Harun, tatkala dia berkata kepada saudaranya, 'Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku.' (QS. Al-A'raf: 150)

Jika Anda mengatakan, 'Mereka tidak menganggap Harun as lemah dan tidak hampir membunuhnya', berarti Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Mereka telah menganggap Harun as lemah dan hampir membunuhnya, dan oleh karena itu dia mendiamkan mereka', maka washi dimaafkan.

Selanjutnya adalah Muhammad saw tatkala dia lari ke gua dan meninggalkan saya di ranjangnya, dan saya mempersembahkan nyawa saya kepada Allah.

Jika Anda mengatakan, 'Muhammad telah lari dengan tanpa adanya sesuatu yang mengancamnya dari pihak mereka', maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Mereka telah mengancamnya, dan tidak ada jalan lain baginya kecuali lari ke gua', maka washi dimaafkan."

Lalu orang-orang berkata, "Anda benar, wahai Amirul Mukminin."[106]


KETIGA 

PARA SAHABAT DAN AYAT INQILAB

"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakahjika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imran: 144)

Sesungguhnya titik berat ayat yang mulia ini berbicara tentang wafatnya Rasulullah saw dan peristiwa pembelotan yang terjadi sesudahnya. Titik berat pembicaraan ayat ini terkumpul di dalam tiga ungkapan, yaitu ungkapan "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", "Apakah jika dia wafat atau dibunuh", dan "Kamu akan berbalik ke belakang?" Untuk mendalami ayat ini dan membahasnya secara rinci, mau tidak mau kita harus melontarkan beberapa pertanyaan yang tajam, untuk menggali pemikiran dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Mengapa Allah SWT tidak cukup hanya dengan mengatakan "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", melainkan melanjutkannya secara langsung dengan kata-kata "Apakahjika dia wafat atau dibunuh", padahal konteks ayat di atas berdiri tegak dengan ungkapan pertama?

Apa perbedaan antara mati dan terbunuh? Huruf "aw" athaf (atau) memberikan arti pemisahan antara ma'thuf dengan ma'thuf 'alaih, lantas apa perbedaan di antara keduanya? Mengapa pengulangan ini muncul dari Allah SWT, padahal Dia mengetahui bahwa Rasulullah akan mati? Siapa orang yang disinggung di dalam firman-Nya "Jika kamu berbalik ke belakang"! Dari apa mereka berbalik ke belakang? Dan apa hubungannya antara pembelotan (berbalk ke belakang) dengan wafatnya Rasulullah saw?

Konteks ayat ini berbicara tentang sikap istiqamah, lantas kenapa ayat ini menggunakan kata-kata "Dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur", dan tidak mengatakan "Dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang istiqamah, orang-orang Muslim, atau orang-orang Mukmin?"

Sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mau tidak mau kita harus menyebutkan dua mukaddimah berikut:

Pertama, tentang sebab-sebab turunnya ayat ini. Para mufassir menyebutkan bahwa yang menjadi sebab turunnya ayat ini ialah kekalahan yang diderita oleh kaum Muslimin setelah peperangan Uhud, di mana kaum musyrikin menyebarkan berita bahwa Rasulullah saw telah terbunuh di dalam peperangan. Berita ini telah menciptakan kerapuhan, kemunduran dan keraguan pada sebagian kaum Muslimin. Maka Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai teguran terhadap kaum Muslimin atas yang demikian.

Kedua, mana yang pokok di dalam ayat-ayat Al-Qur'an? Apakah yang pokok ialah bahwa ayat-ayat Al-Qur'an cocok untuk seluruh jaman, kecuali yang dikecualikan oleh suatu dalil? Atau, apakah justru sebaliknya?

Maksudnya ialah, jika ayat-ayat Al-Qur'an cocok untuk seluruh jaman, maka kita dapat mengumumkan makna ayat di atas kepada jaman-jaman yang lain selain dari jaman yang menjadi sebab-sebab turunnya ayat. Jika tidak, maka berarti kita terikat dengan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat di atas, dan penggenaralisiran ayat di atas kepada jaman-jaman yang lain selain dari jamannya itulah yang memerlukan alasan.

Para ulama Islam, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah sepakat bahwa pengambilan pelajaran berdasarkan keumuman lafaz, bukan berdasarkan kekhususan sebab. Jika yang menjadi pokok ialah tidak berlakunya ayat-ayat Al-Qur'an pada setiap jaman, niscaya akan batallah pelaksanaan Al-Qur'an pada jaman-jaman berikut, atau kita akan meninggalkan sebagian besar ayat Al-Qur'an di dalam kebekuan dan ketidak-sesuaian dengan jaman. Hal ini jelas tidak sejalan dengan ruh Islam, dan juga tidak sejalan dengan ajaran-ajarannya serta keumumannya. Ini adalah dalil akal. Dan sebagian besar ayat Al-Qur'an mendukung dalil ini, dimana ayat-ayat tersebut mendorong manusia untuk mau bertadabbur dan mengamalkan Al-Qur'an, serta mengecam perbuatan sebaliknya.

Jika kita membenarkan pendapat yang kedua, niscaya tidak akan ada artinya firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat." Karena, ayat ini mengisyaratkan kepada seluruh Al-Qur'an, dan tidak mengkhususkan kepada sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an, melainkan kita harus berusaha untuk bisa memahami seluruh ayat-ayat Al-Qur'an, memperhatikannya dan me-metik pelajaran darinya. Hal ini sebagaimana yang Allah perintahkan kepada kita untuk mentadabburinya, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?"

Al-Qur'an al-Karim mengecam orang yang mengimani sebagian Al-Qur'an dan tidak mengimani sebagian lainnya, "(Yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi.

"(Yaitu) orang-orang beriman kepada sebagian al-Kitab (Al-Qur'an) dan kafir kepada sebagian yang lain."

Allah SWT berfirman,

"Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan." (QS. al-Kahfi: 54)

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?" (QS. al-Qamar: 17)

"Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. " (QS. Fushshilat: 3)

"Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya." (QS. az-Zukhruf: 3)

Ayat-ayat ini mendorong kita untuk berpegang kepada Al-Qur'an seluruhnya, tidak sebagiannya.

Alhasil, jika kita berpegang kepada pendapat yang kedua, maka tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang menerimanya. Kalau pun seandainya kita berpegang kepada pendapat yang kedua, sesungguhnya ayat yang sedang menjadi pembahasan kita mempunyai dalil-dalil yang membuktikan bahwa dia tidak hanya khusus bagi jaman pada saat dia turun, melainkan dia terus berlaku sepanjang kehidupan Rasulullah saw, dan bahkan sesudahnya. Adapun dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya berita yang tersebar pada saat peperangan Uhud ialah berita terbunuhnya Rasulullah saw. Dan ayat ini berbicara tentang kejadian wafatnya Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh... " Seandainya ayat ini hanya dikhususkan bagi jaman pada saat dia diturunkan, maka tentu Allah SWT akan berkata, "Apa-kah jika dia dibunuh ". Sepertinya, penyebutan kata "wafat" adalah untuk menunjukkan bahwa perbuatan berbalik ke belakang yang terjadi pada peperangan Uhud juga akan terjadi pada saat setelah kematian Rasulullah saw.

Faidah praktis dari mukaddimah ini dalam pembahasan kita ialah, kita tidak dibebani kewajiban untuk mengemukakan sebuah dalil yang mengumumkan ayat inqilab ini kepada kejadian yang bukan merupakan sebab turunnya ayat ini, jika pendapat pertama yang benar, dan ini adalah pendapat yang benar —sebagaimana yang Anda saksikan. Adapun berdasarkan pendapat yang kedua, mau tidak mau harus ada sebuah dalil khusus untuk membuktikan bahwa ayat ini tidak hanya dikhususkan bagi kejadian tempat dia diturunkan, melainkan berlaku sepanjang kehidupan Rasulullah saw, dan bahkan jaman sepeninggal beliau. Seandainya pendapat yang kedua itu yang benar, maka dalil yang menunjukkan berlakunya ayat ini sepanjang kehidupan Rasulullah saw dan bahkan jaman sepeninggal beliau, terdapat di dalam ayat itu sendiri. Di mana, dan bagaimana?

Adapun pertanyaan "di mana", maka jawabannya ialah di dalam firman Allah SWT yang berbunyi "Apakah jika dia wafat atau dibunuh..." Sedangkan pertanyaan "bagaimana", maka jawabannya ialah bahwa berita yang tersebar luas di sekitar dan di dalam kota Madinah pada saat terjadi peperangan Uhud ialah berita terbunuhnya Rasulullah saw, yang menyebabkan sebagian dari para sahabat murtad dan berbalik ke belakang. Jika Allah SWT hendak mengkhususkan ayat ini hanya bagi peperangan Uhud, niscaya Allah SWT akan mengatakan, "Apakah jika dia terbunuh..." Namun penyebutan kata "wafat" oleh Allah SWT di dalam ayat, "Apakahjika dia wafat atau terbunuh...", memberikan pengertian yang pasti bahwa keadaan yang sama benar-benar akan terulang pada saat Rasulullah saw meninggal dunia.

Insya Allah, akan datang penjelasan lebih rinci kepada Anda yang menguatkan bahwa ayat ini tidak hanya terbatas kepada peristiwa perang Uhud, melainkan juga mencakup jaman hingga meninggalnya Rasulullah saw, dan bahkan jaman sesudahnya.

Ketahuilah, sesungguhnya mati mempunyai dua arti: Mati dalam arti umum, yaitu peristiwa dicabutnya ruh,

"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendatangi kamu, meski pun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (QS. an-Nisa: 78)

"Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi)." (QS. al-Hajj: 66)

Juga terdapat mati dalam arti khusus, sebagai lawan dari terbunuh. Yaitu orang yang mati disebabkan telah rusaknya bangunan kehidupannya. Dan ayat mana saja yang menyebutkan kedua kata tersebut secara bersamaan, yaitu kata mati dan terbunuh, maka yang dimaksud dengan mati adalah mati dalam arti khusus. Pengertian ini lebih bertambah kuat lagi manakala digunakan kata aw (atau), yang memberikan arti pemisahan di antara ma'thuf dan ma'thuf 'alaih. Contohnya ialah firman Allah SWT yang berbunyi,

"Dan sungguh kalau kamu terbunuh di jalan Allah atau meninggal dunia, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan." (QS. Ali Imran: 157)

"Dan sungguh jika kamu meninggal dunia atau terbunuh, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan." (QS. Ali Imran: 158)

"Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh." (QS. Ali Imran: 156)

Karena, jika kata "mati" di dalam ayat-ayat ini bermakna umum maka tentu tidak diperbolehkan menggunakan kata "terbunuh", karena sudah tercakup di dalamnya. Dan jika hal itu dilakukan, maka ini berarti bertentangan dengan kefasihan bahasa. Dari sini kita dapat membuktikan bahwa yang dimaksud dengan mati di dalam ayat Inqilab ialah mati dalam arti khusus, yang merupakan lawan dari kata terbunuh.

Kenapa Allah SWT menekankan kepada sifat kerasulan pada diri Rasul-Nya, dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang rasul, sebagaimana telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Untuk tujuan itu sebenarnya Allah SWT cukup dengan hanya mengatakan, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", namun kenapa Allah SWT melanjutkannya secara langsung dengan mengatakan, "Apabila dia wafat atau dia dibunuh"?

Yang terbayang pertama kali di dalam menjawab pertanyaan ini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian para mufassir, yaitu bahwa Allah SWT hendak menarik perhatian kaum Muslimin kepada sebuah hakikat, bahwasannya Nabi Muhammad saw itu tidak kekal. Dia itu akan mati dan berlalu. Keadaannya persis sebagaimana rasul-rasul yang lain yang telah mati dan berlalu. Makna ini adalah makna yang tampak, namun bukan satu-satunya makna. Karena kalau sekiranya maksud Allah SWT hanya sebatas hendak menetapkan sifat kematian bagi Rasulullah saw, maka tentunya Allah SWT akan me-ngatakan, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang manusia, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang manusia." Untuk menekankan kepada kefanaan dan ketidak-langgengan yang sudah merupakan tabiat manusia. Juga terdapat beberapa arti yang lebih luas dan lebih dalam dari arti ini, yang menuntut dikemukakannya dan ditekankannya sifat kerasulan. Yaitu,

Pertama, sebagaimana keberadaan agama tidak digantungkan kepada kehidupan rasul-rasul yang lalu, maka demikian juga keberadaan agama ini tidak digantungkan kepada kehidupan Rasulullah saw. Sebagaimana para nabi terdahulu meninggal dunia dan agama tetap berlangsung sepeninggal mereka, maka demikian pula manakala Rasulullah saw meninggal dunia atau terbunuh, agama akan tetap berlangsung sepeninggalnya.

Kedua, ini merupakan arti yang paling dalam dan paling mencakup, yaitu penekanan terhadap hakikat kesesuaiaan sunah-sunah di antara umat sepeninggal rasul-rasulnya. Maka apa yang telah terjadi atas umat-umat tersebut, akan terjadi pula atas umat ini. Al-Qur'an, sunah Rasulullah saw dan kenyataan menguatkan hakikat ini. Adapun Al-Qur'an al-Karim mengatakan,

"Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putra Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan ruhul qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akn tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya." (QS. al-Baqarah: 253)

Dhamir (kata ganti) hum kembali kepada kata ar-rusul (rasul-rasul). Jika yang dikehendaki oleh Allah SWT hanyalah Isa as maka tentu Allah SWT akan menggunakan ungkapan "min ba'dih" (sesudahnya). Juga tidak bisa dikatakan bahwa yang dikehendaki oleh Allah dengan dhamir "hum" (mereka) adalah Isa as, sebagai penghormatan. Karena kedudukan dhamir "hum" pada kata "min ba'dihim" (sesudah mereka) dengan maksud sebagai pengagungan, itu bertentangan dengan kefasihan. Adapun berkenaan dengan orang yang mengatakan bahwa dhamir "hum" hanya merupakan makna majazi (kiasan), maka kita katakan, sesungguhnya jika terjadi keraguan apakah suatu lafaz itu digunakan dalam arti majazi (kiasan) atau hakiki (arti sebenarnya) maka kita berpegang kepada arti hakiki. Pada penggunaan dhamir hum dalam arti hakiki maka dhamir hum kembali kepada "rasul-rasul itu", yang salah satu di antaranya adalah Rasulullah saw, berdasarkan petunjuk ayat sebelumnya yang berbunyi, "Itu adalah ayat-ayat Allah. Kami bacakan kepadamu dengan benar, dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus." Kemu-dian Allah SWT melanjutkan, "Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagi-an dari mereka atas sebagian yang lain."

