BREAKING NEWS

AHLUL BAIT NABI SAW: KESAKSIAN-KESAKSIAN AHLUS SUNNAH, SMS +6281809556588

Rabu, 17 Mei 2017

Kepemimpinan Ali di Dalam Al-Qur'an Al-Karim (Firman dan Nas Jelas Tentang Kepemimpinan)


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Bahasan Pemutus

Setelah saya selesai dari pembahasan yang pertama, yang telah membebani pikiran dan jiwa saya, dan menjadikan diri saya hidup dalam suasana bertarung dengan hati nurani, di satu sisi, dan dengan teman-teman dan dosen saya di kampus, di sisi yang lain, akhirnya saya cukup puas untuk bisa meragukan matahari namun tidak bisa meragukannya. Kesimpulan dari pembahasan saya, sebagaimana yang telah saya jelaskan ialah wajibnya mengikuti Ahlul Bait dan meng-ambil agama dari mereka. Inilah kepuasan pertama saya setelah berjalan beberapa waktu. Namun saya belum mampu menentukan sikap dan memilih mazhab saya meski pun hati nurani saya mendesak saya untuk mengikuti mazhab Syi'ah, dan meski pun keluarga dan teman-teman saya telah menyebut saya orang Syi'ah. Banyak dari mereka yang memanggil saya sebagai orang Syi'ah, dan bahkan sebagian dari mereka memanggil saya sebagai pengikut Khomeini! Padahal saat itu saya belum menentukan sikap saya. Saya tidak ragu dengan apa yang telah saya capai, namun hawa nafsu yang senantiasa menyuruh kepada keburukan ini selalu menahan saya dan meniupkan keragu-raguan kepada diri saya:

Bagaimana Anda dapat meninggalkan agama yang telah Anda dapati pada orang-orang tua Anda?!

Apa yang dapat Anda perbuat bersama kelompok yang jauh berbeda dengan keyakinan-keyakinan Anda?!

Anda ini siapa, sehingga sampai ke sini?! Apakah Anda melupakan ulama-ulama besar?! Dan bahkan mayoritas kaum Muslimin?!

Dan, beribu-ribu pertanyaan dan keragu-raguan lainnya yang kebanyakannya tidak mampu mengalahkan dan menghentikan saya, namun terkadang mampu merusak pikiran dan nurani saya. Demikian seterusnya, terjadi tarik ulur, sehingga menimbulkan keresahan dan kegelisahan pada diri saya. Tidak ada tempat pelarian, tidak ada teman dan tidak ada orang dekat tempat mencurahkan keluh kesah hati.

Maka mulailah saya mencari buku-buku yang membantah Syi'ah, mudah-mudahan dapat membebaskan saya dari keadaan yang sedang saya alami dan dapat menjelaskan hakikat-hakikat yang mungkin luput dari pandangan saya. Orang-orang Wahabi mencukupi saya dengan mengumpulkan buku-buku. Imam salat jamaah di mesjid desa kami mendatangkan seluruh buku yang saya minta.

Setelah mempelajari buku-buku itu justru semakin bertambah keresahan dan kegelisahan saya, dan saya tidak mendapati di dalamnya apa yang saya inginkan. Karena buku-buku itu kosong dari objektifitas dan dialog-dialog yang logis. Seluruh isinya hanya berisi caci maki, pelaknatan, sumpah serapah dan kebohongan. Pada awalnya, buku-buku itu dapat menciptakan hijab bagi saya, namun setelah pengaruh propagandanya dilepas maka tampak di hadapan saya buku-buku itu lebih rapuh dibandingkan sarang laba-laba.

Setelah itu saya pun bertekad untuk meneruskan pengkajian saya, meski pun saya telah merasa cukup dengan apa yang telah saya capai pada pengkajian pertama, untuk membendung bujukan-bujukan diri saya, dan sekaligus untuk melihat kebenaran dengan lebih jelas. Maka pilihan saya jatuh kepada pembahasan mengenai dalil-dalil kepemimpinan Imam Ali as dan nas-nas yang menunjukkan keimamahannya. Di dalam benak saya terdapat sekumpulan dalil yang dapat memenuhi tujuan ini, meski pun itu hanya cukup bagi orang yang mempunyai akal yang bersih dan hati yang jernih. Namun, saya menginginkan sebuah pembahasan pemutus, antara apakah saya akan menjadi seorang Ahlus Sunnah yang meyakini kekhilafahan Abu bakar, Umar dan Usman, atau akan menjadi seorang Syi'ah yang meyakini keimamahan Imam Ali as.

Setelah melakukan pembahasan, tiba-tiba saya mendapati diri saya tidak mampu —bahkan hingga sekarang— mengumpulkan, menghitung dan mempelajari seluruh dalil, baik yang naqli maupun yang akli, yang mengatakan dengan jelas akan keimamahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, dengan jelas di dalam penunjukkannya dan sebagiannya lagi memerlukan mukaddimah yang panjang.

Apa yang saya tulis di dalam pasal ini adalah merupakan cuplikan-cuplikan ringkas, dan itu dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keringkasan dan mendorong pembahasan. Menurut keyakinan saya, itu sudah cukup setelah ditambah penjelasan dan penjabaran.


A. Nas Dari Firman Allah SWT

Firman Allah SWT yang berbunyi:

"Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang yang beriman yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan ruku." (QS. al-Maidah: 54)


Bentuk Argumentasi Dari Ayat Ini

Ayat ini akan menjadi jelas berbicara tentang kepemimpinan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as jika terbukti bahwa yang dimaksud dari firman Allah SWT "Orang yang mendirikan salat dan memberikan sedekah dalam keadaan ruku" adalah Imam Ali as, dan juga jika terbukti bahwa yang dimaksud dengan kata "wali" di sini ialah berarti orang yang lebih berhak mengatur.


Referensi-Referensi Yang Membuktikan Ayat Ini Turun Kepada Imam Ali as.

Telah sampai tingkatan mutawatir riwayat-riwayat kedua belah pihak yang mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah saw khusus berkenaan dengan Imam Ali as yang mensedekahkan cincinnya tatkala dalam keadaan ruku. Berita ini telah diriwayatkan oleh sekumpulan besar para sahabat. Di antaranya ialah:

1. Abu Dzar al-Ghifari. Sekumpulan para huffadz telah meriwayatkan berita ini darinya, seperti,
a. Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim ats-Tsa'labi di dalam kitab tafsir al-Kasyfwa al-bayan 'an Tafsir al-Qur'an.
b. Al-Hafidz al-Kabk al-Hakim al-Hiskani di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 177, terbitan Beirut.
c. Cucu Ibnu Jauzi, di dalam kitab at-Tadzkirah, halaman 18.
d. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf, halaman 56.
e. Dan yang lainnya dari kalangan para huffadz dan muhaddis.

2. Miqdad bin Aswad. Al-Hafidz al-Hiskani meriwayatkan darinya di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 171, terbitan Beirut.

3. Abu Rafi' al-Qibthi, budak Rasulullah saw. Sekumpulan orang- orang berilmu meriwayatkan darinya, seperti,
a. Al-Hafidz Ibnu Mardawaih, di dalam kitab al-Fadha'il.
b. Al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi, di dalam kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur.
c. Muhaddis al-Muttaqi al-Hindi, di dalam kitab Kanz al-'Ummal, jilid 1, halaman 305 dan seterusnya.

