BREAKING NEWS

AHLUL BAIT NABI SAW: KESAKSIAN-KESAKSIAN AHLUS SUNNAH, SMS +6281809556588

Rabu, 16 Agustus 2017

Surat 1


Ditujukan kepada Penduduk Kufah di Saat Perjalanannya dari Madinah ke Kûfah [1]

Dari hamba Allah, 'Ali, Amirul Muknunin, kepada penduduk Kûfah yang paling terkemuka di antara para pendukung dan para kepala Arab.

Sekarang, saya memberitahukan kepada Anda tentang apa yang menimpa 'Utsman sedemikian rupa sehingga mendengamya akan seperti melihatnya. Rakyat mengecamnya, dan saya satu-satunya di antara Muhajirin yang meminta kepadanya untuk memuaskan (kaum Muslim) sebesar-besamya, dan paling sedikit menyakiti mereka. Tentang Thalhah dan Zubair, langkah mereka yang paling enteng terhadapnya adalah keras dan suara mereka yang paling lembut adalah bengis. 'A'isyah pun berang kepadanya.

Sesuai dengan itu, suatu kelompok mengalahkannya dan membunuhnya. Kemudian orang membaiat kepada saya, tidak dengan kekerasan atau paksaan, tetapi dengan taat dan atas kehendak bebas.

Hendaklah Anda ketahui bahwa Madinah telah dikosongkan oleh para penghuninya dan mereka telah meninggalkannya. (Kota) itu sedang mendidih seperti belanga amat besar, dan pemberontakan dipasangkan pada poros-porosnya yang bergerak dengan kekuatan penuh. Maka bergegaslah Anda kepada amir Anda dan majulah untuk memerangi musuh Anda, apa-bila dikehendaki Allah yang bagi-Nya Kekuasaan dan Kerajaan. •


Referensi:

[1] Ibn Maitsam menulis (dalam Syarh Nahjul Balâghah, IV, h. 338) bahwa ketika mendengar tentang kekacauan yang ditimbulkan Thalhah dan Zubair, Amirul Mukminin berangkat ke Bashrah kemudian ia mengirim surat kepada penduduk Kûfah melalui Imam Hasan dan 'Ammar ibn Yasir, dari Mâ' al-Adzb, sedang Ibn Abil Hadîd menulis (dalam Syarh Nahjul Balâghah, XIV, h. 8, 16; Thabarî, I, h. 3139; Ibn al-Atsîr, III, h. 223) bahwa ketika Amirul Mukminin berkemah di Rabadzah ia mengirimkan surat ini melalui Muhammad ibn Ja'far ibn Abi Thâlib dan Muhammad ibn Abi Bakar. Dalam surat ini Amirul Mukminin menyoroti pokok bahwa pembunuhan 'Utsman adalah akibat usaha-usaha 'A'isyah, Thalhah dan Zubair, dan merekalah yang menonjol di dalamnya. Sebenarnya 'A'isyah keluar rumah dan membeberkan kekurangan-kekurangan 'Utsman di pertemuan-pertemuan umum dan menyatakan bahwa ia patut dibunuh. Syekh Muhammad 'Abduh menulis,

"Pada suatu hari 'Utsman sedang di mimbar ketika Ummul Mu'minin 'A'isyah mengeluarkan sepatu dan jubah Nabi (saw) dari balik kerudungnya seraya berkata, 'Ini sepatu dan baju Nabi Allah, belum rusak, sedang Anda telah mengubah agamanya dan mengubah sunahnya.' Atasnya muncul perkataan-perkataan panas di antara mereka, ketika 'A'isyah berkata, 'Bunuhlah Na'tsal ini!', melambangkan 'Utsman dengan seorang Yahudi berjanggut panjang yang bernama demikian." (Nahjul Balâghah, Jilid II, h. 3)

Orang sudah tidak menyukai 'Utsman sehingga peristiwa ini meningkatkan keberanian mereka lalu mereka mengepungnya dan menuntutnya memperbaiki caranya atau meninggalkan kekhalifahan. Dalam keadaan seperti itu ada ke khawatiran yang serius bahwa apabila ia tidak menerima salah satu dari keduanya, maka ia akan dibunuh. Semua ini diketahui 'A'isyah, tetapi ia tidak mempedulikannya. Dengan meninggalkannya dalam kepungan itu ia berangkat ke Makkah, walaupun pada kesempatan ini Marwan dan 'Attab ibn Asid mengatakan kepadanya, "Apabila Anda menunda keberangkatan Anda, mungkin nyawanya dapat diselamatkan dan gerombolan manusia itu mungkin bubar." Atasnya 'A'isyah menjawab, bahwa ia telah memutuskan untuk pergi berhaji dan hal itu tak dapat diubah. Kemudian Marwan membacakan bait syair berikut sebagai pepatah,

"Qais membakar rumah saya, dan ketika api menyala, ia meloloskan diri darinya."

Seperti itu juga, Thalhah dan Zubair berang terhadapnya dan mereka selalu maju mengipas-ngipas api dan mengintensifkan perlawanan. Dari sisi ini, mereka ikut mengambil bagian besar dalam pembunuhannya, dan memikul tanggung jawab atas darahnya. Orang lain pun mengetahui mereka dalam perspektif ini dan memandang mereka sebagai pembunuhnya, sedang para pendukung mereka pun tidak mampu memberikan penjelasan untuk membersihkan mereka. Maka Ibn Qutaibah menulis bahwa ketika Mughîrah ibn Syu'bah menemui Ummul Mukminin 'A'isyah di Authas, ia bertanya kepadanya, "Wahai, Ummul Mukminin, hendak ke mana Anda?" 'A'isyah menjawab, "Saya hendak ke Bashrah." Mughîrah bertanya untuk maksud apa dan ia menjawab, "Untuk membalas dendam atas darah 'Utsman." Mughîrah berkata, "Tetapi para pembunuhnya ada bersama Anda." Kemudian Mughîrah berpaling kepada Marwan dan menanyakan hendak ke mana dia. Marwan menjawab bahwa ia pun hendak ke Bashrah. la menanyakan maksudnya dan ia menjawab, "Untuk membalaskan darah 'Utsman". Kemudian Mughîrah berkata, "Para pembunuh 'Utsman ada bersama Anda. Thalhah dan Zubair ini yang telah membunuhnya."

Bagaimanapun juga, setelah meletakkan kesalahan kepada Amirul Muknunin, kelompok yang telah membunuh 'Utsman itu sampai ke Bashrah. Amirul Mukminin juga bangkit untuk memadamkan pemberontakan itu. la menulis surat ini kepada penduduk Kûfah untuk beroleh dukungannya. Atasnya para pejuang dan prajurit mereka bangkit dalam jumlah besar dan mendaftarkan diri dalam pasukan tentara. Mereka menghadapi musuh dengan penuh keberanian yang diakui pula oleh Amirul Mukminin. Maka bagian surat yang berikut ini merupakan pengakuan atas kenyataan itu.

(Nahjul-Balaghah/Al-Mujtaba/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Rabu, 17 Mei 2017

Syi'ah dan Al-Qur'an - Ayat Wilayah


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Syi'ah mengambil hukum-hukum agama mereka selepas Nabi SAW daripada al-Qur'an dan Sunnah Nabawiyyah. Adapun daripada al-Qur'an para mujtahid mereka mengambil hukum-hukum daripada nas-nas yang terang. Adapun nas-nas yang memerlukan penafsiran, mereka merujukkan kepada penafsiran al-Itrah yang suci.

Bagi orang yang bukan mujtahid, sama ada dia seorang muhtat yang memilih hukum untuk dirinya sendiri atau seorang muqallid yang mentaklidkan kepada seorang mujtahid yang adil menurut syarat-syarat yang ditetapkan di dalam buku-buku mereka. Apa yang paling penting baginya ialah mujtahid tersebut mestilah mengambil fiqhnya daripada Nabi SAW dan Ahlu l-Baitnya yang suci bersama al-Qur'an dan membuat kesimpulan dengan cahaya akal: Syi'ah mempunyai hujah-hujah yang kuat di dalam buku-buku mereka. Justeru itu aku kemukakan kepada kalian sebahagian daripada ayat-ayat al-Qur'an dan hadith-hadith Nabi SAW yang menunjukkan sabitnya hak dan dakwaan mereka.

Di sini dikemukakan ayat-ayat al-Qur'an yang menyokong dakwaan Syi'ah yang telah ditafsirkan oleh para ulama Ahlu l-Sunnah yang sejajar dengan pentafsiran Syi'ah seperti berikut:

1. Ayat al-Wilayah

FirmanNya di dalam (Surah al-Maidah (5): 55):"Sesungguhnya wali kamu adalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan solat dan memberi zakat dalam keadaaan rukuk."

Telah sepakat semua Ahlu l-Bait AS, para ulama Tafsir dan Hadith dari golongan Syi'ah dan kebanyakan para ulama tafsir Ahlu s-Sunnah, malah keseluruhan mereka bahawa ayat ini telah diturunkan pada Amiru l-Mukminin Ali AS, ketika beliau memberi sadqah cincinnya kepada si miskin di dalam keadaan beliau (Ali AS) sedang solat di Masjid Rasulullah SAW. Peristiwa ini telah diakui oleh para sahabat pada zaman Nabi SAW, para tabi'in dan penyair-penyair yang terdahulu sehingga mereka memasukkan peristiwa ini ke dalam syair-syair mereka.

Di sini diperturunkan kenyataan para ulama Ahlu s-Sunnah mengenai perkara tersebut seperti berikut:

Al-Suyuti di dalam al-Durr al-Manthur berkata: al-Khatib telah mengeluarkannya di dalam al-Muttafaq daripada Ibnu Abbas, dia berkata:'Ali AS telah menyedekahkan cincinnya dalam keadaan rukuk. Maka Nabi SAW bersabda: Siapakah yang memberikan kepada anda cincin ini? Lelaki ini menjawab: Lelaki yang sedang rukuk itu. Maka Allah SWT menurunkan ayat "Sesungguhnya wali kamu adalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan solat dan memberi zakat di dalam keadaan rukuk (Surah al-Maidah(5): 55).

Al-Tabrani telah menulisnya di dalam al-Ausat. Ibn Mardawaih daripada 'Ammar bin Yassir berkata: Seorang peminta sadqah berdiri di sisi Ali yang sedang rukuk di dalam sembahyang sunat. Lalu beliau mencabutkan cincinnya dan memberikannya kepada peminta tersebut. Kemudian dia memberitahukan Rasulullah SAW mengenainya. Lalu ayat tersebut diturunkan. Kemudian Nabi SAW membacakannya kepada para sahabatnya. Beliau bersabda: Siapa yang telah menjadikan aku maulanya, maka Ali adalah maulanya. Wahai Tuhanku, hormatilah orang yang memperwalikannya dan musuhilah orang yang memusuhinya, cintailah orang orang mencintainya, bencilah orang yang membencinya, tolonglah orang yang menolongnya, tinggallah orang yang meninggalkannya dan penuhilah kebenaran bersamanya di mana saja dia berada."

Begitu juga Abdu l-Razzaq, 'Abd b. Hamid, Ibn Jarir dan Abu Syaikh telah mengesahkan bahawa Ibn Mardawaih meriwayatkannya daripada Ibn Abbas, dia berkata: ayat "Sesungguhnya wali kamu adalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman.....(Surah al-Maidah (5):55) telah diturunkan ke atas 'Ali bin Abi Talib.

Hadith ini telah dikeluarkan juga oleh Ibn Abi Hatim, Abu Syaikh dan Ibn 'Asakir daripada Salmah bin Kuhail. Dia berkata: Ali menyedekahkan cincinnya dalam keadaan rukuk. Kemudian ayat (Surah al-Ahzab (33): 33) diturunkan.

Begitu juga Ibn Jarir, daripada Sudi dan 'Atbah bin Hakim telah mengeluarkan hadith yang sama, sementara Abu Syaikh dan Ibn Mardawaih meriwayatkan hadith ini daripada 'Ali bin Abi Talib. Dia berkata: Ayat (Surah al-Maidah (5):55) "Sesungguhnya wali kami adalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman....." adalah diturunkan kepada Rasulullah SAW di rumahnya. Lalu Rasulullah SAW keluar dari rumahnya dan memasuki masjid. Orang ramai bersembahyang di antara rujuk dan sujud, malah ada yang berdiri. Tiba-tiba datang seorang peminta sadqah, adakah seseorang telah memberikan kepada anda sesuatu? Dia menjawab: Tidak, selain daripada lelaki yang sedang rukuk iaitu 'Ali bin Abi Talib telah memberikan cincinnya kepadaku.

Ibn Mardawaih telah mengeluarkan hadith ini melalui al-Kalbi daripada Abi Salih daripada Ibn Abbas dia berkata: 'Abdullah bin Salam dan beberapa orang Ahlu l-Kitab datang kepada Nabi SAW di waktu zuhur. Mereka berkata: Sesungguhnya jarak rumah-rumah kami jauh sekali. Kami tidak dapati orang yang ingin duduk bersama kami dan bergaul dengan kami selain di masjid ini. Dan sesungguhnya kaum kami apabila mereka melihat kami telah membenarkan Allah dan RasulNya, dan meninggalkan agama mereka, lalu mereka melahirkan permusuhan mereka dan bersumpah supaya mereka tidak bergaul dengan kami, mereka tidak makan bersama-sama kami. Lantaran itu ianya menimbulkan kesulitan kepada kami. Dan di kalangan mereka ada yang merayu perkara itu kepada Rasulullah SAW. Dan kemudian ayat yang bermaksud: Sesungguhnya wali kami adalah Allah, RasulNya dan orang yang beriman..[al-Maidah (5): 55] diturunkan. Kemudian azan diadakan bagi menunaikan solat Zuhr.