Kemudian, sesungguhnya perihal kesesuaian sunah-sunah juga ditunjukan oleh banyak riwayat yang masyhur dan sahih, yang disepakati oleh kaum Muslimin. Seperti sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Niscaya kamu akan mengikuti sunah-sunah orang sebelummu. Bulu anak panah dengan bulu anak panah, dan sandal dengan sandal. Bahkan jika mereka memasuki lubang biawak, niscaya kamu pun akan memasukinya." Dalam sebuah hadis yang lain Rasulullah saw bersabda, "Janganlah sepeninggalku engkau kembali menjadi orang-orang kafir, yang sebagianmu memenggal sebagian leher yang lain." Rasulullah saw juga telah bersabda, "Orang-orang Yahudi telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, sementara orang-orang Kristen telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akn berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua golongan darinya berada di dalam neraka, dan hanya satu golongan yang selamat." Bahkan, banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kepada fenomena ini. Seperti firman Allah SWT yang berbunyi,

"Mereka tidak menunggu-nunggu kecuali kejadian-kejadian yang sama dengan kejadian-kejadian yang menimpa orang-orang yang telah terdahulu sebelum mereka." (QS. Yunus: 102)

"Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, danAllah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan Kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki di antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya." (QS. al-Baqarah: 213)

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. al-Ankabut: 2)

Sesunggunya dalil terbesar yang menunjukkan kepada kesesuaian di antara sunah-sunah umat terdahulu dan umat kemudian ialah kenyataan yang terjadi pada para sahabat sepeninggal Rasulullah saw, yaitu di mana sebagian mereka mengkafirkan sebagian mereka yang lain, dan masing-masing dari mereka memfasikkan yang lainnya, hingga berakhir dengan terjadinya peperangan yang dahsyat di antara mereka, yang menelan korban lebih dari seratus ribu kaum Muslimin. Inilah ekstensi dari ayat yang berbunyi, "Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang yang datang sesudah rasul-rasul itu." (QS. al-Baqarah: 253)

Setelah ini, tidak bisa seseorang mengatakan, bagaimana mungkin para sahabat berbalik ke belakang padahal merekalah yang telah mengorbankan harta dan diri mereka, dan telah memerangi keluarga mereka serta telah berdiri tegar di sisi Rasulullah saw dalam keadaan susah dan lapar, serta mereka telah melihat ayat-ayat dan mukjizat-mukjizatnya!! Karena di samping alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, keragu-raguan ini dapat dijawab dengan hal-hal berikut,

a. Sesungguhnya kata ganti orang kedua di dalam ungkapan "inqalabtum" (kamu berbalik ke belakang) ditujukan kepada mereka para sahabat. Karena tidak logis jika yang dimaksud adalah orang-orang kafir atau orang-orang munafik, karena mereka adalah orang-orang yang menyimpang atau berbalik ke belakang sejak awal.

b. Ilmu tidak menjamin pemiliknya untuk lurus. Betapa banyak manusia yang mengetahui bahwa kebenaran berada di suatu tepian, namun disebabkan hawa nafsunya dia justru cenderung kepada tepian yang lain. Bahkan, kebanyakan pembangkangan terjadi setelah datangnya pengetahuan tentang kebenaran. Allah SWT berfirman,

"Dan tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka." (QS. Ali Imran: 19)

"Dan tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang-orang yang telah didatangkan Kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki di antara mereka sendiri." (QS. al-Baqarah: 213)

Segala sesuatunya terang dan jelas, namun mereka berselisih dan saling berbunuh-bunuhan, "Dan kalaulah Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang yang datang sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan." (QS. al-Baqarah: 253)

"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, dan kemudian Allah membiarkannya sesat atas ilmunya. " (QS. al-Jatsiyah: 23)

c. Sesungguhnya pengorbanan-pengorbanan yang lalu dan kesabaran atas berbagai musibah, tidak menjamin manusia untuk tidak jatuh ke dalam penyimpangan di masa yang akan datang. Pengorbanan dan kesabaran yang mereka (para sahabat) tunjukkan tidak lebih besar dari pengorbanan dan kesabaran yang ditunjukkan oleh Bani Israil manakala Fir'aun memotong kaki dan tangan mereka, menyalib mereka, membiarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan anak-anak perempuan mereka, dan membunuh kaum laki-laki dari mereka, namun mereka tetap sabar berpegang kepada seruan Nabi Musa as, dan mereka melihat dengan jelas mukjizat-mukjizat besar yang ditunjukkan oleh Nabi Musa as, yang mana yang terbesar darinya ialah membelah lautan menjadi dua bagian, sehingga tidak ubahnya menjadi dua buah gunung yang besar. Namun, tatkala Nabi Musa as meninggalkan mereka beberapa hari, mereka kembali menyembah patung anak sapi. Sehingga sepertinya sudah menjadi watak manusia melakukan pelanggaran manakala dia merasa cukup dan aman,

"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas." (QS. al-'Alaq: 6)

d. Betapa pun seorang manusia telah tinggi di dalam derajat keimanan, dia tetap tidak dimaksum oleh Allah SWT, sehingga bisa saja dia berbalik ke belakang dan kembali kafir. Tidak ada contoh yang lebih besar dari Bal'am bin Ba'ura,

"Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), makajadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesunggunya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi." (QS. al-A'raf: 175-178)

Apakah ada salah seorang dari sahabat telah mencapai tingkat keimanan yang seperti ini, hingga mencapai tingkat membawa Ism al-A'zham? Sungguh telah menyimpang orang yang telah mencapai derajat ini, apalagi orang yang ada di bawahnya?

Timbul pertanyaan di sini, "Pembelotan (perbuatan berbalik ke belakang) itu terjadi atas apa?"

Bahkan, merupakan tugas kita untuk menanyakan, atas apa pembelotan itu biasanya terjadi?

Di dalam ayat Inqilab terdapat unsur-unsur dasar yang dapat menghantarkan kita kepada jawaban pertanyaan ini, dengan melakukan analisa dan penarikan kesimpulan darinya:

a. Ayat Inqilab mempunyai hubungan yang langsung dengan wafatnya Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang?"

b. Pembelotan menunjukkan adanya satu dasar yang menjadi tempat terjadinya pembelotan. Yaitu suatu dasar yang dikenal di kalangan seluruh orang yang membelot. Karena jika orang-orang yang membelot itu tidak mengetahui dasar ini, maka tentu tidak dikatakan kepada mereka, "Kamu berbalik ke belakang." Bahkan, sesuatu yang menjadi tempat terjadinya pembelotan adalah sesuatu yang dipegang teguh oleh para pembelot untuk beberapa waktu hingga terjadinya pembelotan.

c. Sesungguhnya perkara ini mempunyai hubungan yang langsung dengan Allah dan Rasul-Nya saw, dan dari mereka berdualah mereka membelot.

d. Sesungguhnya bahaya pembelotan ini akan mengenai orang-orang yang membelot, baik di dunia maupun di akhirat, "Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. " Allah SWT berfirman sebelumnya, "Maka dia tidak dapat mendatangkan madharat sedikit pun kepada Allah. " Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur bagi dirinya sendiri. "

Allah SWT menjelaskan bahwa manfaat syukur kembali kepada hamba itu sendiri, dan demikian juga perbuatan tidak bersyukur madharatnya akan kembali kepada si hamba sendiri.

e. Sesungguhnya pembelotan ini mempunyai kaitan dengan sunah- sunah orang-orang terdahulu. Apa yang orang-orang terdahulu telah membelot darinya maka orang-orang terkemudian pun akan membelot darinya.

f. Allah SWT tidak mengatakan, Dia akan memberi balasan kepada orang-orang Mukmin dan orang-orang Muslim, melainkan Allah SWT mengatakan, "Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." Ini memberikan pengertian bahwa orang yang tidak membelot atau berbalik ke belakang sedikit jumlahnya, "Dan hanya sedikit dari hamba-hamba Kami yang bersyukur. " Ini dikuatkan dengan perkataan-Nya, "Kamu berbalik ke belakang", yang memberikan pengertian umum dan banyak. Kalau sekiranya orang-orang yang membelot itu sedkit jumlahnya, maka tentu Allah SWT akan mengatakan, "Sebagian kamu berbalik ke belakang", dan tentunya tidak benar mengecam mayoritas.

g. Pembelotan ini benar-benar terjadi. Ini didasarkan petunjuk "jawab syarat" yang memberikan pengertian terlaksana manakala terlaksananya "syarat", dan penggunaan bentuk fi'il madhi (kata kerja lampau) yang memberikan pengertian terlaksananya sesuatu.

h. Sesungguhnya ucapan Allah SWT ini khusus ditujukan kepada kaum Muslimin, dan tidak ditujukan kepada orang-orang kafir, karena mereka adalah orang-orang yang menyimpang sejak awal. Demikian juga ayat ini tidak ditujukan kepada orang-orang munafik saja, karena hal ini bertentangan dengan zahir ayat. Kalaulah yang dimaksud dalam ucapan Allah SWT ini hanyalah orang-orang munafik saja, maka tentu Allah SWT akan mengatakan, "Kamu menampakkan pembelotanmu", padahal pembelotan (perbuatan berbalik ke belakang) itu terjadi pada saat Rasulullah saw meninggal dunia.

Untuk mengetahui esensi pembelotan ini, maka kita harus memperhatikan seluruh unsur dasar ini pada saat melakukan analisa dan menarik kesimpulan, dan hendaknya kesimpulan yang ditarik harus sesuai dengan unsur-unsur dasar ini. Karena jika tidak, maka berarti bukan kesimpulan yang benar.

Rasulullah saw adalah seorang pemimpin kaum Muslimin, dan setelah beliau wafat terjadi pembelotan... Lantas kita bertanya, setelah wafatnya seorang pemimpin, atas apa biasanya terjadi pembelotan?! Pada sisi apa Rasulullah saw berperan sebagai katup pengaman bagi umat dari perselisihan, yang jika sekiranya Rasulullah saw tidak ada akan terjadi perselisihan dan pertentangan. Apakah Al-Qur'an al-Karim menjelaskan hal ini? Al-Qur'an al-Karim tidak menjelaskan secara jelas perkara yang amat besar ini, yang tidak diterima oleh sebagian besar manusia, dan yang Rasulullah saw sendiri merasa takut menyampaikannya kepada umat, namun Allah SWT memerintahkan,

"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, maka berarti katnu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjaga kamu dari (ganguan) manusia." (QS. al-Maidah: 67)

Dengan memperhatikan secara sekilas ayat di atas kita dapat menyingkap beberapa poin berikut:

1. Sesungghnya perkara yang wajib disampaikan ini, bobotnya menyamai bobot menyampaikan seluruh risalah. Sehingga jika Rasulullah saw tidak menyampaikannya maka dia sama dengan tidak menyampaikan risalah. Sebaliknya, pengingkaran terhadapnya sama dengan pengingkaran terhadap risalah, dan sikap berbalik ke belakang darinya sama dengan sikap berbalik ke belakang dari risalah.

2. Sesungguhnya perkara ini adalah perkara yang banyak mendapat penentangan dari manusia. Bahkan, Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya dari manusia untuk menyampaikan perkara ini. Oleh karena itu, Allah SWT meyakinkannya, "Dan Allah menjaga kamu dari (gangguan) manusia."

3. Perkara ini merupakan penyempurna risalah. Karena jika Rasulullah saw menyampaikan perkara ini maka berarti Rasulullah saw telah menyampaikan risalah dan menyempurnakannya,

"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk katnu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu sebagai agamamu. " (QS. al-Maidah: 3)

Ini sejalan dengan ayat Inqilab yang mengatakan bahwa sikap berbalik ke belakang dari perkara ini adalah berarti sikap berbalik ke belakang dari agama ini seluruhnya.

4. "Allah menjaga kamu dari (gangguan) manusia." Ini memberikan arti bahwa sebagian besar manusia tidak menyukai perkara yang Rasulullah saw diperintahkan untuk menyampaikannya? Perkara apakah ini yang Rasulullah saw diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikannya?

Pertama-tama, sesungguhnya perkara ini mempunyai kaitan dengan sikap berbalik ke belakang. Dan ini didasarkan kepada beberapa hal:

1. Karena perkara ini berkaitan dengan risalah, dan berbalik ke belakang darinya adalah berarti berbalik ke belakang dari risalah.

2. Di dalam perkara ini terdapat sikap berbalik ke belakang, disebabkan ketidak-relaan kelompok mayoritas terhadap perkara ini.

3. Rasulullah saw harus menyampaikan perkara ini disebabkan ajalnya sudah dekat, "Sudah hampir masanya aku dipanggil oleh Allah dan aku mesti menjawab panggilan-Nya", sehingga tidak meninggalkan alasan bagi mereka untuk bisa berbalik ke belakang, dan sekaligus menegakkan hujjah yang sempurna atas mereka. Karena perbuatan berbalik ke belakang mempunyai kaitan dengan wafatnya Rasulullah saw.

4. Sesungguhnya perkara yang Allah SWT inginkan Rasulullah saw menyampaikannya ialah satu perkara yang sangat dimungkinkan manusia berpaling darinya. Karena, Rasulullah saw telah menyampaikan seluruh risalah, dengan segenap cabangnya, namun tidak tampak tanda-tanda ketidak-relaan dari kaum Muslimin terhadap seluruh yang telah disampaikan Rasulullah saw, kecuali perkara ini. Rasulullah saw sendiri merasa khawatir untuk menyampaikannya, maka Allah SWT pun memberikan jaminan kepada Rasulullah saw untuk menjaga dan melindunginya dari gangguan manusia.

5. Rasulullah saw berperan sebagai katup pengaman dalam masalah ini. Jika Rasulullah saw meninggal dunia, maka lumpuhlah keamanan, dan manusia akan melakukan yang sebaliknya.

6. Tidak ada sesuatu yang menjadi objek dari sikap berbalik ke belakang selain dari kekhalifahan yang ditetapkan dari sisi Allah SWT. Kekhalifahan siapa yang Rasulullah saw sampaikan?

Hadis-hadis mutawatir, dan begitu juga beratus-ratus kitab referensi kaum Muslimin menceritakan peristiwa al-Ghadir dan pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah kaum Muslimin, sebagaimana yang telah disebutkan.

Dari sini, dan dari beribu-ribu hadis lainnya tampak jelas bahwa Rasulullah saw telah menetapkan Ali sebagai khalifah dan Imam atas seluruh makhluk, namun hal ini tidak mendapat kerelaan dari kaum Muslimin. Manakala Rasulullah meninggalkan dunia yang fana ini, dengan segera mereka pun berbalik ke belakang darinya dan merampas apa yang menjadi haknya. Dan hanya sedikit sekali dari mereka yang tetap berpegang teguh. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Allah SWT pada bagian akhir ayat Inqilab, "... dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." Dari ayat ini tampak jelas:

Pertama, mereka itu sedikit jumlahnya. Dengan alasan,
a. Kata "ingalabtum " (kamu berbalik ke belakang), memberikan arti umum dan mayoritas.
b. Firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan hanya sedikit dari hamba-hambaku yang bersyukur."

Kedua, syukur di sini sebagai lawan dari kufur, yaitu berbalik ke belakang, "Maka di antara mereka ada yang beriman dan di antara mereka ada yang kafir", "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus: ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." Jalan ini sudah dikenal, berdasarkan beberapa petunjuk berikut,
a. Petunjuk-Nya kepada jalan yang lurus, "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus."
b. Perbuatan berbalik ke belakang dari jalan yang lurus. Karena ayat di atas mengatakan, "Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang bersyukur." Yaitu mereka yang mengikuti jalan yang luras ini. Sehingga selain dari mereka adalah orang- orang kafir, karena mereka berbalik ke belakang dari jalan yang lurus.

c. Alif lam ta'rif.

Jalan ini merupakan tempat ujian dan kenikmatan pada waktu yang bersamaan. Yaitu ujian yang dengannya manusia diuji, dan kenikmatan bagi orang yang melaluinya. Biasanya, perbuatan berbalik ke belakang yang menyamai kekufuran adalah perbuatan berbalik ke belakang dari kenikmatan. Manakala kepemimpinan Ali merupakan sebuah kenikmatan, "Dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku", maka perbuatan berbalik ke belakang terjadi atasnya, dan hanya sedikit saja yang menerima kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana yang dikuatkan oleh hadis Rasulullah saw yang bersabda,

"Ketika aku sedang berdiri tiba-tiba datang sekelompok orang yang aku kenal. Lalu keluarlah seorang di antara kami dan berkata, 'Mari.' Aku bertanya, 'Ke mana?' Dia menjawab, 'Ke neraka, demi Allah.' Aku bertanya, 'Apa kesalahan mereka?' Dia men-jawab, 'Mereka telah murtad sepeninggalmu dan telah berbalik dari kebenaran.' Dan aku tidak melihat yang tersisa kecuali sedikit sekali, seperti sekelompok unta yang tersisih."

