BREAKING NEWS

AHLUL BAIT NABI SAW: KESAKSIAN-KESAKSIAN AHLUS SUNNAH, SMS +6281809556588

Minggu, 07 Mei 2017

Para Ulama Ahlus Sunnah Dan Kalangan Terpelajar Mereka Yang Masuk Syi'ah


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Sekelompok dari kalangan para tokoh Ahlus Sunnah dan para ulama mereka, telah mampu memutus belenggu dan melampaui hadangan propaganda, sehingga terbuka bagi mereka berbagai ilmu dan pengetahuan yang lain. Dan, sebagian dari mereka telah berpindah ke mazhab Syi'ah.

Juga turut bergabung ke dalam iring-iringan ini beribu-ribu orang yang memiliki pemikiran dan pena yang bebas, baik dahulu maupun sekarang. Kita tidak mungkin dapat menyebutkan nama mereka satu persatu, namun kita cukup menyebutkan beberapa orang dari mereka sebagai contoh:

1. Muhaddis Jalil Abu Nafar Muhammad bin Mas'ud bin 'Ayasy, yang dikenal dengan panggilan al-'Ayasyi. Dia termasuk salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah sebelum menjadi Syi'ah. Dia juga terhitung sebagai ulama besar Syi'ah Imamiyyah. Dia mempunyai kitab tafsir al-ma'tsur, yaitu kitab tafsir al- 'Ayasyi.

2. Syeikh Muhammad Mar'i al-Amin al-Anthaqi. Dia keluar dari al-Azhar dan menyandang kedudukan hakim agung di Halab. Dia mempunyai kedudukan di dalam lingkungan keilmuan dan sosial. Allah SWT telah memberinya petunjuk untuk berpegang kepada ajaran Ahlul Bait. Dia mempunyai sebuah kitab yang telah dicetak dan diterbitkan, dengan judul Limadza Ikhtartu Madzhab asy-Syi'ah (Kenapa Saya memilih Mazhab Syi'ah). Beribu-ribu penduduk kota Halab pun telah ikut menjadi Syi'ah bersamanya.

3. Syeikh Salim Bisyri. Dia termasuk ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dia telah memangku jabatan Syeikh al-Azhar sebanyak dua kali dalam hidupnya. Telah terjadi berbagai dialog antara dia dengan Abdul Husain Syarafuddin, seorang ulama Syi'ah. Kemudian hasil-hasil dialog tersebut dikumpulkan di dalam sebuah kitab yang diberi judul al-Muraja'at (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dialog Sunah Syi'ah —penerj.) Dialog yang tenang dan santun ini telah menjadikan Syeikh Salim Bishri menjadi Syi'ah. Pada permulaan dialog, Syeikh Salim Bishri telah menyatakan bahwa dirinya tidak ta'assub, dan ini diungkapkan dalam kata-katanya,

"Sesungguhnya saya hanyalah seorang penyelidik yang rindu akan kebenaran. Jika kebenaran tampak jelas, maka sesungguhnya kebenaran adalah sesuatu yang paling berhak untuk diikuti; dan jika tidak, maka sesungguhnya saya akan mengatakan sebagaimana yang dikatakan orang,

'Kami rida dengan apa yang ada pada kami
dan kamu pun rida dengan apa yang ada pada kamu,
karena pendapat kita berbeda."[134]

Setelah dilakukan berbagai dialog yang mengungkapkan keilmuan, kebesaran kedudukan, akhlak dan kesetiaan kedua belah pihak kepada kebenaran, pada akhir dialog Syeikh Salim Bishri menyatakan, "Sehingga telah berlalu kesamaran, dan telah jelas kebenaran dari campurannya, serta telah tampak waktu subuh bagi orang yang mempunyai dua mata. Segala puji bagi Allah atas petunjuk-Nya kepada agama-Nya, dan atas taufik seruan-Nya kepada-Nya melalui jalan-Nya. Serta salawat dan salam semoga Allah limpahkan kepadanya dan kepada keluarganya."[135]

4. Syeikh Muhammad Abu Rayah. Seorang ulama dan penulis Mesir. Dia mempunyai banyak kitab dan karya, di antaranya ialah, kitab Adhwa' 'ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah dan kitab Abu Hurairah Syeikh al-Mudhirah.

5. Pengacara Ahmad Husain Ya'qub. Dia seorang penulis Yordania yang menjadi Syi'ah. Dia mempunyai kitab yang berjudul Nazhariyyah 'Adalah ash-Shahabah dan kitab al-Khuthath as-Siyasiyyah li Tawhid al-Ummah al-hlamiyyah.

6. Doktor at-Tijani as-Samawi. Dia seorang Tunisia yang menjadi Syi'ah. Dia mempunyai sekumpulan kitab, yang di antaranya ialah, kitab Tsumma Ihtadaitu (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Akhirnya Kutemukan Kebenaran" penerj.), kitab Li akuna Ma'a ash-Shadiqin (juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Bersama Orang-Orang Yang Benar" —penerj.), kitab Fas'alu Ahla adz-Dzikr dan kitab asy-Syi 'ah Hum Ahlus Sunnah.

7. Seorang penulis dan sekaligus redaktur, Sayyid Idris al-Husaini, yang berasal dari Maroko. Dia mempunyai kitab yang masih berupa transkrif yang berjudul Laqad Tasyayya'ani al-Husain, kitab al-Khilafah al-Mughtashabah dan kitab Hakadza 'Araftu asy-Syi'ah.

8. Sha'ib Abdul Hamid. Dia mempunyai kitab yang berjudul Manhaj fi al-Intima' al-Madzhabi.

9. Sa'id Ayub. Dia mempunyai kitab yang berjudul 'Agidah al-Masih ad-Dajjal. Di dalam permulaan kitabnya dia mengatakan, "Di dalam pembahasan niscaya Anda mendapati saya berusaha melenyapkan berbagai timbunan yang menutupi kebenaran, sehingga kebenaran menjadi jelas di hadapan mata dan akal. Yaitu berbagai timbunan yang telah diletakkan oleh guru-guru kegelapan selama sepanjang sejarah manusia. Ketika saya memegang cangkul untuk menghilangkan berbagai rintangan yang menyesatkan, saya mempunyai sarana yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan ini."[136] Dia mempunyai juga kitab Ma'alim al-Fitan, yang terdiri dari dua juz.

10. Seorang penulis Mesir yang bernama Shalih al-Wardani. Dia mempunyai kitab yang berjudul al-Khuda'ah (Rekayasa), Rihlati Min as-Sunnah Ila asy-Syi'ah (Perjalananku dari Ahlus Sunnah ke Syi'ah), Harakah Ahlul Bait as, asy-Syi'ahfi Mishr (Syi'ah di Mesir), dan 'Aga'id as-Sunnah wa 'Aqa'id asy-Syi'ah (Akidah Syi'ah dan Ahlus Sunnah).

11. Seorang penulis Mesir yang bernama Muhammad Abdul Hafidz. Dia mempunyai kitab yang berjudul Limadza Ana Ja'fari (Kenapa Saya bermazhab Ja'fari).

12. Seorang penulis Sudan, yaitu Doktor Sayyid Abdul Mun'im Muhammad al-Hasan. Dia mempunyai kitab yang berjudul Bi Nur Fathimah Ihtadaitu (Dengan Cahaya Fatimah Saya Mendapat Petunjuk).

13. Syeikh Abdullah Nashir dari Kenya. Dia menjadi Syi'ah setelah sebelumnya menjadi salah seorang Syeikh Wahabi. Dia mempunyai berbagai kitab di dalam masalah ini, di antaranya ialah, asy-Syi'ah wa al-Qur'an, asy-Syi'ah wa al-Hadits, asy-Syi'ah wa ash-Shahabah, asy-Syi'ah wa at-Taqiyyah dan asy-Syi'ah wa al-Imamah.

14. Yang mulia al-'Alim al-Khathib al-Munadzir Sayyid Ali al-Badri. Dia mempunyai jasa yang besar di dalam menyebarkan mazhab Ahlul Bait as setelah menjadi Syi'ah. Dia berkeliling dunia melakukan berbagai dialog. Lalu hasil-hasil dialognya itu dia bukukan ke dalam kitab besar, yang sedang dalam proses pencetakan, dengan judul Ahsan al-Mawahib fi Haqa'iq al-Madzahib.

15. Seorang penulis dari Syiria yang bernama Sayyid Yasin al-Ma'yuf al-Badrani. Dia mempunyai sebuah kitab dengan judul Ya Laita Qawmi Ya'lamun.


Contoh-Contoh Dari Penyelewengan Yang Dilakukan Para Penulis

Seluruh kitab yang memberi jawaban terhadap Syi'ah tidak dimaksudkan kecuali untuk menyerang, mencemarkan, memalsukan dan menyebarkan tuduhan dan kebohongan. Di samping di dalam men-jawab keyakinan-keyakinan Syi'ah mereka bersandar kepada kitab-kitab Ahlus Sunnah. Yang demikian ini bukanlah sesuatu yang objektif di dalam berdialog dan berargumentasi.

Syeikh al-Mudzaffar berkata mengenai hal ini, "Ketahuilah, sesungguhnya tidak dibenarkan berargumentasi terhadap lawan kecuali dengan menggunakan argumentasi yang menjadi hujjah atasnya. Oleh karena itu, Anda dapat melihat penulis —Allamah al-Hilli— dan yang lainnya manakala mereka menulis argumentasi atas Ahlus Sunnah mereka selalu menyebut hadis-hadis mereka, bukan hadis-hadis kita. Sementara mereka (Ahlus Sunnah) tidak berpegang kepada kaidah pembahasan dan tidak meniti jalan dialog sebagaimana yang semestinya."[137]

Mereka juga hanya memberi jawaban terhadap gambaran umum tentang keyakinan Syi'ah, dengan tanpa menjawab secara logis setiap bagian dari bagian-bagian mazhab Syi'ah. Sikap yang demikian ini tidaklah adil di dalam bab keamanahan ilmiah. Oleh karena itu, Anda mendapati Doktor Bashir al-Ghifari berkata di dalam mukaddimah bukunya yang berjudul Ushul Madzhab Syi'ah, halaman 15, ".. Karena sebagian keyakinan ada yang cukup untuk mengetahuinya hanya dengan semata-mata mengemukakannya. Oleh karena itu, Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa penggambaran mazhab yang batil telah cukup untuk menerangkan kebatilan mazhab tersebut, dan tidak diperlukan dalil yang lain yang mengiringi penggambaran tersebut."

Jika apa yang dikatakannya itu benar, maka mau tidak mau seseorang yang menggambarkan suatu akidah harus mengimani dan mempercayai akidah tersebut, sehingga dia mempunyai kebebasan yang cukup di dalam menjelaskan keyakinan-keyakinannya. Sungguh merupakan sebuah kezaliman manakala suatu pihak masuk untuk menggambarkan keyakinan-keyakinan pihak lain dengan gambaran yang paling buruk. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah adalah merupakan suatu bentuk pembodohan terhadap pengikut-pengikutnya, manakala mereka menggambarkan mazhab-mazhab yang bertentangan dengan mereka dengan gambaran sebagai mana yang mereka kehendaki. Jika ini cukup untuk menjadi hujjah, maka tentu seorang kafir yang hidup di Eropa yang mempunyai pandangan yang buruk tentang Islam, sebagai akibat dari gambaran yang diberikan oleh kalangan orientalis dan para musuh agama, tentu mereka termaafkan. Sungguh, ucapannya ini lemah, dan metodeloginya salah, sehingga tidak dapat digunakan untuk berargumentasi. Namun sayangnya memang inilah watak dan kebiasaan mereka. Berikut ini kami ketengahkan beberapa contoh penyimpangan dan penyelewengan:

1. Kitab Ushul Madzhab 'ala asy-Syi'ah. Karya Dr. Nashir Abdullah al-Ghifari, yang merupakan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor, dari Universitas Muhammad bin Su'ud al-Islamiyah, dan dia memperoleh peringkat Summa Cumlaude. Kebohongan-Kebohongannya Atas Syi'ah:

a. Dia mengatakan, "Jadi, Syi'ah memerangi Sunah. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah dinamakan dengan nama ini disebabkan mereka mengikuti sunah al-Musthafa saw."[138] Kemudian, setelah itu dia berusaha mengeluarkan riwayat-riwayat Syi'ah yang mewajibkan untuk mengikuti sunah. Dia berkata, "Hanya saja seseorang yang mempelajari nas-nas Syi'ah dan riwayat-riwayatnya, terkadang dia sampai kepada kesimpulan bahwa Syi'ah secara zahir mengakui sunah namun secara batin mengingkarinya. Karena sebagian besar dari riwayat-riwayat dan perkataan-perkataan mereka mengarah menjauhi sunah sebagaimana yang dikenal oleh kaum Muslimin, baik dari segi pemahaman, penerapan, sanad dan matan."[139]

Adapun perkataannya yang mengatakan bahwa Syi'ah memerangi sunah, tidaklah pada tempatnya. Karena kitab-kitab hadis yang ada pada Syi'ah berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah. Bahkan, riwayat-riwayat yang ada di dalam kitab al-Kafi saja melebihi riwayat-riwayat yang terdapat di dalam kitab sahih yang enam (ash-Shihah as-Sittah). Apalagi bila ditambah dengan beberapa ensiklopedia hadis seperti Bihar al-Anwar yang mencapai 110 jilid.

Jika Syi'ah memerangi sunah, lantas untuk apa semua ensiklopedia hadis ini?
Atau, apa yang dimaksud dengan sunah olehnya?
Apakah yang dimaksud adalah riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh Ahlus Sunnah di dalam kitab-kitab sahih mereka?

Jika benar, maka ini merupakan hujjah bagi mereka namun tidak bagi Syi'ah.

Adapun perkataannya yang mengatakan, "Sesungguhnya sebagian besar riwayat-riwayat dan perkataan-perkataan mereka mengarah menjauhi sunah sebagaimana yang dikenal oleh kaum Muslimin..." adalah perkataan yang aneh. Karena, jika mereka sejak awal sepakat dengan Ahlus Sunriah di dalam hadis-hadis, baik dari segi sanad, matan, penerapan dan pemahaman, maka tentu tidak ada alasan untuk berbeda dan berselisih. Syi'ah mengimani sunah Rasulullah saw dan berpegang teguh kepadanya. Pemonopolian Ahlus Sunnah terhadap sunah Rasulullah saw adalah sesuatu yang tidak adil.

Kemudian yang kedua, apakah Anda dan kaum Anda merupakan sumbu agama, sehingga Anda berhak mengukur segala sesuatu dengan diri Anda?! Keadilan manakah yang mengiyakan perkataan yang seperti ini.

b. Penyelewengannya terhadap kebenaran, dengan cara menukil nas-nas yang dipotong, sehingga merubah arti. Pada akhir mukaddimahnya dia mengatakan, "Saya bertekad untuk menukil huruf demi huruf, dengan tujuan untuk menjaga objektifitas dan pentingnya ketelitian di dalam penukilan. Ini merupakan keharusan metodelogi ilmiah di dalam menukil perkataan pihak lawan."

Apakah tuan Doktor berpegang teguh kepada apa yang dikatakannya?

▪ Di dalam halaman 252, juz 2, di dalam perkataannya tentang "melihat Allah" dia menyebutkan sebuah hadis dari Ibnu Babawaih al-Qummi, dari Abi Bashir, dari Abi Abdillah as. Abi Bashir berkata, "Saya berkata kepadanya, 'Beritahukan aku tentang Allah Azza Wajalla, apakah orang-orang Mukmin akan melihat-Nya pada hari kiamat?'

Abi Abdillah as menjawab, 'Ya.'"

Dia menukil riwayat ini dari kitab at-Tawhid, halaman 117, namun dia tidak menyebutkan riwayat secara sempurna, sehingga merubah arti sama sekali. Berikut ini kami ketengahkan riwayat tersebut secara sempurna, dan silahkan Anda sendiri menilai.

Abi Bashir berkata, "Saya berkata kepadanya, 'Beritahukan aku tentang Allah Azza Wajalla, apakah orang-orang Mukmin akan melihat-Nya pada hari kiamat?'

Abi Abdillah as menjawab, 'Ya. Bahkan mereka telah melihatNya sebelum hari kiamat.'

Saya bertanya, 'Kapan?'

Abi Abdillah as menjawab, 'Ketika Allah SWT berkata kepada mereka, 'Bukankah Aku ini Tuhanmu.' Lalu mereka menjawab, 'Benar, Kamu adalah Tuhan kami.'

Kemudian Imam as diam beberapa saat, lalu melanjutkan perkataannya, 'Sesungguhnya orang-orang Mukmin pasti melihat Allah di dunia, sebelum hari kiamat. Bukankah kamu sedang melihat-Nya pada waktu sekarang?'

Abi Bashir berkata, 'Saya menjadi tebusan Anda, apakah boleh saya ceritakan tentang hal ini dari Anda.'

Abi Abdillah as menjawab, 'Tidak. Karena jika kamu menceritakannya, maka pengingkar yang bodoh akan mengingkari makna yang kamu katakan, dan akan menganggapnya bahwa itu tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya). Padahal, penglihatan dengan hati bukanlah sebagaimana penglihatan dengan mata. Mahasuci Allah dari apa-apa yang disifatkan oleh orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan oleh orang-orang yang mengingkariNya."'

Anda dapat melihat betapa perbedaan di antara arti yang pertama dengan arti yang kedua. Bahkan, arti yang pertama, berdasarkan teks riwayat, seluruhnya berasal dari ucapan para musyabbihin dan mulhidin.

Kenapa dia tidak menukil perkataan Imam Muhammad al-Baqir as tatkala dia ditanya oleh seorang Khawarij. Orang khawarij berkata, "Wahai Abu Ja'far, apa yang kamu sembah?"

Imam Muhammad al-Baqir as menjawab, "Allah."

Orang khawarij itu bertanya lagi, "Apakah kamu telah melihat-Nya?"

Imam Muhammad al-Baqir as menjawab, "Tentu, akan tetapi bukan dengan penglihatan mata, melainkan dengan hakikat iman. Dia tidak dikenal melalui "qiyas, dan tidak dipahami melalui indera. Dia digambarkan melalui ayat-ayat, dan dikenal melalui dalil-dalil. Tidak ada penyimpangan di dalam hukum-Nya. Dia itulah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia."[140]

▪ Salah satu bukti lain dari pemotongan riwayat yang dia lakukan ialah perkataannya tentang kaifiyyah (keadaan) Allah. Dia menukil sebuah riwayat dari kitab Bihar al-Anwar, yaitu riwayat dari Abi Abdillah Ja'far ash-Shadiq yang mengatakan bahwa Imam Ja'far ash-Shadiq as ditanya tentang Allah SWT, "Apakah Allah dapat dilihat pada hari kiamat?"

Imam Ja'far ash-Shadiq as menjawab, "Mahasuci Allah dari yang demikian itu. Dia Mahatinggi dan Mahabesar. Sesungguhnya penglihatan tidak dapat menggapai sesuatu kecuali yang mempunyai warna dan kaifiyyah, sedangkan Allah SWT adalah pencipta warna dan kaifiyyah."[141]

Nashir Abdullah al-Ghifari memberikan komentar mengenai hal ini, "Tampak sekali bahwa hujjah yang digunakan oleh mereka, yang meletakkan riwayat ini atas Ja'far, mengandung penafian wujud al-Hak. Karena sesuatu yang secara mutlak tidak memiliki kaifiyyah tidak ada wujudnya."[142] Pertama-tama, kita akan memberikan komentar atas kaidah yang dia katakan, dan kemudian baru kita menyebutkan bukti pemotongan di dalam hadis.

Dia mengatakan, "Sesuatu yang secara mutlak tidak memiliki kaifiyyah tidak ada wujudnya".

Dia menyebutkan kaidah ini —yang merupakan sebuah kaidah yang aneh— sebagai lawan dari hadis Imam Ja'far ash-Shadiq as di atas. Sungguh, akal yang tidak yang diterangi dengan riwayat Ahlul Bait, dan malah terdidik dengan riwayat-riwayat Ka'ab al-Ahbar dan Wahab bin Manbah, tidak dapat memahami hadis-hadis Ahlul Bait.

Apa yang dimaksud dengan kata-kata "secara mutlak" olehnya. Apakah artinya sesuatu yang tidak memiliki kaifiyyah dari seluruh magulat al-kaif (kategori keadaan)?

Jika yang dia maksud adalah ini, maka benar bahwa Allah SWT keluar dari maqulat al-kaif. Dia tidak diliputi oleh pertanyaan di mana, arah mana atau tempat apa. Barangsiapa yang mengatakan Allah SWT berbentuk dengan salah satu kategori keadaan atau bentuk sebagaimana yang dikenal, maka dia telah kafir, dan telah mensifati Allah dengan sifat-sifat materi. Karena kaifiyyah (bentuk) adalah termasuk keharusan jisim dan keterbatasan, sedangkan Allah SWT tidak terbatas dan bukan materi. Inilah kesalahan saudara penulis. Tatkala dia membayangkan Allah SWT dengan bercorak dengan satu keadaan, maka ini kembali kepada pemahamannya yang bersifat inderawi. Dia tidak mampu memahami sesuatu kecuali dalam batas-batas inderawi, oleh karena itu dia mengingkari wujud setiap maujud yang keluar dari kerangka kaif.

Atau, mungkin yang dimaksud olehnya adalah kaif yang keluar dari maqulat al-kaif (kategori keadaan) yang sudah dikenal, maka ini tidak dinamakan kaif, sehingga dengan begitu perkataannya tidak mengena.

Kemudian dia menyebutkan sebagian riwayat, untuk menguatkan perkataannya dan sekaligus untuk membuktikan pertentangan yang terjadi di dalam riwayat-riwayat Syi'ah. Dia berkata, "Sebagaimana hadis ini bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh penulis al-Kafi, dari Abi Abdillah as yang berkata, '... namun mau tidak mau kita harus membuktikan bahwa Dia mempunyai kaifiyyah yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya, tidak ada sesuatu selain Dia yang meliputinya, dan tidak ada yang mengetahuinya selain Dia.'"[143]

Berikut ini kami nukilkan riwayat tersebut secara keseluruhan, supaya terbukti bagi Anda sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dia katakan, Seorang penanya berkata, "Anda telah membatasi-Nya jika Anda menetapkan wujud-Nya." Abu Abdillah as berkata, "Aku tidak membatasi-Nya melainkan aku menetapkan-Nya. Karena tidak ada kedudukan di antara penafian dan penetapan." Penanya bertanya lagi, "Apakah Dia mempunyai esensi?" Abu Abdillah as menjawab, "Ya, karena tidak tertetapkan sesuatu kecuali dengan esensi. Mau tidak mau kita harus keluar dari penghentian (ta'thil) dan penyerupaan (tasybih). Karena barang siapa yang menafikan-Nya maka berarti dia telah mengingkari-Nya dan meniadakan ke-rububiyyahan-Nya. Dan barang siapa yang menyerupakan-Nya dengan sesuatu selain-Nya maka berarti dia telah menetapkan-Nya dengan sifat-sifat makhluk yang tidak layak menyandang sifat ketuhanan. Namun, mau tidak mau harus ditetapkan bahwa Dia mempunyai kaifiyyah yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya, yang tidak ada sesuatu selain-Nya yang meliputinya dan tidak ada yang mengetahuinya selain-Nya."[144]

Baca dan renungilah makna yang dapat diambil dari riwayat ini. Sungguh dia berbeda sama sekali dengan apa yang dikatakan oleh Nashir Abdullah al-Ghifari yang mengatakan, "Sesuatu yang secara mutlak tidak mempunyai kaifiyyah, berarti tidak ada wujudnya." Perkataan Imam kepada penanya yang menanyakan "Apakah Dia mem-punyai kaifiyyati', dan Imam menjawab, "Tidak", adalah merupakan jawaban atas kaidah yang dilandasi dengan hadis yang dipotong. Kaifiyyah yang dimaksud dan diyakini oleh penulis adalah kaifiyyah yang termasuk ke dalam sifat-sifat maudhu'. Imam as telah mensucikan Allah dari sifat-sifat yang demikian dengan jawaban yang di-berikannya kepada penanya, "Karena kaifiyyah adalah sisi sifat dan keterliputan." Yang demikian ini tidak berlaku atas Allah SWT. Sedangkan kaifiyyah yang dikatakan oleh Imam as pada akhir hadis, "kaifiyyah yang tidak ada yang berhak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada sesuatu yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya..." adalah kaifiyyah yang kalau pun dinamakan dengan nama kaifiyyah, itu adalah hanya semata-mata kiasan, disebabkan kekurangan kata-kata bahasa. Dan dia tidak dinamakan dengan sebutan kaifiyyah kecuali semata-mata termasuk ke dalam bab persekutuan kata (al-isytirak al-lafdzi), sehingga dia sama dari sisi kata namun berbeda dari sisi arti.

Riwayat ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Babawaih al-Qummi dengan sanad dan matan yang sama, "... namun mau tidak mau harus ditetapkan bahwa Dia adalah Zat yang tidak ber-kaifiyyah, yang tidak layak atasnya selain dari-Nya, yang tidak ada yang bersekutu dengan-Nya di dalamnya, yang tidak ada sesuatu selain Dia yang meliputinya, dan yang tidak ada yang mengetahuinya selain Dia."[145]

Riwayat ini menghilangkan kesamaran dan menjelaskan seluruh yang dimaksud. Yaitu menafikkan seluruh kaifiyyah. Karena menetapkan kaifiyyah untuk Allah SWT adalah perbuatan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Adapun yang dimaksud darinya ialah menetapkan seluruh sifat-sifat kesempurnaan-Nya, dan itu adalah Zat-Nya itu sendiri.