Kemudian Rasulullah SAW keluar ke masjid, tiba-tiba beliau melihat peminta sadqah lalu beliau bersabda: Adakah seseorang telah memberikan anda sesuatu? Dia menjawab: Ya. Beliau bertanya: Siapa? Dia menjawab: Lelaki yang sedang berdiri itu. Beliau bertanya lagi: Di dalam keadaan manakah dia memberikannya kepada anda? Dia menjawab: Dalam keadaan rukuk. Beliau bersabda: Itulah 'Ali bin Abi Talib AS. Lalu Rasulullah SAW bertakbir dan di masa itu beliau membaca ayat al-Qur'an (Surah al-Maidah (5): 55):"Sesiapa yang mewalikan Allah dan RasulNya dan orang-orang yang beriman, maka sesungguhnya parti Allah itulah yang pasti kemenangan."

Al-Kanji al-Syafi'i telah menyebutkannya di dalam Kifayah al-Talib daripada Anas bin Malik: Sesungguhnya ada seorang peminta sadqah di masjid bertanya: Siapakah yang akan memberikan sadqah kepadanya. 'Ali yang sedang rukuk memberikan isyarat kepadanya supaya mencabutkan cincin di tangannnya. Rasulullah SAW bersabda: Wahai 'Umar! Sesungguhnya telah wajib baginya ('Ali) syurga kerana Allah tidak mencabutkannya daripada tangannya sehingga Dia mencabutkan segala dosa dan kesalahan daripadanya. Dan ayat (Surah al-Maidah (5):55) diturunkan.

Kemudian penyair Hasan bin Tsabit memperkatakan syairnya:
Wahai Abu l-Hasan! Jiwa ragaku berkorban untukmu dan setiap pencinta petunjuk
Adakah akan sia-sia orang yang memujimu?
Orang yang memuji pada zat Allah tidak akan sesat
Kaulah yang telah memberi di dalam keadaan rukuk
seluruh jiwa ragaku berkorban untukmu
wahai sebaik-baik orang yang rukuk.

Di antara perawi-perawi yang menegaskan bahawa ayat ini telah diturunkan pada Amiru l-Mukminin Ali AS ialah Fakhruddin al-Razi di dalam tafsirnya. Dia telah meriwayatkannya daripada 'Ata' daripada Ibn Abbas bahawa sesungguhnya ayat ini diturunkan pada 'Ali bin Abi Talib AS. Dia meriwayatkan bahawa 'Abdullah bin Salam berkata: Manakala ayat ini diturunkan, aku bertanyakan Rasulullah SAW wahai Rasulullah SAW! Aku melihat Ali memberikan cincinnya kepada seorang yang memerlukannya di dalam keadaan rukuk, maka kamipun mewalikannya.

Dia juga meriwayatkan daripada Abu Dhar RH bahawa dia berkata: Pada suatu hari aku menunaikan solat Zuhr bersama Rasulullah SAW. Maka seorang peminta sadqah di masjid meminta (sesuatu), tidak seorangpun memperdulikannya. Lantas peminta itu mengangkat tangannya ke langit dan berkata: Wahai Tuhanku persaksikanlah sesungguhnya aku telah meminta di masjid Rasulullah SAW, tetapi tidak ada seorangpun yang memberi sesuatu kepadaku. Dan 'Ali AS pada ketika itu sedang rukuk lalu beliau memberikan isyarat kepadanya dengan anak jari tangan kanannya yang bercincin. Maka lelaki tadi datang mencabutnya dan ianya dilihat oleh Nabi SAW lalu beliau bersabda: Sesungguhnya saudaraku Musa telah meminta kepada Engkau dan berkata:(Surah Taha (20): 25): Wahai Tuhanku lapangkanlah untukku dadaku dan jadikanlah dia sekutu di dalam urusanku. Maka ayat (Surah al-Qasas (28): 35)"Kami akan membantumu dengan saudaramu dan kami berikan kamu berdua kekuasaan yang besar" diturunkan.

"Wahai Tuhanku, aku adalah Muhammad Nabi kalian dan pilihan kalian, maka lapangkanlah dadaku dan permudahkanlah urusanku dan jadikanlah untukku seorang pembantuku (wazir) daripada keluargaku 'Ali dan perkukuhkanlah dengannya kekuatan." Abu Dhar berkata:"Demi Allah sebaik saja Rasulullah SAW selesai membaca doa itu, Jibra'il turun dan berkata: Wahai Muhammad "Sesungguhnya wali kamu adalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan solat, dan memberikan zakat di dalam keadaan rukuk (al-Maidah (5): 55).

Hadith ini juga telah diriwayatkan oleh al-Syablanji di dalam Nur al-Absar sanadnya sampai kepada Abu Dhar. Di antara orang-orang yang meriwayatkan hadith ini diturunkan pada Amiru l-Mukminin 'Ali AS ialah al-Wahidi di dalam Asbab al-Nuzul, al-Zamakhsyari di dalam tafsirnya al-Kasysyaf bahawa ayat ini diturunkan kepada 'Ali ketika peminta sadqah meminta kepada beliau di dalam keadaan rukuk di dalam solatnya, maka beliaupun mencampakkan cincinnya. Ibn Hajr al-Asqalani, di dalam al-Kafi al-Syafi fi Takhrij Ahadith al-Kasysyaf ketika mengeluarkan hadith ini, dia berkata: Hadith ini telah diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dan Salmah bin Kuhail dia berkata: 'Ali bersadqah dengan cincinnya dalam keadaan rukuk. Maka ayat "Sesungguhnya wali kamu adalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman" [al-Maidah (5): 55] diturunkan.

Hadith ini juga diriwayatkan daripada Ibn Mardawaih dan Sufyan al-Thauri daripada Ibn Sinan daripada al-Dhahak daripada Ibn 'Abbas, dia berkata:"Ali AS sedang menunaikan solat di dalam keadaan berdiri, tiba-tiba datang seorang peminta sadqah ketika 'Ali sedang rukuk. Maka beliaupun memberikan cincinnya kepada orang itu. Lalu ayat yang bermaksud:"Sesungguhnya wali kamu adalah Allah, RasulNya....."[al-Maidah (5): 55] diturunkan.

Abu Bakar Ahmad bin 'Ali al-Razi al-Hanafi di dalam Ahkam al-Qur'an mengeluarkan beberapa riwayat yang menunjukkan bahawa ayat ini diturunkan mengenai hak 'Ali AS. Sanad-sanadnya berakhir kepada Mujahid, Sudi, Abu Ja'far, 'Atbah bin Abi Hakim dan lain-lain.

Al-Qurtubi al-Andalusi di dalam al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, memindahkan hadith ini daripada Imam al-Baqir AS bahawa ayat ini diturunkan kepada Amiru l-Mukminin 'Ali AS dan keluarganya. Dia berkata: Mereka memberi zakat di dalam keadaan rukuk menunjukkan bahawa sadqah sunat dinamakan zakat kerana 'Ali AS telah bersadqah sunat dengan cincinnya semasa rukuk.

Rasyid Ridha yang bermazhab Wahabi di dalam tafsirnya al-Manar, al-Alusi di dalam Ruh al-Ma'ani menyatakan bahawa ayat ini diturunkan kepada hak Amiru l-Mukminin 'Ali AS dengan berbagai riwayat yang berakhir setengahnya kepada Ibn 'Abbas dan setengahnya kepada Abdullah bin Salam.

Muhibbuddin al-Tabari di dalam Dhakha'ir al-'Uqba, telah meriwayatkan beberapa riwayat yang sahih di dalam bab ini. Sibt Ibn al-Jauzi di dalam Tadhkirah al-Huffaz.

Fakhruddin al-Razi di dalam Mafatih al-Gha'ib, mengatakan bahawa ayat ini menunjukkan bahawa imam selepas Rasulullah SAW ialah 'Ali bin Abi Talib AS. Justeru itu untuk mengukuhkannya, aku berkata: Bahawa sesungguhnya ayat ini menunjukkan bahawa apa yang dimaksudkannya ialah seorang imam. Dan apabila ianya menunjukkan sedemikian maka imam tadi mestilah 'Ali bin Abi Talib AS.

al-Bahrani di dalam Ghayah al-Maram telah mengemukakan hadith-hadith yang menunjukkan ayat ini telah diturunkan kepada Amiru l-Mukminin 'Ali AS. Dia meriwayatkan sebanyak dua puluh empat hadith menurut saluran Ahlu s-Sunnah dan dua puluh hadith menurut saluran Syi'ah. Begitu juga al-Allamah al-Amini di dalam al-Ghadir telah mencatat enam puluh enam nama-nama ulama Ahlu s-Sunnah yang masyhur yang telah menyebutkan hadith ini dan mereka pula menegaskan bahawa ayat ini telah diturunkan kepada Amiru l-Mukminin 'Ali AS dengan menyebutkan perawi-perawinya sekali.

Aku berkata: Ini sahajalah peluang yang mengizinkan kami menyebutkan kata-kata Ahlu s-Sunnah di dalam bab ini. Adapun sahabat-sahabat kami Imamiyyah, Syi'ah keluarga suci, mereka bersepakat di dalam buku-buku Hadith, Tafsir dan ilmu l-Kalam bahawa ayat tersebut diturunkan pada hak 'Ali AS. Sesungguhnya beliaulah yang dimaksudkan dengan ayat ini. Tidak seorangpun menyalahinya. Kadangkala mereka mendakwa bahawa hadith ini telah sampai ke peringkat kemutawatirannya. Lantaran itu tidak ada ruang dan helah bagi seseorang itu untuk mengesyaki dan menolaknya melainkan ianya seorang pemarah, penentang ataupun terlalu rendah daya pemikirannya.

Aku berkata: Ayat ini menentukan bahawa sesungguhnya imam dan khalifah selepas Rasulullah SAW ialah 'Ali bin Abi Talib AS kerana Allah SWT mengiringi wilayah 'Ali dengan wilayahNya dan wilayah RasulNya.

Perkataan innama (bahawa sesungguhnya) di dalam ayat tersebut memberi maksud al-Hasr dengan persetujuan ahli bahasa. Lantaran itu wilayah adalah ditentukan untuk mereka. Dan maksud dengan wali di sini adalah orang yang paling utama (aula) untuk mengurus sesuatu dan seseorang itu tidak dikatakan aula (lebih utama) melainkan apabila dia adalah khalifah dan imam. Ini adalah pengertian yang masyhur menurut ahli bahasa.

Dari segi syarak mereka berkata: Sultan adalah wali kepada orang yang tidak mempunyai wali. Dan mereka berkata: Wali darah dan wali mayat, si anu adalah wali urusan rakyat dan si anu adalah wali bagi orang yang kurang daya kecerdikan. Nabi bersabda: Mana-mana perempuan yang mengahwini dirinya tanpa keizinan walinya, maka nikahnya adalah batil. Apa yang dimaksudkan dengan wali di dalam contoh-contoh tadi ialah al-Aula sebagaimana kata Mibrad di dalam buku al-'Ibarah tentang sifat-sifat Tuhan bahawa wali ialah aula.

Wali sekalipun sah dikaitakan dari segi bahasa dengan al-Nasr (pembantu) dan muhibb (pencinta) tetapi kedua-kedua pengertian itu tidak sesuai di tempat ini kerana kedua-duanya adalah umum, tanpa terbatas kepada orang yang dikehendaki di dalam ayat yang mulia ini iaitu firmanNya di dalam (surah al-Taubah (9):71):"Dan mukminin dan mukminah setengah mereka menjadi Auliya' ke atas setengah yang lain."

Jika ditanya bagaimana dikehendaki dengan al-Ladhi na amanu (orang-orang yang beriman) itu Imam Amiru l-Mukminin AS seorang sahaja, sedangkan perkataan itu adalah umum? Maka kami menjawabnya:

1. Banyak terdapat di dalam percakapan Arab penggunaan perkataan jamak tetapi dikehendaki seorang sahaja berserta Qarinah dan sebaliknya. Ini adalah masyhur di kalangan mereka. Di dalam al-Qur'an firmanNya (Surah Ali Imran(3): 173):"Orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan sesungguhnya "manusia" telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, kerana itu takutlah kepada "mereka." Apa yang dimaksudkan dengannya ialah Nu'aim bin Mas'ud al-Asyja'i sahaja dengan ijmak ahli Tafsir dan Hadith.

2. Sesungguhnya Allah SWT telah mensifatkan al-Ladhi na amanu di dalam ayat yang mulia ini dengan sifat yang tidak menyeluruh kepada semua iaitu yuqimu s-Solah wa yu'tuna z-Zakat wa hum raki'un (yang mendirikan solat dan menunaikan zakat di dalam keadaan rukuk).

3. Ahli bahasa menggunakan perkataan jamak kepada seseorang adalah untuk ta'zim (penghormatan) sebagaimana disebutkan oleh al-Tabarsi di dalam Tafsirnya mengenai ayat ini dengan menerangkan bahawa penggunaan perkataan jamak kepada Amiru l-Mukminin 'Ali AS adalah untuk tafkhim (kemuliaan) dan penghormatan. Dia berkata: Cara ini adalah paling masyhur di dalam percakapan mereka tanpa memerlukan dalil lagi.

4. Apa yang pasti jika dikehendaki dengan "semua" jami' ialah penyatuan wali dan mutawalli tetapi yang lazimnya ialah menyalahi kedua-duanya.