Hadis ini menguatkan apa yang dikatakan di dalam ayat inqilab, yaitu hanya sedikit orang yang bersyukur terhadap kenikmatan. Rasulullah saw mengatakan, "Aku tidak melihat yang tersisa kecuali sedikit sekali, seperti sekelompok unta yang tersisih." Sebagaimana kelompok unta yang terpisah dari rombongannya sedikit sekali jumlahnya, maka demikian pula para sahabat yang selamat sedikit sekali jumlahnya.

Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda, "Aku akan mendahului kamu di telaga. Siapa yang berlalu dariku dia akan minum, dan siapa yang telah minum dia tidak akan dahaga selama-lamanya. Kelak ada sekelompok orang yang aku kenal dan mereka juga mengenalku, datang kepadaku. Kemudian mereka dipisahkan dariku. Aku akan berkata, 'Sahabatku, sahabatku.' Lalu dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.' Dan aku pun berkata, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah sepeninggalku.'"

Rasulullah saw pernah berkata kepada Abu Bakar, manakala Rasulullah meyaksikan para syuhada ahli surga. Rasulullah saw berkata, "Adapun berkenaan dengan mereka, aku memberikan kesaksian bagi mereka." Lalu Abu Bakar berkata, "Dan juga bagi kami, hai Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab, "Adapun mengenaimu, aku tidak mengetahui apa yang akan kamu lakukan sepeninggalku. •

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tiga Kelompok Penyeleweng Kebenaran


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Pertama:

PARA SEJARAHWAN

Peranan Sejarah Di Dalam Membangkitkan Umat

Sesungguhnya umat yang maju adalah umat yang mengambil pelajaran dari sejarah, dan menghadirkan pengalaman-pengalaman sejarah di hadapannya, setelah sebelumnya menyadari hukum-hukum sejarah yang akan menuntun umat menuju peradaban. Di samping juga mengetahui sebab-sebab kehancuran dan kemunduran umat-umat terdahulu. Allah SWT tidak mengkhususkan satu hukum untuk sebuah kaum dan tidak bagi kaum yang lain, melainkan Allah menjadikannya sebagai satu sunah yang tidak berubah. Allah SWT berfirman, "Maka sekali-kali kamu tidakakan mendapatpenggantian bagi sunah Allah, dan sekali-kali tidak pula akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu.

Kehidupan berdiri di atas satu hakikat, yaitu pertarungan yang terus-menerus di antara yang hak dengan yang batil. Seluruh peristiwa yang terjadi di dalam sejarah manusia tidak keluar dari konteks pertarungan ini. Dengan hati nurani kita dapat menyelami sejarah dan menjadikannya hidup serta berinteraksi dengan kehidupan kita sekarang. Kita dapat menyelami lebih dalam tentang terjadinya berbagai perpecahan mazhab di dalam sejarah umat Islam. Untuk mengkaji ini mau tidak mau kita harus mengesampingkan berbagai emosi dan kecenderungan pribadi, dan mendasarkan diri kepada kaidah-kaidah Al-Qur'an. Sehingga kita mampu melakukan analisa yang objektif, dan mampu melihat berbagai peristiwa bukan hanya sebatas permukaannya saja melainkan sampai ke substansinya. Dengan begitu kita akan bisa sampai kepada penglihatan yang jelas dan objektif, dan bukan penglihatan yang salah dan rancu.

Untuk itu, marilah kita mulai sebagaimana seolah-olah Al-Qur’an al-Karim baru diturunkan kepada kita. Kita membaca di dalam Al-Qur'an, "Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri." (QS. ar-Rum: 9)

Sebaliknya, umat yang beku tidak mampu memahami sejarah beserta hukum-hukum dan pengalaman-pengalamannya. Oleh karena itu, mereka kehilangan kemampuan penglihatan yang menjadikan mereka mampu menguasai peristiwa-peristiwa sekarang dan berjalan menyongsong masa depan.


Kekuasaan Dan Penyelewengan Sejarah

Jika demikian, maka setiap penolakan untuk melakukan pengkajian sejarah, dengan alasan akan membangkitkan fitnah-fitnah yang telah lalu, atau alasan-alasan lainnya, tidaklah pada tempatnya. Penolakan itu tidak lain hanya menunjukkan kebodohan orang yang ber-sangkutan. Pada hakikatnya, seandainya pun di sana terdapat fitnah, maka fitnah itu disebabkan pemalsuan dan penyelewengan yang dilakukan terhadap sejarah. Karena sejarah sebagai sebuah sejarah, dia tidak lebih hanya merupakan sebuah cermin yang memantulkan peristiwa-peristiwa yang telah lalu bagi orang-orang yang sekarang, dengan tanpa adanya rekayasa dan pemalsuan. Namun, manakala sejarah jatuh ke tangan para politikus kotor maka dia akan berubah bentuknya dan akan rusak wajahnya. Dari sinilah kemudian timbulnya berbagai pandangan dan mazhab. Karena, jika sejarah lurus-lurus saja dan tidak ada rekayasa maka tentu akan tersingkap kepalsuan berbagai mazahab yang ada dan akan diketahui kebatilannya.

Apa yang diderita oleh kaum Muslimin sekarang, berupa terkotak-kotaknya mereka ke dalam beberapa mazhab dan kelompok, itu tidak lain merupakan buah dari berbagai penyelewengan yang terjadi di dalam sejarah Islam, yaitu berupa pemalsuan dan penyembunyian kebenaran yang dilakukan oleh para sejarahwan. Mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari para perencana yang hendak mendiskredirkan mazhab Ahlul Bait untuk kepentingan politik. Para perencana ini telah bermain di semua tingkatan, untuk membentuk arus lain yang mempunyai tampilan Islam, sebagai lawan dari Islam yang sesungguhnya. Oleh karena sejarah menceritakan seluruh apa yang dilihatnya, maka para perencana ini mau tidak mau harus membungkam dan membutakannya, sehingga tidak dapat menyingkap tipu daya yang dilakukannya. Oleh karena itu, mereka menempatkan sejarah di dalam gengaman tangan penguasa, supaya sejarah itu ber-gerak ke arah mana saja penguasa bergerak.

Maka para sejarahwan pun berada di bawah ancaman dan bujukan para penguasa. Bulu-bulu tangan mereka bergetar karena harus memalsukan kebenaran. Kebijakan politik yang diikuti para penguasa Bani Umayyah, dan kemudian dilanjutkan oleh para penguasa Bani Abbas, sejak awal adalah bertujuan untuk mencemarkan wajah Ahlul Bait as. Semata-mata menyatakan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Baitnya, cukup menjadi alasan seseorang untuk dihancurkan rumahnya dan diputus bagiannnya dari baitul mal. Bahkan Mu'awiyah senantiasa mengintai Syi'ah Ali dengan mengatakan, "Bunuh mereka, meski mereka hanya baru disangka syi'ahnya Ali." Sehingga menyebutkan keutaman-keutamaan m Ahlul Bait as merupakan sebuah kejahatan yang tidak dapat diampuni. Untuk mengetahui tragedi-tragedi yang menimpa para Imam Ahlul Bait dan para syi'ah mereka, silahkan Anda merujuk kepada kitab Magatil ath-Thalibiyin, karya Abul Faraj al-Isfahani.

Apalagi dengan para sejarahwan. Tidak mudah bagi mereka pada kondisi yang keras ini menuliskan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait dan menyebutkan sejarah kehidupan mereka yang cemerlang.

Demikianlah, generasi demi generasi mewariskan kebenaran yang telah diselewengkan. Bahkan, keadaan berkembang lebih jauh dari itu manakala para ulama terkemudian (muta'akhkhir) membenarkan para pendahulunya, dan menukil segala sesuatu dari mereka dengan tanpa melakukan pengkajian dan perenungan. Maka rasa permusuhan kepada Ahlul Bait dan Syi'ah mereka pun menjadi berakar, dan demikian juga kebodohan terhadap pihak lain. Tidaklah aneh mana-kala Ibnu Katsir menceritakan Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq as di dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun seratus empat puluh delapan Hijrah, dia tidak lebih hanya mengatakan, "Pada tahun itu Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq wafat." Dia hanya menyebutkan tahun wafatnya, namun tidak sedikit pun menyebutkan sesuatu dari kehidupannya. Banyak sekali bukti-bukti penyeleweangan yang dilakukan oleh para sejarahwan. Kita cukupkan dengan hanya menyebut beberapa contoh darinya.


Bagaimana Para Sejarahwan Mencatat Sejarah Syi'ah?

Thabari —sejarahwan pertama di dalam Islam— dan para sejarahwan terkemudian yang menukil darinya mengatakan bahwa pendiri Syi'ah ialah seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba, yang berasal dari kota Shan'a. Saya ingat, orang yang pertama saya dengar menyebut nama ini adalah salah seorang saudara saya yang berfaham Wahabi. Dia mengatakan, Syi'ah itu Yahudi. Syi'ah berasal dari Abdullah bin Saba, seorang Yahudi. Setelah saya kaji masalah ini, saya temukan dia menukil dari Ihsan Ilahi Zahir. Saya menulis perkataan ini dalam keadaan tangan saya memegang buku Ihsan Ilahi Zahir, asy-Syi'ah wa as-Sunnah. Ihsan Ilahi Zahir menukil cerita-cerita dusta ini dari Thabari dan sejarahwan-sejarahwan lainnya. Di sini, saya akan menukilkan apa yang telah dinukil oleh Ihsan Ilahi Zahir dari Thabari,

"Sejarahwan paling terdahulu, Thabari menyebutkan, 'Abdullah bin Saba adalah seorang Yahudi yang berasal dari Shan'a. Ibunya bernama Sauda, dan dia masuk Islam pada zaman Usman. Kemudian dia berpindah-pindah dari satu negeri kaum Muslimin ke negeri kaum Muslimin lainnya, di dalam rangka usaha menyesatkan mereka. Pertama-tama dia pergi ke Hijaz, kemudian ke Basrah, Ke Kufah dan ke Syam, namun dia tidak mampu melaksanakan apa yang diinginkannya terhadap satu orang penduduk Syam pun. Kemudian orang-orang mengusirnya dari Syam, hingga akhirnya dia datang ke Mesir. Dia mengunjungi mereka dan berkata, 'Sungguh mengherankan orang yang meyakini bahwa Isa akan kembali namun mendustakan bahwa Muhammad akan kembali. Padahal Allah SWT telah berfirman, 'Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.' Oleh karena itu, Muhammad lebih berhak kembali dibandingkan Isa.' Thabari melanjutkan perkataannya, 'Maka diterimalah yang demikian itu darinya, dan ditetapkanlah keyakinan raj'ah bagi mereka, dan mereka pun membicarakan tentangnya. Kemudian Abdullah bin Saba berkata kepada mereka, 'Sesungguhnya terdapat seribu nabi, dan tiap-tiap nabi mempunyai seorang washi, dan Ali adalah washinya Muhammad.' Lalu Abdullah bin Saba mengatakan bahwa Muhammad adalah penutup para nabi dan Ali penutup para washi. Selanjutnya Abdullah bin Saba mengatakan bahwa sezalim-zalimnya manusia adalah orang yang tidak memenuhi wasiat Rasulullah saw, menyerang washi Rasulullah, dan menguasai urusan umat. Kemudian Abdullah bin Saba berkata kepada mereka, 'Sesungguhnya Usman telah merebut urusan ini dengan tanpa kebenaran, padahal ini adalah washinya Rasulullah saw, maka oleh karena itu bangkitlah kamu di dalam urus-an ini, dan mulailah dengan mencaci-maki para pemimpin kamu, serta tampakkanlah amar ma'ruf dan nahi munkar supaya kamu dapat menarik simpati orang, dan serulah mereka kepada urasan ini.'"

Dengan cerita ini, mereka menisbahkan keyakinan-keyakinan Syi'ah dan sejarah mereka kepada Abdullah bin Saba, dan meletakan penghalang psikologis di antara para pengkaji dan kebenaran. Sehingga mereka berjalan berdasarkan model yang telah diletakan oleh para sejarahwan, yaitu dengan tanpa melakukan pengkajian dan penelitian. Sebagai contoh, kita mendapati penulis Ahmad Amin di dalam bukunya Fajr al-Islam, setelah dia menukil kisah Abdullah bin Saba dan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang tidak diragukan lagi, dia menemukan di hadapannya jalan yang terbuka untuk melontarkan berbagai tuduhan dan kebohongan atas Syi'ah. Dia mengatakan pada halaman 269 dari bukunya, "Keekstriman Syi'ah mengenai Ali tidak hanya cukup sampai sebatas ini. Mereka tidak merasa cukup dengan mengatakan Ali sebagai seutama-utamanya makhluk sepeninggal nabi, dan bahwa dia maksum, melainkan mereka juga menuhankannya. Sebagian dari mereka ada yang mengatakan, 'Telah merasuk satu bagian ketuhanan pada diri Ali, dan telah bersatu dengan jasadnya, sehingga oleh karena itu dia mengetahui yang ghaib.'" Kemudian, Ahmad Amin menukil khurafat tentang Ibnu Saba dan memberikan komentar tentangnya. Selanjutnya, dia mengambil kesimpulan sebagai berikut, "Yang benar ialah bahwa Syi'ah merapakan tempat berlindung setiap orang yang hendak menghancurkan Islam, dikarenakan permusuhan atau kedengkian mereka terhadap Islam, dan juga merupakan tempat berlindung bagi orang yang hendak memasukkan ajaran-ajaran bapaknya, yang berasal dari ajaran-ajaran Yahudi, Kristen, Zaroster dan Hindu..." Dia mengatakan semua ini secara spontan, dengan tanpa melakukan pengkajian dan penelitian. Bahkan, dia tidak ubahnya seperti orang yang mengigau yang tidak mengetahui apa yang dikatakannya. Namun, kecaman tidak patut ditujukan kepadanya, karena yang dia kemukakan tidak lain merupakan hasil penyelewengan sejarah yang dilakukan oleh para sejarahwan.

Begitulah sejarah. Kisah sabaiyyah (Abdullah bin Saba) telah menjadi faktor penting di dalam pemalsuan kebenaran dan penyesatan umat. Para ulama Syi'ah telah menentang pemikiran sabaiyyah, dan telah melakukan pengkajian mengenainya secara mendalam, dan mereka menemukan kenyataan bahwa kisah Abdullah bin Saba adalah kisah fiktif. Allamah Murtadha al-Askari, secara khusus telah membahas masalah ini di dalam kitab tersendiri yang terdiri dari dua jilid, yang diberinya judul Abdullah bin Saba wa Asathir Ukhra. Di dalam kitab ini dia meneliti riwayat tentang Ibnu Saba dari seluruh kitab-kitab referensi sejarah. Pada kesempatan ini saya tidak bisa mengemukakan semua dalil yang mendukung fakta ini, namun saya hanya mencukupkan dengan mengemukakan beberapa petunjuk berikut:

Cerita bohong ini kembali kepada seorang perawi yang bernama Saif bin Umar. Dia penulis kitab al-Futuh al-Kabirah wa ar-Raddah dan kitab al-Jamal wa Masirah Aisyah wa Ali. Thabari menukil cerita bohong ini di dalam kitab tarikhnya dari kedua kitab tersebut, dan demikian juga Ibnu Asakir serta adz-Dzahabi di dalam kitab tarikhnya al-Kabir.