4. Ammar bin Yasir. Orang-orang yang telah mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Muhaddis Kabir ath-Thabrani, di dalam kitab Mu'jamah al- Awsath.
b. Al-Hafidz Abu Bakar bin Mardawaih, di dalam kitab al-Fadha'il.
c. Al-Hafidz al-Hiskani, di dalam kitab Syawahid at-Tanzil.
d. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf, halaman 56, dari ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaih.

5. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Adapun orang-orang yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Al-Hakim an-Naisaburi, al-Hafidz al-Kabir, di dalam kitab Ma'rifah 'Ulum al-Haditz, halaman 102, terbitan Mesir, tahun 1937.
b. Al-Hafidz Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i, di dalam kitab al-Managib, halaman 311.
c. Al-Hafidz al-Hanafi al-Khawarizmi di dalam kitab al-Manaqib, halaman 187.
d. Al-Hafidz Ibnu 'Asakir ad-Dimasyqi (Tarikh Dimasyq), jilid 2, halaman 409.
e. Al-Hafidz Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, di dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid 7, halaman 357.
f. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, halaman 56, terbitan Mesir.
g. Muhaddis al-Muttaqi al-Hindi, di dalam kitab Kanz al- 'Ummal, jilid 15, halaman 146, bab keutamaan Ali as.

6. Amr bin Ash. Adapun orang-orang yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah al-Hafidz Akhthab Khawarijmi al-Hafidz Abu al- Muayyad, di dalam kitab al-Manaqib, halaman 128.

7. Abdullah bin Salam. Adapun yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah Muhibuddin ath-Thabari, di dalam kitab Dzakha'ir al-'Ugba, halaman 201; dan kitab ar-Riyadh an-Nadhirah, jilid 2, halaman 227.

8. Abdullah bin Abbas. Adapun yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Ahmad bin Yahya al-Baladzari, di dalam kitab Ansab al-Asyraf, jilid 2, halaman 150, terbitan Beirut, diperiksa oleh Mahmudi.
b. Al-Wahidi, di dalam kitab Asbab an-Nuzul, halaman 192, cetakan pertama, tahun 1389, diperiksa oleh Sayyid Ahmad ash-Shamad.
c. Al-Hakim al-Hiskani, di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 18.
d. Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i, di dalam kitab al-Manaqib, halaman 314, diperiksa oleh Mahmudi.
e. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, di dalam kitab al-Kaff asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, cetakan Mesir.
f. Jalaluddin as-Suyuthi.

9. Jabir bin Abdullah al-Anshari. Di antara orang-orang yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah Al-Hakim al-Hiskani, di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 174.
l0. Anas bin Malik, pembantu Rasulullah saw. Adapun orang yang mengeluarkan riwayat ini darinya ialah,
a. Al-Hafidz al-Hiskani, di dalam kitab asy-Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 145.
b. Muhaddis al-Kabir al-Hamawi al-Juwaini al-Khurasani, di dalam kitab Fara'idh as-Simthain, jilid 1, halaman 187.

Dari riwayat yang banyak ini kita memilih riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, sebuah riwayat yang panjang yang dikeluarkan oleh al-Hakim al-Hiskani dengan sanadnya di dalam kitab Syawahid at-Tanzil, jilid 1, halaman 177, terbitan Beirut.

Abu Dzar berkata, "Wahai manusia, barangsiapa yang mengenalku maka berarti dia telah mengenalku, dan barangsiapa yang tidak mengenalku maka inilah aku Jundub bin Janadah al-Badri Abu Dzar al-Ghifari. Aku telah mendengar Rasulullah saw dengan kedua telingaku ini, dan jika tidak maka tulilah kedua telingaku ini. Aku telah menyaksikan beliau dengan kedua mataku ini, dan jika tidak maka butalah kedua matakku ini. Yaitu Rasulullah saw telah bersabda, 'Ali adalah pemimpin kelompok orang-orang yang lurus. Pejuang yang memerangi kaum yang kafir. Jayalah siapa yang membantunya. Hinalah siapa yang menelantarkan dukungan baginya.' Suatu hari aku salat Zhuhur bersama Rasulullah saw, lalu masuklah ke dalam mesjid seorang peminta-minta, namun tidak ada seorang pun yang memberi kepadanya. Kemudian peminta-minta itu mengangkat tangannya ke langit seraya berkata, 'Ya Allah, saksikanlah, aku meminta-minta di mesjid Rasulullah saw namun tidak seorang pun yang memberi sesuatu kepadaku.' Pada saat itu Ali sedang salat dalam keadaan ruku, lalu dia memberi isyarat dengan jari manis tangan kanannya yang bercincin. Pengemis itu lalu menghampirinya dan menarik cincin itu dari jari Ali. Rasulullah saw menyaksikan hal itu, dan setelah menyelesaikan salatnya Rasulullah saw mengangkat kepalanya ke langit seraya berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya Musa telah memohon kepadamu. Dia berkata, 'Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku: Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami dapat banyak bertasbih kepada-Mu dan banyak mengingat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui keadaan kami.'

Maka Engkau telah wahyukan kepadanya 'Kami teguhkan lenganmu dengan saudaramu.'

Dan aku ini, Ya Allah, adalah hamba dan Nabi-Mu. Lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku: Ali, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku ...'"

Abu Dzar berkata, "Demi Allah, belum sampai Rasulullah saw menyelesaikan ucapannya itu, Jibril al-Amin turun dari sisi Allah SWT. Jibril al-Amin berkata, 'Ya Muhammad, selamat, atas apa yang telah Allah anugrahkan untukmu tentang saudaramu.' Rasulullah saw bertanya, 'Apa itu, ya Jibril?'

Jibril menjawab, 'Allah SWT telah memerintahkan umatmu untuk menjadikannnya sebagai pemimpin hingga hari kiamat, dan menurunkan kepadamu,

'Sesungguhnya wali (pemimpin) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku.'"

Riwayat ini datang dengan berbagai macam redaksi, namun pada kesempatan ini kita hanya membatasi dengan riwayat ini saja, karena ini pun sudah cukup untuk menjelaskan permasalahan.

Ini merupakan keutamaan yang tidak ada seorang pun bersekutu dengan Amirul Mukminin di dalamnya. Kita tidak mendapati seorang pun di dalam sejarah yang mengklaim dirinya telah mengeluarkan zakat dalam keadaan ruku. Ini sudah merupakan hujjah yang cukup dan petunjuk yang jelas bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah Amirul Mukminin, tidak yang lainnya.

Terkadang sebagian kalangan berusaha meragukan apa yang disebutkan di dalam ayat ini, dan tentang penisbahannya kepada Amirul Mukminin, dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang tidak berdasar. Sebagai contoh, Anda mendapati al-Alusi memalingkan makna ruku kepada maknanya yang bukan zahir. Dia berkata, "Yang dimaksud dengan ruku (di dalam ayat ini) ialah khusyuk." Ini adalah sebuah upaya penakwilan yang tidak dapat diterima. Karena tidak ada petunjuk yang memalingkan makna hakiki yang zahir di dalam ayat —yaitu ruku yang mempunyai gerakan yang telah ditentukan. Pernah suatu hari saya berdiskusi dengan sekelompok teman-teman saya di kampus tentang ayat ini. Setelah saya buktikan kepada mereka bahwa ayat ini turun kepada Amirul Mukminin as, salah seorang dari mereka menyanggah,

"Jika memang terbukti ayat ini turun kepada Ali maka berarti ayat ini juga membuktikan kekurangan Ali?"