Al-Zamakhsyari di dalam al-Kasysyaf 19 mengatakan bahawa ayat ini diturunkan kepada Amiru l-Mukminin 'Ali AS. Jika anda bertanya: Bagaimana boleh ianya untuk 'Ali AS sedangkan perkataaan di dalam ayat tersebut adalah jamak? Aku menjawab:Ianya dibawa dengan perkataan jamak sekalipun sebabnya seorang lelaki sahaja adalah untuk menerangkan kepada orang ramai supaya mengikuti perbuatannya ('Ali AS). Maka dengan ini, mereka akan mendapat pahala setanding dengan pahalanya. Dan menyedarkan bahawa tabiat Mukminin mestilah mempunyai matlamat bagi melakukan kebaikan, ihsan, dan melayani faqir miskin sehingga tidak menangguhkannya meskipun di dalam solat sehingga selesai solat.

Jika ditanya: Sesungguhnya Amiru l-Mukminin 'Ali AS telah menunaikan solat menghadapi Tuhannya dengan sepenuh hatinya tanpa merasai sesuatu di luar solatnya. Maka bagaimana beliau "merasai" perkataan peminta sadqah dan memahaminya. Maka jawapannya: Fahamannya tentang percakapan peminta sadqah tidak menafikan kekhusyukannya di dalam solat kerana ianya ibadah di dalam ibadah. Tidak ada jawapan yang lebih baik daripada apa yang telah dijawabkan oleh Abu l-Faraj al-Jauzi ketika ditanya mengenainya:
Dia menuang dan meminum tanpa dilalaikan oleh kemabukkannya
daripada minuman dan tidak melupai gelasnya.
Kemabukan yang mematuhinya sehingga membolehkannya
(melakukan) perbuatan orang yang segar, maka ini seunik-unik manusia.

Al-Wahidi di dalam Asbab al-Nuzul mencatatkan wa man yatawalla iaitu sesiapa yang mencintai Allah dan RasulNya dan al-lladhina amanu'Ali, fa inna hizballah (sesungguhnnya parti Allah) iaitun Syi'ah Allah dan RasulNya dan walinya hum al-Ghalibun (mereka yang pasti menang) iaitu merekalah yang mendapat kemenangan.(Di dalam naskhah yang lain) al-'Alimun (mengetahui) sebagai ganti al-Ghalibun iaitu yang mendapat kemenangan. Dan di dalam perkiraannya (al-Hisab);"Sesungguhnya wali kami adalah Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan solat, mengeluarkan zakat di dalam keadaan rukuk penilaiannya ialah Muhammad SAWAW selepasnya 'Ali bin Abi Talib dan itrahnya AS.

Di dalam al-Kafi daripada Ja'far bin Muhammad daripada bapanya daripada datuknya AS, beliau berkata: Manakala ayat innama wa liyyukumu llah wa Rasuluh diturunkan beberapa orang sahabat Rasulullah SAW berkumpul di Masjid Madinah. Sebahagian mereka berkata kepada sebahagian yang lain: Apa pendapat kalian tentang ayat ini? Sebahagian mereka menjawab: Sekiranya kita mengingkari ayat ini nescaya kita mengingkari kesemuanya (al-Qur'an). Dan sekiranya kita mempercayainya, maka ianya merupakan satu kehinaan kepada kita manakala 'Ali menguasai ke atas kita. Mereka menjawab: Sesungguhnya kalian telah mengetahui bahawa Muhammad adalah benar apa yang diucapkannya. Justeru itu kita menjadikannya wali tetapi kita tidak akan mematuhi 'Ali tentang yang diperintahkannya. Maka turunlah ayat (Surah al-Nahl (16): 83):"Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya" iaitu wilayah Muhammad SAW (dan kebanyakan mereka mengingkarinya) iaitu wilayah 'Ali AS.

Al-Saduq di dalam al-Amali berkata:"Umar bin al-Khattab berkata:Aku telah bersadqah cincin dalam keadaan rukuk supaya diturunkan (ayat) sebagaimana telah diturunkan kepada 'Ali bin Abi Talib AS, tetapi ia tidak juga turun.

Aku berkata: Apabila anda mengetahui dalil-dalil Sunnah dan Syi'ah yang telah aku kemukakan, maka aku berkata:Tidak harus mendahului selain daripada 'Ali ke atas 'Ali sebagaimana tidak harus mendahului seseorangpun ke atas Nabi SAW kerana sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan Muhammad dan 'Ali bersamaNya di dalam ayat al-Wilayah. Adapun orang-orang yang bertentangan dengan kami sekalipun mereka mengetahui sesungguhnya ayat telah diturunkan pada 'Ali AS secara al-WilayahQat'i sebagaimana telah aku kemukakan tadi, mereka sengaja mengubah maknanya menurut mazhab mereka dan hawa nafsu mereka.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Khutbah Imam Ali as di Hari 'Eidul Fitri


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Segala puji kepunyaan Allah yang telah menciptakan langit dan bumi serta talah menjadikan kegelapan dan cahaya. Ada pun orang-orang kafir, mereka berpaling dari Tuhannya. Kami tidak mensyirikkanNya dengan sesuatu apapun dan kami tidak mengambil selain dariNya sebagai pemimpin. Segala puji untukNya. Dia menguasai apa-apa yang berada di langit dan di bumi dan bagiNya pula segala pujian di akhirat. Dia yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengatahui.

Segala puji milik Allah yang menahan langit dari jatuh menimpa bumi, kecuali dengan izinNya. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadap manusia.

Ya Allah, kasihanilah kami dengan rahmatMu dan liputilah kami dengan ampunanMu. Sesungguhnya Engkau Maha Tinggi lagi Maha Besar. Segala puji untukNya, yang tidak ada sesuatupun yang dikecewakan dari rahmatNya. Tiada yang tidak mendapatkan nikmatNya, tiada yang dikecewakan dari rahmatNya, tiada yang boleh takbur dari beribadat kepadaNya.

Dengan kalimahNya langit tujuh berdiri, dengan kalimahNya bumi terbentang luas, tenang dan diam, dengan kalimahNya gunung-ganang yang besar dan mantap berdiri kukuh dan dengan kalimahNya angin bertiup, dengan kalimahNya awan-awan berarak di angkasa, dengan kalimahNya lautan berada di tempatnya.

Dialah Tuhan pemilik kalimah-kalimah itu. Dialah yang Maha Penakluk, dimana semua orang mulia dan hina tunduk di hadapanNya. Di hadapanNya setiap yang berasa megah diri (mutakabbir) menjadi kecil. Semua isi alam semesta tunduk di hadapanNya sama ada secara sukarela ataupun terpaksa.

Kami memujiNya sebagaimana Dia memuji diriNya dan sebagaimana layaknya Dia mendapatkan pujian. Kami meminta pertolongan kepadaNya, meminta ampun dariNya. Kami bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Dialah Allah, tiada sekutu bagiNya. Dia mengetahui apa yang tersembunyi dalam jiwa manusia. Dia mengetahui apa yang ada di lautan dan apa yang tersimpan oleh kegelapan. Tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuanNya. Tiada sehelai daunpun yang jatuh dari pohon dan tiada sebutir buahpun yang jatuh dalam kegelapan kecuali Dia mengetahuinya.

Tiada Tuhan selain Dia. Tiada apa sesuatu yang kering atau basah kecuali semuanya termaktub di dalam kitab yang nyata(Kitabul Mubin). Dia Maha Mengetahui apa yang dilakukan oleh manusia. Dia mengetahui di mana mereka berjalan dan ke mana mereka kembali. Kami meminta bimbingan kepada Allah dengan bimbinganNya. Kami bersaksi bahawa Muhammad SAWA adalah hambaNya, NabiNya dan RasulNya untuk semua makhlukNya dan orang yang dipercayaiNya atau wahyuNya. Telah dia sampaikan risalah Tuhannya. Dia berjuang di dalam agama Allah, terhadap mereka yang bersikap berdiam diri ataupun yang berpaling dari Allah. Dia telah menyembah Allah sehingga keyakinan datang kepadanya. Salam sejahtera untuknya dan ahli keluarganya.

Aku berwasiat kepada kamu, agar bertaqwa kepada Allah yang nikmatNya sentiasa bercucuran, rahmatNya tidak pernah berakhir, hamba-hambaNya tidak pernah luput dari memerlukanNya. Nikmat-nikmatnya tidak akan pernah terbalas dengan amal-amal yang diperintahkanNya dalam bertaqwa, yang diperintahkanNya untuk berzuhud di dunia dan dilarangNya dari kemaksiatan kepadaNya.

Semua itu tidak akan dapat membalas nikmat-nikmatNya. Dialah Allah Maha Mulia dengan kekekalanNya dan menghinakan hamba-hambaNya dengan maut dan fana. Mati adalah akhir daripada makhluk dan jalannya alam semesta. Ia merupakan suatu kepastian dari makhluk-makhluk yang ada. Orang-orang yang lari darinya tidak akan mampu terlepas dari maut. Ketika maut tiba maka ahli-ahli nafsu akan terbelenggu. Ia akan menghancurkan segala kelazatan, dan akan menghapuskan semua nikmat, memutuskan setiap kemegahan. Dunia adalah suatu alam yang telah ditentukan oleh Allah sebagai tempat fana dan penghuninya akan pergi, kebanyakan dari penghuni dunia berhasrat untuk kekal di dalamnya dan mengagungkan kewujudannya. Dunia adalah manis dan hijau, telah dicepatkan kepadanya orang yang mengejarnya, dikacaukan hati mereka yang memandangnya, orang kayanya menindas yang lemah dan yang tertindas benci kepadanya. Maka tinggalkanlah dia dengan cara yang terbaik dari apa yang ada di sisi kalian. Janganlah mengejarnya lebih dari yang sewajarnya. Jangan menuntut lebih dari keperluan. Terimalah dengan rela sedikit darinya dan janganlah berlebihan memandang apa yang telah diberikan kepada orang-orang yang kaya di dalamnya. Pandanglah kecil dunia ini dan jangan diagungkan. Tanamkan kebencian di dalam diri kalian pada dunia ini, dan hindari dari menikmatinya, lalai dan bersenang-senang kerana semua itu akan melupakan dan memperdayakan kalian. Ketahuilah bahawa dunia ini semakin menolak, menjauh, dan meninggalkan, sementara akhirat semakin hampir. Ketahuilah bahawa hari ini kalian diuji dan esok kalian ditentukan. Pada mulanya (meyangka dapat) ke syurga dan akhirnya masuk ke neraka.

Apakah ada orang yang akan bertaubat dari kesalahan-kesalahannya sebelum menemui ajalnya? Apakah ada orang yang akan menyiapkan dirinya sebelum tiba hari bencana, dan fakirnya?

Semoga Allah menjadikan kita dari golongan orang-orang yang takut kepadaNya dan mengharapkan pahalaNya. Ketahuilah bahawa hari ini adalah hari yang Allah jadikan Ied untuk kalian, dan menjadikan kalian layak sebagai orang yang menerimanya. Maka ingatlah kepada Allah, kelak Dia akan mengingati kalian. Bermohonlah kepadaNya, kelak ia akan menerimanya. Tunaikan zakat fitrah kalian kerana ia adalah sunnah Nabi dan fadhilah yang wajib dari Tuhan kalian. Setiap orang hendaklah menunaikan untuk dirinya dan keluarganya, lelaki dan perempuan, kecil, besar, merdeka, hamba sebanyak satu so'an dari gandum, kurma atau tepung.

Taatilah Allah dengan melaksanakan apa yang diperintahkanNya pada kalian, seperti solat, zakat, haji, puasa Ramadan, amar ma'aruf dan nahi mungkar, berlaku baik pada perempuan dan hamba-hamba sahaya.

Taatilah kepada Allah dengan menjauhi segala laranganNya seperti menuduh wanita berbuat jahat, melakukan kemungkaran, minum khamar, menipu timbangan, bersaksi palsu dan lari dari medan perang.
Semoga Allah menjaga kita semua. Hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah yang telah menjadikan akhirat lebih baik daripada dunia ini. Sesungguhnya ucapan yang paling baik dan nasihat yang paling berkesan untuk orang-orang yang taqwa adalah Kitab Allah Al-Aziz Al-Hakim."

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Nostalgia Peristiwa di Saqifah Bani Sai'dah


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Selepas Rasulullah SAW wafat, berlaku peristiwa pemilihan khalifah di Saqifah Bani Sai'dah. Ketika itu jenazah Nabi SAW belum dikebumikan dan masih berada di masjid (rumahnya).Orang-orang Ansar berkumpul di Saqifah Bani Saidah iaitu satu balai yang pada zaman jahiliyyah digunakan untuk pesta-pesta yang bercampur dengan maksiat. Mereka mahukan pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Kemudian datang Umar al-Khattab, Abu Bakar dan Abu Ubaidah al-Jarrah. Akhirnya berlaku pertelagahan di antara golongan Muhajirin dan Ansar yang masing-masing mahukan seorang pemimpin dari kalangan mereka. Abu Bakar kemudian menyatakan kelebihan golongan Muhajirin berbanding dengan golongan Ansar iaitu dekatnya hubungan mereka dengan Rasulullah SAW di samping mereka merupakan golongan yang mula-mula menerima Islam. Abu Bakar juga menguatkan hujahnya dengan memetik Hadith Nabi SAW: " Pemimpin adalah dari golongan Quraisy."

Beliau kemudian membuat satu usul: "Saya mencadangkan kepada kamu satu dari dua orang (Umar atau Abu Ubaidah al-Jarrah), terimalah siapa yang kamu senangi."

Beliau kemudian mengangkat tangan Umar al-Khattab dan Abu Ubaidah al-Jarrah. Seorang Ansar mencadangkan dua orang pemimpin iaitu seorang pemimpin dari kalangan Ansar dan seorang pemimpin lagi dari kalangan Muhajirin. Keadaan menjadi tegang. Umar kemudian berkata:" Bentangkan tangan anda wahai Abu Bakar!." Ia menbentangkan tangannya, lalu Umar membai'ahnya. Golongan Muhajirin mengikuti langkah Umar dan seterusnya golongan Ansar. Dengan ini Abu Bakar telah diba'ah menjadi khalifah yang pertama di Saqifah Bani Sai'dah.