Pendapat Para Ulama Tentang Saif Bin Umar

1. Yahya bin Mu'in (wafat tahun 233 Hijrah) berkata, "Lemah hadisnya, dan tidak ada kebaikan darinya."

2. Abu Dawud (wafat tahun 275 Hijrah) berkata, "Dia bukan apa-apa. Dia pendusta."

3. Nasa'i (wafat tahun 303 Hijrah) berkata, "Dia orang yang lemah, ditinggalkan hadisnya, dan tidak dipercaya."

4. Ibnu Hatim (wafat tahun 327 Hijrah) berkata, "Ditinggalkan hadisnya."

5. Ibnu 'Uday (wafat tahun 365 Hijrah) berkata, "Suka meriwayatkan hadis-hadis mawdhu', dan dituduh zindiq." Ibnu 'Uday berkata, "Orang-orang mengatakan dia suka membuat hadis palsu."

6. Al-Hakim (wafat tahun 405 Hijrah) berkata, "Ditinggalkan hadisnya, dan dia dituduh zindiq."

7. Khatib al-Bagdadi (wafat tahun 406 Hijrah) melemahkannya.

8. Ibnu Abdul Barr (wafat tahun 463 Hijrah) menukil dari Ibnu Hibban yang berkata tentang Saif bin Umar, "Saif ditinggalkan hadisnya. Kita menyebutkan hadisnya hanya sekedar untuk mengetahui." Ibnu Abdul Barr tidak memberikan komentar apa pun terhadap hadisnya.

9. Fairuz Abadi, penulis berbagai kitab, menyebutkannya bersama yang lainnya, "Mereka itu orang-orang yang dha'if (lemah)."

10. Ibnu Hajar (wafat tahun 852 Hijrah) berkata, setelah mengkritik sebuah hadis yang di dalam sanadnya terdapat nama Saif bin Umar, "Di dalam sanadnya terdapat orang-orang yang dhaif, dan terdha’if di antara mereka adalah Saif bin Umar."

11. Shafiyyuddin (wafat tahun 923 Hijrah) berkata, "Mereka mendha’ifkannya.


Inilah pandangan para ulama selama berabad-abad tentang Saif bin Umar.

Bagaimana bisa para sejarahwan berbicara secara panjang lebar tentang riwayatnya?! Bagaimana bisa para peneliti membangun pandangan-pandangan mereka berdasarkan riwayat ini. Di samping perbedaan yang masih diperselisihkan tentang namanya. Apakah namanya Ibnu Sauda, atau Abdullah bin Saba?! Demikian juga perbe-daan tentang kemunculannya. Apakah dia muncul pada masa Usman, sebagaimana yang dikatakan oleh Thabari, atau sebagaimana yang dikatakan oleh Sa'ad bin Abdullah al-Asy'ari di dalam kitabnya al-Maqalat wa al-Firaq, "Dia muncul pada masa Ali atau sesudah kematiannya."

Dan kenapa Usman bersikap diam terhadapnya, padahal dia tidak bersikap diam sekali pun kepada sahabat-sahabat besar, seperti Abu Dzar, 'Ammar dan Ibnu Mas'ud?

Bahkan, sesungguhnya dia merupakan sebuah rangkaian kebohongan yang diciptakan atas Syi'ah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Thaha Husain, "Ibnu Saba adalah seorang tokoh yang diciptakan oleh para musuh Syi'ah untuk menghantam Syi'ah, yang sebenarnya tidak ada wujudnya di luar." Rekayasa ini diciptakan dengan tujuan untuk mencemarkan keyakinan-keyakinan Syi'ah yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunah. Seperti keyakinan tentang wasiat dan 'ishmah. Musuh-musuh mereka tidak menemukan jalan selain dengan jalan menghubung-hubungkan keyakinan-keyakinan ini dengan ajaran Yahudi, yang tokohnya adalah seorang tokoh fiktif yang bernama Abdullah bin Saba. Sehingga dengan begitu kecaman ditujukan kepada tokoh ini dan kepada orang yang mengambil ajaran darinya. Di samping di sisi lain mereka menampilkan kelurusan wajah para sahabat dan membersihkan mereka dari berbagai kecaman dan celaan, dikarenakan berbagai perpecahan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, sehingga berakhir dengan terbunuhnya Usman, dan begitu juga peristiwa perang Jamal yang memakan ribuan korban dari kalangan para sahabat. Kisah fiktif tentang Abdullah bin Saba ini tidak lain merupakan upaya untuk menutupi lembaran sejarah yang hitam ini, untuk kemudian melemparkan tanggung jawab atas peristiwa-peristiwa yang terjadi kepada tokoh fiktif ini, padahal para sahabat sendiri bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa yang terjadi. Yaitu terpecah belahnya umat kepada berbagai mazhab dan keyakinan.


Contoh Lain

Terdapat penghapusan besar-besaran secara sengaja akan keutamaan-keutamaan Ali dan Ahlul Baitnya dari kitab-kitab sejarah. Ini Ibnu Hisyam yang menukil Sirah Ibnu Ishak berkata di dalam mukaddimah kitabnya, "Di dalam kitab ini ditinggalkan sebagian yang disebutkan oleh Ibnu Ishak... dan begitu juga hal-hal yang buruk untuk dikatakan, dan beberapa hal yang tidak baik orang menyebutkannya... "

Dia mengatakan kata-kata ini sebagai pengantar untuk menyembunyikan kebenaran. Di antara hal-hal yang tidak baik orang menyebutkannya adalah ajakan Rasulullah saw kepada Abu Thalib manakala Allah SWT memerintahkannya, "Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. " Thabari telah menyebutkannya beserta sanadnya. Dia mengatakan Rasulullah saw telah bersabda, "Wahai putra-putra Abdul Muththalib! Demi Allah tidak ada seorang pun pemuda bangsa Arab yang telah membawa untuk kaumnya sesuatu yang lebih berharga dan lebih utama dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku datang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Dan Allah telah memerintahkan aku untuk menyeru kalian agar menerimanya. Maka siapakah di antara kalian yang bersedia memberikan dukungan bagiku dalam urusan ini; dan sebagai imbalannya, ia akan menjadi saudaraku, washiku, serta menjadi khalifah (pengganti)ku di antara kalian?"

Semua yang hadir diam seribu bahasa, kecuali Ali yang termuda di antara mereka; ia berdiri dan berkata dengan lantangnya, "Aku – wahai Nabi Allah – yang akan menjadi pembantumu!" Kemudian Rasulullah saw berkata, "Inilah saudaraku, washiku dan khalifahku di antara kalian! Dengar kata-katanya, dan taatlah kepadanya!" Maka bangkitlah mereka sambil tertawa dan berkata kepada Abu Thalib, "Lihatlah betapa dia telah memerintahkan Anda agar mendengarkan kata-kata anak Anda dan taat kepadanya."[107]

Apakah riwayat ini termasuk sesuatu yang buruk untuk dikatakan?!

Jangan membuat Anda heran Thabari menyebutkan kisah ini, karena dengan segera dia mencabut kembali perkataannya itu. Dia meriwayatkan kisah ini di dalam kitab tafsirnya dengan disertai penyimpangan. Dia mengatakan, "Rasulullah saw bersabda, 'Maka siapakah di antara kalian yang bersedia memberikan dukungan bagiku; dan sebagai imbalannya, ia akan menjadi saudaraku... dan seterusnya dan seterusnya.'" Kemudian Thabari melanjutkan, "Kemudian Rasulullah saw berkata, 'Sesungguhnya inilah saudaraku... dan seterusnya dan seterusnya, maka dengarkan kata-katanya, dan taatlah kepadanya.'[108]

Apa yang dimaksud dengan kata-kata "dan seterusnya dan seterusnya" yang dikatakan oleh Thabari?!

Adapun Ibnu Katsir, manakala menyebutkan kisah ini di dalam kitab tarikhnya, merasa kagum dengan apa yang telah dilakukan oleh Thabari di dalam kitab tafsirnya, maka dengan tanpa rasa malu dan dengan tanpa berpegang kepada kejujuran intelektual dia pun mengikuti langkah yang telah dilakukan oleh Thabari. Dia ikut mengatakan, "dan seterusnya dan seterusnya."[109]

Perhatikanlah peristiwa ini, yang berbicara tentang salah satu keutamaan Amirul Mukminin dan lebih berhaknya dia atas kekhalifahan; dan juga perhatikanlah apa yang telah dilakukan oleh para sejarahwan terhadap peristiwa ini. Ibnu Hisyam tidak bisa menggunakan siasat terhadapnya, dia menghapuskannya sama sekali. Adapun Thabari, dan kemudian diikuti oleh Ibnu Katsir, mereka berdua menyelewengkan dan mengaburkan maknanya. Maka perhatikanlah!

Berikut ini kami ketengahkan contoh lain dari penyelewengan yang dilakukan oleh para sejarahwan terhadap kebenaran. Mereka tidak hanya menyembunyikan keutamaan-keutmaan Ali dan Ahlul Baitnya, melainkan sebagai lawannya mereka juga menyembunyikan segala sesuatu yang mencemarkan nama sahabat, terlebih lagi para khalifah. Berikut ini sebuah kisah yang merupakan gabungan di antara dua sisi, yaitu sisi menyembunyikan keutamaan-keutamaan Ali dan sisi menyembunyikan keburukan-keburukan para khalifah.

Para sejarahwan, terutama Thabari menyembunyikan surat menyurat yang terjadi di antara Muhammad bin Abu Bakar —salah seorang pengikut Ali— dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Karena di dalam surat-surat tersebut terdapat pembuktian akan kedudukan Imam Ali sebagai washi Rasulullah saw, dan sekaligus menyingkap keadaan para khalifah yang sebenarnya. Setelah menyebutkan sanad kedua surat tersebut Thabari memberikan alasan bahwa di dalam kedua surat tersebut terdapat sesuatu yang masyarakat umum tidak tahan untuk mendengarnya. Kemudian setelah itu datang Ibnu Atsir, dan dia pun melakukan sebagaiman yang telah dilakukan oleh Thabari. Selanjut-nya, Ibnu Katsir mengikuti jalan yang telah mereka tempuh. Dia hanya memberi isyarat kepada surat Muhammad bin Abu Bakar, namun sama sekali membuang surat tersebut dari penulisan. Ibnu Katsir mengatakan, "Di dalamnya terdapat kata-kata kasar." Apa yang telah dilakukan oleh para sejarahwan yang tiga itu adalah seburuk-buruknya bentuk penyembunyian kebenaran. Ini semua membuktikan dengan amat jelas akan ketidak-objektifan mereka.

Apa yang mereka maksud dengan perkataan "masyarakat umum tidak tahan untuk mendengarkan isi keduanya"?

Apakah karena masyarakat umum tidak akan meyakini para khalifah lagi setelah mendengar isi kedua surat tersebut?

Berikut ini surat Muhammad bin Abu Bakar yang ditujukan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, sebagaimana yang dinukil di dalam kitab Muruj adz-Dzahab, karya al-Mas'udi:

Dari Muhammad bin Abu Bakar kepada si tersesat Muawiyah bin Shakhr.

Salam kepada penyerah diri dan yang taat kepada Allah!

Amma ba'du, sesungguhnya Allah SWT, dengan keagungan dan kekuasaan-Nya, menciptakan makhluk-Nya tanpa main-main. Tiada celah kelemahan dalam kekuasaan-Nya. Tiada berhajat Dia terhadap hamba-Nya. ia menciptakan mereka untuk mengabdi kepada-Nya.

Dia menjadikan orang yang tersesat atau orang yang lurus, orang yang malang dan orang yang beruntung.

Kemudian, dari antara mereka, Dia Yang Mahatahu memilih dan mengkhususkan Muhammad saw dengan pengetahuan-Nya. Dia jugalah yang memilih Muhammad saw berdasarkan ilmu-Nya sendiri untuk menyampaikan risalah-Nya dan mengemban wahyu-Nya. Dia mengutusnya sebagai rasul dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.

Dan orang pertama yang menjawab dan mewakilinya, mentaatinya, mengimaninya, membenarkannya, menyerahkan diri kepada Allah dan menerima Islam sebagai agamanya —adalah saudaranya dan misannya Ali bin Abi Thalib— yang membenarkan yang ghaib. Ali mengutamakannya dari semua kesayangannya, menjaganya pada setiap ketakutan, membantunya dengan dirinya sendiri pada saat-saat mengerikan, memerangi perangnya, berdamai demi perdamaiannya, melindungi Rasulullah dengan jiwa raganya siang maupun malam, menemaninya pada saat-saat yang menggetarkan, kelaparan serta dihinakan. Jelas tiada yang setara dengannya dalam berjihad, tiada yang dapat menandinginya di antara para pengikut dan tiada yang mendekatinya dalam amal perbuatannya.

Dan saya heran melihat engkau hendak menandinginya! Engkau adalah engkau! Sejak awal Ali unggul dalam setiap kebajikan, paling tulus dalam niat, keturunannya paling bagus, istrinya adalah wanita utama, dan pamannya (Ja'far) syahid di perang Mu'tah. Dan seorang pamannya lagi (Hamzah) adalah penghulu para syuhada perang Uhud, ayahnya adalah penyokong Rasulullah saw dan istrinya

Dan engkau adalah orang yang terlaknat, anak orang terkutuk. Tiada hentinya engkau dan ayahmu menghalangi jalan Rasulullah saw. Kamu berdua berjihad untuk memadamkan nur Ilahi, dan kamu berdua melakukannya dengan menghasud dan menghimpun manusia, menggunakan kekayaan, dan mempertengkarkan berbagai suku. Dalam keadaan demikian ayahmu mati. Dan engkau melanjutkan perbuatannya seperti itu pula.

Dan saksi-saksi perbuatan engkau adalah orang-orang yang meminta-minta perlindungan engkau, yaitu dari kelompok musuh Rasulullah yang memberontak, kelompok pemimpin-pemimpin yang munafik dan pemecah belah dalam melawan Rasulullah saw.

Sebaliknya sebagai saksi bagi Ali dengan keutamaannya yang terang dan keterdahuluannya (dalam Islam) adalah penolong-penolongnya yang keutamaan mereka telah disebutkan di dalam Al-Qur'an, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar. Dan mereka itu merupakan pasukan yang berada di sekitarnya dengan pedang-pedang mereka dan siap menumpahkan darah mereka untuknya. Mereka melihat keutamaan pada dirinya yang patut ditaati, dan malapetaka bila mengingkarinya.

Maka mengapa, hai ahli neraka, engkau menyamakan dirimu dengan Ali, sedang dia adalah pewaris dan pelaksana wasiat Rasulullah saw, ayah anak-anak Rasulullah saw, pengikut pertama, dan yang terakhir menyaksikan Rasulullah saw, teman berbincang, penyimpan rahasia dan serikat Rasulullah saw dalam urusannya. Rasulullah saw memberitahukan pekerjaan beliau kepadanya, sedang engkau adalah musuh dan anak dari musuh beliau.

Tiada peduli keuntungan apa pun yang engkau peroleh dari kefasikanmu di dunia ini dan bahkan Ibnu al-'Ash menghanyutkan engkau dalam kesesatanmu, akan tampak bahwa waktumu berakhir sudah dan kelicikanmu tidak akan ampuh lagi. Maka akan menjadi jelas bagimu siapa yang akan memiliki masa depan yang mulia. Engkau tidak mempunyai harapan akan pertolongan Allah, yang tidak engkau pikirkan.