Saya bertanya kepadanya, "Bagaimana bisa begitu?"

Dia menjawab, "Karena yang demikian itu menunjukkan ketidakkhusyukannya di dalam salat. Karena jika tidak, bagaimana bisa dia mendengar perkataan peminta-minta dan kemudian menjawabnya? Karena para ahli ibadah dan orang-orang yang bertakwa tidak menyadari orang-orang yang ada di sekelilingnya pada saat mereka sedang menghadap Allah SWT."

Saya katakan, "Ucapan Anda tidak bisa diterima, berdasarkan petunjuk ayat ini sendiri. Karena salat itu untuk Allah, dan begitu pula ketundukkan dan kekhusyukan. Sementara Allah SWT telah mengabarkan kita bahwa Dia menerima salat ini, dan bahkan dengan salat ini Dia menetapkan kepemimpinan bagi pelakunya. Kedudukan pujian tampak jelas terlihat di dalam konteks ayat ini, baik yang bersedekah itu Ali atau pun yang lainnya. Jika Anda mempunyai kritikan terhadap kekhusyukan Ali, maka terlebih lagi Anda mempunyai kritikan terhadap Al-Qur'an."

Ayat ini jauh lebih kokoh dan akurat dibandingkan peragu-raguan yang dilontarkan para peragu. Ayat ini jelas menunjukkan kepada keimamahan Amirul Mukminin, dan pembuktian tentang keimamahan Amirul Mukminin adalah termasuk perkara yang amat jelas di dalam Al-Qur'an. Saya pernah mengatakan ini kepada sebagian teman, namun salah seorang dari mereka menantang,

"Coba sebutkan satu ayat yang mendukung pengakuan Anda."

Saya jawab, "Sebelum itu marilah kita coba untuk melihat apa yang telah dikatakan Rasulullah saw tentang Ali as. Bukhari telah meriwayatkan di dalam sahihnya bahwa Rasulullah saw telah berkata kepada Ali, 'Kedudukanmu di sisiku tidak ubahnya sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku.'[77]

Dari sini tampak bahwa semua yang dimiliki Harun juga dimiliki Ali as. Ali as memiliki keimamahan, kekhilafahan, kewaziran dan yang lainnya, kecuali kenabian, sebagaimana Harun."

Mereka semua marah seraya mengatakan,"Dari mana Anda dapatkan ini?! ..."

Saya katakan, "Sebentar, apa kedudukan Harun di sisi Musa? Bukankah Musa sendiri telah berkata, 'Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku: Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.'"

Mereka berkata, "Kami belum pernah mendengarnya, mungkin ayat itu tidak berbunyi demikian....!" Saya merasakan kefanatikan dan kekeraskepalaan mereka. Saya berkata dengan penuh keheranan akan keadaan mereka, "Sesungguhnya ini perkara yang jelas sekali, yang tidak ada seorang pun yang mengingkarinya."

Salah seorang dari mereka berkata, "Kenapa berbelit-belit. Ini Al-Qur'an ada di hadapan Anda... Coba tunjukkan ayat itu, jika kamu benar."

Di sini saya gemetar, karena saya lupa sama sekali di dalam surat apa dan di dalam juz berapa ayat ini terdapat. Setelah beberapa saat, saya memberanikan diri sambil mengucapkan di dalam hati "Allahumma Shalli 'ala Muhammad wa Ali Muhammad" (ya Allah, sampaikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad), lalu saya membuka Mushaf Al-Qur'an secara acak. Pandangan pertama mata saya jatuh kepada ayat, "Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku .... dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku."

Keharuan mencekik tenggorokan saya, sementara air mata mengalir di kedua pipi saya. Saya tidak bisa membacakan ayat karena sangat paniknya, lalu saya pun menyerahkan Mushaf yang terbuka sambil menunjukkan ayat yang dimaksud kepada mereka. Mereka semua tercengang karena sangat kagetnya.

Penunjukkan Ayat "Sesungguhnya Wali (pemimpin) kamu hanyalah Allah ... " Terhadap Kepemimpinan Amirul Mukminin as

Setelah terbukti pada pembahasan pertama bahwa ayat di atas turun kepada Imam Ali as, maka arti ayat di atas menjadi "Sesungguhnya wali (pemimpin) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan Ali bin Abi Thalib."

Tidak ada seorang pun yang dapat mengkritik, kenapa Allah berbicara kepada seorang individu dengan menggunakan dhamir (kata ganti) bentuk jamak?!

Karena yang demikian itu sesuatu yang dibolehkan di dalam bahasa Arab. Dengan demikian, penggunaan bentuk jamak di dalam ayat ini adalah untuk penghormatan. Banyak sekali bukti-bukti yang mendukung hal ini, seperti firman Allah SWT yang berbunyi, "Orang-orang yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allahfakir sedangkan kami orang-orang kaya.'" Orang yang berkata di sini ialah Huyay bin Akhthab. Juga seperti firman Allah SWT yang berbunyi, "Di antara mereka ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, 'Nabi mempercayai setnua apa yang didengarnya.'"(Surat at-Taubah: 61) Ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki dari kalangan orang-orang munafik; apakah itu al-Jalas bin Sawilah, Nabtal bin al-Harts atau 'ltab bin Qusyairah. Silahkan rujuk tafsir ath-Thabari, jilid 8, halaman 198.

Setelah itu barulah pembahasan mengenai arti kata "wali".

Syi'ah berpendapat bahwa kata "wali" di dalam ayat ini adalah berarti orang yang paling berhak dalam bertindak. Sehingga kata "wali amril Muslimin" atau kata "wali amris sulthan" adalah berarti orang yang paling berhak bertindak di dalam urusan mereka.