Ali AS tidak memberi bai'ah kepada Abu Bakar selama 6 bulan selepas kewafatan Rasulullah SAW. Fatimah 'Alaiha Salam tidak memberi bai'ah dan tidak bercakap kepada khalifah Abu Bakar sehingga beliau wafat. Fatimah AH amat marah kepada khalifah Abu Bakar dan beliau telah mewasiatkan kepada Ali AS agar mengkebumikan jenazahnya pada malam hari tanpa mengumumkan kepada khalifah Abu Bakar [Lihat Sahih Bukhari, Jilid V, hadith 546].

lHadith Rasul SAW juga memberi amaran tentang keutamaan Fatimah AH seperti yang tercatat dalam Sahih Bukhari:" Fatimah sebahagian daripadaku, dan sesiapa yang membuat Fatimah marah, akan juga membuat aku marah "[Sahih Bukhari, Jilid V, hadith 61 ]. Dan jika Fatimah AH marah kepada khalifah Abu Bakar sehingga tidak bercakap dan mengelakkan kuburnya daripada diketahui oleh khalifah Abu Bakar, adakah perkara ini tidak membuat Rasulullah SAW marah kepada Abu Bakar jika kita berpandukan hadith di atas?

Ada orang berpendapat Hadith di atas ditujukan kepada Ali AS kerana ada sebuah Hadith menyatakan Ali kononnya berhasrat untuk berkahwin dengan anak Abu Jahal? Jika benar Ali AS mahu berkahwin lain, adakah ia bercanggah dengan syariat Islam yang membenarkan lelaki berkahwin lebih daripada satu, dua, tiga hingga bilangan empat? Jika tidak bercanggah dengan syariat Islam maka wajarkah Rasul SAW marah kepada Ali di atas perkara yang sejalan dengan kehendak Islam? Konsekuen yang lebih jauh ialah jika Rasul SAWA marah kepada Ali AS, juga membawa kepada kemurkaan Allah SWT. Adakah Allah SWT yang membuat syariat tentang hukum perkahwinan itu murka kepada Ali AS yang menurut syariat tersebut? Tidak mungkin hadith itu benar kerana ia bercanggah dengan kehendak hukum Islam sendiri. Jelas bahawa hadith itu bersifat umum, dan tidak ditujukan kepada Ali AS. Lebih-lebih lagi terdapat Hadith yang menyebutkan :" Anta (Ali) min-ni wa ana min-ka " bermaksud," engkau(Ali) daripadaku (Rasulullah SAWA) dan aku (Rasulullah SAWA) daripada Ali," [lihat Sahih Bukhari, Jilid V, Hadith 50], dan juga Hadith: " Ya Allah tempatkanlah kebenaran di mana juga Ali berada" [lihat teks Hadith Sahih Tirmidzi di bawah (no.4].

Hadith-hadith ini membuktikan tindakan Ali AS sentiasa selaras dengan kehendak Nabi SAWA dan jika kita menolak tafsiran ini,kita akan mengundang satu kesimpulan " doa Nabi SAWA "Ya Allah tempatkanlah kebenaran di mana juga Ali berada" tidak dimakbulkan oleh Allah SWT "; kesimpulan ini pasti tidak boleh terjadi sama sekali terhadap Rasulullah SAW yang mulia di sisi Allah SWT. Oleh itu hadith tentang kemarahan Fatimah AH terhadap Ali AS kerana Ali AS hendak berkahwin lain tidak boleh diterima kesahihannya.

Sebaliknya lebih sesuai jika kemarahan "Fatimah- kemarahan Rasul SAW" itu ditujukan kepada Abu Bakar kerana peristiwa yang dinyatakan di atas walaupun ia berlaku selepas kewafatan Rasulullah SAWA.

Kemarahan Fatimah AS bukan kerana mengikut hawa nafsu, tamak dan kepentingan duniawi tetapi kerana haknya dirampas iaitu hak Tanah Fadak yang telah dihadiahkan oleh Rasulullah SAWkepadanya dan hak suaminya terhadap jawatan khalifah yang telah dinyatakan oleh ayahnya, Rasulullah SAW ketika di Ghadir Khum. Fatimah AH adalah salah seorang ahli Hadith Kisa yang berkaitan ayat 33, Surah al-Ahzab yang telah disucikan oleh Allah SWT - suci dari dosa-dosa selama-lamanya tidak boleh dianggap melakukan suatu perkara yang menyalahi tuntutan syariat. (Fatimah mahu menegaskan tuntutan Hadith tersebut kepada umat Islam yang mahu berfikir.) Maka kemarahan Fatimah AH kepada Abu Bakar adalah kerana suatu tuntutan syariat yang tidak dilaksanakan oleh Abu Bakar iaitu berkenaan Tanah Fadak dan berpegang teguh kepada Hadith al-Ghadir - kepimpinan Ahlul Bayt yang bermula dengan Imam Ali AS. Dan ini menepati hadith,

" sesiapa yang membuat Fatimah marah, akan membuat aku (Rasulullah SAW) marah."

"Kemarahan Fatimah AH- kemarahan Nabi SAW" ialah kerana umat Islam yang diketuai oleh Abu Bakar ketika itu tidak berpegang kepada Hadith al-Ghadir. Kita yakin Nabi SAWA telah mengetahui perkara yang akan berlaku selepas kewafatannya (misalnya Fatimah AH akan meninggal dunia tidak lama selepas kewafatan Nabi SAW (Sahih Bukhari, Jilid V, Hadith 62) - hadith tersebut sebagai satu peringatan kepada mereka tetapi mereka tidak menghiraukannya!

Dan sudah tentu kita berkeyakinan dengan seteguh-teguhnya bahawa Rasulullah SAW tidak bercakap tentang sesuatu perkara secara main-main atau sia-sia berkaitan dengan Ahlul Baytnya itu. Oleh itu apabila Fatimah AH marah kepada Abu Bakar, ini bermakna Rasulullah SAW juga marah kepada Abu Bakar dan apabila Rasul SAWA marah, juga membuat Allah SWT marah kepada Abu Bakar. Tetapi jika kita menolak tafsiran ini, kita seolah-olah menyatakan Nabi SAW bercakap secara suka-suka dan main-main tentang Ahlul Baytnya dan lebih teruk lagi (a'uzubilah min zalik) beliau SAW seolah-olah tidak mengetahui makna dan implikasi ucapannya itu kepada ummah akan datang dan kesimpulan ini tentu tidak boleh diterima sama sekali kerana ia berlawanan dengan sifat Rasul SAW yang bersifat bijaksana.

[Kisah Saqifah itu boleh dirujuk kepada buku " Saqifah Awal Perselisihan Umat", O.Hashem, DarulFikir, 1987]


RENUNGAN: : Al-Quran: al-Thaha: 29-32 [bermaksud:"..dan jadikanlah untukku seorang wazir dari keluargaku, iaitu Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku."

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Siapa Ahlul Bait Itu?


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Pembahasan ini termasuk sejelas-jelasnya pembahsan. Karena tidak ada seorang pun manusia yang pura-pura tidak mengenal Ahlul Bait kecuali mereka para penentang yang tidak menemukan jalan keluar dari dalil-dalil yang pasti tentang wajibnya mengikuti mereka, lalu mereka pun berlindung kepada keragu-raguan tentang siapa yang dimaksud dengan Ahlul Bait itu. Inilah yang dapat saya saksikan dari berbagai diskusi yang saya lakukan dengan teman-teman. Ketika salah seorang mereka tidak menemukan jalan untuk menghindar dari keharusan mengikuti Ahlul Bait, dengan serta-merta dia melontarkan berbagai pertanyaan yang meragukan,


Siapa Ahlul Bait itu?

Bukankah istri-istri Rasulullah saw termasuk Ahlul Baitnya?! Bukankah Rasulullah saw telah bersabda, "Salman dari kalangan kami Ahlul Bait"?!

Bahkan, bukankah Abu Jahal juga termasuk keluarga Rasulullah saw?!

Tidak ada yang mereka inginkan dari seluruh pertanyaan ini kecuali keinginan untuk mengingkari kenyataan hadis Tsaqalain, yang merupakan salah satu hadis yang menunjukkan kepada keimamahan Ahlul Bait, mereka menduga bahwa dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan ini, mereka dapat membungkam akalnya dan membungkam seruan nuraninya. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan perkiraan mereka, dan hujjah tetap tegak berdiri meskipun dia mengingkari atau pun tidak mengingkari.

Saya pernah mengatakan kepada sebagian mereka manakala mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, "Kenapa Anda menginginkan segala sesuatunya tersedia dengan tanpa susah-payah?! Sesungguhnya pikiran-pikiran yang sudah dikemas tidak memberikan faidah. Saya mampu memberikan jawaban, namun Anda pun mampu menolak dan mengingkari jawaban saya, karena Anda tidak merasakan pahitnya melakukan pembahasan dan tidak menanggung kesulitan untuk bisa memberikan jawaban. Apakah hanya saya yang diwajibkan untuk menjawab? Apakah Rasulullah saw telah memerintahkan kepada saya secara khusus untuk berpegang teguh kepada Ahlul Bait?! Tidak, kita semua diwajibkan untuk menjawab pertanyaan ini. Karena telah tegak hujjah atas kita akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait dan mengambil agama dari mereka, sehingga kita wajib mengenal mereka dan untuk kemudian mengikuti mereka."

Pada kesempatan ini pun saya tidak akan memperluas argumentasi dan dalil, melainkan saya cukup mengemukakan beberapa petunjuk yang jelas, dan bagi siapa yang menginginkan keterangan yang lebih maka dia sendiri yang harus memperdalamnya.


Ahlul Bait Di Dalam Ayat Tathhir

Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya." (QS. al-Ahzab: 33)

Sesungguhnya turunnya ayat ini kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain adalah termasuk perkara yang amat jelas bagi mereka yang mengkaji kitab-kitab hadis dan tafsir. Dalam hal ini Ibnu Hajar berkata, "Sesungguhnya mayoritas para mufassir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali, Fatimah, Hasan dan Husain."[57] Ayat ini, disebabkan penunjukkannya yang jelas terhadap kemaksuman Ahlul Bait, tidak sejalan kecuali dengan mereka. Ini dikarenakan apa yang telah kita jelaskan, yaitu bahwa mereka itu adalah pusaka umat ini dan para pemimpin sepeninggal Rasulullah saw. Oleh karena itu, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk mengikuti mereka. Arti kemaksuman juga dengan jelas dapat disaksikan dari ayat ini, bagi mereka yang mempunyai hati dan mau mendengarkan. Hal itu dikarenakan mustahil tidak terlaksananya maksud jika yang mempunyai maksud itu adalah Allah SWT; dan huruf al-hashr (pembatasan) yaitu kata “innama” menunjukkan kepada arti ini. Yang menjadi fokus perhatian kita di dalam pembahasan ini ialah membuktikan bahwa ayat ini khusus turun kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.


Hadis Al-Kisa`` Menentukan Siapa Yang Dimaksud Dengan Ahlul Bait

Argumentasi terdekat dan terjelas yang berkenaan dengan penafsiran ayat ini ialah sebuah hadis yang dikenal di kalangan para ahli hadis dengan sebutan hadis al-Kisa``, yang tingkat kesahihan dan kemutawatirannya tidak kalah dari hadis Tsaqalain.

1. Al-Hakim telah meriwayatkan di dalam kitabnya al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain fi al-Hadis:

"Dari Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib yang berkata, 'Ketika Rasulullah saw memandang ke arah rahmat yang turun, Rasulullah saw berkata, 'Panggilkan untukku, panggilkan untukku.' Shafiyyah bertanya, 'Siapa, ya Rasulullah?!' Rasulullah menjawab, 'Ahlul Baitku, yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.' Maka mereka pun dihadirkan ke hadapan Rasulullah, lalu Rasulullah saw meletakkan pakaiannya ke atas mereka, kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berkata, 'Ya Allah, mereka inilah keluargaku (maka sampaikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad).' Lalu Allah SWT menurunkan ayat 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. '"[58]

Al-Hakim berkata, "Hadis ini sahih sanadnya."

2. Al-Hakim meriwayatkan hadis serupa dari Ummu Salamah yang berkata, "Di rumah saya turun ayat yang berbunyi 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya'. Lalu Rasulullah saw mengirim Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, dan kemudian berkata, 'Mereka inilah Ahlul Baitku.'"[59] Kemudian, al-Hakim berkata, "Hadis ini sahih menurut syarat Bukhari." Di tempat lain al-Hakim juga meriwayatkan hadis ini dari Watsilah, dan kemudian berkata, "Hadis ini sahih menurut syarat mereka berdua."

3. Muslim meriwayatkan hadis ini di dalam kitab sahihnya dari Aisyah yang berkata, "Rasulullah saw pergi ke luar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit dan) bergambar. Lalu Hasan bin Ali datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu Husain datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu datang Fatimah, dan Rasulullah saw pun memasukkannya ke dalam pakaiannya; berikutnya Ali juga datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; kemudian Rasulullah saw berkata, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya."[60]

Berita ini dapat ditemukan di dalam banyak riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab sahih, kitab-kitab hadis dan kitab-kitab tafsir.[61] Hadis al-Kisa` termasuk hadis yang sahih dan mutawatir, yang tidak ada seorang pun yang mendhaifkannya, baik dari kalangan terdahulu maupun kalangan terkemudian. Sungguh akan banyak memakan waktu jika kita menyebutkan seluruh riwayat ini. Saya menghitung ada dua puluh tujuh riwayat yang kesemuanya sahih.