Kepada-Nya engkau berbuat licik. Allah menunggu untuk menghadangmu, tetapi kesombonganmu membuat engkau jauh dari Dia.

Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk.[110]


Jawaban Surat Muawiyah Kepada Muhammad bin Abu Bakar

Dari Muawiyah bin Abu Sufyan.

Kepada pencerca ayahnya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar.

Salam kepada yang taat kepada Allah.

Telah sampai kepadaku suratmu, yang menyebut Allah Yang Mahakuasa dan Nabi pilihan-Nya, dengan kata-kata yang engkau rangkaiakan. Pandanganmu lemah. Engkau mencerca ayahmu. Engkau menyebut hak Ibnu Abi Thalib dan keterdahuluan serta kekerabatannya dengan Nabi Allah saw, dan bantuan serta pertolongannya kepada Nabi pada setiap keadaan genting.

Engkau juga berhujjah dengan keutamaan orang lain dan bukan dengan keutamaanmu. Aneh, engkau malah mengalihkan keutamaanmu kepada orang lain.

Di zaman Nabi saw, kami dan ayahmu telah melihat dan tidak memungkiri hak Ibnu Abi Thalib. Keutamaannya jauh di atas kami.

Dan Allah SWT memilih dan mengutamakan Nabi sesuai janji-Nya. Dan melalui Nabi Dia menampakkan dakwah-Nya dan men-jelaskan hujjah-Nya. Kemudian Allah mengambil Nabi saw ke sisi-Nya.

Ayahmu dan Faruq-nya (Umar) adalah orang-orang pertama yang merampas haknya. Hal ini diketahui umum.

Kemudian mereka mengajak Ali membaiat Abu Bakar, tetapi Ali menunda dan memperlambatnya. Mereka marah sekali dan bertindak kasar. Hasrat mereka bertambah besar. Akhirnya Ali membaiat Abu Bakar dan berdamai dengan mereka berdua.

Mereka berdua tidak mengajak Ali dalam pemerintahan mereka. Tidak juga mereka menyampaikan kepadanya rahasia mereka, sampai mereka berdua meninggal dan berakhirlah kekuasaan mereka.

Kemudian bangkitlah orang ketiga, yaitu Usman yang menuruti tuntunan mereka. Engkau dan temanmu berbicara tentang kerusakan-kerusakan yang dilakukan Usman agar orang-orang yang berdosa di propinsi-propinsi mengembangkan maksud-maksud buruk terhadap-nya dan engkau bangkit melawannya. Engkau menunjukkan permu-suhanmu kepadanya untuk mencapai keinginan-keinginamu sendiri.

Hai putra Abu Bakar, berhati-hatilah atas apa yang engkau lakukan. Jangan engkau menempatkan dirimu melebihi apa yang dapat engkau urusi. Engkau tidak akan dapat menemukan seseorang yang mempunyai kesabaran yang lebih besar dari gunung, yang tidak pernah menyerah kepada suatu peristiwa. Tak ada yang dapat menyamainya.

Ayahmu bekerja sama dengan dia dan mengukuhkan kekuasaannya. Bila kaum katakkan bahwa tindakanmu benar, (maka ketahuilah) ayahmulah yang mengambil alih kekuasaan ini, dan kami menjadi sekutunya. Apabila ayahmu tidak melakukan hal ini, maka kami tidak akan sampai menentang anak Abu Thalib dan kami akan sudah menyerah kepadanya.

Tetapi kami melihat bahwa ayahmu memperlakukan dia seperti ini dihadapan kami, dan kami pun mengikutinya; maka cacat apa pun yang akan kamu dapatkan, maka arahkanlah itu kepada ayahmu sendiri, atau berhentilah dari turut campur.

Salam bagi orang yang kembali.[111]

Anda dapat mengetahui rahasia kenapa Thabari, Ibnu Atsir dan Ibnu Katsir tidak bersedia menukil surat-surat di atas. Karena surat-surat tersebut menyingkap perselisihan yang terjadi dikalangan kaum Muslimin dalam urusan kekhalifahan, yang merupakan hak Ali. Muawiyah mengakui ini, namun dia beralasan bahwa kekhalifahannya hanyalah kepanjangan kekhalifahan Abu Bakar. Kemudian Muawiyah mengecam anak Abu Bakar (yaitu Muhammad bin Abu Bakar) dengan hal ini, sehingga menjadikannya terdiam tidak dapat bicara dalam urusan ini.

Celaka engkau, hai Muawiyah, meskipun Muhammad bin Abu Bakar tidak berdiam diri dan tidak menutupi urusan Anda, namun Thabari, Ibnu Atsir dan Ibnu Katsir bersikap diam terhadap urusan Anda.

Banyak sekali bukti-bukti yang menunjukkan pemalsuan dan penyelewengan yang dilakukan oleh para sejarahwan terhadap kebenaran. Kita tidak mungkin menyebutkannya satu persatu dalam kesempatan ini. Seseorang yang meneliti sejarah akn mendapati hal ini dengan jelas. Namun yang mengherankan, para sejarahwan tidak menutupi berbagai penyelewengan yang telah mereka lakukan. Anda dapat menemukan isyarat-isyarat yang jelas akan apa yang telah mereka lakukan. Sebagai contoh, berkenaan dengan peristiwa peng-hinaan yang dilakukan oleh Usman bin Affan terhadap Abu Dzar, Thabari berkata, "Telah disebutkan banyak hal yang menjadi sebab pemulangan Abu Dzar dari Syam, namun saya enggan menyebutkan kebanyakannya.

Dengan demikian kita dapat menyingkap dengan jelas penyimpangan yang dilakukan oleh Thabari terhadap kebenaran.


Kedua:

KELOMPOK MUHADDIS

Ketika Anda melihat berbagai persekongkolan yang telah dilakukan terhadap hadis, dan penggantian hakikat-hakikatnya, niscaya Anda akan merasa pentingnya pandangan Syi'ah. Yaitu pandangan yang mengatakan, mau tidak mau harus ada seorang pemimpin yang maksum yang menjaga syariat Allah dan mengokohkan pilar-pilarnya. Jika dia tidak maksum dan tidak terbebas dari dosa maka dia akan memanfaatkan agama untuk melayani tujuan dan kepentingan-kepentingan politiknya, dan memutar-balikan hadis untuk kepentingannya. Ini pun jika penulisan dan penyebaran hadis tidak dilarang dan diperangi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ketiga orang khalifah —yaitu Abu Bakar, Umar dan Usman— yang mana mereka telah melarang periwayatan hadis, dan bahkan membakar hadis-hadis yang dimiliki kaum Muslimin, serta menahan para sahabat untuk tetap berada di kota Madinah, sehingga mereka tidak menyebarkan hadis di tempat lain. Imam Ali berkata tentang hal itu, "Para penguasa sebelumku telah melakukan perbuatan yang menentang Rasulullah saw. Mereka secara sengaja menentangnya, melanggar janjinya dan merubah sunahnya."

Saya tidak akan membahas periode ini di dalam pasal ini. Saya akan mencukupkan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan sebelumnya. Melainkan di sini saya akan membahas masa pembukuan hadis yang di kalangan Ahlus Sunnah dianggap sebagai masa keemasan hadis, dengan disertai isyarat-isyarat yang menunjukkan apa yang telah dilakukan oleh Muawiyah di dalam membuat hadis-hadis palsu dan menyembunyikan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait.


Hadis Pada Masa Muawiyah

Kita dapat menelusuri periode Muawiyah seperti yang telah dinukil oleh al-Mada'ini di dalam kitab al-Ahdats. Al-Mada'ini berkata, "Muawiyah menulis satu naskah dan mengirimkannya kepada para gubernurnya sesudah "Tahun Jamaah"[112], untuk memakzulkan siapa saja yang meriwayatkan sesuatu tentang keutamaan Abu Turab —yaitu imam Ali as— dan Ahlul Baitnya. Maka berdirilah para khatib diseluruh pelosok desa dan diseluruh mimbar melaknat Ali dan memakzulkannya, serta mencaci maki dia dan keluarganya. Masyarakat yang paling keras tertimpa bencana pada saat itu adalah para penduduk kota Kufah, disebabkan banyaknya Syi'ah Ali di kota tersebut. Muawiyah menempatkan Ziyad bin Sumayyah atas mereka, dan juga menyerahkan kota Basrah kepadanya. Ziyad mencari dan menangkapi orang-orang Syi'ah, karena dia mengenal mereka, disebabkan dia pernah menjadi bagian dari mereka pada masa Imam Ali. Ziyad membunuhi mereka di mana saja ditemukan. Dia memotong tangan dan kaki mereka, dan mencungkil mata mereka serta menyalib mereka di batang-batang pohon kurma. Dia mengusir mereka dari bumi Irak, sehingga tidak tersisa yang dikenal dari mereka.

Muawiyah menulis surat kepada para gubernurnya di seluruh negeri, supaya mereka tidak memperkenankan kesaksian seorang pun dari pengikut Ali dan Ahlul Baitnya. Serta Muawiyah menulis kepada mereka supaya memperhatikan para pengikut dan pecinta Usman, dan orang-orang yang meriwayatkan keutamaan-keutamaannya. Muawiyah memerintahkan kepada para anteknya untuk mendatangi majlis-majlisnya dan memuliakan mereka. Muawiyah berkata kepada antek-anteknya, ‘Tulislah segala sesuatu yang diriwayatkan oleh salah seorang dari mereka, dan juga tulislah nama orang tersebut beserta nama ayahnya dan nama keluarganya.' Maka orang-orang pun berlomba-lomba menulis dan memperbanyak keutamaan-keutamaan Usman, disebabkan berbagai hadiah yang diberikan Muawiyah kepada mereka."

Al-Mada'ini melanjutkan, "Kemudian Muawiyah menulis surat kepada para gubernurnya, 'Sesungguhnya hadis tentang Usman telah begitu banyak dan telah begitu tersebar di seluruh pelosok negeri. Oleh karena itu, manakala suratku ini sampai kepadamu maka serulah manusia untuk meriwayatkan keutamaan-keutamaan para sahabat dan keutamaan-keutamaan dua khalifah yang pertama. Dan jangan biarkan ada seorang pun dari kaum Muslimin yang meriwayatkan keutamaan Abu Turab, karena yang demikian itu berarti menentang sahabat. Dan lumpuhkan hujjah dan argumentasi Abu Turab serta Syi'ahnya, dan kuatkan pujian-pujian akan keutamaan Usman."

Al-Mada'ini melanjutkan, "Kemudian Muawiyah menulis sepucuk surat kepada para gubernurnya di seluruh pelosok negeri, "Perhatikanlah, siapa saja yang terbukti mencintai Ali dan Ahlul Baitnya, maka hapuslah dia dari diwan, dan putuslah rezeki dan pemberian untuknya.' Muawiyah menambahkan, 'Siapa saja yang kamu duga mengikuti mereka maka timpakanlah bencana kepadanya, dan han-curkanlah rumahnya.'"[113]

Tampak jelas bagi Anda begitu kerasnya persekongkolan yang dilakukan untuk menyelewengkan dan memalsukan kebenaran, hingga sampai tarap mereka menghalalkan berbohong atas nama Rasulullah saw. Semua ini disebabkan rasa pemusuhan yang begitu besar yang dimiliki Muawayiyah terhadap Ali dan para Syi'ahnya. Oleh karena itu, Muawiyah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi Ali dan Syi'ahnya. Adapun langkah pertama yang dilakukan oleh Muawiyah ialah dengan melucuti Imam Ali as dari segala keutamaan, dan tidak hanya cukup sampai di situ, melainkan dia juga melaknatnya di atas mimbar selama delapan tahun. Adapun langkah yang kedua ialah dengan membangun pagar yang indah yang mengelilingi sekelompok sahabat, sehingga mereka menjadi simbol dan panutan, sebagai ganti dari Imam Ali as. Berbagai ancaman dan bujukan Muawiyah telah menjadikan sekelompok orang munafik berkhidmat kepadanya dengan cara membuat hadis-hadis palsu, dengan menyebut diri mereka sebagai sahabat Rasulullah saw.

Abu Ja'far al-Iskafi berkata, "Muawiyah memerintahkan sekelompok orang dari para sahabat dan tabi'in untuk membuat riwayat-riwayat yang menjelekkan dan memakzulkan Ali. Muawiyah mengiming-imingi mereka dengan hadiah dan pemberian yang mereka sukai. Maka mereka pun melakukan apa yang diinginkannya. Di antara para sahabat yang demikian ialah Abu Hurairah, 'Amr bin 'Ash, Mughirah bin Syu'bah, sementara di antara para tabi'in ialah 'Urwah bin Zubar..."[114]

Demikianlah, mereka telah menjual akhirat mereka dengan dunia Muawiyah. Inilah Abu Hurairah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-A'masy, "Ketika Abu Hurairah datang ke Irak bersama Muawiyah pada "Tahun Jamaah", dia datang ke mesjid Kufah. Tatkala dia melihat banyaknya manusia yang menyambut kedatangannya, dia berlutut di atas kedua lututnya sambil memukul bagian botak kepalanya berkali-kali sambil berkata, 'Wahai penduduk Irak, apakah kamu mengira saya berdusta atas Rasulullah saw, dan membakar diri saya dengan api neraka? Demi Allah, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya tiap-tiap nabi mempunyai haram (tempat yang disucikan), dan sesungguhnya haram-ku ialah di antara 'Air dan Tsawr.[115] Barangsiapa yang ber-hadats di dalamnya, maka Allah, para malaikat dan seluruh manusia akan melaknatnya.' Dan aku bersaksi kepada Allah bahwa sesungguhnya Ali telah ber-hadats di dalamnya.' Ketika ucapan Abu Hurairah itu terdengar oleh Muawiyah, maka Muawiyah pun memberinya hadiah, menghormatinya dan mengangkatnya sebagai penguasa Madinah.[116]

Berikut ini adalah Samurah bin Jundub, contoh lain dari antek Muawiyah di dalam membuat hadis palsu. Di dalam kitab Syarh Nahj al-Balaghah Ibnu Abil Hadid disebutkan bahwa Muawiyah memberikan seratus ribu dirham kepada Samurah bin Jundub supaya dia mau meriwayatkan bahwa ayat ini turun pada Ali, "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehdiupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, pada-hal ia adalah penentang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan" (QS. al-Baqarah: 204), dan ayat yang kedua turun pada Ibnu Muljam —pembunuh Ali bin Abi Thalib, "Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya." (QS. al-Baqarah: 207)

Samurah bin Jundub tidak mau menerima. Muawiyah menambah pemberiannya menjadi dua ratus ribu dirham, namun Samurah bin Jundub tetap tidak mau menerima. Tetapi, tatkala Muawiyah menambahnya lagi menjadi empat ratus ribu dirham, Samurah bin Jundub menerimanya.[117]

Thabari meriwayatkan, "Ibnu Sirin ditanya, 'Apakah pernah Samurah membunuh seseorang?' Ibnu Sirin menjawab, 'Tidak terhitung orang yang telah dibunuh oleh Samurah bin Jundub. Dia mengganti Ziyad di Basrah, dan kemudian Kufah, dia telah membunuh delapan ribu orang.'" Juga diriwayatkan bahwa Samurah bin Jundub pernah membunuh sebanyak empat puluh tujuh orang hanya dalam satu pagi, yang kesemuanya adalah orang yang telah mengumpulkan Al-Qur'an.[118]

Thabari berkata, "Ziyad meninggal dunia sementara Samurah sedang memegang kendali atas Basrah. Muawiyah memperdayakannya selama berbulan-bulan, dan kemudian menurunkannya. Samurah berkata, 'Semoga Allah melaknat Muawiyah. Demi Allah, seandainya aku taat kepada Allah sebagaimana aku taat kepada Muawiyah, niscaya Dia tidak akan mengazabku selama-lamanya."'[119]

Adapun Mughirah bin Syu'bah, dia terang-terangan mengakui berbagai tekanan yang diberikan oleh Muawiyah kepada dirinya. Thabari meriwayatkan tentang Mughirah bin Syu'bah, "Mughirah berkata kepada Sha'sha'ah bin Shuhan al-'Abdi —ketika itu Mughirah tengah menjadi penguasa Kufah yang diangkat oleh Muawiyah— 'Jangan sampai engkau mencela Usman di hadapan siapa pun; dan begitu juga jangan sampai engkau menyebut sebuah keutamaan Ali secara terang-terangan, karena tidak ada satu pun keutamaan Ali yang engkau sebutkan yang tidak aku ketahui. Bahkan aku lebih tahu dari kamu tentang itu, namun sultan ini —yang dia maksud adalah Muawiyah— telah memerintahkan kepada kami untuk menampakkan kekurangan-kekurangannya —yaitu Ali— ke hadapan manusia. Kami banyak meninggalkan apa yang telah diperintahkan kepada kami, namun kami terpaksa menyebutkan sesuatu yang kami tidak menemukan jalan untuk lepas darinya, untuk membela diri kami dari mereka. Jika engkau ingin jika menyebutkan keutamaannya (Ali) maka sebutkanlah di tengah-tengah sahabatmu, dan di dalam rumah-mu secara rahasia. Adapun menyebutkannya secara terang-terangan di mesjid adalah sesuatu yang tidak bisa diterima dan dimaafkan oleh khalifah...’"[120]

Begitulah sekelompok para sahabat dan tabi'in memenuhi permintaan Muawiyah. Barangsiapa yang menolak maka dia dibunuh. Seperti Syahid Hujur bin 'Adi, Maitsam at-Tammar dan yang lainnya.