Oleh karena itu, Syi'ah mengatakan wajibnya mengikuti Amirul Mukminin Ali as, karena dia orang yang paling berhak bertindak dalam urusan kaum Muslimin. Sesuatu yang menunjukkan kepada makna ini ialah bahwa Allah SWT telah menafikan kita memiliki "wali" selain Dia, selain Rasul-Nya dan selain "orang-orang yang beriman yang mengerjakan salat dan menunaikan zakat dalam ke-adaan ruku" dengan kata innama (hanya saja). Jika yang dimaksud dengan kata "wali" adalah penolong di dalam agama maka tentu tidak dikhususkan bagi orang-orang yang disebutkan. Karena penolong di dalam agama adalah mencakup seluruh orang-orang Mukmin. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang Mukimin laki-laki serta orang-orang Mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian mereka yang lain." Dengan demikian, maka takhshish (peng-khususan) menunjukkan kepada satu bentuk wilayah yang berbeda dari wilayah orang-orang Mukimin, di antara sebagian mereka dengan sebagian mereka yang lain. Tidak mungkin sesuatu yang dimaksud dari kata-kata "orang-orang yang beriman yang mengerjakkan salat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku " itu orang-orang Mukmin secara umum, melainkan khusus imam Ali, dengan dalil kata innama yang memberikan arti pengkhususan, sehingga menafikan orang-orang Mukmin yang lain, di samping hadis-hadis sebelumnya yang menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Sifat yang disebutkan di dalam ayat, "mereka memberi zakat dalam keadaan ruku " tidak klop pada seorang pun dan tidak ada seorang pun yang mengklaimnya selain Amirul Mukminin. Dialah yang memberi-kan zakat dalam keadaan ruku. Karena kata-kata "wahum raki'un" adalah merupakan hal bagi kata-kata "yu'tunaz zakat". Adapun ruku adalah sebuah gerakan yang khusus, sehingga usaha memalingkan ruku dari makna hakikinya adalah merupakan satu bentuk pentakwilan yang tidak berdasar. Karena, di dalam ayat di atas tidak terdapat pe-tunjuk yang memalingkan ruku dari makna hakikinya. Demikian juga, kata-kata "wahum raki'un" tidak boleh di-athaf-kan kepada kata-kata sebelumnya, karena kata salat telah disebutkan sebelumnya. Ibadah salat mencakup ruku, maka oleh karena itu penyebutan kata ruku sesudah penyebutan kata salat di sini adalah merupakan hal (keadaan pada saat sebuah perbuatan dilakukan —penerj.), di samping kesepakatan umat juga menyebutkan bahwa Ali memberikan zakat dalam keadaan ruku, sehingga dengan begitu ayat di atas dikhususkan untuk Ali. Al-Qusyaji telah menukil —di dalam kitabnya Syarih at-Tajrid— dari para mufassir yang mengatakan mereka sepakat bahwa ayat ini turun kepada Ali pada saat Ali memberi sedekah dalam keadaan ruku. Demikian juga Ibnu Syahrasyub telah menukil yang demikian di dalam kitabnya al-Fadha'il. Dia mengatakan di dalam mukaddimah kitabnya itu sebagai berikut,

"Umat sepakat bahwa ayat ini turun kepada Amirul Mukminin.[78] Dan begitu juga hadis-hadis yang mendukung pendapat ini telah mencapai derajat mutawatir. Sayyid Hasyim al-Bahrani telah menukil di dalam kitabnya Ghayah al-Muram dua puluh empat hadis dari jalan Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Ali, dan juga sembilan belas hadis dari jalan Syi'ah."

Jika ayat ini khusus kepada Amirul Mukminin maka tentu maksud dari kata "wali" di sini bukanlah wilayah dalam arti umum, yaitu penolong dan pecinta, melainkan wilayah dalam arti khusus, yaitu orang yang paling berhak dalam bertindak. 'Allamah al-Mudzaffar telah berkata tentang hal ini, "Jika yang dimaksud dengan kata wali adalah penolong, maka pembatasan penolong kepada Allah, Rasul-Nya dan Ali tidaklah dapat dibenarkan kecuali dengan melihat kepada salah satu di antara dua sisi: Yang pertama, bahwa pertolongan mereka (Allah, Rasul-Nya dan Ali) kepada orang-orang Mukmin mencakup tindakan dalam urusan mereka (orang-orang Mukmin), maka ini berarti kembali kepada makna yang dimaksud. Adapun yang kedua, bahwa pertolongan yang lain kepada orang-orang Mukmin, semuanya dinisbahkan kepada pertolongan mereka (Allah, Rasul-Nya dan Ali), maka di sini tercapai pula apa yang dimaksud. Karena itu termasuk keharusan dari pertolongan menyeluruh kepada orang-orang Mukmin."[79]

Dengan demikian, terbuktilah bahwa wilayah Allah, Rasul-Nya dan "orang-orang yang beriman" —yaitu Ali— adalah wilayah dari jenis yang sama, yaitu wilayah yang berarti "hak bertindak". Adapun dalil yang menunjukkan kepada hal ini ialah penggunaan kata yang sama bagi semua tingkatan. Karena, jika artinya tidak sama maka tentu akan menimbulkan kekaburan maksud, dan tentunya Allah SWT tidak akan mungkin menyesatkan para hamba-Nya. Karena jika Allah SWT menghendaki arti lain bagi wilayah Amirul Mukminin, tentunya lebih sesuai jika wilayah Amirul Mukminin disebutkan secara terpisah, untuk menghilangkan kesamaran. Sebagaimana yang dilakukan di dalam ayat yang lain, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul". Di dalam ayat ini penyebutan kata "taat" diulang. Atas dasar-dasar inilah maka Amirul Mukminin layak menjadi imam orang-orang bertakwa dan pemimpin orang-orang Mukmin.


B. Nas Jelas Tentang Kepemimpinan

Allah SWT berfirman, "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia."

Ayat ini turun untuk menerangkan keutamaan Amirul Mukminin as di Ghadir Khum, sebagaimana yang telah diisyaratkan di dalam hadis Zaid bin Arqam di dalam Sahih Muslim.

Pada mulanya saya berpikir cukup mengisyaratkan saja peristiwa ini, sebab sedemikian jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab hadis dan kitab-kitab sejarah. Akan tetapi, saya teragitasi oleh seorang penulis Sudan —yaitu Insinyur Shadiq Amin— yang menyerang dan mengecam Syi'ah di surat kabar Sudan (berita terakhir). Dia mengatakan di dalam tulisannya, "Pada hakikatnya, sesungguhnya peristiwa yang diriwayatkan oleh kitab-kitab Syi'ah yang berkenaan dengan Ghadir Khum ini ..., dan demikianlah para ulama Syi'ah secara terus menerus selalu menyebut (khurafat) ini, yang terhitung sebagai pilar dasar mazhab Syi'ah ..."

Saya tidak tahu apakah ini memperlihatkan kebodohan akan sejarah atau memperlihatkan kebencian terhadap Imam Ali as dan pengingkaran terhadap keutamaan-keutamaannya?! Peristiwa ini amat jelas, sehingga memenuhi buku-buku sejarah.

Bagaimana peristiwa ini luput dari penglihatan insinyur ini?!

Yang jelas, dia tidak membebani dirinya untuk menutup kedua matanya, lalu mengambil kitab hadis atau kitab sejarah Ahlus Sunnah mana saja, dan kemudian membacanya. Jika dia tidak menemukan peristiwa itu di dalam kitab yang dibacanya maka barulah dia berhak untuk menisbahkan buku tersebut kepada kitab-kitab Syi'ah, atau menamakannya sebagai khurafat.


Al-Ghadir Dalam Referensi-Referensi Islam

Hadis al-Ghadir termasuk hadis yang paling mutawatir. Para perawinya dari kalangan sahabat mencapai seratus sepuluh orang sahabat. 'Allamah al-Amini telah menghitung mereka beserta kitab-kitab yang telah mengeluarkan riwayat-riwayatnya, di dalam kitabnya al-Ghadir, jilid 1, halaman 14 sampai halaman 61. Sangat panjang kiranya sekiranya kami menyebutkan nama-nama mereka dan buku-buku Ahlus Sunnah yang mengeluarkan hadis-hadis mereka pada kesempatan sekarang ini.

Adapun para perawainya dari kalangan tabi'in mencapai delapan puluh empat orang perawi, sebagaimana di sebutkan di dalam kitab al-Ghadir, halaman 62 sampai halaman 72. Para perawi hadis al-Ghadir tidak berhenti sampai batas ini, melainkan juga dinukil secara mutawatir pada setiap tingkatan-tingkatannya. Jumlah para perawinya dari abad kedua hingga abad keempat belas Hijrah mencapai tiga ratus enam puluh orang perawai. Di samping beribu-ribu kitab Ahlus Sunnah yang menyebutkan hadis ini.