Di antara riwayat yang paling jelas di dalam bab ini —di dalam menentukan siapa Ahlul Bait— ialah riwayat yang dinukil oleh as-Suyuthi di dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, yang berasal dari Ibnu Mardawaih, dari Ummu Salamah yang berkata, "Di rumahku turun ayat 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.' Saat itu di rumahku ada tujuh orang yaitu Jibril, Mikail, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, sementara aku berada di pintu rumah. Kemudian saya berkata, 'Ya Rasulullah, tidakkah aku termasuk Ahlul Bait?!' Rasulullah saw menjawab, 'Sesungguhnya engkau berada pada kebajikan, dan sesungguhnya engkau termasuk istri Rasulullah saw.'"[62]

Pada riwayat al-Hakim di dalam kitab Mustadraknya disebutkan, Ummu Salamah bertanya, "Ya Rasulullah, saya tidak termasuk Ahlul Bait?" Rasulullah saw menjawab, "Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan, mereka itulah Ahlul Baitku. Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku yang lebih berhak."[63]

Pada riwayat Ahmad disebutkan, "Saya mengangkat pakaian penutup untuk masuk bersama mereka namun Rasulullah saw menarik tangan saya sambil berkata, 'Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan.'"[64] Ini cukup membuktikan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait ialah mereka Ashabul Kisa, sehingga dengan demikian mereka itu adalah padanan al-Qur'an, yang kita telah diperintahkan oleh Rasulullah saw — di dalam hadis Tsaqalain — untuk berpegang teguh kepada mereka.

Orang yang mengatakan bahwa 'itrah itu artinya keluarga, sehingga mengubah makna, perkataannya itu tidak dapat diterima. Karena tidak ada seorang pun dari para pakar bahasa yang mengatakan demikian. Ibnu Mandzur menukil di dalam kitabnya Lisan al-'Arab, "Sesungguhnya 'itrah Rasulullah saw adalah keturunan Fatimah ra. Ini adalah perkataan Ibnu Sayyidah. Al-Azhari berkata, 'Di dalam hadis Zaid bin Tsabit yang berkata, 'Rasulullah saw bersabda, '... lalu dia menyebut hadis Tsaqalain' . Maka di sini Rasulullah menjadikan 'itrahnya sebagai Ahlul Bait.' Abu Ubaid dan yang lainnya berkata, "Itrah seorang laki-laki adalah kerabatnya.' Ibnu Atsir berkata, "Itrah seorang laki-laki lebih khusus dari kaum kerabatnya.' Ibnu A'rabi berkata, "Itrah seorang laki-laki ialah anak dan keturunannya yang berasal dari tulang sulbinya.' Ibnu A'rabi melanjutkan perkataannya, 'Maka 'itrah Rasulullah saw adalah keturunan Fatimah."[65] Dari makna-makna ini menjadi jelas bahwa yang dimaksud Ahlul Bait bukan mutlak kaum kerabat, melainkan kaum kerabat yang paling khusus. Oleh karena itu, di dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa tatkala Zaid bin Arqam ditanya, siapa yang dimaksud dengan Ahlul Bait Rasulullah? Apakah istri-istrinya?

Zaid bin Arqam menjawab, "Tidak, demi Allah. Sesungguhnya seorang wanita tidak selamanya bersama suaminya, karena jika dia ditalak maka dia akan kembali kepada ayah dan kaumnya. Adapun yang dimaksud Ahlul Bait Rasulullah saw ialah keluarga nasabnya, yang diharamkan sedekah atas mereka sepeninggalnya (Rasulullah saw)."

Menjadi anggota Ahlul Bait tidak pernah diklaim oleh seorang pun dari kaum kerabat Rasulullah saw, dan begitu juga oleh istri-istrinya. Karena jika tidak, maka tentunya sejarah akan menceritakan hal itu kepada kita. Tidak ada di dalam sejarah dan juga di dalam hadis yang menyebutkan bahwa istri Rasulullah saw berhujjah dengan ayat ini. Sebaliknya dengan Ahlul Bait. Inilah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, "Sesungguhnya Allah Azza Wajalla mengutamakan kami Ahlul Bait. Bagaimana tidak demikian padahal Allah SWT telah berfirman di dalam Kitab-Nya, 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.' Allah SWT telah mensucikan kami dari berbagai kotoran, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Maka kami berada di atas jalan kebenaran."

Putranya al-Hasan as berkata, "Wahai manusia, barangsiapa yang mengenalku maka sungguh dia telah mengenalku, dan barangsiapa yang tidak mengenalku maka inilah aku Hasan putra Ali. Akulah anak seorang laki-laki pemberi kabar gembira dan peringatan, penyeru kepada Allah dengan ijin-Nya, dan pelita yang bercahaya. Saya termasuk Ahlul Bait yang mana Jibril turun naik kepada mereka. Saya termasuk Ahlul Bait yang telah Allah hilangkan dosa dari mereka dan telah Allah sucikan mereka sesuci-sucinya." Pada kesempatan yang lain al-Hasan berkata, "Wahai manusia, dengarkanlah. Kamu mempunyai hati dan telinga, maka perhatikanlah. Sesungguhnya kami ini adalah Ahlul Bait yang telah Allah muliakan dengan Islam, dan Allah telah memilih kami, maka Dia pun menghilangkan dosa dari kami dan mensucikan kami sesuci-sucinya."

Adapun argumentasi Ibnu Katsir tentang keharusan memasukkan istri-istri Rasulullah saw tidaklah dapat diterima, karena kehujjahan zhuhur bersandar kepada kesatuan ucapan. Sebagaimana di ketahui bahwa ucapan telah berubah dari bentuk ta'nits pada ayat-ayat sebelumnya kepada bentuk tadzkir pada ayat ini. Jika yang di maksud dari ayat ini adalah istri-istri Rasulullah saw maka tentunya ucapan ayat berbunyi "Innama Yuridullah Liyudzhiba 'Ankunnar Rijsa Ahlal Bait wa Yuthahhirakunna Tathhira ", karena ayat-ayat tersebut khusus untuk istri-istri Rasulullah saw. Oleh karena itu, Allah SWT memulai firmannya setelah ayat ini, "Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah...." (QS. al-Ahzab: 34)

Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ayat Tathhir turun kepada istri-istri Rasulullah saw selain dari Ikrimah dan Muqatil. Ikrimah mengatakan, "Barangsiapa yang menginginkan keluarganya maka sesungguhnya ayat ini turun kepada istri-istri Nabi saw."[66] Perkataan Ikrimah ini tidak dapat diterima, disebabkan bertentangan dengan riwayat-riwayat sahih yang dengan jelas mengatakan bahwa Ahlul Bait itu ialah para ashabul kisa, sebagaimana yang telah dijelaskan.

Kedua, apa yang telah memicu emosi Ikrimah sehingga dia berteriak-teriak di pasar menantang mubahalah?

Apakah karena kecintaan kepada istri-istri Nabi saw atau karena kebencian kepada para Ashabul Kisa`?! Dan kenapa dia mengajak ber-mubahalah jika ayat itu tidak diragukan turun kepada istri-istri Nabi saw?! Atau apakah karena pendapat umum yang berkembang mengatakan bahwa ayat itu turun kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain?! Dan memang demikian. Ini dapat dilihat dari perkataannya, "Yang benar bukanlah sebagaimana pendapat Anda semua, melainkan ayat ini turun hanya kepada istri-istri Nabi saw."[67] Ini artinya bahwa di kalangan para tabi'in ayat ini jelas turun kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as.

Kita juga tidak mungkin bisa menerima Ikrimah sebagai saksi dan penengah dalam masalah ini, disebabkan dia sudah sangat dikenal amat memusuhi Ali. Dia termasuk kelompok Khawarij yang memerangi Ali, maka tentunya dia akan mengatakan bahwa ayat ini turun kepada istri-istri Nabi saw. Karena jika dia mengakui bahwa ayat ini turun kepada Ali maka berarti dia telah menghancurkan mazhabnya sendiri dan telah merobohkan pilar-pilar keyakinan yang mendorong dirinya dan para sahabatnya untuk keluar memerangi Ali as. Di samping sudah sangat terkenalnya kebohongan Ikrimah atas Ibnu Abbas, sehingga Ibnu al-Musayyab sampai mengatakan kepada budaknya, "Jangan kamu berbohong atasku sebagaimana Ikrimah telah berbohong atas Ibnu Abbas." Di dalam kitab Mizan al-I'tidal disebutkan bahwa Ibnu Ummar pun mengatakan yang sama kepada budaknya yang bernama Nafi'.

Ali bin Abdullah bin Abbas telah berusaha mencegah Ikrimah dari perbuatan berdusta kepada ayahnya. Salah satu cara yang dilakukannya ialah dengan cara menggantung Ikrimah ke atas dinding supaya dia tidak berdusta lagi atas ayahnya. Abdullah bin Abi Harits berkata, "Saya menemui Ibnu Abdullah bin Abbas, dan saya mendapati Ikrimah tengah diikat di atas pintu dinding. Kemudian saya berkata kepadanya, 'Beginikah kamu memperlakukan budakmu?' Ibnu Abdullah bin Abbas menjawab, 'Dia telah berdusta atas ayahku.'"[68]

Adapun Muqatil, dia tidak kalah dari Ikrimah di dalam permusuhannya terhadap Amirul Mukminin dan reputasi kebohongannya, sehingga an-Nasa'i memasukkannya ke dalam kelompok pembohong terkenal pembuat hadis.[69]

Al-Juzajani di dalam kitab Mizan adz-Dzahab berkata di dalam biografi Muqatil, "Muqatil adalah seorang pembohong yang berani."[70]

Muqatil pernah berkata kepada Mahdi al-'Abbasi, "Jika Anda mau, saya bisa membuat hadis-hadis tentang keutamaan Abbas." Namun Mahdi al-'Abbasi menjawab, "Saya tidak perlu itu."[71]

Kita tidak mungkin mengambil perkataan dari orang-orang seperti mereka. Karena perbuatan yang demikian adalah tidak lain bersumber dari kesombongan dan kebodohan. Karena hadis-hadis sahih yang mutawatir bertentangan dengannya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Dan ini selain dari riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa setelah turunnya ayat ini Rasulullah saw mendatangi pintu Ali bin Abi Thalib setiap waktu salat selama sembilan bulan berturut-turut dengan mengatakan, "Salam, rahmat Allah dan keberkahan atasmu, wahai Ahlul Bait. 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hal Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-suci-nya."' Itu dilakukan oleh Rasulullah saw sebanyak lima kali dalam sehari.[72]

Di dalam Sahih Turmudzi, Musnad Ahmad, Musnad ath-Thayalisi, Mustadrak al-Hakim 'ala ash-Shahihain, Usud al-Ghabah, tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan as-Suyuthi disebutkan bahwa Rasulullah saw mendatangi pintu rumah Fatimah selama enam bulan setiap kali keluar hendak melaksanakan salat Subuh dengan berseru, "Salat, wahai Ahlul Bait. 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.'"[73] Dan riwayat-riwayat lainnya yang serupa yang berkenaan dengan bab ini.

Dengan keterangan-keterangan ini menjadi jelas bagi kita bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.

Dan tidak ada tempat bagi siapa pun untuk mengingkarinya. Karena orang yang meragukan hal ini adalah tidak ubahnya seperti orang yang meragukan matahari di siang hari yang cerah.


AHLUL BAIT DIDALAM AYAT MUBAHALAH

Sesungguhnya pertarungan antara front kebenaraan dengan front kebatilan di medan peperangan adalah perkara yang sulit, namun jauh lebih sulit lagi jika dilakukan di medan mihrab. Yaitu manakala masing-masing orang membuka dirinya di hadapan Zat Yang Maha Mengetahui hal-hal yang gaib, dan menjadikan-Nya sebagai hakim di antara mereka. Pada keadaan ini tidak akan menang orang yang di dalam hatinya terdapat keraguan.

Mungkin saja seseorang merupakan petempur yang gagah di medan peperangan, dan oleh karena itu kita mendapati Rasulullah saw menyeru kepada setiap orang yang mampu memanggul senjata, meski pun dia seorang munafik, untuk berjihad menghadapi orang-orang kafir. Namun, ketika bentuk pertarungan telah berubah dari bentuk peperangan ke dalam bentuk mubahalah dengan orang-orang Nasrani, Rasulullah saw tidak memanggil seorang pun dari para sahabatnya untuk ikut terjun ke dalam bentuk pertarungan yang baru ini. Karena pada pertarungan yang semacam ini tidak akan ada yang bisa maju kecuali orang yang mempunyai hati yang lurus dan telah disucikan dari segala macam dosa dan kotoran. Mereka itulah manusia-manusia pilihan. Orang-orang yang semacam itu tidak banyak jumlahnya di tengah-tengah manusia. Jumlah mereka sedikit, namun mereka adalah sebaik-baiknya penduduk bumi.


Siapakah orang-orang yang terpilih itu?

Ketika Rasulullah saw berdebat dengan cara yang paling baik dengan para pendeta Nasrani, Rasulullah saw tidak mendapati dari mereka kecuali kekufuran, pengingkaran dan pembangkangan, dan tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain dari bermubahalah. Yaitu dengan cara masing-masing dari mereka memanggil orang-orang mereka, dan kemudian menjadikan laknat Allah menimpa orang-orang yang dusta. Pada saat itulah datang perintah dari Allah SWT,

"Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah kepadanya, 'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri-diri kami dan diri-diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.'" (QS. Ali 'lmran: 61)

Ketika para pendeta menerima tantangan Rasulullah saw ini, sehingga akan menjadi peperangan penentu di antara mereka, maka para pendeta mengumpulkan orang-orang khusus mereka untuk bersiap-siap menghadapi hari yang telah ditentukan. Ketika telah tiba hari yang ditentukan maka berkumpullah sekelompok besar dari kalangan kaum Nasrani. Mereka maju dengan keyakinan bahwa Rasulullah saw akan keluar menghadapi mereka dengan sekumpulan besar para sahabatnya, sementara istri-istrinya di belakang dia. Namun, Rasulullah saw maju dengan langkah pasti bersama bintang kecil dari Ahlul Bait, yaitu Hasan di sebelah kanannya dan Husain di sebelah kirinya, sementara Ali dan Fatimah di belakangnya. Ketika orang-orang Nasrani melihat wajah-wajah yang bercahaya ini, mereka gemetar ketakutan. Maka mereka semua pun menoleh ke arah Uskup, pemimpin mereka seraya bertanya,

"Wahai Abu Harits, bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?"