2. Ihsan Ilahi Zahir.

Dia termasuk salah seorang penulis yang amat memusuhi Syi'ah. Dia mempunyai sejumlah buku jawaban atas Syi'ah, dan saya mempunyai empat buku darinya:
- Asy-Syi'ah wa as-Sunnah.
- Asy-Syi'ah wa Ahlul Bait.
- Asy-Syi'ah wa al-Qur'an.
- Asy-Syi'ah wa at-Tasyayyu'.

Dia telah menggunakan seluruh kemampuannya untuk menjawab dan menyerang pemikiran-pemikiran Syi'ah. Alangkah indahnya jika sekiranya dia bersikap bersih, jujur dan santun. Dia telah membuat kebohongan-kebohongan atas Syi'ah sedemikian rupa sehingga menjadikan anak-anak menjadi beruban dan orang-orang dewasa menjadi tua renta. Saya mengajak seluruh orang yang berakal lurus untuk membaca buku-bukunya, lalu silahkan menilai metode yang digunakannya, kemudian melihat kebohongan-kebohongannya, dan berikutnya menyaksikan pemalsuannya, setelah sebelumnya terlebih dahulu merujuk kepada buku-buku Syi'ah yang berbicara tentang topik pembahasan yang sama.

Di sini saya cukup kan dengan menyebutkan beberapa bukti. Karena tidak diperlukan jawaban dan pembahasan secara rinci. Sebelum saya menjeleskan berbagai pemalsuan yang dilakukannya terhadap ke-benaran, terlebih dahulu saya akan memberikan dua catatan singkat tentang cara penjelasan dan metode penyampaian pikiran yang dilakukannya:

a. Catatan Pertama: Di dalam menjelaskan dan mengemukakan keyakinan-keyakinan Syi'ah dia bertumpu kepada cara-cara yang tidak layak dan dengan menggunakan judul-judul yang menjijikkan, sehingga dengan begitu dia menciptakan tabir pemisah di antara pembaca dengan keyakinan-keyakinan Syi'ah. Seharusnya dia mengikuti cara-cara yang sehat di dalam menjawab, yaitu dengan pertama-tama menyebutkan keyakinan-keyakinan Syi'ah, lalu menyebutkan dalil-dalil mereka serta menjawab dalil-dalil yang mereka kemukakan, dan berikutnya kemudian berargumentasi atas keyakinan yang dimilikinya.

Sebagai contoh, dia mengatakan di dalam bukunya asy-Syi 'ah wa as-Sunnah, halaman 53, di bawah judul "Masalah al-Bada", "Salah satu dari pemikiran yang disebarkan oleh orang-orang Yahudi dan Abdullah bin Saba ialah berlakunya al-bada, yaitu lupa dan kebodohan pada Allah SWT. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka katakan."

Kemudian, Dia menyebutkan riwayat-riwayat dari kitab-kitab Syi'ah mengenai seputar al-bada, dengan tanpa menyebutkan dalil-dalil yang dikemukakan Syi'ah tentang al-bada, baik yang berasal dari Al-Qur'an, riwayat-riwayat Bukhari dan Muslim, perkataan-perkataan para ulama Ahlus Sunnah dan akal; dan dengan tanpa menjelaskan bagaimana pemahaman Syi'ah tentang al-bada, melainkan dia justru mendefenisikannya sendiri dengan menyebutnya sebagai "bodoh dan lupa". Lalu, dengan berpijak kepada defenisi yang salah ini, dia mulai memberikan penafsiran kepada riwayat-riwayat Syi'ah yang berbicara tentang al-bada. Hal yang sama pun dia lakukan terhadap masalah tagiyyah. Dia menyebutkannya di dalam halaman 127, di bawah judul "Syi'ah dan Kebohongan". Dia memulai perkataannya, "Syi'ah dan kebohongan tidak ubahnya seperti dua kata yang searti (sinonim), yang tidak ada perbedaan sedikit pun di antara keduanya. Keduanya saling bertalian sejak hari pertama didirikannya mazhab ini. Tidaklah permulaan mazhab ini melainkan dimulai dari kebohongan dan dengan kebohongan..."

Kemudian dia berdalih, "Oleh karena Syi'ah merupakan produk kebohongan, maka mereka pun memberi warna pensucian dan pengagungan terhadap kebohongan, dan menamakannya bukan dengan namanya, melainkan dengan menggunakan kata "taqiyyah" untuk menyebutnya.."

Demi Allah, saya bertanya kepada Anda, hai Ihsan Ilahi Zahir, cara apakah ini yang Anda gunakan di dalam pembahasan ilmiah ini. Ini tidak lain semata-mata hanya penyerangan dan pengolok-olokkan. Bagaimana bisa dia menafsirkan tagiyyah dengan kebohongan? Padahal Al-Qur'an sendiri telah menggunakan kata ini. Allah SWT berfirman,

"Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat memelihara diri (taqiyyah) dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. " (QS. Ali Imran: 28)

Sementara pada ayat yang lain Al-Qur'an al-Karim menyebutnya secara makna,

"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman." (QS. an-Nahl: 106)

Tagiyyah, ialah berarti menyembunyikan keimanan dan menampakkan kebalikannya, manakala seseorang mengkhawatirkan atas dirinya, hartanya dan kehormatannya. Dan ini merupakan sesuatu yang tidak dipermasalahkan oleh seorang Muslim pun. Karena orang yang dipaksa tidak dihisab atas sesuatu yang dipaksakan atasnya. Bahkan terkadang seseorang wajib melakukan taqiyyah manakala jika dia tidak melakukan taqiyyah hal itu akan membahayakan orang lain atau membahayakan kepentingan agama. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang Mukmin keluarga Fir'aun. Karena, pada keadaan terpaksa hukum tidak berlaku atas maudhu' (objek hukum).

Allah SWT berfirman, "Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang." (QS. al-Baqarah: 173)

Apa yang disampaikan oleh Ihsan Ilahi Zahir dalam masalah ini tidak lain hanyalah merupakan rekayasa dan tipu muslihat yang licik. Dia menjelaskan tagiyyah dengan kebohongan, dan kemudian menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang tidak diragukan. Ketika pengertian yang disampaikannya ini tertanam di dalam benak pembaca, dengan segera dia membanjiri para pembaca dengan riwayat-riwayat Syi'ah yang berbicara tentang taqiyyah.

Sehingga dengan demikian, pembaca meletakkan kata "bohong" pada tempat kata "taqiyyah". Sehingga dengan begitu pembaca akan keluar dengan makna-makna yang menjadikannya benci dari segala sesuatu yang dikatakan Syi'ah.

Saya tidak sedang menolak atau membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh Syi'ah, karena dia —Ihsa Ilahi Zahir— bukan-lah seorang ahli diskusi dan argumentasi. Dia tidak menyebutkan satu pun argumentasi yang menentang, sehingga perlu untuk dijawab. Yang menjadi fokus perhatian kita ialah hanya metode penyampaiannya saja.

b. Catatan Kedua: Tidaklah logis jika sekiranya Anda memperolok-olok dan menghakimi keyakinan orang, hanya karena semata-mata keyakinannya itu bertentangan dengan keyakinan-keyakinan Anda. Namun sungguh amat disayangkan, itulah metode dia dan metode penulis-penulis lainnya. Mereka mengatakan, segala sesuatu yang berbeda dengan kita adalah salah. Salat mereka tidak sama dengan salat kita, puasa mereka berbeda dengan salat kita, dan zakat mereka tidak sama dengan zakat kita.

Seolah-olah mereka adalah sumbu agama dan para pemimpin kaum Muslimin, yang mau tidak mau segala sesuatu harus berputar di sekelilingnya. Mereka melanggar kaidah yang mengatakan, "Kita senantiasa bersama dalil, kami condong ke mana pun dalil condong."

Ini bertentangan dengan metode yang digunakan oleh Al-Qur'an di dalam melakukan pembahasan dan dialog ilmiah, yang mengakui kedua belah pihak. Allah SWT dan Rasul-Nya tahu bagaimana berbicara kepada orang-orang kafir dan orang-orang musyrik.

Allah SWT berfirman, "Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. " (QS. Saba: 25)

Perhatikanlah perlakuan santun yang indah ini. Al-Qur'an tidak mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya kami berada dalam kebenaran sedangkan kamu berada dalam kesesatan. Melainkan Al-Qur'an mengatakan, apakah kami atau kamu berada dalam kebenaran atau kebatilan. Inilah metode al-Qur'an tatkala menawarkan kebebasan berdialog kepada semua, "Katakanlah, 'Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.'" (QS. al-Baqarah: 111)

Rasulullah saw mendengarkan argumentasi-argumentasi mereka dan menjawabnya dengan cara yang paling bagus. Al-Qur'an al-Karim telah merekam contoh yang banyak, baik yang bersama Rasulullah saw maupun yang bersama para Nabi sebelumnya. Di dalam kisah Ibrahim dan Namrud, serta Musa dan Fir'aun terdapat sebaik-baiknya pelajaran. Allah SWT merekam hujjah dan argu-mentasi orang-orang di dalam Al-Qur'an-Nya, dan Dia tetap mem-berikan kesucian kepada ayat-ayat yang merekamnya sebagaimana kepada ayat-ayat lainnya. Seorang Muslim tidak boleh menyentuhnya dengan tanpa wudu, berdasarkan fiqih Syi'ah.

Kemana Ihsan Ilahi Zahir dan orang-orang yang sepertinya dari menggunakan metode Al-Qur'an yang indah ini. Dia bangga dengan dirinya dan kelompoknya sambil mengatakan, "Kamilah para pembaca Al-Qur'an yang membacanya sepanjang malam dan siang."[146]

Apa faedah orang yang membaca Al-Qur'an namun tidak mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengambil pelajaran yang dapat membukakan jalan baginya di dalam kehidupan, serta bertanya kepadanya bagaimana memperlakukan orang lain yang menentang dirinya di dalam masalah akidah dan mazhab. Sungguh benar Imam Ali tatkala mengatakan, "Betapa banyak orang yang membaca Al-Qur'an namun Al-Qur'an melaknatnya.

Contoh-Contoh Dari Pemalsuan Ihsan Ilahi Zahir

▪ Dia menukil di dalam kitabnya asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, halaman 40, sebuah teks dari Imam Ali as di dalam kitab Nahjul Balaghah, untuk membuktikan bahwa Imam Ali as mengakui syura dan tidak mengakui nas, dan bahwa syura orang-orang Muhajir dan orang-orang Anshar adalah diridai oleh Allah, serta kepemimpinan tidak dapat terlaksana dengan tanpa mereka. Ini merupakan kesimpulan yang dia ambil dari teks Imam Ali as, dan sebagaimana yang Anda ketahui ini jelas-jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Syi'ah. Berikut ini teks yang menjadi tempat dia mengambil kesimpulan di atas,

"Adapun hak musyawarah hanyalah bagi kelompok Muhajirin dan Anshar. Bila mereka telah sepakat memilih seseorang dan menamakannya sebagai Imam, maka yang demikian itulah yang diridai Allah SWT. Dan bila setelah itu ada orang yang keluar dari kesepakatan dengan tidak mengakuinya lalu menimbulkan kekacauan, maka mereka itu akan memaksanya agar kembali. Dan bila dia menolak, mereka pun akan memeranginya atas dasar penyimpangan dari jalan kaum Mukmin, sementara Allah akan memusuhi selama dia berpaling."

Setelah saya merujuk kepada sumber rujukan, tampak jelas bahwa laki-laki ini tidak jujur di dalam penukilannya. Dia hanya mengambil bagian tengah perkataan yang diinginkannya dan meninggalkan bagian awal dan akhirnya, sehingga dengan begitu dia memalsukan dan menyelewengkan kebenaran dan fakta.

Berikut ini teks yang berubah pemahamannya secara keseluruhan. Apa yang dikatakan oleh Imam Ali as ini adalah termasuk bab memaksa lawan dengan apa yang telah mereka paksakan untuk diri beliau. Ini merupakan kutipan surat Imam Ali as yang ditujukan kepada Muawiyah,

"Sesungguhnya aku telah dibaiat oleh orang-orang yang sebelumnya telah membaiat Abu Bakar, Umar dan Usman atas dasar yang sama seperti rnereka itu. Maka tiada lagi pilihan lain bagi yang hadir, dan tiada lagi hak menolak bagi yang tidak hadir. Adapun hak musyawarah hanyalah bagi kelompok Muhajirin dan Anshar. Bila mereka telah sepakat memilih seseorang dan menamakannya Imam, maka yang demikian itulah yang diridai Allah SWT. Dan bila setelah itu ada orang yang keluar dari kesepakatan dengan tidak mengakuinya lalu menimbulkan kekacauan, maka mereka itu akan memaksanya agar kembali. Dan bila dia menolak, mereka pun akan memeranginya atas dasar penyimpangannya dari jalan kaum Mukmin, sementara Allah akan memusuhinya selama dia berpaling.

Demi Allah, wahai Muawiyah, sekiranya Anda melihat dengan mata hati, bukannya dengan hawa nafsu, niscaya akan Anda sadari bahwa aku adalah yang paling tidak berdosa dalam soal pembunuhan terhadap Usman. Dan Anda pasti akan merasa yakin bahwasannya aku berada jauh dari itu. Kecuali Anda memang sengaja ingin melekatkan kejahatan pada seseorang yang tidak melakukannya. Maka perbuatlah apa saja yang Anda ingin perbuat. Wassalam."[147]

Amirul Mukminin as berhujjah atas Muawiyah dengan hujjah yang sama yang diajukan oleh Muawiyah dan para pengikutnya pada saat berhujjah mengenai keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Imam Ali as memaksa Muawiyah dengan hujjah yang sama sebagaimana yang pernah diajukan oleh Muawiyah. Imam Ali as berkata, Jika baiat para khalifah sebelumku itu sah, maka demikian pula bait kepadaku. Manusia telah membaitku, dan tidak ada jalan bagi seseorang untuk mengingkarinya setelah itu. Seseorang yang menyaksikan baiat tiada lagi mempunyai hak untuk memilih, sebagaimana yang telah terjadi di dalam pembaiatan Umar, setelah Abu Bakar menentukannya. Mereka tidak mempunyai hak memilih setelah Abu Bakar menentukannya. Serta orang yang tidak hadir tidak bisa menolak, sebagaimana Imam as tidak bisa menolak pembaiatan Abu Bakar di Saqifah. Karena pembaiatan itu dilakukan secara tersembunyi. Inilah musyawarah sebagaimana yang Anda dengung-dengungkan. Baik itu pada kepemimpinan Abu Bakar, Umar maupun Usman. Itulah keridaan Allah sebagaimana yang Anda katakan. Maka tidak boleh seseorang keluar dari kesepakatan itu, karena jika tidak maka mereka akan memaksanya untuk kembali, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap orang-orang yang menahan zakat manakala mereka tidak mau membayarkan zakat kepada Abu Bakar, karena dia bukan merupakan khalifah yang sah dalam pandangan mereka. Kamu tidak mempunyai jalan untuk lari, wahai Muawiyah, karena orang-orang telah sepakat membaiatku. Kecuali jika Anda memang sengaja ingin melekatkan kejahatan kepada orang yang tidak melakukannya. Maka perbuat lah apa saja yang Anda ingin perbuat.

Inilah arti yang dapat disimpulkan dari serangkaian kalimat di atas, namun ini tidak sejalan dengan hawa nafsu Ihsan Ilahi Zahir.

▪ Dia menyebutkan di dalam bukunya sebuah hadis yang dinisbahkan kepada Imam Hasan al-Askari yang berkata, "Sesungguhnya seseorang yang membenci keluarga Muhammad, dan para sahabatnya yang baik-baik, atau salah seorang dari mereka, niscaya Allah SWT akan mengazabnya dengan sebuah azab, yang kalau sekiranya azab itu dibagi-bagi sebanyak bilangan makhluk Allah, maka akan membi-nasakan seluruh mereka."[148]

Kemudian Ihsan Ilahi Zahir melanjutkan, "Oleh karena itu, datuk besarnya, Ali bin Musa, yang dijuluki dengan sebutan arRidha -Imam yang kedelapan di kalangan Syi'ah— manakala ditanya tentang sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Sahabat-sahabatku laksana bintang gemintang, maka siapa saja dari mereka yang kamu ikuti pasti kamu mendapat petunjuk", dan juga tentang sabdanya yang berbunyi, "Seru para sahabatku untukku", dia menjawab, "Ini benar."[149]

Dia ingin berargumentasi dengan hadis ini bahwa pandangan Ahlul Bait terhadap sahabat adalah pandangan yang mengakui keadilan para sahabat seluruhnya, sehingga dengan demikian Syi'ah tidak berhak mencela atau mengkritik seorang pun dari mereka, karena yang demikian itu berarti bertentangan dengan para Imam mereka.

Renungkanlah kebohongan yang jelas ini manakala saya nukilkan kepada Anda seluruh teks hadis di atas,

"Perawi berkata, 'Ayahku berkata kepadaku, 'Seseorang telah berkata, 'lmam Ali ar-Ridha telah ditanya tentang sabda Nabi saw yang berbunyi, 'Sahabat-sahabatku laksana bintang gemintang, maka siapa saja dari mereka yang kamu ikuti pasti kamu mendapat petunjuk", dan juga sabdanya saw yang berbunyi, 'Serulah para sahabatku untukku'. Imam ar-Ridha as menjawab, 'Hadis ini benar. Yang Rasulullah saw maksudkan adalah mereka yang tidak berubah sepeninggalnya.' Kemudian Imam ar-Ridha as ditanya lagi, 'Bagaimana Rasulullah saw tahu bahwa mereka akan berubah?' Imam ar-Ridha as menjawab, 'Berdasarkan apa yang telah mereka riwayatkan bahwa Nabi saw telah bersabda, 'Sekelompok orang dari sahabatku akan diusir dari telagaku pada hari kiamat, sebagaimana diusirnya sekelompok unta dari sumber air. Maka aku berkata, 'Ya Rabb, sahabatku, sahabatku.' Lalu aku dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu.' Maka mereka pun digiring ke arah utara. Lalu aku mengatakan, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku.'"[150]

Lihatlah pengkhianatan yang dia lakukan di dalam penukilan hadis, bagaimana dia mengubah pengertiannya secara keseluruhan.

Bukankah saya telah katakan kepada Anda bahwa dia (Ihsan Ilahi Zahir —penerj.) itu seorang pendusta?!

Perkataan Imam ar-Ridha as yang berbunyi "Berdasarkan apa yang telah mereka riwayatkan", yang dimaksud olehnya adalah apa yang diriwayatkan oleh para muhaddis dan para huffadz dari kalangan Ahlus Sunnah. Untuk membuktikan kebenaran perkataan Imam ar-Ridha as saya nukilkan bagi Anda beberapa riwayat yang terdapat di dalam Bukhari dan Muslim.

Bukhari meriwayatkan di dalam tafsir surat al-Maidah, bab "Wahai Rasul, Sampaikan Apa Yang Telah Diturunkan Kepadamu", dan di dalam tafsir surat al-Anbiya; sebagaimana juga diriwayatkan oleh Turmudzi di dalam bab sifat-sifat kiamat, bab "apa yang terjadi ber-kenaan dengan kebangkitan, dan juga tafsir surat Thaha, bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Didatangkan sekelompok orang dari umatku, lalu mereka digiring ke arah utara, maka aku berkata, 'Tuhanku, sahabatku, sahabatku', lalu dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu.' Maka aku berkata sebagaimana yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh, 'Saya menjadi saksi atas mereka selama saya berada di tengah-tengah mereka, dan tatkala Engkau wafatkan aku, maka Engkaulah pengawas atas mereka.' Kemudian dijawab, 'Sesungguhnya mereka berbalik ke belakang (murtad) sejak engkau berpisah dari mereka."'

Bukhari meriwayatkan di dalam kitab "ad-Da'wat", bab Haudh; serta Ibnu Majah di dalam kitab "al-Manasik", bab "Khutbah Pada Hari Menyembelih Kurban", hadis nomer 5830; sebagaimana juga Ahmad meriwayatkan di dalam musnadnya melalui berbagai jalan,

"Serombongan sahabatku mendatangiku di telaga. Hingga ketika aku mengenali mereka, mereka dihilangkan dariku, maka aku pun berkata, 'Sahabatku'. Lalu dijawab, 'Kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.'"

Di dalam Sahih Muslim, kitab al-Fadha'il, bab "Pembuktian Telaga Nabi Kita", hadis 40, disebutkan, "Sekelompok orang yang telah bersahabat denganku datang menemuiku di telaga. Hingga tatkala aku melihat mereka, mereka pun dipisahkan dariku, lalu aku berseru, 'Ya Tuhan, sahabatku.' Kemudian aku dijawab, 'Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.'"

Bukhari juga meriwayatkan, "Aku akan mendahului kalian di telaga haudh. Siapa yang berlalu dariku dia akan minum dan siapa yang telah minum tidak akan dahaga untuk selama-lamanya. Kelak ada sekelompok orang yang aku kenal dan mereka juga mengenalku datang kepadaku; kemudian mereka dipisahkan dariku. Aku akan berkata, 'Sahabatku, sahabatku.' Lalu dijawab, 'Kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.' Dan aku pun berkata, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku.'"

Jika tidak khawatir akan keluar dari topik pembahasan, niscaya saya akan berbicara secara panjang lebar tentang masalah ini.

Ya Ihsan Ilahi Zahir, jika Anda sanggup menjulurkan tangan Anda untuk menyelewengkan apa-apa yang terdapat di dalam hadis-hadis Syi'ah, namun Anda tidak akan bisa menyelewengkan apa-apa yang terdapat di dalam kitab-kitab sahihmu.

▪ Pada halaman 66, dari buku yang sama, Ihsan Ilahi Zahir menukil sebuah perkataan Imam Ali as dari kitab Nahjul Balaghah. Berikut ini apa yang dikutipnya,

"Tinggalkanlah aku, dan pergilah kepada orang lain selainku. Aku seperti salah seorang dari kamu. Mungkin aku akan mendengar dan mentaati kepada orang yang kamu serahkan urusanmu kepadanya. Aku menjadi pembantu (wazir) kamu, itu lebih baik bagimu dibandingkan aku menjadi pemimpinmu."

Ketika saya merujuk kepada sumber nas yang disebutkan, saya menemukan rekayasa dan tipu daya yang dilakukannya. Karena dia hanya mengambil permulaan dan akhir nas, dan membuang pertengahannya, sehingga dengan begitu maknanya menjadi berubah. Berikut ini saya nukilkan bagi Anda bunyi nas secara lengkap,

Imam Ali as berkata tatkala orang-orang hendak membaiatnya, setelah terjadi peristiwa pembunuhan Usman,

"Tinggalkanlah aku, dan pergilah kepda orang lain selainku. Kita sedang menghadapi suatu hal yang mempunyai (beberapa) wajah dan warna, yang tidak ditanggung oleh hati dan tidak dapat diterima oleh akal. Awan sedang menggelantung di langit dan wajah-wajah tidak dapat dibedakan. Kamu seharusnya tahu bahwa apabila aku menyambutmu, aku akan memimpinmu sebagaimana yang aku ketahui, dan tidak akan memusingkan apa pun yang mungkin dikatakan dan dicercakan orang. Apabila kamu meninggalkan aku, maka aku akan menjadi seperti salah seorang dari kalian. Mungkin aku akan mendengar dan mentaati kepada orang yang kamu serahkan urusanmu kepadanya. Akan akan menjadi pembantu (wazir) kamu, itu lebih baik bagimu dibandikan aku menjadi pemimpinmu."[151]

Lihatlah nas yang telah dibuangnya. Betapa maknanya menjadi berubah sama sekali dengan tanpa mencantumkannya. Perbuatan yang demikian ini, disebut apa, wahai Ihsan?! Siapa yang telah berdusta atas Ahlul Bait?!

Yang termasuk kebohongan bukan hanya Anda mengatakan sesuatu lalu Anda menisbahkannya kepada orang yang tidak mengatakannya, melainkan juga termasuk kebohongan manakala Anda menyelewengkan maksud perkata seseorang lalu Anda menisbahkannya kepada orang itu.

Subhanallah, Amirul Mukminin as telah tahu bahwa mereka tidak teguh di dalam baiatnya, dan kelak mereka akan berbalik darinya dan memeranginya pada perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, serta akan berhujjah kepadanya dengan beribu-ribu macam pembenaran dan alasan. Oleh karena itu, Amirul Mukminin as mendirikan hujjah atas mereka, dan memberitahukan kepada mereka tentang jalan yang akan ditempuhnya di dalam masalah hukum. Yaitu jalan kebenaran. Dan kebenaran itu pahit dan sulit, "Dan kebanyakan dari mereka tidak menyukai kebenaran."

Telah terbukti apa yang telah dikatakannya, namun saya tidak mengharapkan tindakan pembelotan dan pembenaran ini terus ber-langsung hingga sekarang, di mana mereka menyelewengkan ucapan-ucapannya.