Bagaimana begitu mudah —setelah semua ini— penulis ini mengatakan bahwa ini adalah khurafat Syi'ah. Padahal diketahui bahwa riwayat al-ghadir yang melalui jalur-jalur Syi'ah kurang dari setengahnya dari yang terdapat di dalam jalur-jalur Ahlus Sunnah.

Namun inilah kesulitan orang-orang terpelajar, mereka mengeluarkan kata-kata dengan tanpa melakukan pengkajian. Para ulama Ahlus Sunnah dan orang-orang terpercaya dari kalangan mereka, baik dari kalangan terdahulu maupun kalangan terkemudian, dengan tegas mengakui kesahihan hadis al-ghadir. Sebagai contoh di antara mereka ialah:

1. Ibnu Hajar al-'Asqalani. Dia berkata di dalam kitabnya Syarih Shahih al-Bukhari, "Adapun hadis 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya' telah di keluarkan oleh Turmudzi dan Nasa'i. Hadis ini banyak sekali jalannya. Ibnu 'Uqdah telah memuat jalan-jalannya di dalam kitab tersendiri, dan mayoritas sanadnya adalah sahih dan hasan."[80]

Kitab yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar ini ialah kitab al-Wilayah fi Thurug Hadits al-Ghadir, karya Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sa'id al-Hamadani, yaitu al-Hafidz yang terkenal dengan sebutan Ibnu 'Uqdah, yang wafat pada tahun 333 Hijrah.

Ibnu Atsir banyak menukil darinya di dalam kitabnya Usud al-Ghabah, dan begitu juga Ibnu Hajar al-'Asqalani. Ibnu Hajar al-'Asqalani juga telah menyebutnya di dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, jilid 7, halaman 337, setelah menyebutkan hadis al-Ghadir. Ibnu Hajar al-'Asqalani berkata, "Abul Abbas Ibnu 'Uqdah mensahihkannya dan menaruh perhatian kepada seluruh jalan-jalannya. Dia mengeluarkannya dari hadis tujuh puluh orang sahabat atau lebih." Ibnu Taimiyyah telah mengisyaratkan penulis ini di dalam menetapkan jalan-jalan hadis al-Ghadir dengan kata-katanya, "Abul Abbas Ibnu 'Uqdah telah menulis sebuah kitab yang mengumpulkan jalan-jalannya."[81]

2. Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i. Setelah menyebutkan hadis wilayah bersama dengan sanadnya Ibnu al-Maghazili asy-Syafi'i berkata, "Ini adalah hadis yang sahih dari Rasulullah saw. Kurang lebih seratus orang sahabat, termasuk di antaranya sepuluh orang yang dijamin masuk surga, telah meriwayatkan hadis Ghadir Khum dari Rasulullah. Hadis ini adalah hadis yang kokoh, yang saya tidak lihat ada kekurangannya. Hadis ini mengkhususkan keutamaan ini bagi Ali, dan tidak ada seorang pun yang menyertainya."[82]

3. Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabari —penulis kitab tarikh Thabari— telah mengkhususkan sebuah kitab yang mengeluarkan hadis-hadis al-Ghadir. Penulis kitab al-'Umdah telah menyebutkan hal itu dengan mengatakan, "Ibnu Jarir ath-Thabari, penulis kitab tarikh, telah menyebutkan hadis hari al-Ghadir beserta jalan-jalannya di dalam tujuh puluh lima jalan, dan dia mengkhususkan sebuah kitab untuk itu yang dinamakannya dengan kitab al-Wilayah".[83]

Di dalam Syarah at-Tuhfah al-'Alawiyyah, karya Muhammad bin Ismail disebutkan, "Al-Hafidz adz-Dzahabi telah mengatakan di dalam kitab Tadzkirah al-Huffadz, di dalam biografi hadis 'Barang-siapa yang aku menjadi pemimpinnya', 'Muhammad bin Jarir telah menulis sebuah kitab tentangnya. Saya —adz-Dzahabi— memeriksanya, dan saya terkejut karena bagitu banyak jalannya.'"

Ibnu Katsir juga telah menyebut kitab Ibnu Jarir di dalam kitab tarikhnya, "Sungguh, saya telah melihat sebuah kitab yang terhimpun di dalamnya hadis-hadis Ghadir Khum dalam dua jilid besar."[84]

4. Al-Hafidz Abu Sa'id Mas'ud bin Nashir bin Abi Zaid as-Sajistani, yang wafat pada tahun 477 Hijrah, mensahkan hadis Ghadir Khum di dalam kitabnya ad-Dirayahfi Hadits al-Wilayah, di mana di dalam 17 juznya terhimpun jalan-jalan hadis al-Ghadir yang diriwayatkan dari 120 orang sahabat.

Di dalam kitab al-Ghadir, Al-Amini telah menyebutkan sebanyak 26 orang ulama Ahlus Sunnah terkemuka yang menulis kitab-kitab khusus yang mensahkan hadis al-Ghadir, apalagi kitab-kitab yang menyebutkan riwayatnya. Kita akhiri pembicaraan kita di sini dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir tentang al-Juwaini, "Dia terkejut dan mengatakan, 'Di Bagdad saya menyaksi-kan kitab berjilid-jilid di tangan seorang redaktur, yang di dalam-nya termuat riwayat-riwayat hadis ini. Pada kitab-kitab itu tertulis: Jilid kedua puluh delapan dari jalan-jalan hadis 'Barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya', dan akan menyusul lagi jilid kedua puluh sembilan.'"[85]


Referensi-Referensi Yang Menetapkan Ayat Ini Turun Kepada Ali

Adapun berkenaan dengan turunnya ayat ini "Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Danjika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah memeliharamu dari (ganguan) manusia " khusus kepada Ali, banyak sekali dari mereka yang secara terang-terangan mengakuinya. Di antaranya ialah:

1. As-Suyuthi di dalam kitab ad-Durr al-Mantsur, di dalam menafsir-kan ayat di atas, dari Ibnu Abi Khatim, Ibnu Abi Mardawaih dan Ibnu 'Asakir, dengan sanad-sanad mereka yang berasal dari Abi Sa'id yang mengatakan, "Ayat ini turun kepada Rasulullah saw di Ghadir Khum berkenaan dengan Ali." As-Suyuthi juga menukil dari Ibnu Mardawaih dengan sanad-sanadnya yang sampai kepada Ibnu Mas'ud yang berkata, "Pada masa Rasulullah saw kami membaca, 'Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu bahwa Ali adalah pemimpin orang-orang Mukmin. Dan jika kamu tidak kerjakan (apa yang diperintahkan, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Dan Allah rnerneliharamu dari (gangguan) manusia.'"[86]

2. Al-Wahidi meriwayatkan di dalam kitab Asbab an-Nuzul, dari Abi Sa'id yang mengatakan, "Ayat ini turun pada hari Ghadir Khum kepada Ali."[87]

3. Al-Hafidz Abu Bakar al-Farsi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Ma Nuzzila fi Amiril Mukminin dengan bersanad dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir Khum kepada Ali bin Abi Thalib.