Uskup itu menjawab, "Saya melihat wajah-wajah yang jika salah seorang dari mereka memohon kepada Allah supaya gunung dihilangkan dari tempatnya, maka Allah akan menghilangkan gunung itu."

Bertambahlah ketercengangan mereka. Ketika Uskup merasakan yang demikian itu dari mereka, maka dia pun berkata, "Tidakkah engkau melihat Muhammad sedang mengangkat kedua tangannya sambil menunggu terkabulnya doanya. Demi al-Masih, jika dia menggerakkan mulutnya dengan satu kata saja, maka kita tidak akan bisa kembali kepada keluarga dan harta kita."[74]

Akhirnya mereka memutuskan untuk segera pulang dan meninggalkan arena mubahalah. Mereka rela walau pun harus menanggung kehinaan dan memberikan jizyah (denda).

Dengan mereka yang lima Rasulullah saw mampu mengalahkan orang-orang Nasrani dan menjadikan mereka kecil. Rasulullah saw bersabda, "Demi Dzat yang diriku berada di dalam genggamannya, sesungguhnya azab tengah bergantung di atas kepala para penduduk Najran. Kalaulah tidak ada ampunan-Nya niscaya mereka telah diubah menjadi kera dan babi, dan dinyalakan atas mereka lembah menjadi lautan api, serta Allah binasakan perkampungan Najran dan seluruh para penghuninya, bahkan burung-burung yang berada di pepohonan sekali pun."

Namun, kenapa Rasulullah saw menghadirkan mereka yang lima saja, dan tidak menghadirkan para sahabat dan istri-istrinya?

Pertanyaan itu dapat dijawab dengan satu kalimat, yaitu bahwa Ahlul Bait adalah seutama-utamanya makhluk setelah Rasulullah, dan manusia-manusia yang paling suci. Sifat-sifat yang telah Allah SWT tetapkan bagi Ahlul Bait di dalam ayat Tathhir ini tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, di dalam menerapkan ayat ini kita mendapati bagaimana Rasulullah menarik perhatian umat kepada kedudukan Ahlul Bait. Rasulullah menafsirkan firman Allah yang berbunyi "abna'ana" (anak-anak kami) dengan Hasan dan Husain, "nisa'ana" (istri-istri kami) dengan Sayyidah Fatimah az-Zahra as, dan "anfusana" (diri-diri kami) dengan Ali as. Itu dikarenakan imam Ali tidak masuk ke dalam kategori istri-istri dan tidak termasuk ke dalam kategori anak-anak, melainkan hanya masuk ke dalam kata "diri-diri kami". Karena ungkapan "anfusana" (diri-diri kami) akan menjadi buruk jika seruan itu hanya ditujukan kepada diri Rasulullah saw saja.

Bagaimana mungkin Rasulullah saw memanggil dirinya?! Ini diperkuat dengan hadis Rasulullah saw yang berbunyi, "Aku dan Ali berasal dari pohon yang sama, sedangkan seluruh manusia yang lain berasal dari pohon yang bermacam-macam."

Jika Imam Ali adalah diri Rasulullah saw sendiri, maka Imam Ali memiliki apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw, berupa kepemimpinan atas kaum Muslimin, kecuali satu kedudukan yaitu kedudukan kenabian. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah saw di dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, "Wahai Ali, kedudukan engkau di sisiku tidak ubahnya sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku."[75]

Sesungguhnya argumentasi kita dengan ayat ini bukan untuk menjelaskan peristiwa mubahalah, melainkan semata-mata dalam rangka menjelaskan siapakah Ahlul Bait itu. Dan alhamdulillah, tidak ada perbedaan pendapat bahwa ayat ini turun kepada Ashabul Kisa`. Terdapat banyak riwayat dan hadis di dalam masalah ini. Muslim dan Turmudzi telah meriwayatkan di dalam bab keutamaan-keutamaan Ali:

Dari Sa'ad bin Abi Waqash yang berkata, "Ketika ayat ini turun, 'Katakanlah, 'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu...' Rasulullah saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Lalu Rasulullah saw berkata, 'Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku."'[76]•

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kepemimpinan Ali di Dalam Al-Qur'an Al-Karim (Firman dan Nas Jelas Tentang Kepemimpinan)


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Bahasan Pemutus

Setelah saya selesai dari pembahasan yang pertama, yang telah membebani pikiran dan jiwa saya, dan menjadikan diri saya hidup dalam suasana bertarung dengan hati nurani, di satu sisi, dan dengan teman-teman dan dosen saya di kampus, di sisi yang lain, akhirnya saya cukup puas untuk bisa meragukan matahari namun tidak bisa meragukannya. Kesimpulan dari pembahasan saya, sebagaimana yang telah saya jelaskan ialah wajibnya mengikuti Ahlul Bait dan meng-ambil agama dari mereka. Inilah kepuasan pertama saya setelah berjalan beberapa waktu. Namun saya belum mampu menentukan sikap dan memilih mazhab saya meski pun hati nurani saya mendesak saya untuk mengikuti mazhab Syi'ah, dan meski pun keluarga dan teman-teman saya telah menyebut saya orang Syi'ah. Banyak dari mereka yang memanggil saya sebagai orang Syi'ah, dan bahkan sebagian dari mereka memanggil saya sebagai pengikut Khomeini! Padahal saat itu saya belum menentukan sikap saya. Saya tidak ragu dengan apa yang telah saya capai, namun hawa nafsu yang senantiasa menyuruh kepada keburukan ini selalu menahan saya dan meniupkan keragu-raguan kepada diri saya:

Bagaimana Anda dapat meninggalkan agama yang telah Anda dapati pada orang-orang tua Anda?!

Apa yang dapat Anda perbuat bersama kelompok yang jauh berbeda dengan keyakinan-keyakinan Anda?!

Anda ini siapa, sehingga sampai ke sini?! Apakah Anda melupakan ulama-ulama besar?! Dan bahkan mayoritas kaum Muslimin?!

Dan, beribu-ribu pertanyaan dan keragu-raguan lainnya yang kebanyakannya tidak mampu mengalahkan dan menghentikan saya, namun terkadang mampu merusak pikiran dan nurani saya. Demikian seterusnya, terjadi tarik ulur, sehingga menimbulkan keresahan dan kegelisahan pada diri saya. Tidak ada tempat pelarian, tidak ada teman dan tidak ada orang dekat tempat mencurahkan keluh kesah hati.

Maka mulailah saya mencari buku-buku yang membantah Syi'ah, mudah-mudahan dapat membebaskan saya dari keadaan yang sedang saya alami dan dapat menjelaskan hakikat-hakikat yang mungkin luput dari pandangan saya. Orang-orang Wahabi mencukupi saya dengan mengumpulkan buku-buku. Imam salat jamaah di mesjid desa kami mendatangkan seluruh buku yang saya minta.

Setelah mempelajari buku-buku itu justru semakin bertambah keresahan dan kegelisahan saya, dan saya tidak mendapati di dalamnya apa yang saya inginkan. Karena buku-buku itu kosong dari objektifitas dan dialog-dialog yang logis. Seluruh isinya hanya berisi caci maki, pelaknatan, sumpah serapah dan kebohongan. Pada awalnya, buku-buku itu dapat menciptakan hijab bagi saya, namun setelah pengaruh propagandanya dilepas maka tampak di hadapan saya buku-buku itu lebih rapuh dibandingkan sarang laba-laba.

Setelah itu saya pun bertekad untuk meneruskan pengkajian saya, meski pun saya telah merasa cukup dengan apa yang telah saya capai pada pengkajian pertama, untuk membendung bujukan-bujukan diri saya, dan sekaligus untuk melihat kebenaran dengan lebih jelas. Maka pilihan saya jatuh kepada pembahasan mengenai dalil-dalil kepemimpinan Imam Ali as dan nas-nas yang menunjukkan keimamahannya. Di dalam benak saya terdapat sekumpulan dalil yang dapat memenuhi tujuan ini, meski pun itu hanya cukup bagi orang yang mempunyai akal yang bersih dan hati yang jernih. Namun, saya menginginkan sebuah pembahasan pemutus, antara apakah saya akan menjadi seorang Ahlus Sunnah yang meyakini kekhilafahan Abu bakar, Umar dan Usman, atau akan menjadi seorang Syi'ah yang meyakini keimamahan Imam Ali as.

Setelah melakukan pembahasan, tiba-tiba saya mendapati diri saya tidak mampu —bahkan hingga sekarang— mengumpulkan, menghitung dan mempelajari seluruh dalil, baik yang naqli maupun yang akli, yang mengatakan dengan jelas akan keimamahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, dengan jelas di dalam penunjukkannya dan sebagiannya lagi memerlukan mukaddimah yang panjang.

Apa yang saya tulis di dalam pasal ini adalah merupakan cuplikan-cuplikan ringkas, dan itu dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keringkasan dan mendorong pembahasan. Menurut keyakinan saya, itu sudah cukup setelah ditambah penjelasan dan penjabaran.


A. Nas Dari Firman Allah SWT

Firman Allah SWT yang berbunyi:

"Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang yang beriman yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan ruku." (QS. al-Maidah: 54)


Bentuk Argumentasi Dari Ayat Ini

Ayat ini akan menjadi jelas berbicara tentang kepemimpinan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as jika terbukti bahwa yang dimaksud dari firman Allah SWT "Orang yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan ruku" adalah Imam Ali as, dan juga jika terbukti bahwa yang dimaksud dengan kata "wali" di sini ialah berarti orang yang lebih berhak mengatur.


Referensi-Referensi Yang Membuktikan Ayat Ini Turun Kepada Imam Ali as.

Telah sampai tingkatan mutawatir riwayat-riwayat kedua belah pihak yang mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah saw khusus berkenaan dengan Imam Ali as yang mensedekahkan cincinnya tatkala dalam keadaan ruku. Berita ini telah diriwayatkan oleh sekumpulan besar para sahabat. Di antaranya ialah:

1. Abu Dzar al-Ghifari. Sekumpulan para huffadz telah meriwayatkan berita ini darinya, seperti,
a. Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim ats-Tsa'labi di dalam kitab tafsir al-Kasyfwa al-bayan 'an Tafsir al-Qur'an.
b. Al-Hafidz al-Kabk al-Hakim al-Hiskani di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 177, terbitan Beirut.
c. Cucu Ibnu Jauzi, di dalam kitab at-Tadzkirah, halaman 18.
d. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf, halaman 56.
e. Dan yang lainnya dari kalangan para huffadz dan muhaddis.

2. Miqdad bin Aswad. Al-Hafidz al-Hiskani meriwayatkan darinya di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 171, terbitan Beirut.

3. Abu Rafi' al-Qibthi, budak Rasulullah saw. Sekumpulan orang- orang berilmu meriwayatkan darinya, seperti,
a. Al-Hafidz Ibnu Mardawaih, di dalam kitab al-Fadha'il.
b. Al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi, di dalam kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur.
c. Muhaddis al-Muttaqi al-Hindi, di dalam kitab Kanz al-'Ummal, jilid 1, halaman 305 dan seterusnya.

4. Ammar bin Yasir. Orang-orang yang telah mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Muhaddis Kabir ath-Thabrani, di dalam kitab Mu'jamah al- Awsath.
b. Al-Hafidz Abu Bakar bin Mardawaih, di dalam kitab al-Fadha'il.
c. Al-Hafidz al-Hiskani, di dalam kitab Syawahid at-Tanzil.
d. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf, halaman 56, dari ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih.

5. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Adapun orang-orang yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Al-Hakim an-Naisaburi, al-Hafidz al-Kabir, di dalam kitab Ma'rifah 'Ulum al-Haditz, halaman 102, terbitan Mesir, tahun 1937.
b. Al-Hafidz Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i, di dalam kitab al-Managib, halaman 311.
c. Al-Hafidz al-Hanafi al-Khawarizmi di dalam kitab al-Manaqib, halaman 187.
d. Al-Hafidz Ibnu 'Asakir ad-Dimasyqi (Tarikh Dimasyq), jilid 2, halaman 409.
e. Al-Hafidz Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, di dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid 7, halaman 357.
f. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, halaman 56, terbitan Mesir.
g. Muhaddis al-Muttaqi al-Hindi, di dalam kitab Kanz al- 'Ummal, jilid 15, halaman 146, bab keutamaan Ali as.

6. Amr bin Ash. Adapun orang-orang yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah al-Hafidz Akhthab Khawarijmi al-Hafidz Abu al- Muayyad, di dalam kitab al-Manaqib, halaman 128.

7. Abdullah bin Salam. Adapun yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah Muhibuddin ath-Thabari, di dalam kitab Dzakha'ir al-'Ugba, halaman 201; dan kitab ar-Riyadh an-Nadhirah, jilid 2, halaman 227.