Oleh karena itu, pada periode tersebut muncul beribu-ribu hadis palsu yang merangkai keutamaan-keutamaan dan kepahlawanan para sahabat, terutama para khalifah yang tiga, yaitu Abu Bakar, Umar dan Usman. Kemudian hadis-hadis palsu tersebut dinukil generasi demi generasi, hingga kemudian dibukukan di dalam kitab-kitab referensi yang dijadikan pegangan.

Berikut ini beberapa contoh dari hadis palsu, dan barangsiapa yang hendak mengetahui lebih luas, maka silahkan dia merujuk kepada ensiklopedia al-Ghadir, karya Allamah al-Amini, jilid 7, 8 dan 9:

1. Matahari Bertawassul Kepada Abu Bakar

Rasulullah saw bersabda, "Ditampakkan kepadaku segala sesuatu pada malam mi’raj, bahkan hingga matahari. Aku mengucapkan salam kepadanya, dan menanyakan tentang sebab kenapa terjadi gerhana atasnya. Allah SWT menjadikannya bisa berbicara, lalu dia berkata, 'Allah SWT menjadikan aku berada di atas roda yang bergerak ke mana dia suka. Kemudian aku melihat kepada diriku dengan perasaan bangga, maka roda itu pun menurunkan aku sehingga aku jatuh ke laut. Lalu aku melihat ada dua orang, di mana yang satu mengatakan, 'Esa, esa', sedangkan yang satunya lagi mengatakan, 'Benar, benar'. Kemudian aku pun bertawassul kepada keduanya, maka Allah SWT membebaskan aku dari gerhana. Lalu aku bertanya, 'Wahai Tuhanku, siapakah mereka berdua?' Allah SWT menjawab, 'Yang mengatakan 'esa, esa' adalah kekasihku Muhammad saw, sedangkan yang mengatakan 'benar, benar' adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra."[121]

2. Abu Bakar Berada Di Qaba Qawsain

Telah sampai riwayat kepada kita bahwa tatkala Rasulullah saw berada pada jarak dua ujung busur anak panah atau lebih dekat, rasa takut menyerang dirinya, lalu dia mendengar suara Abu Bakar ra di hadirat Allah SWT, maka hati Rasulullah saw pun menjadi tenang dengan mendengar suara sahabatnya.[122]

3. Abu Bakar, Dan Alif Al-Qur'an

Ayat Al-Qur'an yang turun pada Abu Bakar banyak sekali. Cukup bagi kita cukup alif Al-Qur'an, yaitu "alif lam mim, dzalikal kitabu". Alif adalah Abu Bakar, Lam adalah Allah, dan Mim adalah Muhammad.[123]

Mereka tidak membiarkan satu pun keutamaan yang dimiliki Rasulullah saw kecuali mereka juga menjadikan Abu Bakar sama-sama memilikinya.

Adapun berkenaan dengan keutamaan-keutamaan Umar maka tidak diragukan. Kita sebutkan salah satunya yang mengatakan Umar mempunyai kekuasaan takwini. Ar-Razi telah berkata di dalam kitab tafsirnya, "Terjadi gempa bumi di kota Madinah. Lalu Umar memukulkan mutiara ke bumi sambil berkata, 'Diamlah, dengan izin Allah.' Maka bumi pun diam, dan sejak itu tidak pernah terjadi lagi gempa di kota Madinah."

Juga disebutkan, telah terjadi kebakaran di sebagian pinggiran kota Madinah, maka Umar menulis di atas sehelai kain, 'Wahai api, diamlah, dengan izin Allah', lalu dia melemparkannya ke dalam api, maka seketika itu pun api menjadi padam.


Para Perawi Hadis Dan Pemalsuan Kebenaran

Terdapat banyak cara yang dilakukan oleh para penulis hadis untuk memalsukan dan menyelewengkan kebenaran. Keta'assuban tampak jelas terlihat di dalam kitab-kitab mereka. Tatkala terlihat oleh mereka hadis-hadis yang berbicara tentang keutamaan Ali, atau menyingkap kekurangan para khalifah dan sahabat, dengan segera tangan mereka merubah hakikatnya. Berikut ini beberapa contoh dari cara-cara tersebut, hingga peranan yang amat berbahaya yang dilakukan oleh para muhaddis di dalam memalsukan kebenaran.

1. Contoh Pertama:

Manakala Muawiyah hendak mengambil baiat untuk anaknya Yazid, Abdurrahman bin Abu Bakar termasuk salah seorang yang paling keras menentang pembaiatan Yazid. Marwan berpidato di mesjid Rasulullah saw, yang ketika itu dia berkedudukan sebagai gubernur Hijaz yang diangkat oleh Muawiyah. Marwan berkata, "Amirul Mukminin menginginkan keutamaan Anda semua. Dia telah menunjuk anaknya Yazid untuk menjadi khalifah sepeninggalnya." Mendengar itu Abdurrahman bin Abu Bakar berdiri dan berkata, "Demi Allah, engkau telah berdusta, ya Marwan. Dan juga engkau telah berdusta, ya Muawiyah. Keutamaan apa yang engkau inginkan bagi umat Muhammad. Engkau tidak lain ingin menjadikannya menjadi kerajaan, di mana setiap seorang raja mati maka diganti dengan raja yang lain." Marwan berkata, "Inilah orang yang Allah SWT telah turunkan padanya, dan orang yang telah berkata kepada kedua orang tuanya, 'Cis, bagi kamu keduanya.'" Aisyah mendengar perkataan Marwan dari balik tabir. Dia berdiri dari balik tabir dan kemudian berkata, "Hai Marwan, hai Marwan." Maka orang-orang pun diam, dan Marwan menghadapkan wajahnya. Lalu Aisyah berkata, "Engkau katakan kepada Abdurrahman bahwa ayat Al-Qur'an ini turun kepadanya. Engkau dusta. Demi Allah, ayat ini bukan turun padanya, melainkan pada Fulan bin Fulan, namun dia adalah kelompok orang yang dilaknat oleh Allah SWT." Pada riawayat lain disebutkan bahwa Aisyah berkata, "Demi Allah, bukan dia yang dimaksud dalam ayat ini. Akan tetapi Rasulullah saw telah melaknat Bapak Marwan pada saat Marwan masih berada di dalam tulang sulbinya. Maka dengan begitu Marwan termasuk kelompok orang yang dilaknat oleh Allah Azza Wajalla."[124]

Sekarang, coba lihat, bagaimana Bukhari menyelewengkan sesuatu yang memburukkan Muawiyah dan Marwan:

"Marwan berkuasa atas Hijaz. Muawiayah menggunakanya. Marwan berpidato, dan menyebut Yazid bin Muawiyah supaya orang-orang berbaiat kepadanya sepeninggal ayahnya. Kemudian Abdurrahman bin Abu Bakar mengatakan sesuatu, lalu Marwan berkata, 'Tangkap dia', maka Abdurrahman bin Abu Bakar masuk ke rumah Aisyah, sehingga mereka tidak mampu menangkapnya. Marwan ber-kata, 'Orang inilah yang Allah telah turunkan padanya ayat, 'Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, 'Cis, bagi kamu berdua.' Apakah Anda menerima alasan saya?!' Kemudian Aisyah berkata dari balik tabir, 'Allah tidak menurunkan sesuatu dari Al-Qur'an padanya, kecuali Allah menurunkan alasan saya.'"[125]

Bukhari membuang perkataan Abdurrahman dan menggantinya dengan mengatakan "Abdurrahman mengatakan sesuatu", sebagaimana juga dia mengganti perkataan Aisyah. Semua ini dilakukan Bukhari untuk menjaga nama baik Muawiyah dan Marwan. Ibnu Hajar telah menceritakan peristiwa ini secara panjang lebar di dalam kitabnya Fath al-Bari. Perhatikanlah, sampai sejauh mana kelurusan Bukhari di dalam menukil kenyataan.

2. ContohKedua.

Bukhari membuang fatwa Umar tentang tidak salat. Muslim meriwayatkan dari Syu'bah yang berkata, "Al-Hakam berkata kepada saya, dari Sa'id bin Abdurrahman, dari ayahnya yang berkata, "Seorang laki-laki mendatangi Umar dan berkata, 'Saya berjunub, namun saya tidak menemukan air.' Umar menjawab, 'Jangan kamu salat.'

Lalu Ammar berkata, 'Apakah kamu ingat, wahai Amirul Mukminin, tatkala kamu dan saya berada di dalam pasukan. Pada saat itu kita berjunub, dan kita tidak menemukan air. Kamu pada saat itu tidak mengerjakan salat, sedangkan saya berguling-guling di atas tanah dan kemudian salat. Kemudian Rasulullah saw berkata, 'Cukup kamu memukulkan kedua telapak tanganmu ke atas tanah, kemudian meniup keduanya, dan lalu mengusapkannya ke wajahmu dan kedua punggung tanganmu.'

Umar berkata, 'Bertakwalah kepada Allah, wahai Ammar.' Ammar berkata, 'Jika kamu tidak ingin, saya tidak akan ceritakan."'[126]

Padahal hadis ini dengan jelas menunjukkan kebodohan Umar akan hukum agama yang paling sederhana dan penting, yang diketahui oleh seluruh kaum Muslimin (yaitu hukum tayammum), dan yang dengan jelas dikatakan oleh Al-Qur'an dan diajarkan oleh Rasulullah saw kepada mereka tentang tata caranya. Namun demikian, Umar memberikan fatwa untuk tidak salat. Yang pertama, ini tidak lain merupakan salah satu indikasi kebodohan Umar, dan menunjukkan bahwa Umar tidak begitu menaruh perhatian kepada salat, dan bahkan me-nunjukkan bahwa Umar tidak mengerjakan salat pada saat dia junub, sebagaimana yang dijelaskan oleh riwayat.

Saya ingat, salah seorang teman saya pernah berdiskusi dengan saya tentang ilmunya Umar. Dia berkata kepada saya, "Sesungguhnya Umar sejalan dengan Al-Qur'an sebelum Al-Qur'an turun."

Saya katakan kepadanya, "Ini hanya cerita yang tidak ada hubungannya dengan kenyataan. Karena bagaimana mungkin Umar sejalan dengan Al-Qur'an sebelum Al-Qur'an diturunkan, padahal dia tidak sejalan dengan Al-Qur'an setelah Al-Qur'an turun tentang masalah tayammum dan penentuan mahar wanita. Hadis ini merupakan guncangan yang paling keras yang saya alami selama saya mengkaji tentang pribadi Umar. Karena hadis ini menyingkap secara sempurna sampai sejauh mana tingkat keilmuan dan keberagamaan Umar. Yang lebih mengherankan saya ialah sikap Umar yang tetap bersikeras dengan kebodohannya setelah diberitahukan oleh Ammar tentang hukum agama mengenai masalah itu.

Kemudian, lihatlah bagaimana Bukhari tidak sampai hati meriwayatkan fatwa Umar ini, yang tidak mungkin ada seorang pun yang memfatwakannya meski orang pasar sekali pun. Bukhari mengeluarkan di dalam kitab sahihnya dengan sanad dan redaksi yang sama, namun dengan membuang fatwanya,

"Seorang laki-laki datang kepada Umar bin Khattab dan berkata, 'Saya berjunub namun saya tidak menemukan air.' Lalu Ammar bin Yasir berkata kepada Umar bin Khattab, 'Apakah kamu ingat, wahai Amirul Mukminin, tatkala kamu dan saya ..."[127]

3. Contoh Ketiga:

Ibnu Hajar mengeluarkan di dalam kitabnya Fath al-Barifi Syarh Shahih al-Bukhari, jilid 17, halaman 31, hadis yang berbunyi, "Seorang laki-laki bertanya kepada Umar tentang firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan buah-buahan serta rumput-rumputan', apakah rumput-rumputan itu?'

Umar menjawab, 'Kita dilarang untuk mendalami dan memberatkan diri.'"

Ibnu Hajar berkata, "Di dalam riwayat lain yang berasal dari Tsabit, dari Anas yang berkata bahwa Umar membaca, 'Dan buah-buahan serta abb (sejenis rerumputan).' Lalu orang bertanya, 'Apa abb itu?' Umar menjawab, 'Kita tidak diperintahkan untuk memberatkan diri', atau 'Kita tidak diperintahkan dengan yang demikian ini.'"

Kemudian, perhatikanlah bagaimana Bukhari mengerahkan segenap usahanya untuk membersihkan Umar dari segala sesuatu yang menempel padanya. Kenapa dia tidak meriwayatkan hadis yang membuktikan kebodohan Umar akan Al-Qur'an ini. Karena masalah yang ditanyakan adalah masalah yang sangat sederhana bagi orang yang mengenal Al-Qur'an dan gaya bahasanya. Argumentasi Umar tentang tidak adanya perintah memberatkan diri bukanlah pada tempatnya, karena masalah ini bukan merupakan sebuah tindakan pemberatan diri. Dan membuat-buat alasan dalam urusan ini adalah lebih buruk dari dosa. Ketika Imam Ali as ditanya dengan pertanyaan yang sama, Imam Ali as menjawab berkenaan dengan ayat yang sama, 'Dan buah-buahan serta abb (sejenis rerumputan), untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu', 'Buah-buahan adalah kesenangan untuk kita sedangkan abb adalah kesenangan untuk binatang-binatang ternak. Abb adalah sejenis rerumputan.'"