4. Al-Hafidz Abu Na'im al-Isbahani, dengan sanadnya dari al-A'masy, dari 'Athiyyah yang berkata, "Ayat ini turun kepada Rasulullah saw pada hari Ghadir Khum."[88]

5. Al-Hafidz Ibnu Asakir asy-Syafi'i, dengan bersanad dari Abi Sa'id al-Khudzri yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir Khum kepada Ali bin Abi Thalib.[89]

6. Badruddin bin al-'Aini al-Hanafi. Dia mengatakan di dalam kitab 'Umdah al-Qari'fi Syarh Shahih al-Bukhari yang berkata, "Telah berkata Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin al-Husain. Artinya, 'Sampaikanlah apa yang telah diturunkan dari Tuhanmu tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib ra.' Ketika ayat ini turun Rasulullah mengangkat tangan Ali dan berkata, 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya.'"

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Musyawarah dan Kekhilafahan Islam Yang Sebenarnya Dalam Sejarah


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Adapun berdasarkan pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka... " terlaksana dengan adanya Rasulullah saw atau orang yang menempati kedudukannya, musyawarah yang sah tidak dapat terlaksana kecuali dengan adanya wali amri, dan wali amri tidak dapat diangkat kecuali dengan musyawarah yang sah, maka ini berarti terjadi dawr (berputar), dan dawr itu mustahil. Karena, tidak mungkin musyawarah yang sah dilaksanakan kecuali setelah adanya wali amri, sementara wali amri tidak mungkin ada kecuali setelah dilaksanakannya msuyawarah yang sah. Ini berarti perkara ini bergantung kepada dirinya, sehingga dengan begitu tidak akan mungkin musyawarah yang sah terlaksana untuk selamanya. Kecuali jika dikatakan bahwa di sana ada seorang wali amri yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, yang keberadaannya lebih dulu dibandingkan keberadaan musyawarah. Ini berarti penerimaan terhadap "pandangan nas", yang dikatakan oleh madrasah Ahlul Bait.

Mungkin ada orang yang mengatakan tidak wajib adanya wali amri di dalam musyawarah, melainkan cukup dengan adanya orang yang bermusyawarah. Jika Anda membantah dengan mengatakan bahwa dhamir pada kata 'azamta menunjukkan hak orang yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan, dan ini menunjukkan bahwa dia itu wali amri di dalam musyawarah, maka bantahan ini dapat dijawab dengan mengatakan bahwa kata in 'azamta (apabila kamu berbulat hati) adalah berarti berbulat hati untuk melaksanakan hasil musyawarah.

Sesungguhnya zahir ayat di atas tidak demikian. Karena yang paling tampak dari ayat ini ialah tertetapkannya hak mengambil keputusan padanya. Dengan kata lain, sesungguhnya perkataan di atas baru dikatakan benar jika pendapat orang-orang yang bermusywarah itu satu; akan tetapi jika pendapat orang-orang yang bermusyawarah itu ber-macam-macam, bagaimana musyawarah dapat mengambil keputusan?

Jika orang itu mengatakan harus berdasarkan suara mayoritas, mana dalilnya? Justru Allah SWT sering mengecam kelompok mayorits di dalam banyak ayatnya, "... kebanyakan orang yang ada di muka bumi berusaha menyesatkan kamu." Bahkan, perkataannya ini bertentangan dengan bunyi ayat yang menyerahkan urusan pengambilan keputusan kepada satu orang yang bermusyawarah manakala terjadi perbedaan pendapat. Jika kita menerima ini, maka berarti orang itu telah keluar dari sifat orang yang bermusyawarah kepada sifat sifat seorang wali di dalam musyawarah. Bahkan, sekali pun orang-orang yang ber-musyawarah sepakat atas suatu pendapat, maka orang itu (wali amri) tetap mempunyai hak untuk menetapkan atau tidak menetapkannya.

Dari pembahasan di atas menjadi jelas bahwa pandangan musya-warah berada di antara dua jalan buntu:

1. Musyawarah dapat dilakukan dengan tanpa adanya Rasulullah saw dan ulul amri. Musyawarah yang seperti ini batal dan tidak sah. Dan pendapat yang mengatakan mungkinnya dilakukan musyawarah dengan tanpa adanya Rasulullah saw dan ulil amri memerlukan kepada dalil agama, namun tidak ada dalil agama yang menunjukkan kepada hal itu.

2. Atau, musyawarah dilakukan dengan adanya wali amri yang dijadikan sebagai rujukan. Kemungkinan ini dapat dibayangkan dalam beberapa bentuk:

a. Wali amri sendiri menobatkan dirinya sebagai wali amril Muslimin. Cara yang seperti ini tentunya sesuatu yang tidak dibolehkan oleh agama. Ini merupakan sebuah perampasan tidak sah terhadap hak-hak kaum Muslimin, sehingga bagaimana bisa ketaatan kepadanya menjadi wajib atas seluruh kaum Muslimin.

b. Atau, adanya sekelompok kecil orang yang mengurusi urusan kaum Muslimin. Di sini pun kita tetap terperosok ke dalam dua jalan buntu yang telah kita bicarakan. Dalam bentuk ini kita akan tetap jatuh kepada pertanyaan, alasan syariat yang mana yang membenarkan kita mentaati mereka, dan mana dalilnya?!

c. Allah SWT dan Rasul-Nya menetapkan seseorang sebagai wali amri. Maka di sini tidak diperlukan lagi musyawarah, disebabkan tidak mungkin menentang Allah SWT dan Rasul-Nya. Pandangan ini sendiri adalah pandangan nas atau pandangan wasiat, sehingga dengan begitu ternafikanlah pandangan musyawarah. Dan sebagai konsekwensinya adalah batalnya kekhilafahan pertama.

Dengan penjelasan-penjelasan ini menjadi jelas batalnya pandangan musyawarah di dalam menentukan khilafah dari semua segi, sehingga kita layak memalingkan tema musyawarah yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur'an al-Karim kepada tema-tema selain pengangkatan wali amril Muslimin, seperti musyawarah mengenai cara-cara penerapan hukum, strategi peperangan dan sebagainya, sebagai-mana yang menjadi konteks ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka di dalam urusan itu. "

Tidak tersisa lagi pintu bagi mereka, kecuali jika mereka mengklaim bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya telah mengangkat dan menetapkan kekhilafahan pertama (kekhilafahan Abu Bakar). Namun, Abu bakar sendiri tidak mengklaim hal itu. Karena jika Abu Bakar mengklaim hal itu, maka tentu dia akan berhujjah dengannya kepada orang-orang Anshar pada saat di Saqifah.

Salah satu hal lain yang juga jelas diketahui dari ayat syura ialah bahwa Allah SWT tidak mempercayai mereka dalam masalah strategi perang, yang masih merupakan sesuatu yang berada di dalam ruang lingkup sesuatu yang dapat dimusyawarahkan —sebagaimana yang dapat dipahami dari konteks ayat, dan— apalagi mempercayai mereka dalam sebuah urusan yang lebih besar, yaitu memilih khalifah pengganti Rasulullah saw. Jika Anda tidak mempercayai seseorang untuk mengelola uang seratus dinar, maka bagaimana mungkin Anda mempercayainya untuk mengelola uang seribu dinar.