Saya akhiri dengan (menyebutkan) pemalsuan dan penyelewengan ini. Saya persilahkan kepada pembaca untuk memberikan komentar. Saya cukupkan sampai di sini, karena jika saya terus menyebutkan contoh-contoh pemalsuan dan penyelewengan yang dia lakukan, niscaya akan banyak memakan waktu. Secara singkat dapat saya katakan bahwa orang ini tidaklah jujur, bahkan kepada dirinya sendiri. Perbuatannya ini didorong oleh rasa permusuhannya yang sangat kepada Ahlul Bait dan para pengikutnya. Karena jika tidak, maka untuk apa semua kesewenang-wenangan yang mencolok ini? Apakah dia ingin membuktikan kebenaran yang dihilangkan, kepada manusia? Sementara dia mengikuti kebatilan dan pemalsuan sebagai alat dan tujuan?!

Di dalam bukunya yang berjudul asy-Syi'ah wa Ahlul Bait, halaman 67, Ihsan Ilahi Zahir berkata, "Ath Thabrasi juga menukil dari Imam Muhammad a-Baqir yang menegaskan bahwa Ali membenarkan kekhilafahannya (Abu Bakar), mengakui kepemimpinannya (Abu Bakar), dan berbait kepada pemerintahannya (Abu Bakar." Sebagaimana juga dia menyebutkan bahwa tatkala Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah saw, hendak keluar meninggalkan Madinah, Rasulullah saw meninggal dunia. Ketika surat sampai kepada Usamah, maka Usamah pun bergerak bersama pasukan yang menyertainya masuk ke kota Madinah. Ketika dia melihat orang-orang sepakat terhadap kekhilafahan Abu Bakar, dia pun pergi ke Ali bin Abi Thalib dan berkata, 'Apa ini?' Ali menjawab, 'lni adalah sebagaimana yang kamu lihat' Usamah bertanya, 'Apakah kamu telah berbaiat kepadanya?' Ali menjawab, 'Sudah.'"

Dia telah menukil peristiwa ini dari kitab al-Ihtijaj, karya ath-Thabrasi. Berikut ini saya ketengahkan kepada Anda bunyi teks secara lengkap dari sumber di atas,

"Diriwayatkan dari al-Baqir as, bahwa Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar, 'Tulis kepada Usamah supaya dia datang menghadapmu. Karena dengan kedatangannya itu akan terputuslah keburukan dari kita. Maka Abu Bakar pun menulis surat kepadanya,

'Dari Abu Bakar, khalifah Rasulullah saw, kepada Usamah bin Zaid. Amma ba'du,

Perhatikanlah, jika sudah sampai suratku kepadamu, maka datanglah kepadaku beserta pasukan yang bersamamu. Karena sesungguhnya kaum Muslimin telah sepakat atasku dan telah menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepadaku. Jangan kamu tidak datang, karena itu berarti kamu membangkang, dan akan menimpa kepadamu sesuatu yang tidak kamu sukai. Wassalam.'

Perawi melanjutkan riwayatnya, 'Maka Usamah pun menulis surat jawaban kepada Abu Bakar sebagai berikut,

'Dari Usamah bin Zaid, petugas Rasulullah saw pada peperangan Syam. Amma ba'du,

Telah sampai kepadaku surat darimu, yang mana bagian awalnya bertentangan dengan bagian akhirnya. Pada bagian awal engkau mengatakan bahwa engkau adalah khalifah Rasulullah, sedangkan pada bagian akhirnya engkau mengatakan bahwa kaum Muslimin telah sepakat atas engkau dan mereka telah menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepadamu, serta telah meridaimu. Ketahuilah, sesungguhnya aku dan orang-orang yang bersamaku dari jamaah kaum Muslimin dan Anshar, demi Allah, tidak meridaimu dan tidak menyerahkan urusan kepemimpinan kami kepadamu. Ingatlah, engkau harus mengembalikan hak kepada pemiliknya dan harus melepaskannya kepada mereka. Karena sesungguhnya mereka jauh lebih berhak atas urusan ini dibandingkan engkau. Engkau telah mengetahui apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw tentang Ali pada hari al-Ghadir. Belum terlalu lama waktu berlalu namun engkau telah melupakannya. Lihatlah kedudukanmu, dan janganlah kamu menentang, karena yang demikian itu berarti kamu telah membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya, dan membangkang orang yang telah diangkat oleh Rasulullah saw sebagai khalifah atasmu dan atas sahabatmu. Aku belum diturunkan dari jabatanku hingga Rasulullah saw meninggal dunia, sementara kamu dan sahabatmu —Umar— pulang dan membangkang, serta tinggal di Madinah dengan tanpa ijin.'"

Abu Bakar bermaksud melepaskan kekhilafahan dari pundaknya. Perawi berkata, "Maka Umar berkata kepadanya, 'Jangan kamu lakukan, karena sesungguhnya pakaian ini adalah pakaian yang Allah kenakan kepadamu. Jangan engkau melepasnya, nanti kamu akan menyesal.'" Umar mendesaknya untuk menulis banyak surat kepada Usamah, dan mendatangi si fulan si fulan supaya mereka menulis surat kepada Usamah, agar tidak memecah belah jamaah kaum Muslimin, dan supaya Usamah masuk bersama mereka kepada apa yang telah mereka perbuat.

Perawi berkata, "Maka Abu Bakar menulis surat kepadanya dan begitu juga sekelompok orang dari orang-orang munafik, 'Hendaknya kamu rida dengan apa yang telah kami bersepakat atasnya, dan janganlah kamu meliputi kaum Muslimin dengan fitnah yang berasal darimu."' Perawi menuturkan lebih lanjut, "Ketika surat-surat datang kepada Usamah, maka Usamah bergerak memasuki kota Madinah dengan pasukan yang menyertainya. Ketika dia melihat manusia bersepakat atas Abu Bakar, maka dia pun bertolak kepada Ali bin Abi Thalib as dan bertanya kepadanya, 'Apa ini?' Ali menjawab, 'lni adalah sebagaimana yang kamu lihat.' Usamah bertanya lagi kepada Ali, 'Apakah kamu telah berbaiat kepadanya?' Ali menjawab, 'Ya, wahai Usamah.' Usamah bertanya lagi, 'Karena taat atau karena terpaksa?' Ali menjawab, 'Karena terpaksa.'"

Perawi melanjutkan, "Maka Usamah pun berangkat dan datang menemui Abu Bakar seraya berkata kepadanya, 'Salam atasmu, wahai khalifah kaum Muslimin.' Dengan serta merta Abu Bakar menjawab kepadanya, 'Salam atasmu, wahai komandan.'"[152]

Kita tidak akan mengatakan lebih banyak kepadanya dari apa yang telah dikatakan oleh Allah SWT di dalam Kitab-Nya yang mulia,

"Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata bagi mereka." (QS. al-Baqarah: 50)

"Tetapi karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, dan mereka sengaja melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-Maidah: 13)

3. Kitab Tabdid azh-Zhalam wa Tanbih an-Niyam ila Khathar at-Tasyayyu' 'ala al-Muslimin wa al-Islam, Karya Ibnu Jabhan.

Saya belum melihat sebuah kitab yang lebih besar permusuhannya kepada Ahlul Bait dan para syi'ahnya dibandingkan kitab ini. Dia telah membulatkan tekadnya untuk mencaci maki mereka dan membuat kebohongan-kebohongan atas mereka, dengan tanpa adanya objektifitas di dalam diskusi dan dialog. Seluruh yang berasal darinya adalah tidak lain berisi pengkafiran, pengfasikan dan pemberangusan terhadap pendapat-pendapat orang lain. Orang yang membaca bukunya akan mendapati saya amat lapang dada.

Saya yakin dia tidak menginginkan dari kitabnya ini selain dari ingin menyulut fitnah di antara kalangan Syi'ah dan Ahlus Sunnah, serta memecah belah barisan kaum Muslimin dengan berbagai macam cara, supaya bertambah bala dan kelemahan yang menimpa mereka. Alangkah bagusnya jika bukunya ini dikirimkan kepada musuh-musuh Islam dan kaum Muslimin, yaitu negara Israel.

Di samping dia seseorang yang lebih bodoh untuk bisa diajak berdiskusi, karena tidak ada satu dalil pun yang dikemukakannya, bukunya ini tidak lebih hanya berupa kumpulan kebohongan dan rekayasa atas Ahlul Bait dan para pengikutnya. Dia menafikan seluruh keutamaan yang datang berkenaan dengan mereka, dan mengingkari ayat-ayat dan hadis-hadis yang dengan jelas menunjukkan wajibnya berpegang teguh kepada mereka.

Berikut ini beberapa contoh dari cara-cara yang dia gunakan di dalam mendaifkan hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait:

a. Setelah menyebutkan sekumpulan hadis dia mengatakan, "Kami menolaknya dan kami menolak monster kemanusiaan yang bergantung padanya."[153]

a.1. Hadis pertama, "Perumpamaan Ahlul Baitku di sisimu tidak ubahnya seperti pintu pengampunan. Siapa saja yang memasukinya akan aman." "Perumpamaan Ahlul Baitku di sisimu tidak ubahnya seperti bahtera Nuh. Siapa saja yang berpegang kepadanya akan selamat dan siapa saja yang tertinggal darinya akan tenggelam."

Dia mendhaifkan hadis ini dengan selemah-lemahnya argumentasi. Dia mengatakan, "Hadis ini mengharuskan bahwa keselamatan dan keamanan terletak di dalam berpegang kepada Ahlul Bait, dan kecelakaan serta kemusnahan terletak di dalam ketertinggalan dari mereka. Yang demikian ini tidak dibolehkan berdasarkan ucapan Al-Qur'an. Karena Al-Qur'an tidak mensyaratkan untuk keselamatan kecuali dengan beriman kepada Allah dan beramal saleh, dan tidak memperingatkan kehancuran kecuali atas kekufuran dan melaksanakan perbuatan maksiat; serta tidak ada satu pun ayat di dalam Kitab Allah yang bertentangan dengan ucapan kita ini."[154]

Saya katakan, "Namun, apa hubungannya perkataan Anda dengan hadis ini. Karena pembuktian sesuatu tidak menafikan selainnya. Ini yang pertama.

Yang kedua, seluruh Al-Qur'an menentang ucapan Anda. Al-Qur'an yang ada di tangan Anda ini memerintahkan kita untuk berpegang kepada para nabi dan para rasul, dan menetapkan kekufuran orang yang tidak berpegang kepada mereka, "Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang kamu dilarang olehnya maka jauhilah." Demikian juga Al-Qur'an memerintahkan kita untuk berpegang kepada para wali, "Taatilah Allah, dan taatilah Rasul serta ulil amri dari kamu." Perintah di dalam ayat ini dengan jelas menunjukkan kepada wajib, maka dengan demikian wajib hukumnya berpegang kepada mereka. Allah SWT juga telah mewajibkan kepada kita untuk berpegang kepada orang-orang Mukmin dan mengikuti jalan mereka.

Allah SWT berfirman, "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (QS. an-Nisa: 115)

Maka, tidak berpegang teguh kepada mereka berarti kehancuran. Namun amat disayangkan, Ibnu Jabhan tidak merujuk kepada Kitab Allah sehingga dia tahu bagaimana perbuatan masuk pintu bagi Bani Israil merupakan pengampunan bagi dosa-dosa mereka, "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan kata-kanlah, 'Bebaskanlah kami dari dosa', niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-Baqarah: 58)

Ibnu Jabhan bukan tidak mengetahui hal itu, namun rasa permusuhan dan kebenciannya yang sangat kepada Ahlul Bait telah mendorongnya melakukan demikian. Kita akan tambahkan kemarahannya dengan firman Allah SWT yang berbunyi,

"Katakanlah, 'Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas apa yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku.'" (QS. asy-Syura: 23)

Dia berargumentasi, "Kenapa kita harus mengikuti Ahlul Bait. Apakah mereka mempunyai ilmu yang belum disampaikan oleh Rasulullah saw kepada kaum Muslimin seluruhnya. Sesungguhnya keyakinan yang seperti itu berarti menuduh Rasulullah saw telah melakukan pilih kasih dan menyembunyikan risalah.

Selama agama telah sempurna, maka apalagi yang dibutuhkan dari Ahlul Bait?"

Lihatlah oleh Anda ketololan argumentasi ini. Jika penyampaian dan penjelasan hukum-hukum agama kepada sebagian orang tanpa sebagian orang yang lain berarti tindakan pilih kasih, maka berarti Rasulullah saw —yang merupakan Rasul Allah bagi seluruh manusia— harus menyampaikan sendiri risalahnya kepada seluruh manusia seorang demi seorang, atau paling tidak kepada mereka yang hidup sezaman dengannya. Yang demikian ini tentu tidak akan dikatakan oleh seorang yang berakal. Di samping urusan ini tidak termasuk ke dalam kerangka tabligh.

Ahlul Bait memiliki sifat-sifat yang menjadikan mereka mempunyai kelayakan atas kepemimpinan umat. Sudah merupakan sesuatu yang jelas bahwa manusia berbeda-beda di dalam tingkat pemahaman dan penguasaan mereka, dan juga berbeda-beda di dalam tingkat keimanan mereka. Rasulullah saw telah menyampaikan ajarannya bagi seluruh manusia, namun Ahlul Bait adalah manusia yang paling dahulu keimanannya, paling banyak jihadnya dan paling utama ketakwaan dan kewarakannya. Oleh karena itu Allah SWT mensucikan mereka dari segala dosa di dalam Kitab-Nya.

Lantas, kedengkian apakah ini, wahai Ibnu Jabhan?!

Jika kesempurnaan agama menafikan kebutuhan manusia, maka kenapa kita membutuhkan sahabat dan salaf saleh dan mengikuti mereka?!

Dengan dalil-dalil yang bodoh ini Ibnu Jabhan menolak hadis ini.

a.2. Hadis kedua: "Saya tinggalkan padamu dua benda yang sangat berharga, yaitu Kitab Allah dan 'itrahku."

Dia mengatakan, "Hadis ini telah diselewengkan, yang benar adalah 'Kitab Allah dan sunahku'. Kalau pun seumpama hadis ini tidak diselewengkan, lantas siapa yang dimaksud dengan 'itrah yang diisyaratkan di dalam hadis ini."[155]

Dengan sangat mudah dia menolak hadis "Kitab Allah dan 'itrahku".

Pembahasan mengenai hal ini telah kita lakukan pada permulaan buku.

Sudah merupakan sesuatu jelas, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama ilmu ushul, bahwa qadhiyyah (proposisi) tidak menetapkan maudhu'-nya. Hadis ini sedang dalam tataran menetapkan garis umum gadhiyyah, yaitu wajibnya berpegang teguh kepada Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Bait. Adapun pembicaraan mengenai apa itu Kitab Allah dan siapa itu 'itrah Ahlul Bait, tidak dapat diketahui dari hadis ini. Maka oleh karena itu diperlukan dalil lain, yang akan menjelaskan siapa keduanya yang dimaksud.

Bagaimana dia mengkritik hadis ini dengan mengatakan, "Siapa Ahlul Bait itu?!"

Pertanyaan ini seharusnya dia ajukan kepada Rasulullah saw.

a.3. Hadis ketiga: "Hai Ali, tidak mencintaimu kecuali orang Mukmin dan tidak membencimu kecuali orang munafik."

Ibnu Jabhan berkata, "Hadis ini maudhu' (palsu) dan sama sekali tidak benar. Karena kecintaan kepada selain Allah dan Rasul-Nya tidak bisa menjadi ukuran bagi keimanan. Karena kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya pasti mengharuskan kecintaan kepada orang-orang saleh, dan tidak akan terlepas darinya."

Pertama, kenapa dia mengecualikan Rasulullah saw? Jika yang menjadi ukuran ialah istitba' (hubungan keharusan), maka kecintaan kepada Allah mengharuskan juga kecintaan kepada Rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang saleh.

Kedua, jika kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya mengharuskan kecintaan kepada orang-orang saleh, maka kecintaan kepada orang-orang saleh juga mengharuskan kecintaan kepada Rasul-Nya dan kecintaan kepada Allah. Ini membuktikan kebenaran hadis ini. Karena hadis ini sedang menjelaskan bagaimana mengetahui orang munafik. Karena orang yang menampakan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya tidak dapat mengumumkan ketidak-cintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, karena jika tidak maka tentu dia tidak disebut orang munafik, namun dia bisa mengumumkan kebenciannya kepada siapa saja yang lain. Dan oleh karena Imam Ali as termasuk ke dalam kelompok orang yang saleh, maka siapa saja yang membencinya —berdasarkan hukum keharusan (istiba')— berarti dia membenci Allah dan Rasul-Nya. Sehingga dengan demikian hadis ini memberikan jikuran yang akurat di dalam mengenal orang-orang munafik.

Ketiga, jika yang menjadi slogan Anda ialah bahwa kecintaan dan kebencian bukan ukuran bagi keimanan dan keyakinan, lantas kenapa Anda mengkafirkan Syi'ah, kalau bukan karena kebencian mereka terhadap sebagian sahabat —sebagaimana persangkaan Anda?!

Kenapa Anda mencintai mereka dan mencintai salaf saleh, padahal di antara mereka ada yang dari kalangan Bani Umayyah dan Bani Abbas, dan Anda berjuang membela dan mempertahankan mereka?!

Bukankah Anda mengharapkan pahala dari yang demikian itu?!

Jika jawabannya tidak, maka seluruh perkataan Anda sia-sia dan hanya menghabiskan waktu.

a.4. Hadis keempat: "Saya adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya."

Ibnu Jabhan berkata, "Sesungguhnya bunyi teks hadis menunjukkan kebodohannya dan kebodohan orang yang menisbahkannya kepada Rasulullah saw. Karena jelas sekali ketidak-cocokkan antara kata "kota" dengan kata "ilmu", dan tidak ada keserasian sama sekali antara pemahaman kedua kata tersebut dengan lafazh keduanya. Jika dia mengatakan, 'Saya adalah lautan ilmu dan Ali adalah pantainya', maka itu jauh lebih layak."

Dia melanjutkan argumentasinya, "Kenapa Rasulullah saw menjadikan ilmu ini berada di sebuah kota dan menjadikan kuncinya berada di tangan Ali? Kenapa Rasulullah tidak menjadikan kota tersebut untuk umum dengan tanpa pintu, sehingga memudahkan setiap orang memasukinya dari arah mana saja yang mereka kehendaki?"

Inilah tingkat keilmuannya dan batas akhir argumentasinya. Yaitu dia berargumentasi dengan adanya kontradiksi di antara kata "kota" dan kata "ilmu". Hadis di atas secara khusus tidak sedang mendefinisikan ilmu, sehingga harus mengatakan "laut".

Melainkan hadis di atas hendak menjelaskan hubungan antara ilmu dengan Ali as. Yang menjadi perhatian hadis ini ialah hubungan secara umum di antara keduanya, maka perumpamaan kota lebih jelas disebabkan tidak dapatnya seseorang memasukinya kecuali melalui pintunya.

Adapun perkataan Ibnu Jabhan yang menyebutkan, "Kenapa Rasulullah saw tidak menjadikan kota itu untuk umum dengan tanpa pintu, sehingga memudahkan setiap orang untuk memasukinya dari arah mana saja yang mereka kehendaki", maka jawabannya cukup dengan firman Allah SWT yang berbunyi,

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui." (QS. an-Nahl: 43)

Inilah metode yang digunakannya, yang menunjukkan kepada permusuhannya yang sangat kepada Rasulullah saw dan 'ltrah Ahlul Baitnya yang suci. Dengan pemikiran yang dangkal ini dan dengan dalil-dalil yang lucu, dia berusaha menafikan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait, dan sebaliknya dia mensahihkan seluruh riwayat yang lemah dan hadis-hadis yang tertolak, baik dari sisi matan dan sanad, hanya karena hadis-hadis tersebut menetapkan keutamaan salah seorang salaf.

Wahai para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, apakah Anda menerima orang yang seperti ini sebagai salah seorang ulama dari Anda, yang membela Anda dan mengakui mewakili Anda. Jika "iya", maka salam atas Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dan jika tidak, maka kenapa Anda tidak memprotes dan menghentikannya. Buku yang ada di tangan saya ini merupakan cetakan ketiga. Mungkin saja buku ini telah dicetak berpuluh-puluh kali. Maka oleh karena itu, hentikanlah!

Sangat disayangkan sekali pada buku tersebut tertulis kata-kata "Buku ini dicetak dengan ijin dari kepala kantor pengkajian ilmiah, pemberian fatwa, dakwah dan penerangan".

Subhanallah, sebuah nama yang bertentangan sama sekali dengan buku ini. Pengkajian ilmiah apa, padahal dia tidak mengkaji isi buku ini sendiri. Jika tidak, maka dinisbahkan juga kepadanya apa yang telah dinisbahkan kepada penulisnya, yaitu berupa kebodohan, sedikitnya pemahaman, penyelewengan dan pemalsuan kebenaran. Karena pengakuan terhadap sesuatu berarti pembenaran terhadapnya.

Dakwah apa, dan penerangan apa?!

Kecuali jika dakwah tersebut dakwah kepada perpecahan dan per-selisihan, dan penerangan kepada pertentangan-pertentangan yang mendatangkan cela ini. Sampai kapan paham Wahabi akan hidup di dalam pertentangan ini. Ketika Dr. Turabi mendhaifkan hadis "lalat" dengan dalil-dalil yang logis dan argumentasi-argumentasi yang ilmiah, dengan serta merta mereka menghunuskan pedang terhadapnya dan memfatwakan kekafirannya. Namun tatkala Ibnu Jabhan mendhaifkan berpuluh-puluh hadis sahih dan mutawatir di sisi Anda, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang demikian itu tidak mengusik ketenangan mereka!

b. Contoh-Contoh Kebohongan Yang Dibuatnya Atas Syi'ah:

b.1. Dia berkata pada halaman 494 dari bukunya, "Sebagai tambahan dari itu, bahwa azan mereka berbeda dengan azan kita, salat mereka berbeda dengan salat kita, puasa mereka berbeda dari puasa kita, dan mereka tidak mengakui zakat dan para mustahik-nya."

b.2. Dia berkata pada halaman 495 dari bukunya, "Mereka meyakini bahwa mereka tidak akan disiksa karena dosa besar dan dosa kecil mereka. Mereka mengatakan bahwa orang selain mereka akan kekal di dalam neraka. Kemudian, mereka membolehkan meminjamkan kemaluan wanita, mereka menggugurkan salat Jumat, salat berjamaah dan hudud, dengan alasan ghaibnya Imam. Mereka menamakan umat Muhammad sebagai umat yang terkutuk. Serta mereka meyakini bahwa melaknat sahabat dan para Ummul Muk-minin sebagai sebesar-besarnya pendekatan kepada Allah."

b.3. Dia menyebutkan di dalam halaman 222, "Mungkin para pembaca yang mulia tidak akan percaya bahwa menikahi ibu dalam pandangan mereka adalah termasuk berbuat kebajikan kepada orang tua, dan merupakan sebesar-besarnya pendekatan kepada Allah."

b.4. Dia juga menyebutkan, "Orang Syi'ah menyodorkan tangannya mengajak Anda bersalaman, namun itu dilakukannya untuk membuat Anda lengah sementara dia memasukkan tangan yang satunya lagi ke dalam kantong Anda."

b.5. Pada halaman 58 dia mengatakan, "Orang Syi'ah mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan pada hari-hari Asyura, maka dia itu sayyid. Demikian juga setiap anak yang dikandung oleh ibunya pada hari-hari Asyura maka dia itu sayyid, meskipun kandungan itu berasal dari hubungan yang tidak sah." Bahkan, dia tidak cukup sampai di sini. Dia memanjangkan lidahnya terhadap Imam Ja'far ash-Shadiq as, putra Rasulullah saw, yang diyakini oleh sekelompok kaum Muslimin sebagai Imam yang maksum, sementara sekelompok kaum Muslimin yang lain meyakininya sebagai kampiun ilmu dan ulama. Para Imam mazhab yang empat telah berhutang kepadanya dengan keutamaan-keutamaannya.

Sejarah belum pernah menyebutkan kepada kita ada orang yang mencelanya, meskipun dari kalangan orang-orang yang memusuhinya. Hingga datang Ibnu Jabhan berkata tentangnya, "Sesungguhnya perkataan Ja'far yang berbunyi 'Barangsiapa yang menginginkan dunia maka dunia tidak akan memuaskanmu dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka akhirat tidak akan menjagamu’ adalah perkataan orang yang unggul di dalam cara-cara bersilat lidah dan orang yang terampil memainkan teknik-teknik Dajjal. Jika perkataan yang berbunyi 'manusia mengikuti agama rajanya' itu benar, maka tentu benar pula perkataan yang berbunyi 'manusia mengikuti agama imam mereka'. Oleh karena Anda adalah duplikat yang sesuai dengan aslinya (yaitu Ja'far), yang Anda akui sebagai pendiri besar seluruh keyakinan-keyakinan Anda."[156]

Lihatlah, sejauh mana kebencian dan permusuhan dia kepada Ahlul Bait Rasulullah.

b.6. Cara ini bukan merupakan hasil ciptaan Ibnu Jabhan. Sebelumnya, Ustaznya pun telah mendahuluinya dengan cara-cara yang seperti ini, yaitu pendiri ajaran Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab. Di dalam sebuah risalahnya yang berjudul fi ar-Radd 'ala ar-Rafidhah, halaman 34 dia mengatakan, "Mereka membolehkan nikah mut'ah, dan bahkan menjadikannya lebih baik dari tujuh puluh kali nikah permanen. Syeikh mereka yang bernama Ali bin al-'Ali telah membolehkan dua belas orang dari mereka menikahi mut'ah seorang wanita dalam satu malam. Jika lahir seorang anak dari hasil hubungan mereka, maka dilakukan undian di antara mereka, dan orang yang keluar nomer undiannya, maka anak itu menjadi miliknya."

b.6. Dalam halaman 44 dari bukunya dia mengatakan, "Orang-orang Yahudi telah dirubah menjadi monyet dan babi. Juga telah dinukil bahwa yang demikian pun telah terjadi pada sebagian orang rafidhi (Syi'ah) di kota Madinah al-Munawwarah dan kota-kota lainnya. Bahkan dikatakan bahwa mereka telah berubah wajah dan rupanya tatkala mati. Wallahu A'lam."