Bukhari berkata di dalam kitab sahihnya, dari Tsabit, dari Anas yang mengatakan, "Kami berada di samping Umar, lalu dia berkata, 'Kita dilarang untuk memberatkan diri.'"[128]

Hadis ini dan hadis-hadis lainnya termasuk ke dalam kelompok hadis yang tidak sejalan dengan keyakinan Bukhari. Oleh karena itu, dengan sengaja dia pun menghilangkan sebagian, mengganti atau membuang hadis secara keseluruhan. Persis, sebagaimana yang telah dilakukannya terhadap hadis tsaqalain, "Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku ...", yang mana Muslim dan al-Hakim telah mengeluarkannya sesuai dengan syarat Bukhari. Demikian juga dengan hadis-hadis sahih lainnya yang Bukhari tidak mampu menjelaskan dan menyimpangkannya, maka dia pun tidak memasukkannya ke dalam kitab sahihnya. Inilah yang menjadi sebab dasar kenapa kitab Sahih Bukhari dijadikan sebagai kitab yang paling sahih setelah Kitab Allah oleh para penguasa. Saya tidak tahu ada sebab lain selain sebab ini yang dijadikan dasar pertimbangan ini.

4. Contoh Keempat:

Berikut ini saya ketengahkan kepada Anda suatu peristiwa yang darinya Anda dapat mengetahui dengan jelas sampai sejauh mana Bukhari secara sengaja menyelewengkan fakta dan kebenaran. Para ulama Ahlus Sunnah beserta para huffazhnya, seperti Turmudzi di dalam Sahihnya, al-Hakim di dalam Mustadraknya, Ahmad bin Hanbal di dalam Mustadraknya, Nasa'i di dalam Khasha'ishnya, Thabari di dalam Tafsirnya, Jalaluddin as-Suyuthi di dalam tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, Muttaqi al-Hindi di dalam kitabnya Kanz al-'Ummal, Ibnu Atsk di dalam kitab Tarikhnya, dan banyak lagi yang lainnya, mereka meriwayatkan,

"Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Abu Bakar dan memerintahkannya untuk menyeru dengan kalimat ini, yaitu pengingkaran dari Allah dan Rasul-Nya. Kemudian Rasulullah saw memerintahkan Ali untuk menyusul Abu Bakar dan memerintahkannya untuk menyeru dengan kalimat yang sama. Maka Ali as berdiri pada hari-hari tasyrig dan berseru, 'Sesungguhnya Allah SWT dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Maka berjalanlah selama empat bulan di muka bumi. Dan setelah tahun ini tidak boleh ada orang Musyrik yang berhaji, dan tidak boleh ada orang yang bertawaf dalam keadaan telanjang.' Abu Bakar ra kembali dan berkata, 'Apakah ada ayat yang turun berkenaan denganku?' Rasulullah saw menjawab, 'Tidak. Jibril telah datang kepadaku dan berkata, 'Tidak boleh ada yang menunaikan tugas ini selain kamu atau seorang laki-laki dari kamu.'"

Di sini, Bukhari menghadapi dilema. Riwayat ini bertentangan sama sekali dengan mazhab dan keyakinannya. Riwayat ini menetapkan keutamaan Ali as, dan itu pun keutamaan yang sangat besar, sementara pada saat yang sama riwayat ini merendahkan Abu Bakar, atau setidaknya tidak menetapkan sesuatu apa pun bagi Abu Bakar. Bagaimana caranya dia bisa menyelewengkan riwayat ini bagi kepen-tingan keyakinannya, sehingga dengan begitu dia bisa menetapkan keutamaan bagi Abu Bakar dan tidak sesuatu pun bagi Ali.

Marilah Anda perhatikan, bagaimana dengan kelihaiannya Bukhari dapat keluar dari keadaan yang sulit ini.

Bukhari mengeluarkan di dalam Sahihnya, kitab tafsir al-Qur’an, bab firman Allah SWT "Maka berjalanlah selama empat bulan di muka bumi",

Bukhari berkata, "Humaid bin Abdurrahman telah memberitahukan saya bahwa Abu Hurairah ra telah berkata, 'Abu Bakar mengutus saya pada ibadah haji itu ke dalam kelompok orang yang diutus olehnya pada harian menyembelih kurban di Mina untuk mengumumkan bahwa setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji, dan tidak boleh ada orang yang bertawaf dalam keadaan telanjang.' Humaid bin Abdurrahman menambahkan 'Kemudian Rasulullah saw mengikutkan Ali bin Abi Thalib as dan memerintahkannya untuk mengumumkan bara'ah (pengingkaran terhadap orang musyrik). Lalu Abu Hurairah berkata, 'Maka Ali bin Abi Thalib pun bersama-sama kami mengumumkan bara 'ah kepada orang-orang yang sedang ada di Mina pada harian menyembelih kurban, dan bahwa setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji serta tidak boleh ada orang yang bertawaf dalam keadaan telanjang."'[129]

Saya berikan kesempatan kepada Anda, wahai para pembaca, untuk berkomentar, supaya Anda dapat melihat sendiri kepada penyimpangan dan pemutar-balikkan ini. Bagaimana Bukhari melenyapkan keutamaan yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib as, dan sebagai gantinya dia menetapkan keutamaan bagi Abu Bakar, padahal Allah SWT telah memakzulkannya dengan wahyu yang diturunkan olehNya. Jibril Berkata kepada Rasulullah saw, "Tidak boleh ada yang menunaikan tugas ini kecuali kamu atau seorang laki-laki dari kamu." Kemudian, coba lihat, bagaimana Bukhari menjadikan urusan ini berada di tangan Abu Bakar, sehingga dengan begitu Abu Bakar menjadi orang yang memerintah dan menetapkan urusan dengan kehadiran Rasulullah saw!

Masya Allah, bagaimana dia merubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain.

5. Contoh Kelima:

Muslim berserikat di dalam sahihnya dengan Ibnu Hisyam dan Thabari di dalam membuang bagian dari hadis yang mendiskreditkan kedudukan Abu Bakar dan Umar. Setelah Ibnu Hisyam menukil berita tentang peperangan Badar dan informasi yang sampai kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya tentang kafilah dagang Quraisy, Ibnu Hisyam menyebutkan Rasulullah saw mengajak para sahabatnya untuk bermusyawarah. Ibnu Hisyam berkata, "Rasulullah saw mendapat berita tentang perjalanan kafilah dagang Quraisy, dan beliau bermaksud mencegat kafilah dagang tersebut. Maka Rasulullah saw mengajak orang-orang untuk bermusyawarah dan memberitahukan mereka tentang kafilah dagang Quraisy. Maka berdirilah Abu Bakar ash-Shiddiq mengatakan sesuatu, lalu Rasulullah saw berkata, 'Bagus!' Lalu berdiri Umar dan mengatakan sesuatu, kemudian Rasulullah saw berkata, 'Bagus!' Selanjutnya Miqdad bin 'Amr berdiri dan berkata, 'Ya Rasulullah, berjalanlah sesuai dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepada Anda, niscaya kami bersama Anda. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan kepada Anda sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa manakala mereka mengatakan, 'Pergilah kamu berdua denganmu Tuhanmu dan berperanglah, adapun kami biar duduk di sini saja menunggu; melainkan kami mengatakan, 'Pergilah kamu berdua dengan Tuhanmu dan berperanglah, dan kami pun ikut berperang bersama Anda berdua.' Demi Zat yang mengutus Anda dengan kebenaran, meski pun Anda membawa kami ke dalam lautan, kami akan tetap berperang bersama Anda sehingga Anda sampai kepadanya.' Maka Rasulullah saw berkata kepadanya, 'Bagus!', dan beliau berdoa untuknya."

Yang menjadi pertanyaan kita ialah, apa yang dikatakan oleh Abu Bakar dan Umar kepada Rasulullah saw.

Jika memang bagus, lalu kenapa Bukhari tidak menyebutkannya. Kenapa Bukhari menyebutkan apa yang dikatakan oleh Miqdad namun tidak menyebutkan apa yang dikatakan oleh keduanya?!

Selanjutnya, marilah kita kembali kepada Muslim, untuk melihat apakah dia juga melakukan hal yang sama sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibnu Hisyam dan Thabari. Muslim meriwayatkan, "Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabatnya manakala sampai berita kepadanya tentang kedatangan (kafilah) Abu Sufyan.." Muslim berkata, "Maka Abu Bakar berkata, namun Rasulullah saw berpaling darinya. Kemudian berkata Umar, namun Rasulullah saw berpaling darinya... kemudian Muslim menyebutkan kelanjutan hadis."[130]

Muslim juga tidak menyebutkan apa yang telah dikatakan oleh Abu Bakaar dan Umar, namun dia lebih jujur dari Ibnu Hisyam dan Thabari. Karena Muslim mengatakan , "Rasulullah saw berpaling darinya", dan tidak mengatakan, "Bagus!" Meski pun apa yang telah dilakukannya tetap merupakan kejahatan terhadap hadis. Karena dia harus menyebutkan perkataan keduanya. Dan keputusannya untuk tidak menyebutkan perkataan keduanya, menunjukkan adanya kedengkian di dalam perkara ini. Kenapa Rasulullah saw berpaling dari perkataan keduanya, jika perkataan keduanya bagus?!

Dari kedua hadis di atas —setelah terbukti secara jelas pemalsuan yang telah mereka lakukan— menjadi jelas bagi kita bahwa di sana terdapat sesuatu yang tidak layak bagi kedua Syeikh (Abu Bakar dan Umar —penerj.) yang tidak mereka sebutkan. Namun, Allah SWT tetap menampakkan cahaya-Nya meski pun orang-orang kafir tidak suka. Kitab al-Maghazi, karya al-Waqidi, dan kitab Imta' al-Asma, karya Muqrizi, menceritakan kisah ini. Setelah kedua kitab ini menyebutkan khabar di atas, kedua kitab ini menyebutkan, "Maka Umar berkata, 'Ya Rasulullah, Demi Allah, sesungguhnya mereka itu bangsa Quraisy. Demi Allah, kemuliaan mereka belum melemah sejak mereka mulia. Demi Allah, mereka belum beriman sejak mereka kafir. Dan demi Allah, selamanya mereka tidak akan menyerahkan kemuliaannya. Mereka pasti akan memerangi Anda, maka oleh karena itu bersiap sedialah dengan perlengkapan untuk itu."

Dari sini kita dapat mengetahui kenapa Rasulullah saw berpaling dari perkataan Umar. Karena perkataan yang dikatakan oleh Umar ini tidak pantas dikatakan oleh seorang sahabat Rasulullah saw. Bagaimana bisa Umar menyatakan orang musyrikin Quraisy mempunyai kemuliaan?

Apakah Rasulullah saw bermaksud hendak menghinakan mereka?

Sungguh amat disayangkan. Namun, inilah tingkat pengetahuan Umar terhadap Islam, dan begitu juga tingkat peradabannya.

Demikianlah, Bukhari dan Muslim senantiasa mencampurkan kebenaran dengan kebatilan, dan mengganti hadis-hadis yang mereka rasakan menjelekkan Abu Bakar dan Umar.


Ketiga:

PENULIS DAN PERANAN MEREKA DI DALAM MENYELEWENGKAN KEBENARAN

Peranan para muhaddis dan sejarahwan mengukuhkan orang-orang yang datang sesudah mereka, yaitu para penulis. Mereka mengerahkan segenap usaha mereka untuk memalsukan kebenaran dan menjelek-jelekkan mazhab Ahlul Bait, dengan menggunakan berbagai macam propaganda dan penyebaran berita dusta. Mereka para penulis telah memperoleh keberhasilan besar di dalam memperdalam kebodohan pada diri anggota mazhab mereka, dan memperlebar jurang di antara mereka dengan pengenalan kepada kebenaran. Mereka telah menggambarkan Syi'ah dalam rupa yang paling buruk. Ini semua disebabkan berbagai khurafat dan sangkaan yang mereka rangkai. Saya tidak mengatakan ini hanya sekedar berupa asumsi, melainkan saya sendiri pernah mengalami kebodohan ini untuk beberapa waktu. Dan saya dapat merasakan lebih besar lagi kebodohan saya tersebut manakala hati saya telah terbuka dan diterangi oleh Allah SWT dengan cahaya Ahlul Bait. Saya menemukan masyarakat saya tenggelam di dalam timbunan kebodohan dan berbagai kebohongan atas Syi'ah. Setiap kali saya bertanya tentang Syi'ah, baik yang ditanya itu seorang ulama atau seorang yang terpelajar, mereka menjawab saya dengan serangkaian kebohongan atas Syi'ah. Misalnya, mereka menjawab bahwa Syi'ah itu mengatakan Ali adalah Rasul Allah yang sebenarnya, namun Jibril melakukan kesalahan dan menurunkan risalah kepada Muhammad. Atau, mereka mengatakan bahwa orang-orang Syi'ah menyembah Ali, atau kebohongan-kebohongan lainnya yang sama sekali bertentangan dengan kenyataan. Dan, cobaan yang paling berat dari semua itu ialah manakala kepada Anda dilontarkan pertanyaan yang mengherankan,
Apakah orang-orang Syi'ah itu Muslim?
Apa perbedaan antara Syi'ah dengan syuyu'iyyah (komunis)?

Kebodohan akan Syi'ah ini, yang dialami oleh sebagian besar dari umat Islam, adalah merupakan hasil logis dari segenap usaha dan kerja keras para penulis, sebagai akibat dari kebodohan yang diterapkan atas generasi-generasi umat ini, supaya mereka menolak dan tidak mengakui mazhab Syi'ah. Ini merupakan kelanjutan dari rencana yang telah dimulai sejak dahulu, dan diteruskan hingga hari ini. Oleh karena itu, Anda dapat menemukan beratus-ratus buku beracun yang menghujat Syi'ah, yang mereka sebarkan ke tengah-tengah masyarakat, dan biasanya dibagi-bagikan secara gratis oleh pihak Wahabi. Alangkah baiknya, jika sekiranya di tengah-tengah atmosfir yang dipenuhi dengan sikap penentangan terhadap Syi'ah, dibolehkan juga buku-buku Syi'ah beredar di tengah-tengah masyarakat, sehingga dengan begitu akan tercipta keseimbangan. Namun, ini tidak terjadi. Cobalah tengok perpustakaan-perpustakaan Islam dari kalangan Ahlus-Sunnah, mereka jarang sekali dan bahkan dapat dikatakan tidak sama sekali memuat buku-buku Syi'ah. Sebaliknya perpustakaan-perpustakaan Syi'ah, baik itu yang untuk dijual maupun yang terdapat di lembaga-lembaga ilmiah, mereka tidak kosong dari kitab-kitab dan referensi-referensi rujukan Ahlus-Sunnah, dengan berbagai macam garis dan pandangannya.

Dan yang lebih parah dari semua itu, jika seandainya Anda memberikan sebuah buku Syi'ah kepada salah seorang dari mereka, mereka tidak akan membacanya, bahkan mungkin akan membakarnya, dengan alasan bahwa dia tidak boleh membaca buku-buku sesat.

Saya masih ingat bagaimana imam mesjid di desa kami dengan lantang menyatakan kekufuran dan kesesatan saya, dan melarang semua orang untuk duduk bersama saya atau membaca buku-buku tulisan saya. Logika macam apakah ini, yang memberangus manusia dari kebebasannya berpikir. Namun, memang beginilah siasat kebodohan dan pembodohan yang mereka tempuh.