Kemudian, bagaimana mungkin masuk akal Allah SWT menyerahkan kepada umat untuk memilih sendiri khalifahnya, padahal Allah SWT dan Rasul-Nya saw telah mengetahui akan terjadinya pembelotan langsung setelah wafatnya Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang (murtad)?..." Jika Anda memperhatikan ayat ini dengan seksama niscaya akan jelas bagi Anda bahwa orang-orang yang diseru di sini adalah orang-orang Muslim. Karena tidak ada artinya pembelotan orang kafir, dan juga tidak bisa pembelotan ini diterapkan kepada Musailamah al-Kadzdzab, karena pembelotannya terjadi pada masa Rasulullah saw.

Tidak masuk akal jika Allah SWT dan Rasul-Nya membiarkan urusan ini menjadi sia-sia di tengah-tengah kaum Muslimin, padahal Dia tahu akan terjadi berbagai fitnah di antara kaum Muslimin apabila tidak ditentukan pemimpin yang akan menjadi rujukan mereka. Sejarah menjadi saksi akan hal itu, di mana ketiadaan wali amri telah menyebabkan timbulnya berbagai fitnah di tengah-tengah kaum Muslimin. Penyimpangan ini terus berlanjut hingga orang-orang yang fasik, orang-orang yang berbuat kerusakan, dan orang-orang yang tidak mempunyai rasa malu, akhlak dan agama, berkuasa atas kaum Muslimin. Untuk menambah keyakinan Anda, silahkan putar balik jarum jam Anda mulai dari empat belas abad yang lalu, lalu silahkan berhenti sejenak pada masa dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbas, yang memerintah manusia selama periode tertentu, supaya Anda dapat mengenal para penguasa mereka dan bagaimana mereka secara terang-terangan meminum khamar, dan bagaimana mereka bermain dengan anjing dan kera, setelah terlebih dahulu binatang-binatang itu dikenakan baju sutera yang halus dan perhiasan emas; dan perbuatan-perbuatan keji lainnya yang dilakukan para penguasa, yang sejarah pun merasa malu untuk mencatatnya.

Ini merupakan salah satu bukti yang menunjukkan kejelekan-kejelekan konsep "pemilihan" dan sekaligus kemandulan konsep ini sejak dari dasarnya. Karena, orang yang kita pilih hari ini mungkin saja kita benci keesokan harinya, namun kita tidak mampu menurunkannya setelah menempatkan dia sebagai pemimpin. Kaum Muslimin telah berusaha mengerahkan segenap usahanya untuk menurunkan Usman, namun Usman enggan turun dengan mengatakan, "Saya tidak akan melepaskan pakaian yang telah Allah SWT kenakan kepada saya."

Setelah kita membuktikan kelemahan dua dalil yang telah dikemukakan kelompok pertama, yang telah menjadikan konsep musyawarah sebagai pilar dasar di dalam memilih khalifah yang akan mengurusi urusan kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah saw, dan setelah jelas bagi kita jauhnya kedua dalil tersebut dari maqam khilafah dan kepemimpinan, kita kembali memejamkan mata dari kenyataan ini dan tetap saja tunduk dan menerima kedua dalil dalam masalah khilafah dan kepemimpinan ini, serta pura-pura tidak tahu akan penyimpangan-penyimpangan yang dimiliki keduanya.

Apakah sikap pura-pura tidak tahu dan penerimaan akan kemandulan pandangan ini akan dapat menyelesaikan ketidak-jelasan peraturan di dalam semua hal yang berkaitan dengan cara pelaksanaan kandungannya? Kedua dalil ini tidak dapat meluruskan kebengkokan dan menutupi celah-celah kekurangan konsep ini. Karena konsep ini membutuhkan pembatasan dan perincian akan maknanya. Kedua nas yang diisyaratkan di atas, juga kehilangan ukuran-ukuran musyawarah dan cara-cara pengoreksiannya, di samping konsep ini juga memerlukan alat-alat pelaksanaan di dalam penerapannya.

Kita tidak mendapati di dalam hadis-hadis dan riwayat-riwayat serta di dalam sejarah kehidupan Rasulullah saw yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw telah mengemukakan konsep ini dan mengharuskan umat untuk melaksanakannya. Jika Rasulullah saw telah melakukan yang demikian, maka tentu kita mendapati Rasulullah saw telah menetapkan petunjuk-petunjuk yang jelas tentang hal itu, atau tentunya telah membiasakan hal itu di tengah-tengah umatnya guna mempersiapkan mereka, baik dari segi pemikiran, kejiwaan dan politik, supaya bisa melaksanakan konsep ini.

Atau setidaknya beliau telah mempersiapkan beberapa contoh figur yang cakap untuk memegang kepemimpinan percobaan dan pengawasan terhadap syariat dan pelaksanaannya. Namun, sebagaimana yang telah kita kemukakan, tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan kepada yang demikian itu.


Musyawarah dan Kekhilafahan Islam

Pertama:

PEMBAHASAN TENTANG AYAT-AYAT MUSYAWARAH

Baik dahulu maupun sekarang kaum Muslimin berbeda pendapat di dalam cara bagaimana menentukan imam dan khalifah. Pada jaman dahulu perbedaan pendapat tersebut lebih banyak berwujud dalam tataraan kenyataan praktis dan pencrapaan lapangan dibandingkan pada tingkatan teori dan pemikiran. Adapun pada jaman sckarang perbedaan tersebut hanya terbatas pada tataran pemikiran, tidak melampaui tingkat pertengkaran ucapan dan argumentasi teoritis.

Partisipasi kita di dalam menyelesaikan pertengkaran ini ialah dengan cara kita akan mendiskusikan penunjukkan (dilalah) ayat-ayat musyawarah (syura) yang terdapat di dalam Al-Qur'an yang dijadikan sandaran oleh kalangan Ahlus Sunnah di dalam pandangan mereka. Kemudian setelah itu kita akan mengkaji musyawarah dalam tataran kenyataan praktis setelah wafatnya Rasulullah saw dan sekaligus ber-bagai peristwa yang terjadi sesudahnya.

Allah SWT berfirman,

"Maka disebabkan rahmat dan Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkaniah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS. Ali Imran: 159)

"Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Danjika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Baqarah: 233)

"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. " (QS. asy-Syura: 38)

Kalangan Ahlus Sunnah, di dalam masalah kekhilafahan bersandar kepada konsep syura. Mereka mengatakan bahwa kekhilafahan kaum Muslimin tidak dapat ditentukan kecuali melalui musyawarah. Oleh karena itu, mereka mensyahkan kekhilafahan Abu Bakar, yang terpilih melalui musyawarah di Saqifah Bani Sa'idah. Sedangkan pandangan kedua, yaitu kalangan Syi'ah, memandang bahwa masalah kekhilafahan harus ditentukan dan diangkat oleh Allah SWT, karena tidak ada jaminan terpilihnya orang yang paling layak berdasarkan pandangan pertama. Hal itu dikarenakan masalah musyawarah sangat dipengamhi dengan pengaruh-pengaruh emosi dan perasaan manusia, pandangan-pandangan pemikiran dan kejiwaan mereka dan juga afiliasi mereka kepada keyakinan, sosial dan politik tertentu. Di samping itu, musya-warah juga membutuhkan tingkat ketulusan, objektifitas dan keter-bebasan dari berbagai pengaruh yang disadari maupun yang tidak disadarl. Oleh karena itu, mereka (kalangan Syi'ah) mengatakan Rasulullah harus mempunyai wasiat yang jelas di dalam masalah kckhilafahan. Mereka mengatakan Rasulullah saw telah menetapkan khalifah dan bahkan khalifah-khalifah sepeninggalnya. Atas dasar itu, mereka meyakini kekhilafahan Ali bin Abi Thalib as, dan bahwa musyawarah yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanyalah diperuntukkan bagi beberapa tema permasalahan yang khusus berkaitan dengan pelaksanaan dan penerapan hukum, bukan berkaitan dengan penentuan hakim (pemimpin), yang merupakan kedudukan Ilahi.