Inilah cara mereka di dalam menjawab Syi'ah. Dalil-dalil mereka tidak keluar dari dongeng-dongeng seribu satu malam.

4. Adapun kebohongan-kebohongan Ahmad Amin di dalam kitab Dhuha al-Islam, kita maafkan dan tidak akan kita sebutkan. Terutama setelah sampai kepada kita permohonan maafnya atas apa yang telah ditulisnya tentang Syi'ah. Yang demikian itu telah disebutkan oleh al-Imam asy-Syeikh Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha, di dalam kitabnya Ashl asy-Syi'ah wa Ushuluha, halaman 72,

"Termasuk sesuatu yang jarang terjadi, Ahmad Amin, setelah beredar bukunya dan setelah beberapa orang ulama Najaf mendatanginya, pada tahun 1349 Hijrah dia mendatangi Kota Ilmu, Najaf, dan berkesempatan menziarahi makam-makam suci yang ada di kota tersebut, bersama rombongan dari Mesir yang kira-kira terdiri dari 30 orang guru dan murid. Mereka mengunjungi kami di Universitas kami. Pada suatu malam dari malam-malam bulan Ramadhan, mereka menghadiri sebuah acara perayaan kami yang penuh sesak. Di situ kami mengkritiknya secara halus, dan sekaligus memaafkan atas apa yang telah dilakukannya. Kami ingin berjalan bersamanya dengan terhormat, dan mengucapkan salam kepadanya. Adapun alasan terbesar yang dia ajukan dalam masalah penulisan bukunya ialah karena sedikitnya informasi dan referensi yang dia miliki. Namun kita katakan, 'lni juga tidak mencukupi. Karena orang yang hendak menulis tentang sesuatu tema, maka pertama-tama dia harus mengumpulkan referensi dalam jumlah yang cukup, dan kemudian meneliti dan mempelajarinya secara mendalam. Dan jika tidak, maka tidak boleh baginya menyelami tema tersebut dan berbicara tentangnya. Bagaimana bisa perpustakaan-perpustakaan Syi'ah, salah satunya adalah perpustakaan kami, mencakup kurang lebih 5000 judul buku, yang sebagian besarnya terdiri kitab-kitab Ahlus Sunnah, dan itu pun terletak di kota Najaf, sebuah kota yang fakir dari segala sesuatu, kecuali ilmu dan kesalehan -InsyaAllah; sementara perpustakaan-perpustakaan Kairo yang besar, tidak memiliki buku-buku Syi'ah kecuali hanya sedikit sekali."

Benar, kaum tersebut tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang Syi'ah, namun mereka menulis segala sesuatu tentangnya.•

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sekilas Pandangan Sejarah Akidah Ahlus Sunnah


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Akidah Ahlus Sunnah

Sekilas Pandangan Sejarah

Kalangan Ahlus Sunnah, sebelum mereka mengorbitkan Ahmad bin Hambal pada posisi keimamahan di dalam bidang keyakinan, mereka terpecah belah ke dalam berbagai kelompok yang berbeda. Kalangan Murji'ah berpendapat, tidak ada hubungan sama sekali antara iman dan amal perbuatan. Mereka mengatakan bahwa maksiat yang dilakukan seseorang sama sekali tidak akan membahayakan imannya, sebagaimana juga ketaatan tidak memberikan manfaat sama sekali bagi kekufuran. Adapun kelompok Qadariyyah, mereka mengingkari adanya takdir. Sementara kelompok Jahami menafikan sama sekali seluruh sifat Allah SWT. Demikian juga dengan kelompok-kelompok lainnya. Mereka berbeda pendapat di dalam masalah pemikiran dan keyakinan. Hingga kemudian datanglah Ahmad bin Hambal. Dia membinasakan seluruh mazhab yang berlaku di kalangan Ahlul Hadis pada waktu itu, dan kemudian menyatukan mereka di dalam dasar-dasar keyakinan yang menjadi pilihannya. Ahmad bin Hambal mengklaim bahwa keyakinannya adalah keyakinan kalangan salaf yang saleh, yang terdiri dari kalangan sahabat dan tabi'in, Pada kenyataannya, penisbatan dasar-dasar keyakinan ini kepada Ahmad bin Hanbal jauh lebih benar dan lebih pas dibandingkan penisbatannya kepada para sahabat dan tabi'in. Karena, dasar-dasar keyakinan yang dibawa oleh Ahmad bin Hambal tidak dikenal sebelumnya, dan kalangan Ahlus Sunnah pun tidak menyepakatinya sebelum kedatangan Ahmad bin Hanbal. Perselisihan pendapat dalam masalah keyakinan di kalangan Ahlus Sunnah, yang dapat kita saksikan di dalam sejarah mereka hingga sekarang, membuka tabir tentang persoalan ini.

Keyakinan-keyakinan kalangan Hanbali tersebar luas pada masa pemerintahan Mutawakkil, yang amat dekat dengan Ahmad bin Hanbal. Mutawakkil telah membukakan kesempatan yang begitu luas kepada Ahmad bin Hanbal, sehingga dia menjadi seorang imam dalam bidang keyakinan, dengan tanpa adanya pesaing. Keadaan ini terus berlangsung hingga munculnya Abul Hasan al-Asy'ari dalam bidang keyakinan, setelah sebelumnya Abul Hasan al-Asy'ari bertaubat dari paham Mu'tazilah, dan bergabung dengan keyakinan Hambali. Namun, Abul Hasan al-Asy'ari tidak merasa cukup dengan hanya bertaklid kepada Ahmad bin Hambal. Dia memberikan argumentasi-argumentasi logis terhadap keyakinan-keyakinan Hambali, sehingga dia muncul dengan keyakinan-keyakinan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan keyakinan-keyakinan Ahmad, namun tidak menentangnya. Meskipun demikian, mazhabnya yang terbilang baru ini mendapat ijin untuk di-sebarkan di seluruh negeri Islam. Akhirnya, Abul Hasan al-Asy'ari dapat merebut posisi kepemimpinan dalam bidang keyakinan dari tangan Ahmad bin Hambal. Sehingga dengan demikian, mazhab Asy'ari pun menjadi mazhab resmi Alus Sunnah. Al-Muqrizi, setelah memberi isyarat kepada dasar-dasar keyakinan mazhab Imam Asy'ari, dia mengatakan, "Inilah sejumlah pokok-pokok keyakinannya, yang menjadi pegangan mayoritas penduduk negeri-negeri Islam, yang barangsiapa dengan terang-terangan menentangnya, niscaya darahnya akan ditumpahkan."[352]

Maka berkobarlah api pertentangan di antara kalangan Asy'ariyyah dan Hanbaliyyah selama berabad-abad. Kalangan Hanbali berpegang kepada riwayat-riwayat tasybih dan tajsim, dan menetapkan Allah SWT mempunyai sifat-sifat yang tidak layak dinisbatkan kepadanya. Sementara kalangan Asy'ariyyah berlepas diri dari yang demikian itu.

Akan tetapi, terlepas dari semua itu, sesungguhnya kita dapat membagi keyakinan Ahlus Sunnah ke dalam dua madrasah. Yaitu Madrasah Asy'ariyyah dan Madrasah Hanbaliyyah, setelah punahnya faham Mu'tazilah —tentunya. Pada pasal ini kita akan membahas beberapa contoh dari keyakinan kedua madrasah tersebut.


Madrasah Hanbaliyah (Salafiyah)

Untuk membicarakan keyakinan-keyakinan salafi, mau tidak mau kita harus membaginya kepada tiga periode sejarah, yaitu:
a. Periode Ahmad bin Hanbal.
b. Periode Ibnu Taimiyyah.
c. Periode Muhammad bin Abdul Wahhab.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Fikih Di Kalangan Syi'ah


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Keadaan mengambil agama secara langsung dari para Imam Ahlul Bait as ini terus berlangsung hingga datangnya Imam yang kedua belas, Muhammad bin Hasan al-Mahdi as. Imam Mahdi as telah menggariskan jalan yang harus dilalui oleh orang-orang Syi'ah di dalam mengambil hukum-hukum fikih tatkala beliau ghaib. Imam Mahdi as berkata,

"Adapun barangsiapa di antara para fukaha yang memelihara dirinya, menjaga agamanya, menentang hawa nafsunya serta taat dan tunduk kepada perintah Tuhannya, maka masyarakat umum wajib bertaklid kepadanya."[223]

Dengan begitu maka terbukalah bagi mereka pintu ijtihad, penelitian dan istinbath. Kemudian, muncullah pemikiran tentang konsep marji’iyyah fikih, yaitu di mana mereka memilih dari kalangan ulama orang yang paling banyak ilmunya, paling bertakwa dan paling warak, lalu mereka bertaklid kepadanya di dalam hukum-hukum fikih dan masalah-masalah yang baru. Para fukaha telah menjelaskan secara rinci tentang bab ini. Berikut ini saya kemukakan sebagiannya, yang berasal dari kitab al-Masa'il al-Islamiyyah, karya Ayatullah Uzhma Sayyid Husain asy-Syirazi, halaman 90:

(Masalah 1): Keyakinan seorang Muslim tentang ushuluddin harus berdasarkan dalil dan argumentasi. Seseorang tidak boleh bertaklid dalam masalah ini. Artinya, dia tidak boleh menerima perkataan seseorang dalam masalah ini dengan tanpa dalil.

Adapun di dalam masalah hukum agama dan cabang-cabangnya, seseorang harus menjadi mujtahid yang mampu meng-istinbath hukum dari dalil-dalilnya; atau menjadi mukallid, dalam arti dia beramal sesuai dengan pendapat mujtahid yang memenuhi semua persyaratan; atau dia melaksanakan kewajibannya melalui jalan ihtiyath, dalam arti dia memperoleh keyakinan bahwa dirinya telah menunaikan kewajiban, seperti misalnya jika sekelompok orang dari mujtahid mengeluarkan fatwa akan wajibnya sebuah perbuatan lalu sekelompok mujtahid yang lain memberi fatwa bahwa perbuatan tersebut mustahab, maka di sini dia ber-ihtiyath dengan melakukan perbuatan tersebut. Barangsiapa yang bukan mujtahid dan tidak mungkin baginya berlaku ihtiyath maka wajib atasnya untuk bertaklid kepada seorang mujtahid dan beramal sesuai dengan pendapat mujtahid tersebut.

(Masalah 4): Berkenaan dengan wajibnya bertaklid kepada mujtahid yang lebih tahu (al-a'lam), jika seseorang mengalami kesulitan di dalam menentukan mujtahid yang lebih tahu (al-a'lam) maka dia harus bertaklid kepada mujtahid yang dia sangka lebih tahu. Bahkan, dia wajib bertaklid kepada mujtahid yang menurut perkiraan kecilnya lebih tahu, dan dia mengetahui bahwa mujtahid yang lainnya tidak lebih tahu. Adapun jika sekelompok dari para mujtahid sama di dalam ilmunya —menurut pandangannya— maka dia wajib bertaklid kepada salah seorang dari mereka. Namun, jika salah seorang dari mereka lebih warak dari yang lainnya, maka menurut ihtiyath dia wajib bertaklid kepadanya dan tidak kepada yang lainnya.

(Masalah 5): Fatwa dan pandangan seorang mujtahid dapat diperoleh melalui salah satu cara dari empat cara berikut ini:
1. Mendengar langsung dari mujtahid yang bersangkutan.
2. Mendengar dari dua orang yang adil yang menukil fatwa mujtahid.
3. Mendengar dari orang yang dapat dipercaya ucapannya dan dapat dipegang penukilannya.
4. Adanya fatwa di dalam risalah amaliah, disertai dengan keyakinan akan benarnya apa yang terdapat di dalam risalah amaliah tersebut, dan terbebasnya dari kesalahan.

Fikih telah berkembang pesat di kalangan Syi'ah. Di kalangan mereka banyak terdapat hawzah-hawzah agama yang mengeluarkan para fukaha dan marji', yang kemudian dari sekian banyak fukaha tersebut akan muncul yang tunggal. Ini terus berlangsung sepanjang sejarah, dan bahkan hingga hari ini.

Seseorang yang merujuk kepada perpustakaan fikih Syi'ah niscaya akan tercengang di hadapan karya-karya besar itu.

Berikut ini saya nukilkan bagi Anda sedikit contoh dari kitab-kitab fikih Syi'ah.

Di dalam bab riwayat-riwayat yang berkenaan dengan fikih, banyak sekali terdapat kitab-kitab yang berkenaan dengan hal ini. Yang paling terkenal di antaranya ialah:
1. Kitab Wasa'il asy-Syi'ah, terdiri dari 20 jilid besar, karya al-Hurr al-'Amili.
2. Kitab Mustadrak al-Wasa'il, terdiri dari 18 jilid, karya Nuri ath-Thabrasi.

Adapun di antara kitab-kitab fikih argumentatif (istidlaliyyah) di antaranya ialah:
1. Kitab Jawahir al-Kalam, karya Muhammad Hasan an-Najafi, terdiri dari 43 jilid.
2. Kitab al-Hada'iq an-Nadhirah, karya Syeikh Yusuf al-Bahrani, terdiri dari 25 jilid.
3. Kitab Mustamsak al-'Urwah al-Wutsqa, karya Sayyid Muhsin Thabathabai al-Hakim, terdiri dari 14 jilid.
4. Kitab al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, karya Sayyid Muhammad al-Husaini asy-Syirazi, termasuk ulama zaman sekarang. Kitab ini telah dicetak dalam bentuk seratus sepuluh jilid. Kitab ini mencakup seluruh bab fikih. Di antaranya ialah fikih Al-Qur'an al-Karim, fikih hukum, fikih negara Islam, fikih pengelolaan, fikih politik, fikih ekonomi dan fikih sosial.
5. Salah satu dari ensiklopedia fikih modern lainnya ialah kitab Fiqh ash-Shadiq, karya Sayyid Muhammad Shadiq ar-Ruhani, terdiri dari 26 jilid; kemudian kitab Silsilah Yanabi' al-Mawaddah, karya Ali Ashghar Murwaridi, terdiri dari 30 jilid.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Agama Nasrani Adalah Agama Pertama Sebelum Islam di Jazirah Arab. Inilah Dialog Antar Pemuka Nasrani dan Pemuka Islam Dalam Perselisihannya


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Dialog Yohanes Dengan Para Ulama Mazhab Yang Empat

Kita akhiri pasal ini dengan dialog yang terjadi di antara Yohanes dengan ulama mazhab yang empat. Ini merupakan dialog yang paling indah di dalam bab ini. Para pembaca hendaknya merenungi berbagai hujjah yang kokoh dan bijaksana yang terdapat di dalam dialog ini. Saya menukil dialog ini dari kitab Munadzarah fi al-Imamah, karya Abdullah Hasan.

Yohanes berkata, "Ketika saya melihat berbagai perselisihan di kalangan para sahabat besar, yang nama-nama mereka disebut bersama nama Rasulullah di atas mimbar, hati saya menjadi resah dan gelisah, dan hampir saya mendapat musibah dalam agama saya. Maka saya pun bertekad untuk pergi ke Baghdad, yang merupakan kubah Islam, untuk menanyakan berbagai perselisihan yang terjadi di antara para ulama kaum Muslimin yang saya lihat, supaya saya dapat mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Ketika saya berkumpul dengan para ulama dari mazhab yang empat saya berkata kepada mereka, 'Saya adalah seorang dzimmi, dan Allah SWT telah menunjukkan saya kepada Islam, maka saya pun memeluk Islam. Sekarang, saya datang kepada Anda untuk mendapatkan ajaran agama, syariat Islam dan hadis dari Anda, supaya bertambah pengetahuan saya di dalam agama saya.'

Yang tertua dari mereka —yang merupakan seorang ulama Hanafi— berkata, 'Wahai Yohanes, mazhab Islam itu ada empat. Oleh karena itu, pilihlah salah satu darinya, dan kemudian mulailah baca kitab yang kamu kehendaki.'

Saya berkata kepadanya, 'Saya melihat terdapat perselisihan, namun saya tahu bahwa kebenaran ada pada salah satu di antaranya. Maka Oleh karena itu, pilihkanlah bagi saya —menurut yang Anda ketahui— kebenaran sebagaimana yang dipegang oleh Nabi Anda.'

Ulama Hanafi itu berkata, 'Sesungguhnya kami tidak mengetahui dengan pasti kebenaran mana yang dipegang oleh Nabi kami, namun kami yakin bahwa jalannya tidak keluar dari salah satu kelompok Islam yang ada. Masing-masing dari kami yang empat mengatakan bahwa kamilah yang benar namun mungkin juga salah. Masing-masing mereka juga mengatakan bahwa selainnya salah namun mungkin juga benar. Singkatnya, sesungguhnya mazhab Hanafi adalah mazhab yang paling dekat dan paling sesuai dengan sunah. Mazhab yang paling masuk akal dan mazhab yang paling tinggi di kalangan manusia. Mazhab Hanafi adalah mazhab yang paling banyak dipilih oleh umat, dan bahkan mazhab pilihan para sultan. Kamu harus berpegang kepadanya, niscaya kamu selamat.'"

Yohanes berkata, "Maka berteriaklah Imam dari mazhab Syafi’i, dan saya kira terdapat perselisihan di antara Syafi’i dan Hanafi. Imam mazhab Syafi’i itu berkata kepada ulama Hanafi tersebut, 'Diam, jangan kamu bicara. Demi Allah, kamu telah membual dan telah berdusta. Dari mana kamu mengistimewakan suatu mazhab atas mazhab-mazhab yang lain, dan dari mana kamu menguatkan (tarjih) seorang mujtahid atas mujtahid-mujtahid yang lain? Celaka kamu. Di mana kamu telah mempelajari apa yang telah dikatakan oleh Abu Hanifah, dan apa-apa yang telah diqiyaskan dengan ra'yunya? Sesungguhnya dia (Abu Hanifah)lah orang yang disebut dengan sebutan 'tuan ra'yu', yang berijtihad dengan sesuatu yang bertentangan dengan nas, yang menggunakan istihsan di dalam agama Allah. Sampai-sampai dia meletakkan pendapatnya yang lemah dengan mengatakan, 'Jika seorang laki-laki yang berada di India menikahi seorang wanita yang ada di Romawi dengan akad syar'i. Lalu, setelah beberapa tahun kemudian laki-laki itu mendatangi istrinya dan mendapatinya dalam keadaan hamil dan menggendong anak. Laki-laki itu bertanya kepada istrinya, 'Siapa mereka ini?' Wanita itu menjawab, 'Anak-anakmu'. Kemudian laki-laki itu mengadukan masalah itu kepada seorang qadhi Hanafi, maka qadhi Hanafi itu akan menetapkan bahwa anak-anak tersebut adalah berasal dari tulang sulbinya, dan dinisbahkan kepadanya baik secara zahir maupun secara batin. Dia mewariskan kepada mereka dan mereka pun mewariskan kepadanya.' Laki-laki itu protes, 'Bagaimana mungkin, padahal saya belum pernah menyentuhnya sama sekali?' Maka qadhi Hanafi itu menjawab, 'Mungkin saja Anda pernah berjunub, atau Anda pernah keluar mani lalu air mani Anda terbang dan jatuh ke dalam kemaluan wanita ini.'[224] Wahai Hanafi, apakah ini sesuai dengan Kitab dan sunah?'"

Ulama Hanafi menjawab, 'Benar, anak-anak itu dinisbahkan kepadanya. Karena wanita itu adalah tempat tidurnya, dan tempat tidur dinisbahkan kepada seorang laki-laki melalui akad syar'i, serta tidak disyaratkan harus adanya jimak. Rasulullah saw telah bersabda, 'Anak milik tempat tidur (istri), sedangkan batu milik pelacur.' Ulama Syafi’i itu tetap bersikeras menolak terjadinya tempat tidur dengan tanpa jimak, dan dia pun berhasil mengalahkan ulama Hanafi di atas dengan berbagai Hujjah yang dikeluarkan.

Ulama Syafi’i berkata lebih lanjut, 'Abu Hanifah juga berkata, 'Jika seorang wanita dibawa ke rumah suaminya; lalu seorang laki-laki lain menggaulinya. Kemudian laki-laki lain itu mengaku di hadapan qadhi Hanafi bahwa dirinya telah menikahi wanita tersebut sebelum wanita itu dinikahi oleh laki-laki yang membawanya ke rumahnya, lalu laki-laki yang mengaku itu mengajukan dua orang fasik untuk memberikan kesaksian palsu atas pengakuannya itu. Maka qadhi Hanafi itu akan memutuskan bahwa wanita itu haram bagi suaminya yang pertama (yang membawanya ke rumahnya —penerj.), baik secara zahir maupun batin, tertetapkannya ikatan pernikahan di antara wanita itu dengan laki-laki yang kedua, dan wanita itu halal baginya baik secara zahir maupun batin.'[225] Lihatlah, wahai manusia, apakah ini mazhab orang yang mengenal kaidah-kaidah Islam?'

Ulama Hanafi itu berkata, 'Anda tidak berhak mengkritik. Karena dalam pandangan kami hukum qadhi berlaku baik secara zahir maupun batin, dan ini merupakan cabang darinya.' Ulama Syafi’i berhasil mengalahkannya, dan melarang berlakunya hukum qadhi baik secara zahir maupun batin dengan firman Allah SWT yang berbunyi,

'Dan hendak lah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah' (QS. al-Maidah: 49)

Ulama Syafi’i berkata, 'Abu Hanifah telah berkata, 'Jika seorang laki-laki ghaib dari istrinya, dan terputus khabar mengenainya, lalu datang seorang laki-laki lain berkata kepada wanita itu, 'Sesungguhnya suami kamu telah mati, maka oleh karena itu, tinggalkanlah dia.' Lalu wanita itu pun meninggalkan suaminya yang ghaib itu. Kemudian, setelah habis masa iddah, datanglah seorang laki-laki menikahinya dan menggaulinya, dan kemudian wanita itu melahirkan beberapa orang anak. Setelah itu, laki-laki yang kedua itu ghaib, dan kemudian laki-laki yang pertama muncul di sisi wanita itu, maka seluruh anak dari laki-laki yang kedua menjadi anak dari laki-laki yang pertama. Dia menerima waris dari mereka dan mereka menerima waris darinya.'[226]

Wahai orang-orang yang berakal, apakah orang yang pandai dan mengerti akan mau berpegang kepada perkataan ini?'

Ulama Hanafi menjawab, 'Abu Hanifah mengambil perkataan ini dari sabda Rasulullah saw yang berbunyi, 'Anak milik ranjang (istri) dan batu milik pelacur.' Maka ulama Syafi’i memprotes dengan mengatakan bahwa istri disyarati dengan adanya dukhul (disetubuhi), dan dia mampu mengalahkan ulama Hanafi.

Kemudian ulama Syafi’i berkata, 'lmam kamu Abu Hanifah telah berkata, 'Laki-laki mana saja yang melihat seorang wanita Muslim, lalu dia mengklaim bahwa suami wanita tersebut telah menceraikannya, dan kemudian dia mendatangkan dua orang saksi yang memberikan kesaksian palsu yang menguntungkan baginya, maka qadhi memutuskan terjadinya talak atas wanita tersebut, dan wanita itu menjadi haram bagi suaminya, sehingga dengan begitu boleh bagi laki-laki yang mengklaim itu menikahinya, dan begitu juga bagi saksi.'[227] Dia menyangka hukum qadhi berlaku baik secara zahir maupun batin.'

Ulama Syafi’i melanjutkan kata-katanya, 'lmam kamu Abu Hanifah mengatakan, 'Jika empat orang laki-laki bersaksi bahwa seorang laki-laki telah berzina, jika laki-laki itu membenarkan mereka, maka gugurlah hadd (hukuman), namun jika dia menyangkal mereka maka tertetapkanlah hukuman baginya.'[228] Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki penglihatan.'