8. Abdullah bin Abbas. Adapun yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Ahmad bin Yahya al-Baladzari, di dalam kitab Ansab al-Asyraf, jilid 2, halaman 150, terbitan Beirut, diperiksa oleh Mahmudi.
b. Al-Wahidi, di dalam kitab Asbab an-Nuzul, halaman 192, cetakan pertama, tahun 1389, diperiksa oleh Sayyid Ahmad ash-Shamad.
c. Al-Hakim al-Hiskani, di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 18.
d. Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i, di dalam kitab al-Manaqib, halaman 314, diperiksa oleh Mahmudi.
e. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, cetakan Mesir.
f. Jalaluddin as-Suyuthi.

9. Jabir bin Abdullah al-Anshari. Di antara orang-orang yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah Al-Hakim al-Hiskani, di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 174.
l0. Anas bin Malik, pembantu Rasulullah saw. Adapun orang yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Al-Hafidz al-Hiskani, di dalam kitab asy-Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 145.
b. Muhaddis al-Kabir al-Hamawi al-Juwaini al-Khurasani, di dalam kitab Fara'idh as-Simthain, jilid 1, halaman 187.

Dari riwayat yang banyak ini kita memilih riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, sebuah riwayat yang panjang yang dikeluarkan oleh al-Hakim al-Hiskani dengan sanadnya di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 177, terbitan Beirut.

Abu Dzar berkata, "Wahai manusia, barangsiapa yang mengenalku maka berarti dia telah mengenalku, dan barangsiapa yang tidak mengenalku maka inilah aku Jundub bin Janadah al-Badri Abu Dzar al-Ghifari. Aku telah mendengar Rasulullah saw dengan kedua telingaku ini, dan jika tidak maka tulilah kedua telingaku ini. Aku telah menyaksikan beliau dengan kedua mataku ini, dan jika tidak maka butalah kedua matakku ini. Yaitu Rasulullah saw telah bersabda, 'Ali adalah pemimpin kelompok orang-orang yang lurus. Pejuang yang memerangi kaum yang kafir. Jayalah siapa yang membantunya. Hinalah siapa yang menelantarkan dukungan baginya.' Suatu hari aku salat Zhuhur bersama Rasulullah saw, lalu masuklah ke dalam mesjid seorang peminta-minta, namun tidak ada seorang pun yang memberi kepadanya. Kemudian peminta-minta itu mengangkat tangannya ke langit seraya berkata, 'Ya Allah, saksikanlah, aku meminta-minta di mesjid Rasulullah saw namun tidak seorang pun yang memberi sesuatu kepadaku.' Pada saat itu Ali sedang salat dalam keadaan ruku, lalu dia memberi isyarat dengan jari manis tangan kanannya yang bercincin. Pengemis itu lalu menghampirinya dan menarik cincin itu dari jari Ali. Rasulullah saw menyaksikan hal itu, dan setelah menyelesaikan salatnya Rasulullah saw mengangkat kepalanya ke langit seraya berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya Musa telah memohon kepadamu. Dia berkata, 'Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku: Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami dapat banyak bertasbih kepada-Mu dan banyak mengingat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui keadaan kami.'

Maka Engkau telah wahyukan kepadanya 'Kami teguhkan lenganmu dengan saudaramu.'

Dan aku ini, Ya Allah, adalah hamba dan Nabi-Mu. Lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku: Ali, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku ...'"

Abu Dzar berkata, "Demi Allah, belum sampai Rasulullah saw menyelesaikan ucapannya itu, Jibril al-Amin turun dari sisi Allah SWT. Jibril al-Amin berkata, 'Ya Muhammad, selamat, atas apa yang telah Allah anugrahkan untukmu tentang saudaramu.' Rasulullah saw bertanya, 'Apa itu, ya Jibril?'

Jibril menjawab, 'Allah SWT telah memerintahkan umatmu untuk menjadikannnya sebagai pemimpin hingga hari kiamat, dan menurunkan kepadamu,

'Sesungguhnya wali (pemimpin) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku.'"

Riwayat ini datang dengan berbagai macam redaksi, namun pada kesempatan ini kita hanya membatasi dengan riwayat ini saja, karena ini pun sudah cukup untuk menjelaskan permasalahan.

Ini merupakan keutamaan yang tidak ada seorang pun bersekutu dengan Amirul Mukminin di dalamnya. Kita tidak mendapati seorang pun di dalam sejarah yang mengklaim dirinya telah mengeluarkan zakat dalam keadaan ruku. Ini sudah merupakan hujjah yang cukup dan petunjuk yang jelas bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah Amirul Mukminin, tidak yang lainnya.

Terkadang sebagian kalangan berusaha meragukan apa yang disebutkan di dalam ayat ini, dan tentang penisbahannya kepada Amirul Mukminin, dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang tidak berdasar. Sebagai contoh, Anda mendapati al-Alusi memalingkan makna ruku kepada maknanya yang bukan zahir. Dia berkata, "Yang dimaksud dengan ruku (di dalam ayat ini) ialah khusyuk." Ini adalah sebuah upaya penakwilan yang tidak dapat diterima. Karena tidak ada petunjuk yang memalingkan makna hakiki yang zahir di dalam ayat —yaitu ruku yang mempunyai gerakan yang telah ditentukan. Pernah suatu hari saya berdiskusi dengan sekelompok teman-teman saya di kampus tentang ayat ini. Setelah saya buktikan kepada mereka bahwa ayat ini turun kepada Amirul Mukminin as, salah seorang dari mereka menyanggah,

"Jika memang terbukti ayat ini turun kepada Ali maka berarti ayat ini juga membuktikan kekurangan Ali?"

Saya bertanya kepadanya, "Bagaimana bisa begitu?"

Dia menjawab, "Karena yang demikian itu menunjukkan ketidakkhusyukannya di dalam salat. Karena jika tidak, bagaimana bisa dia mendengar perkataan peminta-minta dan kemudian menjawabnya? Karena para ahli ibadah dan orang-orang yang bertakwa tidak menyadari orang-orang yang ada di sekelilingnya pada saat mereka sedang menghadap Allah SWT."

Saya katakan, "Ucapan Anda tidak bisa diterima, berdasarkan petunjuk ayat ini sendiri. Karena salat itu untuk Allah, dan begitu pula ketundukkan dan kekhusyukan. Sementara Allah SWT telah mengabarkan kita bahwa Dia menerima salat ini, dan bahkan dengan salat ini Dia menetapkan kepemimpinan bagi pelakunya. Kedudukan pujian tampak jelas terlihat di dalam konteks ayat ini, baik yang bersedekah itu Ali atau pun yang lainnya. Jika Anda mempunyai kritikan terhadap kekhusyukan Ali, maka terlebih lagi Anda mempunyai kritikan terhadap Al-Qur'an."

Ayat ini jauh lebih kokoh dan akurat dibandingkan peragu-raguan yang dilontarkan para peragu. Ayat ini jelas menunjukkan kepada keimamahan Amirul Mukminin, dan pembuktian tentang keimamahan Amirul Mukminin adalah termasuk perkara yang amat jelas di dalam Al-Qur'an. Saya pernah mengatakan ini kepada sebagian teman, namun salah seorang dari mereka menantang,

"Coba sebutkan satu ayat yang mendukung pengakuan Anda."

Saya jawab, "Sebelum itu marilah kita coba untuk melihat apa yang telah dikatakan Rasulullah saw tentang Ali as. Bukhari telah meriwayatkan di dalam sahihnya bahwa Rasulullah saw telah berkata kepada Ali, 'Kedudukanmu di sisiku tidak ubahnya sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku.'[77]

Dari sini tampak bahwa semua yang dimiliki Harun juga dimiliki Ali as. Ali as memiliki keimamahan, kekhilafahan, kewaziran dan yang lainnya, kecuali kenabian, sebagaimana Harun."

Mereka semua marah seraya mengatakan,"Dari mana Anda dapatkan ini?! ..."

Saya katakan, "Sebentar, apa kedudukan Harun di sisi Musa? Bukankah Musa sendiri telah berkata, 'Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku: Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.'"

Mereka berkata, "Kami belum pernah mendengarnya, mungkin ayat itu tidak berbunyi demikian....!" Saya merasakan kefanatikan dan kekeraskepalaan mereka. Saya berkata dengan penuh keheranan akan keadaan mereka, "Sesungguhnya ini perkara yang jelas sekali, yang tidak ada seorang pun yang mengingkarinya."

Salah seorang dari mereka berkata, "Kenapa berbelit-belit. Ini Al-Qur'an ada di hadapan Anda... Coba tunjukkan ayat itu, jika kamu benar."

Di sini saya gemetar, karena saya lupa sama sekali di dalam surat apa dan di dalam juz berapa ayat ini terdapat. Setelah beberapa saat, saya memberanikan diri sambil mengucapkan di dalam hati "Allahumma Shalli 'ala Muhammad wa Ali Muhammad" (ya Allah, sampaikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad), lalu saya membuka Mushaf Al-Qur'an secara acak. Pandangan pertama mata saya jatuh kepada ayat, "Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku .... dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku."

Keharuan mencekik tenggorokan saya, sementara air mata mengalir di kedua pipi saya. Saya tidak bisa membacakan ayat karena sangat paniknya, lalu saya pun menyerahkan Mushaf yang terbuka sambil menunjukkan ayat yang dimaksud kepada mereka. Mereka semua tercengang karena sangat kagetnya.

Penunjukkan Ayat "Sesungguhnya Wali (pemimpin) kamu hanyalah Allah ... " Terhadap Kepemimpinan Amirul Mukminin as

Setelah terbukti pada pembahasan pertama bahwa ayat di atas turun kepada Imam Ali as, maka arti ayat di atas menjadi "Sesungguhnya wali (pemimpin) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan Ali bin Abi Thalib."

Tidak ada seorang pun yang dapat mengkritik, kenapa Allah berbicara kepada seorang individu dengan menggunakan dhamir (kata ganti) bentuk jamak?!

Karena yang demikian itu sesuatu yang dibolehkan di dalam bahasa Arab. Dengan demikian, penggunaan bentuk jamak di dalam ayat ini adalah untuk penghormatan. Banyak sekali bukti-bukti yang mendukung hal ini, seperti firman Allah SWT yang berbunyi, "Orang-orang yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allahfakir sedangkan kami orang-orang kaya.'" Orang yang berkata di sini ialah Huyay bin Akhthab. Juga seperti firman Allah SWT yang berbunyi, "Di antara mereka ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, 'Nabi mempercayai setnua apa yang didengarnya.'"(Surat at-Taubah: 61) Ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki dari kalangan orang-orang munafik; apakah itu al-Jalas bin Sawilah, Nabtal bin al-Harts atau 'ltab bin Qusyairah. Silahkan rujuk tafsir ath-Thabari, jilid 8, halaman 198.

Setelah itu barulah pembahasan mengenai arti kata "wali".

Syi'ah berpendapat bahwa kata "wali" di dalam ayat ini adalah berarti orang yang paling berhak dalam bertindak. Sehingga kata "wali amril Muslimin" atau kata "wali amris sulthan" adalah berarti orang yang paling berhak bertindak di dalam urusan mereka.

Oleh karena itu, Syi'ah mengatakan wajibnya mengikuti Amirul Mukminin Ali as, karena dia orang yang paling berhak bertindak dalam urusan kaum Muslimin. Sesuatu yang menunjukkan kepada makna ini ialah bahwa Allah SWT telah menafikan kita memiliki "wali" selain Dia, selain Rasul-Nya dan selain "orang-orang yang beriman yang mengerjakan salat dan menunaikan zakat dalam ke-adaan ruku" dengan kata innama (hanya saja). Jika yang dimaksud dengan kata "wali" adalah penolong di dalam agama maka tentu tidak dikhususkan bagi orang-orang yang disebutkan. Karena penolong di dalam agama adalah mencakup seluruh orang-orang Mukmin. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang Mukimin laki-laki serta orang-orang Mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian mereka yang lain." Dengan demikian, maka takhshish (peng-khususan) menunjukkan kepada satu bentuk wilayah yang berbeda dari wilayah orang-orang Mukimin, di antara sebagian mereka dengan sebagian mereka yang lain. Tidak mungkin sesuatu yang dimaksud dari kata-kata "orang-orang yang beriman yang mengerjakkan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku " itu orang-orang Mukmin secara umum, melainkan khusus imam Ali, dengan dalil kata innama yang memberikan arti pengkhususan, sehingga menafikan orang-orang Mukmin yang lain, di samping hadis-hadis sebelumnya yang menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Sifat yang disebutkan di dalam ayat, "mereka memberi zakat dalam keadaan ruku " tidak klop pada seorang pun dan tidak ada seorang pun yang mengklaimnya selain Amirul Mukminin. Dialah yang memberi-kan zakat dalam keadaan ruku. Karena kata-kata "wahum raki'un" adalah merupakan hal bagi kata-kata "yu'tunaz zakat". Adapun ruku adalah sebuah gerakan yang khusus, sehingga usaha memalingkan ruku dari makna hakikinya adalah merupakan satu bentuk pentakwilan yang tidak berdasar. Karena, di dalam ayat di atas tidak terdapat pe-tunjuk yang memalingkan ruku dari makna hakikinya. Demikian juga, kata-kata "wahum raki'un" tidak boleh di-athaf-kan kepada kata-kata sebelumnya, karena kata salat telah disebutkan sebelumnya. Ibadah salat mencakup ruku, maka oleh karena itu penyebutan kata ruku sesudah penyebutan kata salat di sini adalah merupakan hal (keadaan pada saat sebuah perbuatan dilakukan —penerj.), di samping kesepakatan umat juga menyebutkan bahwa Ali memberikan zakat dalam keadaan ruku, sehingga dengan begitu ayat di atas dikhususkan untuk Ali. Al-Qusyaji telah menukil —di dalam kitabnya Syarih at-Tajrid— dari para mufassir yang mengatakan mereka sepakat bahwa ayat ini turun kepada Ali pada saat Ali memberi sedekah dalam keadaan ruku. Demikian juga Ibnu Syahrasyub telah menukil yang demikian di dalam kitabnya al-Fadha'il. Dia mengatakan di dalam mukaddimah kitabnya itu sebagai berikut,

"Umat sepakat bahwa ayat ini turun kepada Amirul Mukminin.[78] Dan begitu juga hadis-hadis yang mendukung pendapat ini telah mencapai derajat mutawatir. Sayyid Hasyim al-Bahrani telah menukil di dalam kitabnya Ghayah al-Muram dua puluh empat hadis dari jalan Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Ali, dan juga sembilan belas hadis dari jalan Syi'ah."