Beberapa Kitab Yang Ditulis Untuk Menentang Syi'ah:
1. Muhadharat fi Tarikh al-Umam al-Islamiyyah (Ceramah-Ceramah Tentang Sejarah Umat Islam), karya al-Khudhari.
2. As-Sunnah wa asy-Syi'ah (Sunnah dan Syi'ah), karya Muhammad Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar.
3. Ash-Shira' Baina al-Watsaniyyah wa al-Islam (Pertarungan Antara Paganisme Dengan Islam), karya al-Qashimi.
4. Fajr al-Islam wa Dhuha al-Islam (Fajar Islam), karya Ahmad Amin.
5. Al-Wasyi'ah fi Naqd asy-Syi'ah (Kumpulan Kritikan Terhadap Syi'ah), karya Musa Jarullah.
6. Al-Khuthuth al-'Aridhah (Jaringan yang luas), karya Muhibuddin Khathab.
7. Asy-Syi'ah wa as-Sunnah, asy-Syi'ah wa al-Qur'an, asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, dan asy-Syi'ah wa at-Tasyayyu'', karya Ihsan Ilahi Zhahir.
8. Minhaj as-Sunnah, Ibnu Taimiyyah.
9. Ibthal al-Bathil, Fadhl bin Ruzbahan.
10. Ushul Madzhab asy-Syi'ah, Nashir al-Ghifari.
11. Wa Ja'a Dawr al-Majus, Abdullah Muhammad al-Gharib.
12. At-Tuhfah al-Itsna 'Asyariyyah, ad-Dahlawi.
13. Jawlahfi Rubu'asy-Syarq al-Adna, Muhaddis Tsabit alMishri.

Dan kitab-kitab lainnya yang tendensius. Para ulama Syi'ah telah menjawab kitab-kitab ini dan kitab-kitab yang semisalnya dengan jawaban rinci dan cukup.

Anda dapat saksikan adanya perbedaan metode pembahasan di antara kedua jenis kitab di atas. Anda mendapati kitab-kitab Syi'ah bertujuan untuk membuktikan dan mengokohkan kebenaran mazhabnya dengan dalil-dalil yang kuat dan argumentasi-argumentasi yang cemerlang, yang bersandar kepada kitab-kitab referensi Ahlus Sunnah, dengan tanpa menyerang mazhab lain. Adapun kitab-kitab yang berusaha menolak Syi'ah, sejak awal mereka bertujuan untuk menyerang mazhab Syi'ah dengan berbagai cara, meskipun dengan cara menuduh dan menciptakan kebohongan-kebohongan.

Banyak sekali bukti-bukti yang mendukung ucapan kami. Insya Allah, kami akan kemukakan beberapa contoh darinya dalam pembahasan ini.

Kitab-Kitab Syi'ah Yang Menjawab Dan Mengokohkan Kebenaran Mazhabnya

1. Asy-Syafi fi al-Imamah.

Kitab ini terdiri dari empat jilid. Di dalam kitab ini, penulisnya Syarif al-Murtadha membuktikan keimamaham sebagai dasar agama, sosial dan politik. Dia juga membuktikan dengan dalil naql dan akal yang lurus bahwa keimamahan merupakan keharusan agama dan sosial, bahwasannya Ali as adalah khalifah sepeninggal Rasulullah saw yang telah ditetapkan dengan nas, dan barangsiapa yang menentangnya maka berati dia telah menentang kebenaran. Di dalam kitabnya ini juga Syarif al-Murtadha menjawab seluruh kecurigaan maupun kesamaran yang dikatakan atau yang mungkin akan dikatakan di seputar masalah keimamahan, dan kemudian dia menggugurkannya dengan logika akal dan hujjah yang cemerlang.[131]

2. Nahj al-Haq wa Kasyf ash-Shidq, karya Allamah al-Hilli.

Kitab ini membahas sekumpulan masalah berikut ini,
a. Pemahaman (al-Idrak).
b. Pandangan (an-Nazhar).
c. Sifat-sifat Allah.
d. Kenabian.
e. Keimamahan.
f. Ma’ad (hari kiamat).
g. Ushul Fikih.
h. Masalah-masalah yang berkaitan dengan fikih.

Tampak sekali bagi para pembaca kitab ini bahwa penulisnya adalah seorang pengkaji yang objektif, yang tidak ta'assub terhadap pandangannya, dan tidak mendukung salah satu keyakinan pada permulaannya. Dia tidak membahas dan mencari dalil untuk medukung keyakinannya, melainkan dia menempatkan pendapat dan keyakinannya mengikuti Al-Qur'an, serta pendapat dan keyakinannya tunduk kepada dalil.

Fadhl bin Ruzbahan al-Asy'ari telah menulis sebuah kitab untuk mengkritik kitab ini, dan memberinya judul Ibthal al-Bathil wa Ihmal Kasyf al-'Athil. Namun dia tidak menggunakan metode sebagaimana yang digunakan oleh Allamah al-Hilli. Dia justru banyak menyerang dan mengecam. Namun, secara relatif kitab ini dapat dikatagorikan sebagai kitab yang dapat dipegang hujjahnya dan berisi diskusi ilmiah.

3. Ihqaq al-Haq, karya Sayyid Nurullah al-Husaini al-Tusturi.

Sebuah kitab yang besar, yang ditulis oleh penulisnya untuk menjawab kitab Ibthal al-Bathil yang ditulis oleh Fadhl bin Ruzbahan. Kitab lhqaq al-Haq ini telah diberi catatan oleh Ayatullah Syihabuddin al-Mar'asyi an-Najafi, sehingga tebalnya mencapai dua puluh lima jilid ukuran besar. Penulis kitab ini telah melakukan usaha yang besar dan tidak kenal lelah di dalam meneliti dan mengeluarkan hadis-hadis dan riwayat-riwayat dari kitab-kitab Ahlus Sunnah. Sungguh, alangkah bagusnya jika kitab ini ditempatkan di tempat-tempat penyimpanan barang berharga, karena dapat dikatakan sebagai sebuah karya besar, yang mungkin sebuah tim khusus pun tidak dapat menghasilkannya.

4. Jawaban terhadap Fadhl bin Ruzbahan juga diberikan oleh Allamah al-Mudzaffar, di dalam tiga jilid kitab yang berjudul Dala'il ash-Shidq. Kitab ini juga merupakan jawaban terhadap kitab Minhaj as-Sunnah, karya Ibnu Taimiyyah, yang ditulis untuk menjawab Allamah al-Hilli di dalam kitabnya yang berjudul Minhaj al-Karamah. Namun, Allamah al-Mudzaffar tidak membahas secara panjang lebar di dalam menjawab Ibnu Taimiyyah. Dia memberikan isyarat di dalam mukaddimahnya, "Apabila tidak ada kerendahan pada point-point pembahasannya, kekotoran lidah pada penanya, bertele-telenya ungkapannya, serta permusuhannya terhadap diri Nabi al-Amin dan anak-anaknya yang suci, maka tentu layak melakukan pembahasan dengannya."[132]

5. Ensiklopedia al-Ghadir, terdiri dari 11 jilid, karya Allamah Abdul Husain al-Amini.

Ini merupakan karya besar yang dipersembahkan oleh penulisnya. Kitab ini membuktikan kebenaran mazhab Ahlul Bait melalui segenap jalan dan argumentasi. Yang lebih mengagumkan ialah, bahwa penulisnya telah menghimpun kurang lebih sembilan puluh empat ribu kitab rujukan Ahlus Sunnah di dalamnya.

Kitab al-Ghadir ini ditujukan untuk menjawab beberapa kitab Ahlus Sunnah yang ditulis untuk menentang Syi'ah, seperti kitab:
a. al-'Iqd al-Farid.
b. al-Farq Baina al-Firaq.
c. al-Milal wa an-Nihal.
d. al-Bidayah wa an-Nihayah.
e. al-Mahshar.
f. as-Sunnahwaasy-Syi'ah.
h. ash-Shira''.
i. Fajr al-Islam.
j. Zhuhr al-Islam.
k. Dhuha al-Islam.
l. 'Agidah asy-Syi'ah.
m. al-Wasyi'ah.
n. Minhaj as-Sunnah.

Allamah al-Amini telah menjawab mereka dengan baik, dengan menggunakan dalil-dalil yang terang dan argumentasi-argumentasi yang cemerlang.

Dia memiliki kelebihan dari sisi kajian yang objektif, yang tidak cenderung kepada sikap ta'assub.

6. Juga termasuk salah satu ensiklopedia besar yang membuktikan kebenaran mazhab Syi'ah, yang menjawab serangan musuh-musuhnya ialah kitab 'Abagat al-Anwar fi Imamah al-Aimmah al-Athhar, karya Sayyid Hamid Husain Ibnu Sayyid Muhammad Qili al-Hindi, namun saya belum mendapatkan naskah aslinya. Saya baru mendapat kitab ringkasannya yang berjudul Khulashah 'Abagat al-Anwar, karya Ali Husain al-Milani. Kitab ini terdiri dari 10 jilid. Kitab ini merupakan jawaban atas kitab at-Tuhfah al-Itsna 'Asyariyyah, karya Abdul Aziz ad-Dahlawi, yang mengkritik keyakinan-keyakinan Syi'ah. Sekumpulan para ulama Syi'ah telah menjawab kitab at-Tuhfah ini dengan beberapa kitab, yang di antaranya adalah kitab as-Saif al-Maslul 'ala Mukhrib Din ar-Rasul, karya Abu Ahmad bin Abdun Nabi an-Naisaburi, kitab yang terdiri dari empat jilid, yang masing-masing jilidnya dengan nama Sayyid Deldor Ali Taqi; kitab an-Nazhah al-ltsna 'Asyariyyah, karya Muhammad Qili, yang terdiri dari sekumpulan beberapa jilid kitab besar; berikutnya kitab al-Wajiz fi al-Ushul, karya Syeikh Subhan Ali Khan al-Hindi; dan kitab al-Imamah, karya Sayyid Muhammad bin Sayyid. Sayyid Muhammad bin Sayyid juga mempunyai kitab jawaban terhadap kitab at-Tuhfah dalam bahasa Persia, yang berjudul al-Bawariq al-Ilahiyyah.

Dan kitab-kitab lainnya yang merupakan jawaban terhadap ad-Dahlwi, yang disebutkan oleh penulis kitab adz-Dzari'ah dan kitab A'yan asy-Syi'ah. Dari kitab-kitab jawaban ini yang terbesar adalah kitab al- 'Abagat. Tampak dengan jelas, dari isi kitab ini, kebesaran penulis, ketajaman pandangannya, keluasan ilmunya, ketelitiannya terhadap berbagai perkataan, dan keamanahannya di penukilan ilmiah terhadap berbagai pembahasan, dan di dalam metodologinya di dalam menjawab berbagai kritikan dan sanggahan terhadap argumentasi-argumentasi yang diajukan. Dia telah memutus seluruh jalan dan alasan dengan sekuat-kuatnya hujjah dan sekokoh-kokohnya argumentasi, dan telah menolak berbagai keraguan, sehingga tidak tersisa lagi celah bagi musuh untuk menikam mazhab Syi'ah, mencela dalil dan melemahkan hadis. Dia telah menangkis semuanya dengan cara yang paling baik, dan telah menjawabnya dengan jawaban yang indah, disertai dengan penelitian yang anggun, penyelidikan yang cekatan, argumentasi yang kokoh, istidlal Alawi dan kebangkitan Ridhawi, dengan bersandar seluruhnya kepada kitab-kitab Ahlus Sunnah, dan berargumentasi dengan perkataan pilar-pilar ulama mereka, di dalam berbagai macam disiplin ilmu."[133]

Untuk melakukan itu dia telah dibantu oleh perpustakaan keluarganya yang terkenal yang terdiri lebih dari 30 ribu kitab, baik yang berupa kitab cetakan maupun kitab yang masih berupa transkrif, dari berbagai mazhab dan golongan. Hingga saat sekarang ini kita belum menemukan adanya kitab jawaban terhadap kitab al-'Abaqat, padahal kitab at-Tuhfah telah banyak mendapat jawaban. Adapun yang pertama menjawab kitab at-Tuhfah adalah Sayyid Deldor Ali di dalam kitabnya yang berjudul ash-Shawarim alllahiyyah dan kitab Sharim al-hlam. Lantas kedua kitab Sayyid Deldor itu dijawab oleh Rasyi-duddin ad-Dahlawi, murid penulis kitab at-Tuhfah, dengan kitabnya yang berjudul asy-Syawkah al'Umariyyah. Selanjutnya kitab asy-Syawkah al-'Umariyyah itu dijawab oleh Baqir Ali dengan kitabnya al-Hamlah al-Haidariyyah. Demikian juga kitab at-Tuhfah dijawab oleh al-Mirza di dalam kitabnya an-Nazhah al-Itsna 'Asyariyyah. Lalu salah seorang Ahlus Sunnah menjawab kitab an-Nazhah al-Itsna 'Asyariyyah dengan kitab Rujum asy-Syayathin. Selanjutnya kitab ar-Rujum asy-Syayathin dijawab oleh Sayyid Ja'far al-Musawi dengan kitabnya Mu'in ash-Shadiqin fl Radd Rujum asy-Syayathin.

Begitu juga kitab at-Tuhfah dijawab oleh Sayyid Muhammad Qili, ayah penulis kitab al- 'Abagat dengan kitabnya yang berjudul al-Ajnad al-Itsna 'Asyariiyah al-Muhammadiyyah. Selanjutnya kitab tersebut dijawab oleh Muhammad Rasyid ad-Dahlawi. Lalu Sayyid Muhammad Qili kembali menjawabnya dengan kitab al-Ajwibah al-Fakhirahfi ar-Radd 'ala al-Asya'irah, hingga akhrinya polemik ini disudahi oleh penulis kitab al'Abaqat, dan hingga sekarang belum ada yang menjawabnya. Ini cukup untuk membuktikan kelemahan dari pihak Ahlus Sunnah.

7. Ma'alim al-Madrasatain, karya Murtadha al-'Askari.

Kitab ini merupakan kitab perbandingan di antara madrasah Ahlul Bait dengan madrasah para khulafa. Penulis kitab ini bersandar kepada sikap objektif dan kajian ilmiah yang teliti. Kitab ini terdiri dari tiga juz.

8. Kitab al-Muraja'at (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Dialog Sunnah Syi'ah" —penerj.), karya Abdul Husain Syarafuddin.


Kitab ini merupakan hasil dialog di antara penulisnya dengan Syeikh al-Azhar, Salim al-Bisyri. Kitab ini terhitung sebagai dialog yang langka, di mana di dalamnya kedua orang yang berdialog menggunakan metode yang tenang dan percakapan yang santun. Abdul Husain juga mempunyai banyak kitab lain di dalam masalah ini, di antaranya adalah kitab an-Nash wa al-ljtihad, kitab al-Fushul al-Muhimmah fi Ta'lif al-Ummah, kitab al-Kalimah al-Gharra' fi Tafdhil az-Zahra, dan kitab Abu Hurairah.

Juga terdapat berbagai jawaban dari kalangan ulama Syi'ah terhadap kitab-kitab Ahlus Sunnah, seperti:
1. Ajwibah Masa'il Jarullah, oleh Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi.
2. Ma 'a al-Khathibfi Khuthuth al- 'Aridhah, karya Luthfullah ash-Shafi.
3. Syubhat Hawla asy-Syi'ah.
4. Kadzib 'ala asy-Syi'ah.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS) 

Commet Facebook Umum ABNS

 
Copyright © 2014 AHLUL BAIT NABI SAW Powered By AHLUL BAIT NABI SAW.