Kemudian ulama Syafi’i berkata lagi, 'Abu Hanifah telah berkata, 'Jika seorang laki-laki mensodomi seorang anak laki-laki dan kemudian membenamkannnya, maka tidak ada hadd baginya kecuali hanya ditegur.'[229]
Padahal Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelakunya (al-fa'il) dan orang yang menjadi objeknya (al-maf'ul).'[230] Abu Hanifah berkata, 'Jika seseorang merampas biji gandum lalu dia menggilingnya, maka biji gandum itu menjadi miliknya karena telah menggilingnya. Jika kemudian pemilik biji gandum itu hendak mengambil biji gandum yang telah digiling itu dengan cara memberikan upah menggiling kepada orang yang merampas, maka tidak wajib orang yang merampas itu memenuhi permintaannya dan dia boleh menolaknya. Jika pemilik gandum itu terbunuh maka darahnya terbuang dengan sia-sia, sedangkan jika perampas itu terbunuh maka pemilik gandum itu harus dibunuh karena telah membunuhnya.'[231]

Abu Hanifah juga berkata, 'Jika seorang pencuri mencuri seribu dinar dari seseorang lalu dia juga mencuri seribu dinar berikutnya dari yang lain, kemudian dia menggabungkannya, maka semuanya menjadi miliknya, namun dia wajib memberi ganti atasnya.'

Abu Hanifah juga berkata, 'Jika seorang Muslim yang bertakwa dan berilmu membunuh seorang kafir yang bodoh maka orang Muslim itu wajib dibunuh. Karena Allah SWT telah berfirman, 'Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.' (QS. an-Nisa: 141)

Abu Hanifah berkata, 'Jika seseorang membeli ibunya atau saudara perempuannya, lalu dia menikahi keduanya, maka tidak berlaku hukuman (hadd) atasnya, meskipun dia mengetahui dan sengaja melakukannya.'[232]

Abu Hanifah berkata, 'Jika seseorang menikahi ibu atau saudara perempuannya dalam keadaan dia mengetahui bahwa mereka itu adalah ibu atau saudara perempuannya, dan kemudian dia menggauli mereka, maka tidak ada hukuman atasnya, disebabkan akad nikah tersebut akad syubhat.'[233]

Abu Hanifah berkata, 'Jika seseorang tidur dalam keadaan junub di sisi kolam yang berisi minuman keras, lalu dia berbalik di dalam tidurnya dan kemudian jatuh ke kolam, maka hilang junubnya dan dia menjadi suci.'
Abu Hanifah juga berkata, 'Tidak wajib niat di dalam wudu[234], dan juga di dalam mandi.'[235][236]

Padahal di dalam kitab sahih disebutkan, 'Sesungguhnya amal perbuatan itu (terlaksana) dengan niat.'
Abu Hanifah berkata, 'Tidak wajib membaca basmalah di dalam Fatihah[237], dan dia mengeluarkannya dari surat al-Fatihah, padahal para khalifah telah menuliskannya di dalam mushaf-mushaf setelah dilakukan pengeditan terhadap Al-Qur'an.

Abu Hanifah juga berkata, 'Jika bangkai anjing yang sudah mati diambil kulitnya, lalu kulitnya itu disamak, maka kulit anjing itu menjadi suci, meskipun digunakan untuk tempat minum dan hamparan di dalam salat.'[238] Ini bertentangan dengan nas yang menyatakan najisnya 'ain najasah, yang berarti haramnya pemanfaatannya.'

Kemudian ulama Syafi’i itu berkata, 'Wahai Hanafi, di dalam mazhabmu seorang Muslim tatkala hendak salat boleh berwudu dengan menggunakan minuman keras, dan memulainya dengan membasuh kaki serta mengakhirinya dengan membasuh kedua tangan.[239] Kemudian memakai pakaian yang terbuat dari kulit bangkai anjing yang telah disamak,[240] sujud di atas kotoran yang telah mengering, bertakbir dengan menggunakan bahasa India, membaca surat al-Fatihah dengan bahasa Ibrani[241], dan kemudian setelah al-Fatihah membaca 'du bargeh-ye sabz' —yaitu kata mudhammatan (dua daun hijau), kemudian ruku, lalu tidak mengangkat kepalanya dari ruku melainkan langsung sujud, serta dua sujud hanya dipisah dengan jeda waktu yang sangat tipis tidak ubahnya seperti pemisah di antara dua mata pedang. Dan apabila sebelum salam dia sengaja buang angin, maka salatnya sah, namun jika dia tidak sengaja buang angin, maka salatnya batal.'[242]

Ulama Syafi’i kembali berkata, 'Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki penglihatan. Apakah seseorang boleh beribadah dengan ibadah yang seperti ini? Apakah boleh bagi Nabi saw memerintahkan umatnya dengan ibadah yang seperti ini, yang tidak lain hanya merupakan kebohongan yang dibuat-buat atas Allah SWT dan Rasul-Nya?'

Ulama Hanafi membantah, dan dengan penuh emosi dia berkata, 'Berhenti! Wahai Syafi’i. Semoga Allah merobek mulutmu. Kamu kira kamu ini siapa sehingga berani mengecam Abu Hanifah, mazhab kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan mazhabnya. Mazhab kamu lebih layak disebut mazhab Majusi. Karena di dalam mazhabmu seorang laki-laki boleh menikahi anak perempuan dan saudara perempuannya hasil zina, dan boleh mengumpulkan dua orang saudara perempuan hasil zina, dan begitu juga boleh menikahi ibunya hasil zina, begitu juga bibinya hasil zina.[243] Padahal Allah SWT telah berfirman,

'Diharamkan atas kamu menikahi ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu dan saudara-saudara perempuan ibumu.' (QS. an-Nisa' 23)

Sifat-sifat hakiki ini tidak berubah dengan terjadinya perubahan syariat dan agama. Jangan kamu mengira, wahai Syafi’i, wahai dungu, bahwa terlarangnya mereka dari menerima waris berarti mengeluarkan mereka dari sifat-sifat hakiki ini. Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut di-idhafah-kan kepadanya, sehingga dikatakan 'anak perempuan dan saudara perempuannya dari hasil zina'. Pembatasan (taqyid) ini tidak menyebabkannya menjadi majazi (kiasan), sebagaimana kata-kata kita yang berbunyi, 'saudara perempuannya yang berasal dari nasab', melainkan hanya untuk memerinci. Sesungguhnya pengharaman di atas mencakup segala sesuatu yang terkena lafaz di atas, baik yang hakiki maupun yang majazi, berdasarkan kesepakatan. Berdasarkan kesepakatan, nenek termasuk ke dalam kategori ibu, dan begitu juga cucu perempuan dari anak perempuan, maka Oleh karena itu, tidak diragukan haramnya keduanya dinikahi berdasarkan ayat ini. Perhati-kanlah, wahai orang-orang yang berpikir, bukankah mazhab ini tidak lain mazhab Majusi.

Hai Syafi’i, Imam kamu membolehkan manusia bermain catur,[244] padahal Rasulullah saw telah bersabda, 'Tidak menyukai permainan catur kecuali seorang penyembah berhala.'

Hai Syafi’i, Imam kamu membolehkan berjoged, memukul rebana dan meniup seruling[245] bagi manusia. Allah memburukkan mazhabmu, di mana di dalamnya seorang laki-laki menikahi ibu dan saudara perempuannya, bermain catur, berjoged dan memukul rebana. Tidaklah ini semua kecuali kebohongan yang dibuat-buat atas Allah SWT dan Rasul-Nya saw. Tidak akan ada orang yang berpegang kepada mazhab ini kecuali orang yang buta hatinya dari kebenaran."'

Yohanes berkata, "Perdebatan panjang terjadi di antara mereka berdua, lalu ulama Hanbali membela ulama Syafi’i sedangkan ulama Maliki membela ulama Hanafi, sehingga terjadilah perselisihan di antara ulama Maliki dan ulama Hanbali. Ulama Hanbali berkata, 'Sesungguhnya Malik telah membuat suatu bid'ah di dalam agama, yang karena bid'ah itu Allah SWT telah membinasakan umat-umat terdahulu, namun Malik malah membolehkannya. Yaitu perbuatan mensodomi hamba sahaya. Padahal Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang mensodomi budak laki-laki, maka bunuhlah pelaku (al-fa'il) dan orang yang menjadi objeknya (al-maf'ul).'[246]

Saya pernah melihat seorang bermazhab Maliki mengadukan seseorang kepada qadhi, bahwa dia telah menjual budak laki-laki kepadanya namun budak itu tidak dapat digauli. Maka qadhi itu memutuskan ada kekurangan pada budak laki-laki itu, dan Oleh karena itu, pembelinya dapat mengembalikannya kembali kepada penjualnya. Apakah kamu tidak malu kepada Allah, hai Maliki, mempunyai mazhab yang seperti ini, sementara kamu mengaku-ngaku bahwa mazhabmu adalah sebagus-bagusnya mazhab?! Imam kamu menghalalkan daging anjing. Allah pasti memburukkan mazhab dan keyakinanmu.'

Dengan serta merta ulama Maliki menghardik dan berteriak, 'Dia kamu, hai mujassim (orang yang mengatakan Allah berjisim). Justru mazhab kamu yang lebih layak untuk dilaknat dan dijauhi. Karena dalam pandangan Imam kamu, Ahmad bin Hanbal, Allah itu jisim yang duduk di atas 'arasy. Pada setiap malam Jumat Allah SWT turun dari langit dunia ke atap-atap mesjid dalam bentuk wajah yang tidak berjanggut, rambut yang keriting, mempunyai dua sandal yang talinya terbuat dari bunga kurma, serta mengendarai keledai yang diiringi beberapa serigala.'"[247]

Yohanes berkata, "Maka terjadilah perselisihan antara Hanbali dengan Maliki serta Syafi’i dengan Hanafi. Mereka saling meninggikan suara mereka dan menelanjangi keaiban mereka masing-masing, hingga menjengkelkan semua orang yang mendengarkan perbincangan mereka, lalu orang-orang yang hadir pun mencela dan mengecam mereka.

Lalu saya berkata kepada mereka, 'Demi Allah, saya bersumpah, saya tidak senang dengan keyakinan-keyakinan Anda. Jika Islam benar sebagaimana yang Anda katakan, maka sungguh celaka. Demi Allah, saya bersumpah kepada Anda, supaya Anda menutup pembahasan ini dan pergi. Karena sekarang masyarakat umum telah mencela dan mengecam Anda."

Yohanes berkata, "Maka mereka pun berdiri, lalu berpisah dan kemudian tidak keluar dari rumah masing-masing selama seminggu. Tatkala mereka keluar rumah, masyarakat mengecam mereka. Setelah beberapa hari kemudian mereka pun berdamai dan berkumpul di mustanshiriyyah, dan saya pun duduk dan berbincang-bincang kembali bersama mereka. Saya berkata kepada mereka, 'Saya menginginkan seorang ulama dari kalangan ulama rafidhi, supaya kita berdialog dengannya tentang mazhabnya. Apakah Anda bersedia mendatangkan seorang dari mereka untuk kita berdialog dengannya?'

Ulama-ulama mazhab empat itu berkata, "Wahai Yohanes, kelompok Rafidhah itu jumlahnya sedikit. Mereka tidak bisa menampakkan diri di tengah-tengah kaum Muslimin, karena sedikitnya jumlah mereka, dan juga karena banyaknya musuh mereka. Mereka tidak akan menampakkan diri, apalagi dapat berdebat dengan kita tentang mazhab mereka. Mereka itu sangat sedikit jumlahnya dan sangat banyak musuhnya."
Yohanes berkata, "Ini merupakan pujian buat mereka, karena Allah SWT telah memuji kelompok yang sedikit dan mencela kelompok yang banyak. Allah SWT berfirman,

'Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.' (QS. Saba: 13)

'Dan tidaklah beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.'(QS. Hud: 40)

'Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.'(QS. al-An'am: 116)

'Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.' (QS. al-A'raf: 17)

'Akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.' (QS. al-Baqarah: 243)

'Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.' (QS. al-An'am: 37)

'Akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.' (QS. ar-Ra'd: 1)

Dan ayat-ayat lainnya."

Para ulama tersebut berkata, "Wahai Yohanes, keadaan mereka lebih besar dari yang disifatkan. Karena, jika kami mengenal salah seorang dari mereka, maka kami akan terus membuntutinya hingga kami membunuhnya. Karena dalam pandangan kami, mereka itu kafir dan halal darahnya. Bahkan, di kalangan para ulama kita ada yang memberikan fatwa bahwa harta dan wanita mereka halal."

Yohanes berkata, "Allah Mahabesar. Ini perkara yang besar sekali. Anda memandang mereka berhak mendapatkan semua ini, apakah karena mereka mengingkari syahadatain?”

Para ulama menjawab, "Tidak."

Yohanes bertanya lagi, "Apakah karena mereka tidak menghadap kiblat kaum Muslimin?"

Mereka menjawab, "Tidak."

Yohanes bertanya sekali lagi, "Apakah karena mereka mengingkari salat, puasa, haji, zakat atau jihad?"

Mereka menjawab, "Tidak. Bahkan mereka mengerjakan salat, puasa, zakat, haji dan jihad."

Yohanes kembali bertanya, "Apakah karena mereka mengingkari hari kebangkitan, shirat, timbangan dan syafaat?"

Para ulama menjawab, "Tidak. Bahkan mereka mengakui yang demikian dengan sebaik-baiknya pengakuan."

Yohanes bertanya lagi, "Apakah karena mereka membolehkan perbuatan zina, sodomi, meminum khamar, riba, alat musik dan alat-alat hiburan lainnya?"

Mereka menjawab, "Tidak. Bahkan mereka menjauhi dan mengharamkannya."

Yohanes berkata, "Demi Allah, sungguh mengherankan, bagaimana mungkin sebuah kaum yang bersaksi dengan dua syahadat (syahadatain), mengerjakan salat dengan menghadap kiblat, berpuasa di bulan Ramadan, pergi haji ke Baitul Haram, meyakini hari kebangkitan dan rincian perhitungan, dihalalkan darahnya, hartanya dan wanitanya, padahal Nabi Anda sendiri telah bersabda, 'Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah. Jika mereka mengatakan itu, maka terjagalah dariku darahnya, hartanya dan wanitanya. Adapun perhitungan mereka berada di tangan Allah."[248]

Para ulama itu berkata, "Wahai Yohanes, sesungguhnya mereka telah membuat bid'ah di dalam agama. Salah satunya ialah, mereka mengatakan bahwa Ali as adalah manusia paling utama setelah Rasulullah saw, dan mereka lebih mengutamakannya atas para khalifah yang tiga, padahal generasi pertama telah sepakat bahwa khalifah yang paling utama adalah khalifah yang pertama."

Yohanes berkata, "Bagaimana pendapat Anda jika ada orang yang mengatakan bahwa Ali lebih baik dan lebih utama dari Abu Bakar, apakah Anda akan mengkafirkannya?"

Mereka menjawab, "Ya. Karena dia telah menyalahi ijma'."

Yohanes bertanya lagi, "Bagaimana pendapat Anda tentang muhaddis Anda yang bernama al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Mardawaih?"

Para ulama menjawab, "Dia orang yang dapat dipercaya. Diterima riwayatnya dan lurus sifatnya."

Yohanes berkata, "Ini kitabnya yang berjudul Kitab al-Manaqib. Di dalam kitab ini dia meriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Ali adalah sebaik-baiknya manusia, barangsiapa yang enggan menerimanya, maka dia telah kafir.'

Di dalam kitab ini juga disebutkan, dari Salman, dari Rasulullah saw yang bersabda, "Ali bin Abi Thalib adalah sebaik-baiknya orang yang aku jadikan pengganti sepeninggalku."

Di dalam kitab ini juga disebutkan, dari Anas bin Malik yang berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Saudaraku, pembantuku dan sebaik-baiknya orang yang aku jadikan pengganti sepeninggalku adalah Ali bin Abi Thalib."

Dari Imam Anda, Ahmad bin Hanbal, dia meriwayatkan di dalam musnadnya bahwa Rasulullah saw telah bersabda kepada Fatimah, "Tidakkah engkau rida aku nikahkan engkau dengan orang yang paling pertama masuk Islam dari umatku, dan orang yang paling banyak ilmunya serta paling besar kebijaksanaannya."[249]

Ahmad juga meriwayatkan di dalam musnadnya bahwa Rasulullah telah bersabda, "Ya Allah, datangkanlah kepadaku hamba-Mu yang paling Kamu cintai."[250] Lalu datanglah Ali bin Abi Thalib. Hadis ini juga disebutkan oleh Nasa'i dan Turmudzi di dalam kitab sahih mereka.[251] Mereka berdua juga termasuk ulama Anda.

Akhthab Kharazmi juga meriwayatkan hadis ini di dalam kitab al-Manaqib —dia juga termasuk dari ulama Anda— dari Muadz bin Jabal yang berkata, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Wahai Ali, aku mengunggulimu dengan kenabian, karena tidak ada nabi sepeninggalku; namun kamu mengungguli manusia dengan tujuh hal, yang tidak ada seorang pun dari bangsa Quraisy yang mendebatmu tentang hal itu: kamu adalah orang yang pertama kali beriman kepada Allah di antara mereka, orang yang paling menunaikan perintah Allah dan perjanjian dengan-Nya, orang yang paling rata di dalam pembagian, orang yang paling adil kepada rakyat, orang yang paling tahu tentang permasalahan dan orang yang paling besar keutamaannya di sisi Allah pada hari kiamat."[252]

Penulis kitab Kifayah ath-Thalib, yang merupakan salah seorang dari ulama Anda berkata, "Hadis ini hadis hasan yang tinggi, dan al-Hafidz Abu Na'im meriwayatkannya di dalam kitab Hilyah al-Awliya."[253]

Yohanes berkata, "Wahai para pemimpin Islam, hadis-hadis yang sahih ini yang diriwayatkan oleh para Imam Anda, dengan jelas mengatakan kelebih-utamaan dan kelebih-baikan Ali atas seluruh manusia. Lantas, apa dosa kaum Rafidhahl Sesungguhnya ini adalah semata-mata dosa dari para ulama Anda dan orang-orang yang meriwayatkan dengan tidak benar serta membuat-buat kebohongan atas Allah dan Rasul-Nya."

Mereka berkata, "Wahai Yohanes, sesungguhnya mereka tidak meriwayatkan dengan tidak benar, dan juga tidak membuat-buat kebohongan, hanya saja hadis-hadis ini mempunyai takwil dan pertentangan."

Yohanes berkata, "Takwil yang mana yang dapat diterima terhadap hadis-hadis yang ditujukan secara khusus kepada manusia tertentu. Karena nas hadis-hadis ini secara eksplisit mengatakan bahwa Ali lebih baik dari Abu Bakar, dan ini tidak dapat ditakwilkan kecuali jika Anda mengeluarkan Abu Bakar dari kelompok manusia. Kalaupun seumpamanya kita menerima bahwa hadis-hadis ini tidak menunjukkan kepada makna di atas, namun coba beritahukan kepada saya mana di antara mereka berdua yang paling banyak berjihad?"
Mereka menjawab, "Ali."

Yohanes berkata, "Allah SWT telah berfirman, 'Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar.' (QS. an-Nisa: 95)

Bunyi nas ini begitu amat jelas."

Mereka berkata, "Abu Bakar juga seorang mujahid. Maka Oleh karena itu, tidak harus Ali lebih utama dari Abu Bakar."

Yohanes berkata, "Jihad yang lebih sedikit apabila dibandingkan kepada jihad yang lebih banyak, maka dianggap duduk. Kalaupun seumpamanya maknanya demikian, lantas apa yang dimaksud oleh Anda dengan 'orang yang lebih utama'?"

Mereka menjawab, "Yaitu orang yang terkumpul pada dirinya berbagai kesempurnaan dan keutamaan, baik yang berupa bawaan maupun yang diperoleh karena jerih payah usaha, seperti kemuliaan asal-usul, keilmuan, kezuhudan, keberanian, dan sifat-sifat lainnya yang merupakan cabang dari sifat-sifat ini."
Yohanes berkata, "Seluruh keutamaan ini ada pada diri Ali as, dalam bentuk yang lebih baik dibandingkan yang lainnya."

Yohanes berkata, "Adapun dari segi kemuliaan asal (nasab), dia adalah putra paman Rasulullah saw, suami dari putrinya dan ayah dari kedua cucunya.

Adapun dari sisi ilmu, Rasulullah saw telah bersabda, 'Saya adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.'[254]

Akal dapat memahami bahwa seseorang tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari sebuah kota kecuali jika dia mengambil dari pintunya. Sehingga dengan begitu maka jalan untuk mengambil manfaat dari Rasulullah saw hanya melalui Ali as. Ini adalah kedudukan yang tinggi. Rasulullah saw juga telah bersabda, 'Orang yang paling mengetahui di antara kamu adalah Ali.'[255] Kepadanyalah dinisbatkan seluruh permasalahan, berhentinya seluruh golongan, dan berpihaknya seluruh kelompok. Dia adalah pemuka dan sumber keutamaan, serta pemenang yang memenangkan arenanya. Setiap orang yang unggul di dalamnya semuanya mengambil darinya, mengikuti jejaknya dan meniru contohnya. Anda tentu telah mengetahui bahwa semulia-mulianya ilmu adalah tentang Ketuhanan. Ilmu ini dikutip dari perkataannya, dinukil darinya dan bermula dari dirinya.

Sesungguhnya kelompok Mu'tazilah, mereka itu adalah ahli fikir. Dari mereka inilah manusia belajar tentang ilmu ini, dan mereka itu adalah murid-muridnya. Karena guru besar mereka yang bernama Washil bin 'Atha adalah murid Abi Hasyim Abdullah bin Muhammad ibn al-Hanafiyyah,[256] sementara Abi Hasyim Abdullah adalah murid ayahnya, dan ayahnya adalah murid Ali bin Abi Thalib as.

Adapun kelompok Asy'ari, mereka itu berakhir kepada Abu Hasan al-Asy'ari. Dia adalah murid dari Abu Ali al-Juba'i, dan Abu Ali al-Juba'i adalah murid Washil bin 'Atha.[257]

Adapun kelompok Imamiyyah dan Zaidiyyah, bermuaranya mereka kepadanya amat jelas sekali.
Adapun dalam bidang ilmu fikih, dia itu adalah pokok dan dasarnya. Seluruh fakih di dalam Islam menisbatkan diri mereka kepadanya.

Adapun Malik, dia mengambil fikih dari Rabi'ah ar-Ra'y, sementara Rabi'ah ar-Ra'y mengambil dari 'lkrimah, 'lkrimah mengambilnya dari Abdullah, dan Abdullah mengambilnya dari Ali.

Adapun Abu Hanifah mengambil fikih dari Imam Ja'far ash-Shadiq as. Sementara Syafi’i adalah murid Malik, dan Hanbali adalah murid Syafi’i.[258] Adapun tentang merujuknya para fukaha Syi'ah kepadanya adalah sesuatu yang jelas sekali. Begitu juga tentang merujuknya para fukaha dari kalangan para sahabat kepadanya adalah sesuatu yang jelas, seperti Ibnu Abbas dan yang lainnya. Berikut ini adalah perkataan Umar yang diucapkannya tidak hanya sekali, 'Aku tidak dilanda masalah selama masih ada Abul Hasan.'[259] Umar juga mengatakan, 'Seandainya tidak ada Ali maka celakalah Umar."[260]

Turmudzi telah berkata di dalam kitab sahihnya, dan begitu juga al-Baghawi telah berkata dari Abu Bakar, 'Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang hendak melihat kepada Adam di dalam keilmuannya, kepada Nuh di dalam pemahamannya, kepada Yahya bin Zakaria di dalam kezuhudannya, dan kepada Musa bin Imran di dalam kekuatannya, maka hendaklah dia melihat kepada Ali bin Abi Thalib.'[261]

Baihaqi telah berkata, 'Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang hendak melihat kepada Adam di dalam keilmuannya, kepada Nuh di dalam ketakwaannya, kepada Ibrahim di dalam kesabarannya, kepada Musa di dalam kewibawaannya, dan kepada Isa di dalam ibadahnya, maka hendaklah dia melihat kepada Ali bin Abi Thalib.'[262] Dialah yang telah menjelaskan hukuman meminum minum-an keras,[263] yang telah memberikan fatwa berkenaan dengan seorang wanita yang melahirkan pada usia enam bulan kandungannya.[264] Dialah yang telah menyelesaikan pembagian uang dirham kepada pemilik adonan roti.[265] Dia juga yang telah memerintahkan untuk membelah seorang anak menjadi dua bagian.[266] Dialah yang telah memerintahkan untuk memenggal leher seorang hamba sahaya, dan yang bertindak sebagai hakim pada kasus orang yang mempunyai dua kepala."[267] Dia juga yang telah menjelaskan hukum makar (bughat),[268] dan dia juga yang telah memberi fatwa berkenaan dengan seorang wanita yang hamil karena zina.[269]

Salah satu di antara cabang ilmu adalah ilmu tafsir. Manusia telah mengetahui kedudukan Ibnu Abbas di dalam ilmu tafsir. Dia adalah murid Ali. Dia telah ditanya, 'Bagaimana kedudukan ilmumu dibandingkan ilmu putra pamanmu?' Ibnu Abbas menjawab, 'Laksana setetes air hujan di lautan yang sangat luas.'"[270]

Salah satu cabang ilmu yang lain adalah ilmu tarekat dan ilmu hakikat. Anda mengetahui bahwa tokoh-tokoh ilmu ini yang ada di seluruh negeri Islam, mereka semua berakhir kepadanya, dan berhenti di sisinya. Asy-Syibli, al-Hambali, Sirri as-Saqathi, Abu Zaid al-Busthami, Abu Mahfudz, yang dikenal dengan sebutan al-Kurkhi, dan yang lain-nya, dengan tegas mengakui hal ini. Cukup menjadi bukti bagi yang demikian itu, sobekan-sobekan yang menjadi slogan mereka, dan mereka menisbatkan sobekan-sobekan tersebut —melalui sanad mu'an'an— kepadanya, dan mengatakan bahwa dialah yang telah menuliskannya.[271]

Di antara cabang ilmu berikutnya adalah ilmu nahwu. Seluruh manusia telah mengetahui bahwa Ali as lah yang telah menciptakannya. Dia telah mendiktekan berbagai kumpulan yang hampir mendekati katagori mukjizat kepada Abul Aswad ad-Du`ali. Karena kemampuan manusia biasa tidak cukup untuk dapat menghasilkan penemuan yang seperti ini.