Jika ayat ini khusus kepada Amirul Mukminin maka tentu maksud dari kata "wali" di sini bukanlah wilayah dalam arti umum, yaitu penolong dan pecinta, melainkan wilayah dalam arti khusus, yaitu orang yang paling berhak dalam bertindak. 'Allamah al-Mudzaffar telah berkata tentang hal ini, "Jika yang dimaksud dengan kata wali adalah penolong, maka pembatasan penolong kepada Allah, Rasul-Nya dan Ali tidaklah dapat dibenarkan kecuali dengan melihat kepada salah satu di antara dua sisi: Yang pertama, bahwa pertolongan mereka (Allah, Rasul-Nya dan Ali) kepada orang-orang Mukmin mencakup tindakan dalam urusan mereka (orang-orang Mukmin), maka ini berarti kembali kepada makna yang dimaksud. Adapun yang kedua, bahwa pertolongan yang lain kepada orang-orang Mukmin, semuanya dinisbahkan kepada pertolongan mereka (Allah, Rasul-Nya dan Ali), maka di sini tercapai pula apa yang dimaksud. Karena itu termasuk keharusan dari pertolongan menyeluruh kepada orang-orang Mukmin."[79]

Dengan demikian, terbuktilah bahwa wilayah Allah, Rasul-Nya dan "orang-orang yang beriman" —yaitu Ali— adalah wilayah dari jenis yang sama, yaitu wilayah yang berarti "hak bertindak". Adapun dalil yang menunjukkan kepada hal ini ialah penggunaan kata yang sama bagi semua tingkatan. Karena, jika artinya tidak sama maka tentu akan menimbulkan kekaburan maksud, dan tentunya Allah SWT tidak akan mungkin menyesatkan para hamba-Nya. Karena jika Allah SWT menghendaki arti lain bagi wilayah Amirul Mukminin, tentunya lebih sesuai jika wilayah Amirul Mukminin disebutkan secara terpisah, untuk menghilangkan kesamaran. Sebagaimana yang dilakukan di dalam ayat yang lain, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul". Di dalam ayat ini penyebutan kata "taat" diulang. Atas dasar-dasar inilah maka Amirul Mukminin layak menjadi imam orang-orang bertakwa dan pemimpin orang-orang Mukmin.


B. Nas Jelas Tentang Kepemimpinan

Allah SWT berfirman, "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia."

Ayat ini turun untuk menerangkan keutamaan Amirul Mukminin as di Ghadir Khum, sebagaimana yang telah diisyaratkan di dalam hadis Zaid bin Arqam di dalam Sahih Muslim.

Pada mulanya saya berpikir cukup mengisyaratkan saja peristiwa ini, sebab sedemikian jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab hadis dan kitab-kitab sejarah. Akan tetapi, saya teragitasi oleh seorang penulis Sudan —yaitu Insinyur Shadiq Amin— yang menyerang dan mengecam Syi'ah di surat kabar Sudan (berita terakhir). Dia mengatakan di dalam tulisannya, "Pada hakikatnya, sesungguhnya peristiwa yang diriwayatkan oleh kitab-kitab Syi'ah yang berkenaan dengan Ghadir Khum ini ..., dan demikianlah para ulama Syi'ah secara terus menerus selalu menyebut (khurafat) ini, yang terhitung sebagai pilar dasar mazhab Syi'ah ..."

Saya tidak tahu apakah ini memperlihatkan kebodohan akan sejarah atau memperlihatkan kebencian terhadap Imam Ali as dan pengingkaran terhadap keutamaan-keutamaannya?! Peristiwa ini amat jelas, sehingga memenuhi buku-buku sejarah.

Bagaimana peristiwa ini luput dari penglihatan insinyur ini?!

Yang jelas, dia tidak membebani dirinya untuk menutup kedua matanya, lalu mengambil kitab hadis atau kitab sejarah Ahlus Sunnah mana saja, dan kemudian membacanya. Jika dia tidak menemukan peristiwa itu di dalam kitab yang dibacanya maka barulah dia berhak untuk menisbahkan buku tersebut kepada kitab-kitab Syi'ah, atau menamakannya sebagai khurafat.


Al-Ghadir Dalam Referensi-Referensi Islam

Hadis al-Ghadir termasuk hadis yang paling mutawatir. Para perawinya dari kalangan sahabat mencapai seratus sepuluh orang sahabat. 'Allamah al-Amini telah menghitung mereka beserta kitab-kitab yang telah mengeluarkan riwayat-riwayatnya, di dalam kitabnya al-Ghadir, jilid 1, halaman 14 sampai halaman 61. Sangat panjang kiranya sekiranya kami menyebutkan nama-nama mereka dan buku-buku Ahlus Sunnah yang mengeluarkan hadis-hadis mereka pada kesempatan sekarang ini.

Adapun para perawainya dari kalangan tabi'in mencapai delapan puluh empat orang perawi, sebagaimana di sebutkan di dalam kitab al-Ghadir, halaman 62 sampai halaman 72. Para perawi hadis al-Ghadir tidak berhenti sampai batas ini, melainkan juga dinukil secara mutawatir pada setiap tingkatan-tingkatannya. Jumlah para perawinya dari abad kedua hingga abad keempat belas Hijrah mencapai tiga ratus enam puluh orang perawai. Di samping beribu-ribu kitab Ahlus Sunnah yang menyebutkan hadis ini.

Bagaimana begitu mudah —setelah semua ini— penulis ini mengatakan bahwa ini adalah khurafat Syi'ah. Padahal diketahui bahwa riwayat al-ghadir yang melalui jalur-jalur Syi'ah kurang dari setengahnya dari yang terdapat di dalam jalur-jalur Ahlus Sunnah.

Namun inilah kesulitan orang-orang terpelajar, mereka mengeluarkan kata-kata dengan tanpa melakukan pengkajian. Para ulama Ahlus Sunnah dan orang-orang terpercaya dari kalangan mereka, baik dari kalangan terdahulu maupun kalangan terkemudian, dengan tegas mengakui kesahihan hadis al-ghadir. Sebagai contoh di antara mereka ialah:

1. Ibnu Hajar al-'Asqalani. Dia berkata di dalam kitabnya Syarih Shahih al-Bukhari, "Adapun hadis 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya' telah di keluarkan oleh Turmudzi dan Nasa'i. Hadis ini banyak sekali jalannya. Ibnu 'Uqdah telah memuat jalan-jalannya di dalam kitab tersendiri, dan mayoritas sanadnya adalah sahih dan hasan."[80]

Kitab yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar ini ialah kitab al-Wilayah fi Thurug Hadits al-Ghadir, karya Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sa'id al-Hamadani, yaitu al-Hafidz yang terkenal dengan sebutan Ibnu 'Uqdah, yang wafat pada tahun 333 Hijrah.

Ibnu Atsir banyak menukil darinya di dalam kitabnya Usud al-Ghabah, dan begitu juga Ibnu Hajar al-'Asqalani. Ibnu Hajar al-'Asqalani juga telah menyebutnya di dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, jilid 7, halaman 337, setelah menyebutkan hadis al-Ghadir. Ibnu Hajar al-'Asqalani berkata, "Abul Abbas Ibnu 'Uqdah mensahihkannya dan menaruh perhatian kepada seluruh jalan-jalannya. Dia mengeluarkannya dari hadis tujuh puluh orang sahabat atau lebih." Ibnu Taimiyyah telah mengisyaratkan penulis ini di dalam menetapkan jalan-jalan hadis al-Ghadir dengan kata-katanya, "Abul Abbas Ibnu 'Uqdah telah menulis sebuah kitab yang mengumpulkan jalan-jalannya."[81]

2. Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i. Setelah menyebutkan hadis wilayah bersama dengan sanadnya Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i berkata, "Ini adalah hadis yang sahih dari Rasulullah saw. Kurang lebih seratus orang sahabat, termasuk di antaranya sepuluh orang yang dijamin masuk surga, telah meriwayatkan hadis Ghadir Khum dari Rasulullah. Hadis ini adalah hadis yang kokoh, yang saya tidak lihat ada kekurangannya. Hadis ini mengkhususkan keutamaan ini bagi Ali, dan tidak ada seorang pun yang menyertainya."[82]

3. Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabari —penulis kitab tarikh Thabari— telah mengkhususkan sebuah kitab yang mengeluarkan hadis-hadis al-Ghadir. Penulis kitab al-'Umdah telah menyebutkan hal itu dengan mengatakan, "Ibnu Jarir ath-Thabari, penulis kitab tarikh, telah menyebutkan hadis hari al-Ghadir beserta jalan-jalannya di dalam tujuh puluh lima jalan, dan dia mengkhususkan sebuah kitab untuk itu yang dinamakannya dengan kitab al-Wilayah".[83]

Di dalam Syarah at-Tuhfah al-'Alawiyyah, karya Muhammad bin Ismail disebutkan, "Al-Hafidz adz-Dzahabi telah mengatakan di dalam kitab Tadzkirah al-Huffadz, di dalam biografi hadis 'Barang-siapa yang aku menjadi pemimpinnya', 'Muhammad bin Jarir telah menulis sebuah kitab tentangnya. Saya —adz-Dzahabi— memeriksanya, dan saya terkejut karena bagitu banyak jalannya.'"

Ibnu Katsir juga telah menyebut kitab Ibnu Jarir di dalam kitab tarikhnya, "Sungguh, saya telah melihat sebuah kitab yang terhimpun di dalamnya hadis-hadis Ghadir Khum dalam dua jilid besar."[84]

4. Al-Hafidz Abu Sa'id Mas'ud bin Nashir bin Abi Zaid as-Sajistani, yang wafat pada tahun 477 Hijrah, mensahkan hadis Ghadir Khum di dalam kitabnya ad-Dirayahfi Hadits al-Wilayah, di mana di dalam 17 juznya terhimpun jalan-jalan hadis al-Ghadir yang diriwayatkan dari 120 orang sahabat.

Di dalam kitab al-Ghadir, Al-Amini telah menyebutkan sebanyak 26 orang ulama Ahlus Sunnah terkemuka yang menulis kitab-kitab khusus yang mensahkan hadis al-Ghadir, apalagi kitab-kitab yang menyebutkan riwayatnya. Kita akhiri pembicaraan kita di sini dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir tentang al-Juwaini, "Dia terkejut dan mengatakan, 'Di Bagdad saya menyaksi-kan kitab berjilid-jilid di tangan seorang redaktur, yang di dalam-nya termuat riwayat-riwayat hadis ini. Pada kitab-kitab itu tertulis: Jilid kedua puluh delapan dari jalan-jalan hadis 'Barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya', dan akan menyusul lagi jilid kedua puluh sembilan.'"[85]


Referensi-Referensi Yang Menetapkan Ayat Ini Turun Kepada Ali

Adapun berkenaan dengan turunnya ayat ini "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Danjika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah memeliharamu dari (ganguan) manusia " khusus kepada Ali, banyak sekali dari mereka yang secara terang-terangan mengakuinya. Di antaranya ialah:

1. As-Suyuthi di dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, di dalam menafsir-kan ayat di atas, dari Ibnu Abi Khatim, Ibnu Abi Mardawaih dan Ibnu 'Asakir, dengan sanad-sanad mereka yang berasal dari Abi Sa'id yang mengatakan, "Ayat ini turun kepada Rasulullah saw di Ghadir Khum berkenaan dengan Ali." As-Suyuthi juga menukil dari Ibnu Mardawaih dengan sanad-sanadnya yang sampai kepada Ibnu Mas'ud yang berkata, "Pada masa Rasulullah saw kami membaca, 'Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu bahwa Ali adalah pemimpin orang-orang Mukmin. Dan jika kamu tidak kerjakan (apa yang diperintahkan, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah rnerneliharamu dari (gangguan) manusia.'"[86]

2. Al-Wahidi meriwayatkan di dalam kitab Asbab an-Nuzul, dari Abi Sa'id yang mengatakan, "Ayat ini turun pada hari Ghadir Khum kepada Ali."[87]

3. Al-Hafidz Abu Bakar al-Farsi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Ma Nuzzila fi Amiril Mukminin dengan bersanad dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir Khum kepada Ali bin Abi Thalib.

4. Al-Hafidz Abu Na'im al-Isbahani, dengan sanadnya dari al-A'masy, dari 'Athiyyah yang berkata, "Ayat ini turun kepada Rasulullah saw pada hari Ghadir Khum."[88]

5. Al-Hafidz Ibnu Asakir asy-Syafi'i, dengan bersanad dari Abi Sa'id al-Khudzri yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir Khum kepada Ali bin Abi Thalib.[89]

6. Badruddin bin al-'Aini al-Hanafi. Dia mengatakan di dalam kitab 'Umdah al-Qari'fi Syarh Shahih al-Bukhari yang berkata, "Telah berkata Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin al-Husain. Artinya, 'Sampaikanlah apa yang telah diturunkan dari Tuhanmu tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib ra.' Ketika ayat ini turun Rasulullah mengangkat tangan Ali dan berkata, 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya.'"

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Commet Facebook Umum ABNS

 
Copyright © 2014 AHLUL BAIT NABI SAW Powered By AHLUL BAIT NABI SAW.