Bagaimana bisa memiliki sifat seperti ini seorang laki-laki yang manakala ditanya, apa arti kata abban, dia berkata, 'Aku tidak akan mengatakan tentang Kitab Allah berdasarkan pikiranku', dan memberikan putusan tentang bagian warisan yang diterima kakek dengan seratus perkataan yang berbeda satu sama lainnya. Dia mengatakan, 'Jika aku menyimpang maka luruskanlah, dan jika aku berada pada jalan yang benar maka ikutilah aku.'[272] Apakah seorang yang berakal akan membandingkan orang yang seperti ini dengan orang yang me-ngatakan, 'Tanyailah aku sebelum kalian kehilanganku',[273] 'Tanyailah aku tentang jalan-jalan yang ada di langit. Karena sesungguhnya demi —Allah— aku lebih mengetahui jalan-jalan yang ada di langit dibandingkan jalan-jalan yang ada di bumi.' Ali as juga berkata, 'Sesungguhnya di sini, sambil dia menunjuk ke arah dadanya, terdapat ilmu yang banyak.' Dia juga mengatakan, 'Sekiranya terbuka tirai penutup, tidak akan bertambah keyakinanku.'[274]

Adapun dalam masalah zuhud, dia adalah penghulu orang-orang zuhud. Tidak pernah sekali pun dia makan sampai kenyang. Dia adalah orang yang paling keras di dalam masalah pakaian dan makanan.

Abdullah bin Abi Rafi' berkata, 'Saya masuk menemui Ali bin Abi Thalib pada hari raya. Lalu dia mengambil sebuah kantong tertutup yang berisi roti kering yang telah hancur, kemudian dia pun memakannya.

Saya berkata, 'Wahai Amirul Mukminin, kenapa Anda menutup kantong tersebut, padahal hanya berisi roti yang telah kering ?'

Ali bin Abi Thalib menjawab, 'Saya takut kedua anak saya akan membubuhinya dengan minyak atau mentega.'"[275]

Pakaian yang dikenakannya selalu bertambalkan kulit atau sabut. Kedua sendalnya terbuat dari sabut. Dia biasa memakai pakaian yang kasar, dan jika kepanjangan, dia memotongnya dengan pisau dan tidak menjahitnya kembali. Makanan yang dimakannya hanya berbumbukan garam atau cuka. Kalaupun lebih dari itu, dia cukup menambahkannya dengan tanaman hasil bumi. Kalaupun lebih baik lagi, dia hanya menambahkan dengan sedikit susu unta. Dia tidak memakan daging kecuali hanya sedikit. Dia berkata, 'Jangan engkau jadikan perutmu menjadi kuburan binatang', meskipun demikian dia adalah manusia yang paling kuat dan paling kokoh.[276]

Adapun dari sisi ibadah, dari dialah manusia belajar salat malam, dawam membaca wirid dan melakukan ibadah-ibadah nafilah. Bagaimana pendapat Anda tentang seorang laki-laki yang dahinya kapalan tidak ubahnya seperti lutut unta. Salah satu bukti bagaimana dia begitu menjaga kewajiban agamanya, dia membentangkan tikar sajadah yang terbuat dari kulit pada saat perang Shiffin. Dia tetap mengerjakan salatnya pada saat anak-anak panah berjatuhan di hadapannya dan melewati kedua telinganya. Dia tidak gentar, dan terus melanjutkan salatnya hingga selesai.

Jika Anda menyimak dan memperhatikan berbagai doa dan munajatnya, serta melihat pengagungan Allah yang terdapat di dalam doanya, dan begitu juga ketundukan akan kebesaran-Nya dan kekhusyukan akan keagungan-Nya, niscaya Anda akan mengetahui betapa besar keikhlasan yang terkandung di dalamnya. Imam Ali Zainal Abidin, setiap malamnya mengerjakan salat sebanyak seribu rakaat, namun dia masih mengatakan, 'Aku tertinggal apabila dibandingkan dengan ibadah Ali.'[277]

Adapun dalam masalah keberanian, Ali bin Abi Thalib adalah tokohnya. Dia adalah seorang pemberani yang tidak pernah lari dari medan perang, dan tidak pernah gentar menghadapi sekelompok pasukan. Tidak ada seorang pun yang datang menantang kecuali pasti dibunuhnya. Tebasan pedangnya hanya sekali tebasan, dan tidak memerlukan kepada tebasan yang kedua.

Di dalam hadis disebutkan bahwa pukulan-pukulan pedangnya ganjil.[278] Orang-orang musyrik, jika melihat Ali di dalam medan peperangan mereka berwasiat kepada satu sama lainnya. Dengan pedangnyalah bangunan agama menjadi kokoh, dan para malaikat merasa kagum akan kehebatan serangan dan pukulan pedangnnya.

Di dalam perang Badar, yang merupakan cobaan berat atas kaum Muslimin, Ali bin Abi Thalib berhasil membunuh pahlawan-pahlawan Quraisy, seperti Walid bin 'Utbah, 'Ash bin Sa'id, dan Naufal bin Khuwailid, yang menahan Abu Bakar dan Thalhah sebelum hijrah. Rasulullah saw telah bersabda, 'Segala puji bagi Allah yang telah memperkenankan doaku berkenaan dengannya.'[279] Ali bin Abi Thalib terus membunuhi pahlawan-pahlawan Quraisy satu demi satu, sehingga dia berhasil membunuh setengah dari keseluruhan jumlah kaum musyrik yang terbunuh di perang Badar, yang jumlah keseluruhannya sebanyak tujuh puluh orang. Sementara seluruh kaum Muslimin yang lainnya, beserta tiga ribu malaikat, berhasil membunuh setengah yang lainnya.[280] Di sini lah Jibril berkata,

'Tidak ada pedang kecuali Dzul Fiqar, dan tidak ada pemuda kecuali Ali."[281]

Pada saat perang Uhud, manakala kaum Muslimin tercerai berai dari Rasulullah saw, dan Rasulullah saw dibanting ke tanah dan dipukuli dengan tombak dan pedang oleh orang-orang musyrik, Ali as berdiri kokoh di hadapan Rasulullah saw sambil menghunus pedang. Ketika Rasulullah saw melihat kepadanya, setelah siuman dari pingsannya, Rasulullah saw bertanya, 'Wahai Ali, apa yang telah dilakukan oleh kaum Muslimin?'

Ali bin Abi Thalib as menjawab, 'Mereka telah melanggar sumpah dan telah lari dari medan peperangan.'

Rasulullah saw berkata, 'Lindungi aku.' Maka Ali pun membuka kepungan mereka, dan menghadapi sekelompok pasukan demi sekelompok pasukan musuh, sambil memanggil kaum Muslimin, hingga akhirnya mereka kembali berkumpul. Jibril as berkata kepada Rasulullah saw, 'Sungguh ini merupakan pembelaan. Para malaikat merasa kagum dengan pembelaan yang dilakukan oleh Ali untukmu.'

Rasulullah saw berkata, 'Tidak ada yang mencegahnya melakukan itu. Karena dia adalah bagian dariku dan aku bagian darinya.'[282] Karena keteguhan Ali itulah akhirnya sebagian kaum Muslimin kembali lagi, termasuk Usman, yang baru kembali setelah tiga hari. Rasulullah saw berkata kepada Usman. 'Engkau pergi membawa peringatan.'[283]

Pada perang Khandaq, pada saat kaum musyrikin mengepung kota Madinah, sebagaimana yang dikatakan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur'an, '(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatanmu dan hatimu naik menyesak sampai ketenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan berbagai macam sangkaan' (QS. Al-Ahzab: 10), dan Amr bin Abdul Wudd berhasil mendobrak parit kaum Muslimin, serta menantang duel kepada kaum Muslimin, sementara tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang berani menghadapinya, maka tampillah Ali bin Abi Thalib dengan mengenakan sorban Rasulullah saw, sementara tangannya menenteng sebilah pedang. Dengan cepat Ali bin Abi Thalib memukulkan pedangnya kepada Amr bin Abdi Wudd, dengan sebuah pukulan pedang yang menyamai amal perbuatan seluruh jin dan manusia hingga hari kiamat.[284]

Di mana Abu Bakar, Umar dan Utsman pada saat itu?

Orang yang membaca kitab peperangan karya al-Waqidi dan kitab sejarah karya al-Baladzari, niscaya akan mengetahui bagaimana kedudukan Ali di sisi Rasulullah, dari sisi jihad dan keberaniannya pada perang Ahzab, perang Bani Musthaliq, pada saat mengangkat pintu benteng khaibar, dan pada saat perang khaibar. Peristiwa-peristiwa ini merupakan peristiwa-peristiwa yang amat terkenal.

Abu Bakar al-Anbari meriwayatkan di dalam kitabnya al-Amali, Ali duduk di sisi Umar di mesjid, sementara di samping mereka banyak orang yang hadir. Pada saat Ali berdiri dan meninggalkan majlis, salah seorang dari mereka yang hadir mengatakan bahwa Ali itu sombong.

Umar berkata, 'Orang sepertinya berhak untuk sombong. Kalau bukan karena pedangnya tidak akan tegak berdiri pilar-pilar agama. Dia adalah orang yang paling mengetahui di antara umat ini, dan paling mempunyai kedudukan.'

Orang itu bertanya kepada Umar, 'Lantas, apa yang mencegah Anda darinya, wahai Amirul Mukminin?'

Umar menjawab, 'Tidak ada yang kami tidak sukai darinya kecuali karena umurnya yang masih muda, kecintaannya kepada Bani Abdul Muththalib, dan dia yang membawa surat al-Bara'ah ke kota Mekkah.'

Ketika Ali bin Abi Thalib mengajak Muawiyah untuk berduel hingga terbunuh salah seorang dari mereka, guna menghentikan peperangan di antara umat, Amr bin Ash berkata kepada Muawiyah, 'Laki-laki itu telah bertindak adil kepadamu.'

Muawiyah berkata kepada Amr bin Ash, 'Belum pernah sekali pun engkau menipuku di dalam memberikan nasihat kepadaku kecuali pada hari ini. Engkau menyuruhku untuk berduel dengan Abul Hasan, padahal engkau tahu dia adalah seorang pemberani yang perkasa? Aku lihat, tampaknya engkau menginginkan kekuasaan negeri Syam sepeninggalku.'[285]

Orang Arab merasa bangga apabila berhadapan dengan Ali bin Abi Thalib as di dalam medan peperangan. Kabilah mereka merasa bangga apabila yang membunuh mereka adalah Ali. Hal ini tampak jelas sekali dalam ucapan-ucapan mereka. Ummu Kultsum[286] berkata berkenaan dengan terbunuhnya Amr bin Abdul Wudd,

'Seandainya pembunuh Amr bukanlah pembunuhnya, niscaya aku akan menangisinya selamanya, dan sekejap pun aku tidak mau hidup. Namun, pembunuhnya adalah orang yang tidak ada tandingannya, yang ayahnya telah menganggapnya sebagai orang yang terpandang.'[287]

Adapun tentang kedermawanannya, dialah yang telah menyelesaikan puasanya hingga tiga hari berturut-turut dengan menyedekahkan makanan untuk buka puasanya kepada peminta-minta setiap malamnya. Hingga Allah SWT menurunkan ayat berkenaan dengannya, 'Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?' (QS. Al-Insan: 1)

Kemudian dia menyedekahkan cincinnya ketika ruku, maka turunlah ayat yang berbunyi, 'Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku.' (QS. Al-Maidah: 55)

Dia juga bersedekah dengan empat dirham, lalu Allah SWT menurunkan ayat yang berbunyi, 'Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidakpula mereka bersedih hati.' (QS. Al-Baqarah: 274)

Dialah orang yang menyiram kebun pohon korma dengan tangannya dan kemudian menyedekahkan uang upah yang diperoleh darinya. Muawiyah bin Abi Sufyan, yang merupakan musuhnya, manakala Mahjan adh-Dhibbi berkata kepadanya, 'Saya telah datang dari sisi manusia yang paling kikir', mengatakan, 'Celaka engkau, apa yang engkau katakan? Engkau mengatakan dia manusia yang paling kikir? Tidak, seandainya dia mempunyai sebuah rumah yang terbuat dari lempengan emas dan sebuah rumah lagi yang terbuat dari jerami, niscaya terlebih dahulu dia akan menginfakkan rumahnya yang terbuat dari emas, sebelum rumahnya yang terbuat dari jerami.'[288]

Dialah yang telah mengatakan, 'Wahai kuning (emas), wahai putih (perak), bujuklah selain aku. Jauhlah, jauhlah engkau dariku. Sesungguhnya aku telah memberimu talak tiga, yang tidak ada kemungkinan untuk kembali.'[289]

Dialah yang telah merelakan jiwanya dengan tidur di ranjang Rasulullah saw pada malam ketika rumah Rasulullah saw dikepung orang-orang musyrik Quraisy. Hingga Allah SWT menurunkan ayat berkenaan dengannya, Dan di antara manusia ada orang yang mengorbasnkan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.'" (QS. Al-Baqarah: 207)

Yohanes berkata, "Ketika mendengar perkataan ini, tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Mereka mengatakan, 'Anda benar. Apa yang Anda katakan ini, kami telah membacanya di dalam kitab-kitab kami, dan kami telah menukilnya dari imam-imam kami. Akan tetapi, kecintaan Allah dan Rasul-Nya dan juga perhatian keduanya adalah sesuatu yang ada di belakang semua ini. Mungkin saja Allah SWT mempunyai perhatian yang lebih besar dibandingkan perhatian yang diberikan-Nya kepada Ali.'

Yohanes berkata, 'Sesungguhnya kita tidak mengetahui yang ghaib, dan tidak ada yang mengetahui yang ghaib selain Allah. Apa yang Anda katakan ini adalah sebuah kebohongan, padahal Allah SWT telah berfirman, 'Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta.' (QS. adz-Dzariyat: 10) Kita semata-mata hanya menghukumi berdasarkan bukti-bukti yang menunjukkan kelebih-utamaan Ali, dan kemudian kita pun mengemukakan bukti-bukti tersebut.

Adapun mengenai perhatian Allah terhadap Ali as, keutamaan-keutamaan di atas merupakan dalil yang pasti akan besarnya perhatian Allah SWT terhadapnya. Perhatian mana yang lebih baik dari dijadikannya dia oleh Allah SWT sebagai manusia yang paling mulia nasabnya setelah Rasulullah, sebagai manusia yang paling besar kesabarannya, sebagai manusia yang paling berani hatinya, sebagai manusia yang paling banyak jihadnya, paling banyak kezuhudannya, paling banyak ibadahnya, paling tinggi kedermawanannya, paling tinggi kewarakannya, dan sifat-sifat kesempurnaan lainnya yang telah disebutkan. Ini adalah perhatian dari Allah SWT terhadapnya.

Adapun mengenai kecintaan Allah SWT dan Rasul-Nya kepadanya, Rasulullah saw telah memberikan kesaksian tentang hal itu pada banyak kesempatan. Salah satunya adalah apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw pada saat perang khaibar, yang tidak ada seorang pun dapat mengingkarinya. Rasulullah saw berkata, 'Besok, saya akan memberikan panji ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.'[290] Kemudian Rasulullah saw memberikan panji tersebut kepada Ali.

Seorang ulama Anda yang bernama Akhthab Kharazmi meriwayatkan di dalam kitabnya yang berjudul al-Manaqib, bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Ya Ali, sekiranya seorang hamba beribadah kepada Allah SWT sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nuh kepada kaumnya, dan dia mempunyai emas sebanyak gunung Uhud, lalu diinfakkannya di jalan Allah, serta mempunyai umur yang panjang sehingga dapat menunaikan ibadah haji sebanyak seribu kali, kemudian dia terbunuh di antara Shafa dan Marwa secara teraniaya, namun dia tidak menjadikan kamu sebagai pemimpin, niscaya dia tidak akan bisa mencium baunya surga dan tidak akan bisa memasukinya.'[291]

Di dalam kitab yang sama juga disebutkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Sekiranya manusia sepakat di dalam mencintai Ali bin Abi Thalib, niscaya Allah SWT tidak akan menciptakan neraka.'[292]

Di dalam kitab al-Firdaus disebutkan, 'Kecintaan kepada Ali adalah kebaikan yang bersamanya tidak ada satu pun keburukan yang dapat mendatangkan bahaya, dan kebencian kepadanya adalah keburukan yang bersamanya tidak ada satu pun kebaikan yang dapat mendatangkan manfaat.'[293]

Di dalam kitab Ibnu Khaluyah, dari Hudzaifah bin Yaman yang berkata, 'Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang hendak bersedekah dengan batu cincin yakut yang telah Allah SWT ciptakan dengan tangan-Nya, dan kemudian Allah SWT katakan kepadanya, 'jadilah', lalu kemudian batu cincin yakut itu pun jadi, maka hendak-nya dia menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin sepeninggalku'

Pada Musnad Ahmad bin Hanbal, di dalam jilid pertama disebutkan bahwa Rasulullah saw memegang tangan Hasan dan Husain seraya berkata, 'Barangsiapa yang mencintaiku dan mencintai kedua anak ini serta mencintai ayah keduanya, niscaya pada hari kiamat dia akan berada dalam derajatku."'[294]

Yohanes berkata, "Wahai para imam Islam, apakah setelah semua ini masih terdapat pembicaraan tentang perkataan Allah SWT dan Rasul-Nya yang berkaitan dengan kecintaan kepadanya dan pelebihannya atas orang-orang yang tidak memiliki keutamaan-keutamaan ini?'

Para imam tersebut menjawab, "Wahai Yohanes, orang-orang Rafidhi (Syi'ah) menyangka Rasulullah saw telah mewasiatkan kekhilafahan kepada Ali as, dan telah menetapkannya baginya. Sedangkan menurut pandangan kami, Rasulullah saw tidak mewasiatkan kekhilafahan kepada siapa pun."

Yohanes berkata, "Ini kitab Anda, di dalamnya disebutkan, 'Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kaum kerabatnya secara makruf.' (QS. al-Baqarah: 180)

Di dalam Kitab Bukhari Anda disebutkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, Tidaklah seorang Muslim berhak tidur kecuali dia meletakkan wasiatnya di bawah kepalanya.'[295]

Apakah Anda membenarkan Nabi Anda saw memerintahkan sesuatu yang tidak dikerjakannya, padahal Kitab suci Anda mengecam keras orang yang memerintahkan apa yang tidak dilakukannya. Allah SWT berfirman, 'Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?' (QS. al-Baqarah: 44)

Demi Allah, jika Nabi Anda meninggal dunia dengan tidak meninggalkan wasiat, berarti dia telah melanggar perintah Tuhannya, menyalahi ucapannya sendiri, dan tidak mengikuti jejak nabi-nabi terdahulu yang memberikan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan urusanya sepeninggalnya. Padahal Allah SWT telah berfirman, 'Maka ikutilah petunjuk mereka.' (QS. al-An'am: 90) Namun, tentunya Nabi Anda tidak berbuat demikian. Apa yang Anda katakan tidak lain adalah semata-mata karena kebodohan dan kekeras-kepalaan Anda. Karena, Imam Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan di dalam kitab Musnadnya, bahwa Salman telah berkata, 'Ya Rasulullah, siapakah washi Anda?'

Rasulullah saw berkata, 'Wahai Salman, siapa washi saudara saya Musa as?'

Salman menjawab, 'Yusya' bin Nun.'

Kemudian Rasulullah saw berkata, 'Sesungguhnya washi dan pewarisku adalah Ali bin Abi Thalib.'

Di dalam kitab Ibnu al-Maghazili asy-Syafi’i, dengan sanad yang menyambung kepada Rasulullah saw, disebutkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Setiap nabi mempunyai washi dan pewaris. Adapun washi dan pewarisku adalah Ali bin Abi Thalib.'[296]

Inilah Imam al-Baghawi Muhyis Sunnah ad-Din, salah seorang muhaddis dan mufassir besar Anda. Dia telah meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya yang berjudul Ma'alim at-Tanzil, pada penafskan firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.' (QS. asy-Syu'ara: 214) Dia menyebutkan, 'Dari Ali as yang berkata, 'Ketika ayat ini turun, Rasulullah saw memerintahkan kepadaku untuk mengumpulkan Bani Abdul Muththalib baginya, maka aku pun mengumpulkan mereka. Pada saat itu terkumpullah kurang lebih empat puluh orang dari Bani Abdul Muththalib. Setelah menjamu mereka dengan hidangan kaki kambing dan susu, Rasulullah saw pun berkata kepada mereka, 'Wahai putra-putra Abdul Muththalib! Demi Allah, tidak seorang pun pemuda bangsa Arab yang telah membawa untuk kaumnya sesuatu yang lebih berharga dan lebih utama dari apa yang aku bawa untuk kamu semua! Aku datang mem-bawa kebaikan dunia dan akhirat. Dan Allah telah memerintahkan aku menyerukan kepada kalian agar menerimanya. Maka siapakah di antara kalian yang bersedia memberikan dukungan bagiku dalam urusan ini; dan sebagai imbalannya, ia akan menjadi saudaraku yang terdekat, washi (penerima dan pengemban wasiat)ku, serta menjadi khalifah (pengganti)ku di antara Anda semua?' Tidak ada seorang pun dari mereka yang menerima tawaran Rasulullah saw.

Ali berkata, 'Lalu aku pun berdiri dan berkata, 'Aku, wahai Rasulullah, yang akan menjadi pembantumu.'

Kemudian Rasulullah saw berkata kepada Ali, 'lnilah saudaraku, wasbiku dan khalifahku di antara Anda semua. Dengar lah kata-katanya, dan taatlah kepadanya.' Maka bangkitlah mereka itu sambil tertawa dan berkata kepada Abu Thalib, 'Lihatlah, betapa ia telah memerintahkan Anda agar mendengarkan kata-kata anakmu dan taat kepadanya.'[297]

Riwayat ini juga telah diriwayatkan oleh Imam Anda Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya,[298] oleh Muhammad bin Ishaq ath-Thabari di dalam kitab tarikhnya,[299] dan juga oleh al-Kharkusyi. Jika riwayat ini dusta, maka berarti Anda telah memberikan kesaksian bahwa para Imam Anda meriwayatkan riwayat dusta atas Allah dan Rasul-Nya. Padahal Allah SWT telah berfirman, 'lngatlah, kutukan Allah (ditirnpakan) atas orang-orang yang zalim.' (QS. Hud: 18) 'Yaitu orang-orang yang mengada-adakan kebohongan atas Allah.' (QS. Yunus: 69 dan 96)

Allah SWT juga berfirman di dalam Kitab-Nya, 'Dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.' (QS. Ali 'lmran: 61)

Jika para Imam Anda tidak berdusta, dan memang demikian perkaranya, lantas, apa dosa orang-orang rafidhil Jika demikian, takutlah Anda kepada Allah, wahai para Imam Islam. Demi Allah, apa yang Anda katakan tentang peristiwa al-Ghadir yang dikatakan oleh orang Syi'ah

Para Imam tersebut menjawab, "Para ulama kami sepakat bahwa itu tidak lain hanyalah cerita dusta yang diada-adakan."

Yohanes berkata, "Allah Mahabesar. Ini Imam Anda dan sekaligus muhaddis Anda, Ahmad bin Hanbal meriwayatkan di dalam Musnadnya bahwa Barra bin 'Azib telah berkata, 'Kami bersama-sama Rasulullah saw di dalam perjalanan kami. Lalu kami singgah di Ghadir Khum, kemudian salah seorang dari kami menyeru kami agar menunaikan salat jamaah. Seseorang menyapu untuk Rasulullah saw yang sedang berteduh di bawah dua pohon. Kemudian Rasulullah saw mengerjakan salat Zuhur. Selesai salat Rasulullah saw mengangkat tangan Ali as seraya bersabda, 'Bukankah kamu semua mengetahui bahwa aku lebih utama atas seluruh orang Mukmin dibandingkan diri mereka sendiri?'

Semua yang hadir menjawab, 'Benar.' Kemudian Rasulullah saw mengangkat tangan Ali tinggi-tinggi, sehingga tampak putihnya ketiak keduanya, seraya berkata, 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya, maka inilah pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan telantarkanlah orang yang menelantarkannya.'

Kemudian Umar bin Khattab berkata, 'Selamat bagi Anda, wahai Putra Abu Thalib. Sekarang, Anda telah menjadi pemimpin setiap Mukmin laki-laki dan Mukmin perempuan.'

Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan riwayat ini di dalam Musnadnya melalui jalan lain, yang bersanad kepada Abu Thufail; dia juga meriwayatkannya melalui jalan yang ketiga, yang bersanad kepada Zaid bin Arqam.[300] Ibnu 'Abdu Rabbih juga meriwayatkannya di dalam kitab al- ‘Iqd al-Farid.[301] Sa'id bin Wahab juga meriwayat-kannya. Begitu juga ats-Tsa'labi di dalam kitab tafsirnya.[302] Ats-Tsa'labi menguatkan riwayat ini dengan riwayat yang diriwayatkannya berkenaan dengan penafsiran ayat 'Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi.' Dia mengatakan bahwa Harits bin Nu'man al-Fihri mendatangi Rasulullah saw, yang sedang berada di tengah sahabat-sahabatnya. Harits bin Nu'man al-Fihri berkata, 'Ya Muhammad, engkau telah menyuruh kami supaya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, dan kami pun menerimanya. Engkau juga menyuruh kami untuk mengerjakan salat lima waktu, dan kami pun menerimanya. Kemudian engkau memerintahkan kami untuk berpuasa di bulan Ramadan, dan kami pun tetap menerimanya. Selanjutnya engkau memerintahkan kami untuk menunaikan haji, dan kami pun tetap menerimanya. Namun engkau tidak merasa cukup dengan itu, hingga akhirnya engkau mengangkat kedua lengan anak pamanmu dan mengutamakannya atas kami sambil berkata, 'Barangsiapa yang aku adalah pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya. 'Apakah ini berasal darimu atau dari Allah?'

Rasulullah saw menjawab, 'Demi Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya ini berasal dari Allah.'

Kemudian Harits bin Nu'man al-Fihri meninggalkan Rasulullah saw seraya berkata, 'Ya Allah, seandainya apa yang dikatakan oleh Muhammad itu benar, maka turunkanlah hujan batu dari langit ke atas kami.' Belum sempat Harits bin Nu'man al-Fihri sampai ke tempat dia menambatkan binatang tunggangannya, tiba-tiba Allah SWT menu-runkan sebuah batu dari langit yang tepat mengenai ubun-ubun kepalanya dan menembuh keluar dari duburnya, hingga dia pun tersungkur dan mati. Kemudian turunlah ayat Al-Qur'an yang berbunyi, 'Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi.' (QS. al-Ma'arij: 1)

Bagaimana bisa Anda mengatakan riwayat-riwayat ini dusta dan tidak sahih sementara para Imam Anda meriwayatkannya?"

Para Imam itu berkata, "Wahai Yohanes! Benar, para Imam kami telah meriwayatkan itu. Namun, jika Anda kembali kepada akal dan pikiran Anda, niscaya Anda akan tahu bahwa mustahil Rasulullah saw menetapkan yang demikian itu atas Ali bin Abi Thalib as, lalu seluruh sahabat bersepakat untuk menyembunyikan nas ini, dan kemudian mengalihkannya kepada Abu Bakar at-Timi yang lemah, yang berasal dari klan yang kecil. Padahal, para sahabat, jika Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk membunuh diri mereka sendiri niscaya mereka akan lakukan. Bagaimana mungkin seorang yang berakal dapat membenarkan sesuatu yang mustahil ini?"

Yohanes menjawab, "Anda jangan merasa heran dari hal ini. Umat Nabi Musa as, yang jumlah mereka enam kali lipat lebih banyak dari umat Nabi Muhammad saw, manakala Nabi Musa as mengangkat saudaranya Harun as sebagai khalifah (pengganti)nya atas mereka, sementara Harun as itu sendiri adalah Nabi mereka, dan mereka lebih mencintainya dibandingkan Musa as, mereka berpaling kepada Samiri dan menyembah patung anak sapi. Oleh karena itu, tidaklah begitu mengherankan manakala para sahabat berpaling dari washi Rasulullah saw, sepeninggal beliau, kepada orang tua yang Rasulullah saw telah menikahi putrinya. Sepertinya, jika Al-Qur'an al-Karim tidak menceritakan kisah penyembahan patung anak sapi yang dilakukan oleh umat Nabi Musa, Anda tidak akan membenarkannya."

Para Imam itu berkata, "Wahai Yohanes, Ali tidak menentang mereka. Bahkan diam dan berbait kepada mereka."

Yohanes menjawab, "Tidak diragukan, bahwa tatkala Rasulullah saw meninggal dunia jumlah kaum Muslimin sedikit. Di tengah-tengah mereka ada pendusta yang bernama Musailamah al-Kadzdzab, yang mempunyai pengikut sebanyak delapan puluh ribu orang. Sementara orang-orang Muslim yang ada di Madinah dipenuhi oleh orang-orang munafik. Seandainya dia menampakkan perlawanan dengan pedang, niscaya setiap orang yang anak atau saudaranya pernah dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib di medan perang akan memeranginya. Sementara, hanya sedikit sekali ketika itu orang yang kabilah, kerabat atau sahabatnya yang tidak pernah dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib di medan perang. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib lebih memilih sabar, dan hanya menentang mereka melalui jalan hujjah dan argumentasi selama enam bulan. Kejadian ini merupakan sesuatu yang tidak diragukan di kalangan Ahlus Sunnah. Kemudian, salah seorang dari mereka menuntut baiat darinya. Menurut kalangan Ahlus Sunnah Ali bin Abi Thalib telah berbaiat, sementara menurut kalangan Rafidhah (Syi'ah) Ali bin Abi Thalib tidak berbaiat. Sementara Tarikh Thabari[303] mengatakan bahwa Ali tidak berbaiat; hanya saja Abbas, manakala melihat fitnah ada di depan mata, dia berteriak, "Anak saudaraku telah memberikan baiat.'

Anda tentu tahu, bahwa seandainya kekhilafahan bukan milik Ali maka tentu dia tidak akan mengklaimnya. Karena, jika dia mengklaimnya, sementara kekhalifahan bukan miliknya, maka dia seorang pendusta. Padahal Anda meriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Ali bersama kebenaran, dan kebenaran bersama Ali.'[304] Bagaimana mungkin dia mengklaim sesuatu yang bukan merupakan haknya. Karena Jika demikian berarti Nabi Anda telah berdusta.

Anda merasa heran dengan pembangkangan yang dilakukan oleh Bani Israil kepada Nabi mereka di dalam masalah khalifah (pengganti)nya, dan keberpalingan mereka kepada Samiri dan patung anak sapi. Namun —sungguh merupakan sesuatu yang aneh— pada saat yang sama Anda meriwayatkan bahwa Nabi Anda bersabda, 'Niscaya kalian akan mengikuti jejak Bani Israil. Bahkan, seandainya mereka masuk ke lobang biawak, kalian pun akan ikut memasukinya.'[305] Di dalam Kitab suci Anda disebutkan bahwa Bani Israil membangkang nabi mereka di dalam masalah khalifahnya, dan mereka malah berpaling kepada sesuatu yang tidak layak untuknya."

Para ulama itu berkata, "Wahai Yohanes, apakah Anda melihat Abu Bakar tidak layak untuk jabatan kekhilafahan?"

Yohanes berkata, "Demi Allah, saya tidak melihat Abu Bakar layak untuk jabatan kekhilafahan, namun saya juga tidak fanatik terhadap kelompok Rafidhah. Saya membaca kitab-kitab Islam, dan di sana saya melihat bahwa para Imam Anda memberitahukan kita, sesungguhnya Allah SWT dan Rasul-Nya memberitahukan bahwa Abu Bakar tidak layak untuk jabatan kekhilafahan."

Para Imam itu bertanya, "Di mana itu?"

Yohanes menjawab, "Saya lihat di dalam kitab Bukhari Anda,[306] di dalam kitab al-Jam' Baina ash-Shihah as-Sittah, di dalam kitab Sahih Abu Dawud, Sahih Turmudzi,[307] dan Musnad Ahmad bin Hanbal disebutkan bahwa Rasulullah saw telah mengutus Abu Bakar membawa Surat al-Bara'ah ke Mekkah. Ketika Abu Bakar sampai ke Dzil Khulaifah, Rasulullah saw memanggil Ali dan berkata kepadanya, 'Susul Abu Bakar, ambil tulisan darinya, dan bacakan kepada mereka.' Maka Ali pun menyusul Abu Bakar, lalu mengambil tulisan darinya. Kemudian Abu Bakar kembali ke hadapan Rasulullah saw dan berkata, 'Ya Rasulullah, apakah ada ayat yang turun berkenaan denganku?'

Rasulullah saw menjawab, Tidak ada. Hanya saja Jibril as datang kepadaku dan berkata, 'Tidak akan melaksanakan tugas ini kecuali kamu atau seorang laki-laki dari kamu.'

Jika memang demikian perkaranya, dan jika memang Abu Bakar tidak layak menunaikan ayat-ayat yang mudah dari Nabi saw semasa beliau hidup, maka bagaimana mungkin dia layak memangku jabatan kekhilafahan sepeninggal beliau. Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa Ali as layak untuk menunaikan tugas dari Nabi saw. Wahai kaum Muslimin, kenapa Anda bersikap pura-pura dari kebenaran yang sedemikian jelas? Dan kenapa Anda condong kepada mereka? Apa yang Anda takutkan?"

Ulama Hanafi menundukkan kepalanya sejenak, kemudian dia mengangkatnya kembali seraya berkata, "Wahai Yohanes! Sungguh, Anda melihat dengan pandangan yang adil, dan sesungguhnya kebenaran persis sebagaimana yang Anda katakan. Saya ingin lebih menambahkan tentang makna hadis ini untuk Anda. Yaitu bahwa Allah SWT hendak menjelaskan kepada manusia bahwa Abu Bakar tidak layak untuk kedudukan kekhilafahan. Oleh karena itu, Rasulullah saw mengirim Ali di belakangnya, dan memberhentikan Abu Bakar dari kedudukan yang agung ini, supaya manusia tahu bahwa Abu Bakar tidak layak untuk kedudukan tersebut, dan bahwa yang layak menduduki kedudukan tersebut adalah Ali as. Rasulullah saw bersabda, 'Tidak akan menyampaikan tugas ini dari kamu kecuali kamu atau seorang laki-laki dari kamu.'[308] Bagaimana pendapatmu, wahai Maliki?"

Ulama Maliki itu berkata, "Demi Allah, pikiran saya masih dibingungkan oleh kenyataan bahwa Ali menentang Abu Bakar di dalam masalah kekhilafahannya selama enam bulan. Dan, setiap dua orang yang berselisih tentang suatu perkara, maka mau tidak mau salah seorang dari mereka pasti berada di pihak yang benar. Jika kita mengatakan Abu Bakar yang benar, berarti kita telah menyalahi makna ucapan Rasulullah saw yang mengatakan, 'Ali bersama kebenaran, dan kebenaran bersama Ali.' Ini adalah hadis sahih, yang tidak ada perselisihan tentangnya." Kemudian dia melihat ke arah ulama Hanbali, untuk mengetahui pandangannya.

Ulama Hanbali berkata, "Sahabat-sahabatku, betapa banyak kita telah bersikap pura-pura dari kebenaran? Demi Allah, sesungguhnya saya yakin bahwa Abu Bakar dan Umar telah merampas hak Ali as."

Yohanes menuturkan, "Di dalam melakukan pembahasan, banyak sekali pertentangan yang timbul di antara mereka. Namun titik persamaan dari pembicaraan mereka ialah bahwa kebenaran berada di pihak Rafidhah. Yang paling dekat dengan kebenaran di antara mereka ialah ulama Syafi’i. Ulama Syafi’i itu berkata, "Bukankah Anda tahu bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak mengenal imam zamannya, maka dia mati sebagai orang Yahudi atau sebagai orang Nasrani.'

Apa yang yang dimaksud dengan imam zaman? Dan siapakah dia?"

Mereka menjawab, "Imam zaman kita adalah Al-Qur'an, karena kepadanyalah kita mengikuti."

Ulama Syafi’i itu berkata, "Anda semua salah. Karena Rasulullah saw telah bersabda, 'Para Imam itu dari kalangan Quraisy.'[309] Beliau tidak mengatakan, 'lmam itu adalah Al-Qur'an.'"

Mereka berkata lagi, "Rasulullah saw Imam kita."

Ulama Syafi’i itu menjawab, "Anda semua salah. Kafena, tatkala para ulama kita dikritik kenapa Abu Bakar dan Umar meninggalkan jenazah Rasulullah yang masih terbaring belum dimandikan, untuk pergi menuntut jabatan kekhilafahan, dan ini menunjukkan kerakusan mereka akan jabatan tersebut, serta menodai keabsahan kekhilafahan mereka berdua, para ulama kita menjawab, bahwa apa yang mereka berdua lakukan adalah semata-mata kerena melihat sabda Rasulullah saw yang berbunyi, 'Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak mengenal siapa Imam zamannya, maka berarti dia mati dengan kematian jahiliyyah.' Oleh karena itu, mereka berdua pun bersegera pergi untuk menentukan Imam zamannya, karena takut akan ancaman Rasulullah saw dalam hadis ini. Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa yang dimaksud dengan Imam di sini bukanlah Rasulullah saw."

Mereka berkata kepada ulama Syafi’i itu, "Anda sendiri, siapa Imam Anda, wahai Syafi’i?"

Ulama Syafi’i itu menjawab, "Jika saya termasuk kelompok Anda, maka saya tidak mempunyai Imam; sedangkan jika saya termasuk kelompok (Syi'ah) Itsna 'Asyariiyah, maka Imam saya adalah Muhammad bin Hasan as."

Para ulama itu berkata, "Demi Allah, ini adalah perkara yang sulit untuk bisa diterima. Bagaimana mungkin Imam kamu adalah seorang manusia yang mempunyai umur yang sedemikian panjang, yang tidak ada seorang pun yang mempunyai umur sepertinya, serta tidak ada seorang pun yang melihatnya? Hal ini amat sulit untuk bisa diterima?"

Ulama Syafi’i itu berkata, "Dajjal, yang termasuk kelompok kafir, Anda katakan dia ada dan hidup, dan dia ada sebelum Mahdi dan Samiri. Demikian juga, Anda tidak mengingkari adanya Iblis. Berkenaan dengan Khidhir dan Isa, Anda juga mengatakan bahwa keduanya masih hidup. Di kalangan Anda terdapat riwayat-riwayat yang menunjukkan akan pemanjangan umur bagi kelompok orang yang bahagia dan kelompok orang yang celaka. Al-Qur'an al-Karim mengatakan bahwa para pemuda ashabul kahfi telah tidur selama tiga ratus sembilan tahun dengan tidak makan dan tidak minum. Lantas, apakah mustahil apabila salah seorang dari keturunan Rasulullah saw hidup dalam masa yang lama dengan makan dan minum, hanya saja dia tidak memberitahukan kita bahwa seseorang telah melihatnya? Dengan demikian, penolakan kamu akan hal ini tidaklah beralasan."

Yohanes berkata, "Sesungguhnya Nabi Anda telah bersabda, 'Sepeninggalku umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Hanya satu golongan yang selamat, sementara tujuh puluh dua lainnya berada di dalam neraka. Apakah Anda tahu, golongan mana yang selamat itu?"

Mereka menjawab, "Mereka itu adalah kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena, tatkala Rasulullah saw ditanya tentang siapakah golongan yang. selamat itu, Rasulullah saw menjawab, 'Orang-orang yang berpijak pada sunahku sekarang dan sunah para sahabatku.'"[310]

Yohanes kembali bertanya, "Dari mana Anda tahu bahwa Anda berpijak pada sunah Rasulullah saw?"

Mereka menjawab, "Ulama-ulama terkemudian menukilkan itu dari ulama-ulama terdahulu."

Yohanes berkata lagi, "Lantas, siapa yang berpegang kepada nukilan Anda?"

Dengan heran mereka bertanya, "Memangnya kenapa?"

Yohanes menjawab, "Karena dua hal:

Pertama, sesungguhnya para ulama Anda banyak sekali menukil hadis-hadis yang menunjukkan kepada keimamahan Ali bin Abi Thalib as dan kelebih-utamaannya, sementara Anda mengatakan bahwa yang demikian itu dusta, dan itu berarti Anda memberi kesaksian bahwa para ulama Anda telah menukil berita dusta. Oleh karena itu, mungkin saja nukilan ini pun dusta."

Kedua, Rasulullah saw salat sebanyak lima kali di mesjid setiap harinya. Namun, mereka tidak mencatat apakah Rasulullah saw membaca bismillah di dalam surat al-Fatihah atau tidak? Apakah Rasulullah saw meyakini membaca bismillah di dalam surat al-Fatihah itu wajib atau tidak? Apakah Rasulullah saw menurunkan kedua tangannya di dalam salatnya atau tidak? Jika dia menyedekapkan kedua tangannya, apakah menyedekapkan tangannya di atas pusar atau di bawah pusar? Apakah di dalam wudu dia mengusap kepalanya sebanyak tiga helai rambut, seperempat kepala, separuhnya atau seluruhnya. Jika sesuatu yang setiap harinya dilakukan berulang kali oleh Rasulullah saw saja tidak dicatat oleh kalangan salaf Anda, maka bagaimana mungkin mereka mencatat sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw kecuali hanya sekali atau dua kali! Bagaimana mungkin mereka mencatat sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw di dalam hidupnya kecuali hanya sekali atau dua kali. Ini merupakan sesuatu yang sulit sekali untuk bisa diterima! Bagaimana bisa Anda mengatakan bahwa Ahlus Sunnahlah yang berpijak pada sunah Rasulullah saw, padahal sebagian mereka bertentangan dengan sebagian mereka yang lainnya di dalam masalah keyakinan; sementara berkumpulnya dua hal yang saling bertentangan (ijtima' an-naqidhain) adalah sesuatu yang msutahil."

Yohanes menuturkan, "Mereka semua pun terdiam. Kemudian terjadi pembicaraan di antara mereka, dan keluar suara-suara dengan nada tinggi di antara mereka. Mereka berkata, 'Yang benar ialah kita tidak mengetahui siapakah kelompok yang selamat itu. Masing-masing dari kita menyangka bahwa dialah kelompok yang selamat, dan bahwa orang lain di luar mereka celaka. Padahal, bisa saja sebenarnya dia yang celaka, dan kelompok lainnya justru yang selamat."

Yohanes berkata, "Kelompok Rafidhah yang Anda anggap sesat ini, justru mereka merasa yakin merekalah kelompok yang selamat, dan selain mereka akan celaka. Mereka berargumentasi atas hal itu dengan mengatakan bahwa keyakinan mereka lebih menepati kebenaran, dan lebih jauh dari keraguan."

Para ulama itu berkata, "Wahai Yohanes, katakanlah! Demi Allah, kami tidak akan menuduh Anda. Karena kami tahu bahwa Anda mendebat kami untuk memunculkan kebenaran."

Yohanes berkata, "Menurut keyakinan Syi'ah bahwa Allah SWT itu gadim, dan tidak ada yang qadim selainnya. Syi'ah mengatakan Allah SWT itu ada, bukan jisim, tidak menempati tempat, dan terbebas dari hulul (penitisan ke dalam makhluk). Sementara keyakinan Anda menetapkan bahwa selain Dia ada delapan lainnya yang qadim, yaitu sifat-sifat-Nya. Hingga Imam Anda, Fakhrur Razi mengecam Anda dengan mengatakan, 'Sesungguhnya orang-orang Nasrani dan orang-orang Yahudi menjadi kafir karena mereka menetapkan dua Tuhan yang qadim di samping Allah, sementara sahabat-sahabat kita menetapkan sembilan yang qadim.' Adapun Ibnu Hanbal, salah seorang dari Imam Anda mengatakan, 'Sesungguhnya Allah adalah jisim, dan sesungguhnya Dia bertengger di atas 'arasy, dan turun ke bumi dengan wajah berkepala botak.' Demi Allah, bukankah demikian yang Anda katakan?"

Mereka menjawab, "Benar."

Yohanes berkata, "Jika demikian, tentunya keyakinan mereka lebih bagus dari keyakinan Anda. Syi'ah meyakini bahwa Allah SWT tidak melakukan sesuatu yang buruk, tidak melanggar sesuatu yang wajib, dan tidak ada kezaliman sedikit pun di dalam perbuatan-Nya. Mereka rida dengan qadha (ketetapan) Allah, karena Allah SWT tidak menetapkan kecuali kebaikan. Mereka meyakini bahwa perbuatan Allah SWT mempunyai maksud dan tujuan, serta tidak sia-sia. Mereka meyakini bahwa Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Tidak menyesatkan seorang pun dari hamba-Nya, tidak menghalangi mereka dari ibadah, menginginkan ketaatan hamba-Nya, dan melarang mereka dari maksiat. Mereka juga yakin bahwa mereka merdeka di dalam amal perbauatan mereka. Sementara keyakinan Anda mengatakan bahwa semua keburukan berasal dari Allah SWT —Mahasuci Allah dari yang demikian itu. Keyakinan Anda juga mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada wujud, yang berupa kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, pembunuhan, pencurian dan zina, semuanya itu diciptakan oleh Allah SWT pada diri pelakunya, dan dikehendaki oleh-Nya terjadi pada diri mereka. Dia menetapkan qadha(ketetapan) atas mereka, dan menghilangkan kebebasan dari diri mereka, lalu kemudian mengazab mereka. Anda tidak rida dengan ketetapan Allah SWT. Dan, bahkan Allah SWT pun tidak rida dengan ketetapan-Nya. Keyakinan Anda mengatakan Allahlah yang telah menyesatkan hamba-Nya, menghalangi mereka dari ibadah dan keimanan. Padahal, Allah SWT berfirman, 'Dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya. Jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.' (QS. az-Zumar: 7)

Cobalah berpikir, apakah keyakinan Anda lebih baik dari keyakinan mereka, atau keyakinan mereka lebih baik dari keyakinan Anda?!

Syiah mengatakan, para nabi terjaga dari dosa (maksum) sejak permulaan umurnya hingga akhir hidupnya. Baik dari dosa kecil maupun dosa besar, baik yang berhubungan dengan wahyu maupun yang bukan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Sementara keyakinan Anda mengatakan, mereka bisa terkena salah dan lupa. Anda menuduh Rasulullah saw lupa Al-Qur'an. Anda mengatakan bahwa Rasulullah saw mengerjakan salat Subuh, lalu membaca surat an-Najm yang berbunyi, 'Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata, al-'Uzza dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anakperempuan Allah)?' (QS. an-Najm: 19 - 20)

Ini adalah kekufuran dan kemusyrikan yang jelas sekali. Bahkan, sebagian dari ulama Anda telah menulis sebuah kitab yang khusus mencatat dosa-dosa yang dinisbatkan kepada para nabi as. Kemudian, kalangan Syi'ah menjawab kitab tersebut dengan menulis sebuah kitab yang mereka beri judul Tanzih al-Anbiya (membersihkan para nabi).[311] Sekarang, di antara dua keyakinan ini, mana yang lebih dekat kepada kebenaran dan lebih selamat, menurut Anda?

Keyakinan Syi'ah mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak meninggal dunia kecuali setelah meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan kepemimpinan sepeninggalnya. Dia tidak meninggalkan umatnya dalam keadaan terlantar dan tidak juga menyalahi firman Allah SWT. Sementara keyakinan Anda mengatakan, Rasulullah saw meninggalkan umatnya dalam keadaan terlantar, dan tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan kepemimpinan sepeninggalnya. Padahal, Kitab suci yang turun kepada Anda mengatakan wajibnya seseorang meninggalkan wasiat. Demikian juga, hadis Nabi Anda menyatakan wajibnya meninggalkan wasiat. Oleh karena itu, berdasarkan keyakinan Anda ini berarti Rasulullah saw telah memerintahkan sesuatu yang tidak dikerjakannya. Mana di antara dua keyakinan ini yang paling layak mendapat keselamatan?

Keyakinan Syi'ah mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak meninggalkan dunia ini kecuali setelah menetapkan kekhilafahan Ali bin Abi Thalib as, dan tidak meninggalkan umat dalam keadaan terlantar. Rasulullah saw berkata kepada Ali as pada hadis Yaum ad-Dar, 'Engkau adalah saudaraku, washiku, dan khalifahku setelahku. Maka dengarlah dan taatilah dia.' Anda semua menukilkannya, dan demikian juga dengan para Imam Qari, ath-Thabari, al-Kharkusyi dan Ibnu Ishaq.

Rasulullah saw juga bersabda pada hari Ghadir Khum, 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya." Hingga Umar berkata kepada Ali, 'Selamat, selamat bagi kamu, hai Ali. Sekarang, kamu telah menjadi pemimpin setiap Mukmin laki-laki dan Mukmin perempuan.' Imam Anda Ahmad bin Hanbal menukilkannya di dalam kitab Musnadnya.[312] Rasulullah saw juga telah berkata kepada Salman berkenaan dengan Ali, 'Sesungguhnya washiku dan pewarisku adalah Ali bin Abi Thalib.' Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Anda Ahmad bin Hanbal.[313]

Rasulullah saw juga telah bersabda, 'Sesungguhnya pada malam mikraj para nabi telah berkata kepadaku, 'Kami diutus untuk menyatakan kenabianmu dan kewalian Ali bin Abi Thalib.' Anda meriwayatkan hadis ini di dalam kitab ats-Tsa'labi dan kitab al-Bayan. Rasulullah saw juga bersabda, 'Sesungguhnya Ali mencintai Allah dan Rasul-Nya.' Hadis ini Anda riwayatkan di dalam kitab Bukhari dan Muslim.[314] Rasulullah saw bersabda, 'Tidak ada yang dapat menunaikan tugas ini kecuali aku atau seorang laki-laki dariku.' Yang Rasulullah saw maksud adalah Ali bin Abi Thalib. Hadis ini diriwayatkan di dalam kitab al-Jam' Baina ash-Shahihain. Dalam hadis yang lain Rasulullah saw bersabda, 'Kedudukan engkau di sisiku tidak ubahnya seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku.' Hadis ini diriwayatkan di dalam kitab Sahih Bukhari.[315] Allah SWT juga telah menurunkan ayat Al-Qur'an berkenaan dengan Ali, 'Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang disebut.' (QS. ad-Dahr: 1)

Pada kesempatan lain Dia juga menurunkan ayat berkenaan dengan Ali, 'Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku.' (QS. al-Maidah: 55)

Dia adalah pemilik ayat sedekah.[316] Pukulan pedangnya kepada 'Amr bin Abdul Wudd, lebih utama dari amal perbuatan yang dilakukan umat hingga hari kiamat.[317] Dia adalah saudara Rasulullah saw, suami dari putrinya, pintu kota ilmu, pemimpin orang-orang yang bertakwa, pemuka agama, dan pemimpin kelompok al-ghurr al-muhajjalin.[318] Dia adalah penyelesai kesulitan, dan pengudar keruwetan. Dia adalah Imam yang berdasarkan nash Ilahi. Kemudian setelahnya adalah Hasan dan Husain, yang Rasulullah saw telah berkata tentang keduanya, 'Keduanya ini adalah imam, baik ketika duduk maupun berdiri. Dan bapak keduanya lebih baik dari keduanya.'[319]

Rasulullah saw bersabda, 'Hasan dan Husain adalah dua penghulu pemuda ahli surga.'[320] Kemudian, Ali Zainal Abidin. Kemudian, putra-putranya yang maksum, yang diakhiri oleh al-Hujjah al-Qa'im al-Mahdi Imam Zaman as, yang mana barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak mengenalnya maka dia mati dalam keadaan jahiliyyah.'

Anda meriwayatkan di dalam kitab-kitab sahih Anda, dari Jabir bin Samurah yang berkata, 'Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sepeninggalku akan ada dua belas orang amir', kemudian beliau mengatakan sesuatu yang tidak terdengar oleh saya.'[321]

Di dalam kitab Bukhari Anda[322] disebutkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Urusan manusia akan tetap berjalan selama pemimpin mereka masih dua belas orang laki-laki'. Kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu yang tidak terdengar oleh saya.

Di dalam Sahih Muslim disebutkan, 'Urusan agama ini akan tetap tegak berdiri hingga datangnya hari kiamat, dan pada mereka terdapat dua belas orang khalifah, yang kesemuanya berasal dari Qurasy."[323] Di dalam kitab al-Jam' Baina ash-Shahihain, dan juga di dalam kitab sahih yang enam (ash-shihah as-sittah) disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya urusan ini tidak akan berlalu sehingga datangnya dua belas orang kahlifah, yang kesemuanya mereka berasal dari bangsa Quraisy.'[324]

Seorang ulama Anda, muhaddis Anda dan kepercayaan Anda, penulis kitab Kifayah ath-Thalib, dari Anas bin Malik yang berkata, 'Saya pernah bersama Abu Dzar, Salman, Zaid bin Tsabit, dan Zaid bin Arqam berada di sisi Nabi saw. Pada saat itu masuklah Hasan dan Husain as. Melihat itu Rasulullah saw pun menciumi keduanya. Setelah itu, Abu Dzar berdiri dan mencium kedua tangan keduanya, dan kemudian duduk kembali bersama kami.

Secara perlahan-lahan saya bertanya kepada Abu Dzar, 'Wahai Abu Dzar, Anda adalah seorang orang tua dari kalangan sahabat Rasulullah saw. Anda berdiri menghampiri kedua anak kecil Bani Hasyim, kemudian sibuk dengan keduanya dan menciumi kedua tangankeduanya.'

Abu Dzar menjawab, 'Benar. Kalau sekiranya engkau mendengar sebagaimana yang telah aku dengar tentang keduanya, niscaya engkau akan melakukan lebih dari apa yang telah aku lakukan.'

Kami bertanya, 'Wahai Abu Dzar, apa yang telah engkau dengar dari Rasulullah saw tentang keduanya?'

Abu Dzar menjawab, 'Saya telah mendengar Rasulullah saw berkata kepada Ali dan kepada keduanya, 'Demi Allah, sekkanya seorang hamba mengerjakan salat dan puasa hingga lusuh, niscaya salat dan puasanya itu tidak akan memberikan manfaat kepadanya kecuali dengan mencintai engkau dan berlepas diri dari musuh-musuh engkau.

Ya Ali, Barangsiapa yang bertawassul kepada Allah dengan perantaraan hakmu, maka Allah SWT berkewajiban untuk tidak menolaknya dengan kegagalan.

Ya Ali, Barangsiapa yang mencintaimu dan berpegang kepadamu, maka berarti dia telah berpegang kepada tali yang amat kuat.' Anas bin Malik berkata, 'Kemudian, Abu Dzar pun berdiri dan keluar. Lalu, kami pun maju ke hadapan Rasulullah dan bertanya, 'Ya Rasulullah saw, Abu Dzar telah memberitahukan kami begini-begini.'

Rasulullah saw menjawab, 'Sungguh benar apa yang telah dikatakanoleh AbuDzar.'[325]

Kemudian, Rasulullah saw bersabda, 'Allah SWT telah menciptakanku dan Ahlul Baitku dari cahaya yang sama, tujuh ribu tahun sebelum Dia menciptakan Adam. Kemudian, kami dipindahkan dari tulang sulbinya ke dalam tulang-tulang sulbi yang suci, dan kemudian kepada rahim-rahim yang suci.'

Saya bertanya, 'Ya Rasulullah, ketika itu Anda semua di mana? Dan dalam bentuk apa Anda semua ketika itu?

Rasulullah saw menjawab, 'Ketika itu kami berupa bayangan dari cahaya, tergantung di bawah 'arasy, dalam keadaan senantiasa bertasbih dan mensucikan Allah SWT.'

Kemudian Rasulullah saw meneruskan sabdanya, 'Ketika aku diangkat ke langit dan sampai ke sidrah al-muntaha, Jibril meninggalkanku.

Lalu aku berteriak, 'Wahai kekasihku, Jibril, engkau meninggalku pada maqam yang seperti ini?'

Jibril menjawab, 'Wahai Muhammad, aku ddak boleh naik ke tempat ini. Karena kedua sayapku akan terbakar. Kemudian, aku dilempar dari satu cahaya ke cahaya yang lain. Masya Allah. Kemudian Allah SWT berkata, 'Ya Muhammad, sesungguhnya Aku memandang ke bumi sekali pandangan, lalu Aku memilihmu dan menjadikan kamu sebagai nabi. Kemudian, Aku memandang ke bumi sekali lagi, lalu Aku memilih Ali dan menjadikannya sebagai washimu, pewaris ilmumu, dan Imam sepeninggalmu. Lalu, Aku mengeluarkan dari tulang sulbimu keturunan yang suci dan para Imam yang maskum, yang akan menjadi perbendaharaan ilmu-Ku. Seandainya bukan karena mereka, niscaya Aku tidak akan menciptakan dunia dan akhirat, serta surga dan neraka. Maukah kamu melihat mereka?'

Aku katakan, 'Ya, wahai Tuhanku.' Kemudian, datang seruan, 'Hai Muhammad, angkat kepalamu', maka aku pun mengangkat kepalaku. Tiba-tiba aku melihat cahaya Ali, Hasan, Husain, Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, Ja'far bin Muhammad, Musa bin Ja'far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali, dan al-Hujjah bin Hasan, cahayanya berkilau di antara mereka, seperti bintang yang bersinar —salawat dan salam atas mereka.

Aku berkata, 'Wahai Tuhanku, siapakah mereka?'

Allah SWT menjawab, 'Mereka itu adalah para imam yang suci sepeninggalmu, yang berasal dari tulang sulbimu. Dan, ini adalah al-Hujjah yang akan memenuhi bumi dengan kebenaran dan keadilan, setelah sebelumnya dipenuhi dengan kerusakan dan kezaliman, yang akan menyembuhkan hati orang-orang yang beriman.'

Lalu, kami pun berkata, 'Ya Rasulullah, demi ayah dan ibu kami, sungguh engkau telah mengatakan sesuatu yang aneh (mengagumkan).'

Rasulullah saw menjawab, 'Yang lebih aneh dari ini ialah, sesungguhnya kaum-kaum mendengarkan hal ini dariku, namun kemudian mereka berbalik ke belakang, setelah Allah SWT memberi petunjuk kepada mereka, dan mereka menyakitiku berkenaan dengan mereka (para Imam dari kalangan Ahlul Bait). Sungguh, Allah SWT tidak akan memberikan syafaatku kepada mereka."'[326]

Yohanes berkata, "Keyakinan kamu ialah, bahwa tatkala Rasulullah saw meninggal dunia dia tidak meninggalkan wasiat, dan tidak menetapkan siapa penggantinya. Kemudian, Umar bin Khattab memilih Abu Bakar dan berbaiat kepadanya, yang kemudian diikuti oleh umat. Selanjutnya, Abu Bakar menamakan dirinya sebagai khalifah (pengganti) Rasulullah saw. Anda tahu bahwa tatkala Rasulullah saw meninggal dunia, Abu Bakar dan Umar meninggalkan jenazah Rasulullah yang belum dimandikan dan dikafani. Mereka berdua pergi ke Saifah Bani Sa'idah, dan berselisih dengan kalangan Anshar mengenai kekhilafahan. Abu Bakar merebut kekhilafahan sementara jenazah Rasulullah saw masih terbujur. Tidak ada yang meragukan bahwa Rasulullah saw tidak menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah. Abu Bakar telah menyembah berhala selama empat puluh tahun sebelum menjadi Muslim. Padahal, Allah SWT telah berfirman, 'Sesungguhnya janjiku tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim.' (QS. al-Baqarah: 124)

Abu Bakar menahan warisan Fatimah yang berasal dari ayahnya. Fatimah berkata, 'Hai Abu Bakar, engkau mewarisi ayahmu, sementara aku tidak mewarisi ayahku? Sungguh, engkau telah mengatakan sesuatu yang mengada-ada.' Fatimah memprotes Abu Bakar dengan firman Allah SWT yang berbunyi,

'Yang akan mewaris aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya'gub.' (QS. Maryam: 6)

'Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud.' (QS. an-Naml: 16)

Allah SWT juga berfirman, 'Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagianpusaka untuk) anak-anakmu.' (QS. an-Nisa: 11)

Abu Bakar menahan Fatimah untuk mendapatkan tanah fadak, pa-dahal Fatimah telah mengklaimnya, dan mengatakan bahwa Rasulullah saw telah menghadiahinya kepada dirinya. Namun, Abu Bakar tidak membenarkan kesaksian Fatimah mengenainya, padahal Fatimah termasuk ahli surga, dan Allah SWT telah menghilangkan dosa darinya, yang merupakan sesuatu yang lebih umum dari dusta dan yang lainnya.

Abu Bakar berkata, Turunkan aku dari kedudukan ini. Sesungguhnya aku bukanlah yang terbaik selama Ali ada di tengah-tengah kamu.'[327] Jika dia benar-benar dengan perkataannya ini, maka dia tidak layak mendahului Ali bin Abi Thalib as. Namun, jika dia dusta maka dia tidak layak untuk menduduki kursi keimamahan.

Abu Bakar berkata, 'Sesungguhnya aku mempunyai setan yang senantiasa mengikutiku. Oleh karena itu, jika aku menyimpang maka luruskanlah aku.'[328] Seseorang yang senantiasa diikuti setan, maka dia tidak layak menduduki kursi keimamahan!!

Abu Bakar berkata berkenaan dengan Umar, 'Sesungguhnya pembaiatan Abu Bakar sebuah kekeliruan. Semoga Allah SWT melindungi kaum Muslimin dari keburukannya. Barangsiapa yang mengulangi sepertinya, maka bunuhlah.'[329] Dari sini, dapat diketahui bahwa pembaiatannya adalah sesuatu yang salah dan tidak benar, dan orang yang melakukan hal yang sama wajib diperangi.

Abu Bakar tertinggal dari pasukan Usamah, dan Rasulullah saw telah mengangkat Usamah sebagai komandan Abu Bakar. Namun, Rasulullah saw tidak pernah sekali pun mengangkat seseorang sebagai pemimpin atau komandan Ali.[330]

Rasulullah saw belum pernah sekali pun mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpin, kecuali di dalam membawa surat al-Bara'ah. Namun, tatkala Abu Bakar keluar membawa surat al-Bara'ah, Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw untuk memberhentikannya dari tugas ini, dan memberikannya kepada Ali.[331]

Abu Bakar tidak mengetahui hukum syariat, hingga dia memotong tangan kiri seorang pencuri dan membakarnya secara sekonyong-konyong.[332] Padahal Rasulullah saw telah bersabda, 'Tidak menyiksa dengan api kecuali Tuhan pemilik api.'[333]

Ketika Abu Bakar ditanya tentang orang yang tidak punya anak dan ayah (kalalah), dia tidak mengetahui apa yang harus dia katakan, lalu dia pun berkata, 'Aku akan menjawab dengan pikiranku. Jika benar maka itu dari Allah, namun jika salah maka itu dari setan.'

Seorang nenek bertanya kepadanya tentang warisan yang diterimanya. Abu Bakar menjawab, 'Saya tidak menemukan apa pun tentang Anda, baik di dalam Al-Qur'an maupun di dalam sunah Muhammad. Kembalilah, hingga aku bertanya.' Maka Mughirah bin Syu'bah pun memberitahunya bahwa Rasulullah saw memberi seperenam bagi bagian nenek. Abu Bakar sering meminta fatwa kepada para sahabat di dalam masalah hukum.

Abu Bakar tidak mengecam Khalid bin Walid di dalam membunuh Malik bin Nuwairah, dan di dalam menikahi istrinya di malam terbunuh suaminya dengan tanpa menanti iddah.

Abu Bakar mengutus sekelompok orang ke rumah Amirul Mukminin as, manakala Amirul Mukminin as menolak untuk berbaiat. Dia mengancam untuk membakar rumah,[334] sementara di dalam rumah terdapat Fatimah as dan sekelompok orang dari Bani Hasyim dan lainnya. Oleh karena itu, mereka mengecam keras perbuatannya.

Ketika Abu Bakar naik ke mimbar, datang Hasan dan Husain beserta sekelompok orang dari kalangan Bani Hasyim dan lainnya. Mereka mengecamnya, lalu Hasan Hasan dan Husain berkata kepadanya, 'lni maqam kakekku. Kamu tidak layak untuknya.'[335]

Ketika hampir meninggal dunia, Abu Bakar berkata, 'Oh, seandainya aku meninggalkan rumah Fatimah dan tidak membukanya paksa. Oh, seandainya dahulu aku menanyakan Rasulullah saw, apakah kalangan Anshar mempunyai hak dalam urusan ini?'

Di dalam kitab-kitab Anda disebutkan bahwa Abu Bakar menyalahi Rasulullah saw di dalam mengangkat pengganti. Karena dia telah mengangkat Umar sebagai penggantinya. Juga disebutkan bahwa Rasulullah saw belum pernah sekali pun mengangkatnya sebagai pemimpin, kecuali dalam perang Khaibar, itu pun dia kembali dengan gagal. Rasulullah saw mengangkatnya sebagai petugas pengumpul zakat, namun Abbas memprotesnya, maka Rasulullah saw pun memberhentikannya. Para sahabat mengecam Abu Bakar di dalam mengangkat Umar sebagai penggantinya. Bahkan Thalhah sampai berkata, 'Anda telah mengangkat Umar, seorang laki-laki yang bersikap kasar dan berhati keras.'

Adapun Umar, orang-orang membawa seorang wanita yang telah berzina yang sedang hamil ke hadapannya, dengan serta merta dia memerintahkan supaya wanita itu dirajam. Ali berkata kepadanya, 'Jika Anda mempunyai alasan untuk merajam wanita tersebut, namun Anda tidak mempunyai alasan untuk merajam bayi yang sedang dikandungnya.' Mendengar itu Umar pun mengurungkan niatnya, lalu berkata, 'Seandainya tidak ada Ali maka celaka lah Umar.'[336]

Umar meragukan kematian Rasulullah saw seraya berkata, 'Muhammad tidak mati dan tidak akan mati'. Akhirnya, Abu Bakar membacakan ayat, 'Sesungguhnya kamu akan mati, dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).' (QS. az-Zumar: 3) Setelah itu baru kemu-dian Umar mengatakan, 'Anda benar.' Umar berkata lagi, 'Sepertinya saya belum pernah mendengar ayat ini.'[337]

Orang-orang membawa seorang wanita gila yang telah berzina ke hadapan Umar. Umar memerintahkan supaya wanita gila itu dirajam.

Namun, Ali berkata, 'Pena terangkat dari orang yang gila hingga dia sadar' Mendengar itu Umar pun mengurungkan niatnya, lalu berkata, 'Seandainya tidak ada Ali maka celaka lah Umar.'[338]

Di dalam khutbahnya Umar berkata, 'Barangsiapa yang meninggikan mahar wanitanya, aku akan masukkan maharnya ke dalam baitul mal. Seorang wanita protes kepadanya, 'Anda mencegah kami dari apa yang telah Allah SWT halalkan bagi kami. Padahal Allah SWT telah berfirman,

'Dan jika kamu ingin mengganti istrirnu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?'

Maka, orang-orang pun berkata, 'Seluruh manusia lebih fakih dari Umar. Bahkan orang-orang yang terbaring di dalam rumah-rumah sekali pun.'[339]

Dia memberikan kepada Hafshah dan Aisyah, masing-masingnya sebanyak dua ratus ribu dirham. Dia mengambil uang dari baitul mal sebanyak dua ratus dirham, lalu kaum Muslimin mengecamnya, kemudian dia berkata, 'Saya mengambilnya sebagai hutang.'[340]

Dia mencegah Hasan dan Husain untuk bisa menerima warisan dari Rasulullah saw, dan mencegah keduanya untuk memperoleh khumus.[341]

Umar memberikan keputusan di dalam masalah hukum dengan tujuh puluh pendapat. Dia melarang dua mut'ah. Dia berkata, 'Ada dua mut'ah yang halal pada masa Rasulullah saw, namun sekarang saya mengharamkannya dan saya akan menghukum orang yang melakukannya.'[342]

Dia menyalahi Rasulullah saw dan sekaligus Abu Bakar, di dalam masalah pengangkatan khalifah, apakah berdasarkan penetapan atau bukan. Dia menjadikan urusan kekhilafahan di tangan enam orang. Kemudian, dia menyalahi dirinya sendirinya dengan menjadikannya berada di tangan empat orang. Selanjutnya, di tangan tiga orang. Berikutnya lagi, di tangan satu orang. Kemudian, Umar menetapkan hak pilih berada di tarigan Abdurrahman bin 'Auf. Umar berkata, 'Seandainya Ali dan Usman bersepakat, maka pendapat yang harus dipegang adalah pendapat yang dikatakan keduanya. Namun, jika suara terpecah kepada tiga suara tiga suara, maka suara yang harus dipegang adalah suara yang mana di dalamnya terdapat suara Abdurrahman bin 'Auf. Karena, Umar mengatahui bahwa Ali dan Usman tidak akan bersepakat dalam sebuah urusan, dan bahwa Abdurrahman tidak akan bersikap adil berkenaan dengan anak saudara perempuannya, yaitu Usman. Selanjutnya, Umar memerintahkan supaya memenggal kepala orang yang terlambat memberikan baiat dalam jangka tiga hari.[343]

Umar juga merobek kertas tulisan yang ada di tangan Fatimah as. Peristiwa itu terjadi pada saat terjadi perdebatan panjang antara Fatimah dan Abu Bakar, lalu Abu Bakar memutuskan untuk mengembalikan tanah fadak kepadanya. Abu Bakar membuat kertas tulisan untuknya. Lalu, Fatimah pun keluar dengan membawa kertas tulisan tersebut. Umar mendekati Fatimah, dan menanyakan apa yang terjadi. Fatimah pun menceritakan apa yang terjadi kepadanya. Mendengar itu dengar serta merta Umar mengambil kertas tulisan yang ada di tangan Fatimah dan merobeknya.[344] Melihat itu, Fatimah melaknat Umar atas perbuatannya. Lalu Ali bin Abi Thalib masuk dan mengecam Umar.

Adapun Usman bin Affan, dia membagikan kekuasaan di antara kaum kerabatnya. Dia mengangkat Walid, saudaranya seibu, sebagai gubernur Kufah. Walid, seorang laki-laki yang suka meminum minuman keras, dan dia mengerjakan salat Subuh dalam keadaan mabuk.[345] Oleh karena itu, penduduk Kufah mengusirnya.

Usman bin Affan memberikan uang yang banyak kepada masing-masing suami dari anak perempuannya yang empat. Dia memberikan kepada masing-masingnya sebanyak seratus ribu mitsgal emas, yang diambil dari baitul mal kaum Muslimin. Dia memberikan beribu-ribu dirham kepada Marwan, yang berasal dari khumus negeri-negeri Afrika.[346]

Utsman melindungi dirinya dari kaum Muslimin dan mencegah mereka untuk dapat menemuinya.[347] Banyak sekali terjadi kemunkaran yang berasal darinya yang berkenaan dengan hak-hak para sahabat. Dia memukuli Ibnu Mas'ud hingga meninggal dunia,[348] dan membakar mushafnya. Ibnu Mas'ud mengecam Usman dan mengkafirkannya.

Usman memukuli Ammar bin Yasir, sahabat Rasulullah saw, hingga patah.[349]

Dia membawa Abu Dzar dari Syam, atas permintaan Muawiyah, dan lalu memukulinya serta membuangnya ke Rabadzah.[350] Padahal, Rasulullah saw sangat dekat dengan ketiga orang tersebut.

Usman tidak hadir di tengah-tengah kaum Muslimin pada saat perang Badar, perang Uhud dan Baiat ar-Ridhwan.

Dialah yang menjadi peyebab Muawiyah memerangi Ali as di dalam masalah kekhilafahan. Tahap berikutnya, Bani Umayyah melaknat Ali as di atas mimbar. Mereka meracuni Hasan, dan membunuh Husain.[351] Selanjutnya, urusan berpindah kepada Hajjaj. Dia membunuh sebanyak dua belas ribu orang dari keluarga Rasulullah saw. Yang menjadi penyebab semua ini ialah, karena mereka menjadikan masalah keimamahan berdasarkan pemilihan dan kehendak mereka. Jika sekiranya mereka mengikuti nas di dalam masalah ini, dan Umar tidak membangkang Rasulullah saw manakala beliau berkata, 'Ambilkan aku pena dan kertas, supaya aku tuliskan bagimu sebuah tulisan yang dengannya kamu tidak akan tersesat sesudahnya', tentu tidak akan terjadi perselisihan dan kesesatan ini."

Yohanes berkata, "Wahai para ulama agama, mereka yang dinamakan dengan kelompok Rafidhah, inilah keyakinan mereka, sebagaimana yang telah kita sebutkan. Adapun keyakinan Anda adalah ini, sebagaimana yang telah kita nyatakan. Anda telah mendengarkan dalil-dalil mereka, dan demikian juga Anda telah mengemukakan dalil-dalil Anda.

Demi Allah, mana di antara dua kelompok ini yang paling benar menurut pandangan Anda?"

Mereka menjawab dengan serentak, "Demi Allah, sesungguhnya kelompok Rafidhah lah yang berada di atas kebenaran. Perkataan-perkataan merekalah yang benar. Namun, keadaan masih seperti se-bagaimana yang sekarang terjadi. Kelompok kebenaran masih sebagai kelompok yang terkalahkan. Saksikanlah oleh Anda, wahai Yohanes, sesungguhnya mulai sekarang kami berpegang kepada kepemimpinan keluarga Muhammad, dan berlepas diri dari musuh-musuh mereka. Hanya saja kami meminta kepada Anda untuk menyembunyikan urusan kami ini. Karena manusia masih berpegang kepada agama raja mereka.

Yohanes melanjutkan ceritanya, "Maka saya pun berdiri dari hadapan mereka, dalam keadaan benar-benar yakin dan berpegang kepada keyakinan saya. Segala puji bagi Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah SWT, maka dialah orang yang mendapat petunjuk.

Kemudian, saya menuliskan tulisan ini dengan tujuan agar dia menjadi petunjuk bagi orang yang mencari jalan keselamatan. Barangsiapa yang membacanya dengan penuh kesadaran, dia akan terbimbing kepada jalan kebenaran, dan akan mendapat pahala. Barangsiapa yang mengunci hati dan lisannya, maka tidak ada jalan baginya untuk mendapat petunjuk-Nya. Allah SWT berfirman,

'Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang Ia kehendaki.' (QS. al-Qashash: 65)

Namun, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang ta'assub,

'Sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidakjuga akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, serta penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.' (QS. al-Baqarah: 6-7)

Ya Allah, sesungguhnya kami mengucapkan puji kepada-Mu atas segala nikmat yang telah Engkau limpahkan kepada kami. Kami sampaikan salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang disucikan dari segala dosa, selamanya, dan terus menerus hingga hari kiamat.●

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Commet Facebook Umum ABNS

 
Copyright © 2014 AHLUL BAIT NABI SAW Powered By AHLUL BAIT NABI SAW.