Oleh karena perbedaan tersebut hanya terbatas di antara dua pandangan ini, maka kebatilan salah satunya akan membuktikan kebenaran yang lainnya, dan sebagai akibatnya membuktikan kebenaran atau kebatilan kekhilafahan khalifah, baik khalifah itu Abu Bakar dan khalifah-khalifah lain yang menggantikannya atau khalifah itu Ali dan para washi yang menggantikannya.

Kita telah membuktikan pada pasal-pasal sebelumnya, dengan tidak meninggalkan keraguan sedikit pun, akan kebenaran pandangan yang mengatakan lebih berhaknya Ahlul Bait di dalarn kekhilafahan Islam, dan bahkan merupakan hak yang khusus bagi mereka dan tidak bagi selain mereka. Namun, untuk lebih menyempurnakan faidah dan menjelaskan hakikat, mau tidak mau kita harus mcndiskusikan konsep musyawarah sebagai semata-mata sebuah konsep, dan sampai sejauh mana kelayakannya di dalam masalah pemilihan khalifah kaum Muslimin.

Kalangan pendukung konsep musyawarah, di dalam menegakkan pandangannya sangat bersandar kcpada ayat-ayat Al-Qur'an yang telah kita scbutkan pada awal pembahasan. Ayat-ayat tersebut menjadi pokok pembahasan di dalam bab ini.

Jika kita mengkaji ayat-ayat di atas niscaya akan jelas bagi kita bahwa konsep musyawarah Islam tergambar dalam dua bentuk:

1. Tema musyawarah yang hendak dimusyawarahkan adalah suatu urusan yang bersifat parsial, di dalam konteks yang sempit dan terbatas, seperti terna penyapihan anak yang masih menyusu, sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat, "Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan..." Jenis musyawarah ini tidak menjadi bahan pertengkaran, dan oleh karena itu kita tidak perlu mendiskusikannya.

2. Tema musyawarah yang hendak dimusyawarahkan adalah suatu perkara umum yang mcnjadi perhatian seluruh kaum Muslimin, Seperti mengumumkan perang terhadap musuh atau memilih khalifah kaum Muslimin.

Tidak diragukan, bahwa dalam masalah yang seperti ini kaum Muslimin harus merujuk kepada Rasulullah saw. Karena tidak lah logis sebuah musyawarah terlaksana dengan tidak ada pendapat Rasulullah saw di dalamnya. Bahkan, termasuk buruk dalam pandan-gan umum ('urf) dan pembangkangan menurut syariat jika sebuah musyawarah dilakukan dengan tanpa merujuk kepada Rasulullah saw atau orang yang menempati kedudukannya, yaitu wali amri. Allah SWT berfirman, "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dari mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)." (QS. an-Nisa: 83)

Jenis musyawarah ini berdasarkan ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah..." mempunyai tiga rukun:

1. Adanya orang-orang yang bermusyawarah, sehingga musyawarah terlaksana. Dan ini ditunjukkan oleh kata ganti hum (mereka) di dalam kata "wa syawirhun".

2. Adanya materi dan tema yang dimusyawarahkan, sehingga dengan itu musyawarah terlaksana.

3. Adanya pemimpin yang mengatur musyawarah, dan putusan terakhir bergantung kepada pandangannya. Ini ditunjukkan oleh kata ganti ta mukhaththab (orang kedua) pada kalimat "faidza 'azamta fatawakkal 'alallah..." Tidak diragukan, jika yang menjadi tema adalah urusan umum yang berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin maka yang mempunyai hak memutuskan ialah wali amril Muslimin.

Tidak mungkin musyawarah yang sah dalam bentuknya yang Islami dapat terlaksana dengan tidak adanya salah satu di antara ketiga rukun di atas. Bisa saja wali aniri ada, orang yang bermusyawarah ada, namun tema musyawarah tidak ada, maka di sini musyawarah tidak terselenggara sama sekali. Oleh karena tidak ada permasalahan yang dapat mereka diskusikan dan musyawarahkan. Atau, bisa juga wali amri ada, tema musyawarah ada, namun kumpulan manusia yang akan bermusyawarah tidak ada, maka di sini berubah status dari musya-warah kepada nas atau perintah.

Atau juga, kumpulan manusia yang bermusyawarah ada, tema musyawarah ada, namun wali amri tidak ada, maka di sini musyawarah tidak berlangsung dengan bentuknya yang sah sebagaimana yang telah Allah SWT tetapkan di dalam Kitab-Nya, ketika Dia mewajibkan adanya pengawas atas musyawarah, yang menjadi tempat kembalinya urusan, Ketika masing-masing dari mereka mengeluarkan pandangannya, maka dia (wali amr) harus menjadi rujukan seluruh pandangan.

Musyawarah yang tidak sah ini tidak mungkin bisa mengeluarkan keputusan-keputusan yang sah dan mengikat seluruh kaum Muslimin. Karena musyawarah ini bertentangan dengan apa yang telah ditekankan oleh ayat bahwa pada akhirnya urusan bcrgantung kepada wali amri, "Kemudian apabila kamu telah berketetapan hati, maka bertawakallah kepada Allah."

Mungkin saja ada orang yang membantah dan berkata bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan rnereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah..." adalah khusus untuk Rasulullah, sehingga tidak mengharuskan adanya wali amri di dalam musyawarah; dan tidak ada halangan musyawarah dilaksanakan dengan tanpa adanya wali amri, berdasarkan petunjuk ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. " Karena di dalam zahir ayat tidak terdapat kata wali amri yang berketetapan hati dan bertawakal, sebagaimana yang terdapat di dalam ayat yang pertama.

Bantahan ini dapat dijawab dengan beberapa jawaban berikut:

1. Sesungguhnya seluruh yang tertelapkan bagi Rasulullah saw, seperti hak ketaatan, juga tertetapkan bagi wali amri, berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi, "Taatilah Allah, taatilah Rasul dan ulil amri dari kamu." Dengan begitu menjadi jelas bahwa jenis ketaatan kepada wali amri adalah jenis kctaatan yang sama dengan ketaatan kepada Rasulullah saw, disebabkan adanya athaf secara pasti, sebagaimana digunakannya satu kata (yaitu kata "taatilah") untuk keduanya, yaitu "Taatilah Rasul dan ulil amri dari kamu... " Jika seandainya digunakan kata "athi'u" untuk ketiga kalinya bagi ulil amri, maka barulah benar perkataan yang mengatakan di sana terdapat perbedaan di antara dua ketaatan tersebut.

2. Sesungguhnya tata cara musyawarah yang telah Allah tetapkan dalam urusan-urusan umum yang berhubungan dengan seluruh kaum Muslimin adalah satu, "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudianjika kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah." Sehingga penggunaan tata cara lain menuntut adanya dalil syariat yang menghasilkan perkara-perkara syariat, seperti kewajiban taat terhadap apa yang dihasilkan oleh musyawarah ini. Dan berargumentasi dengan ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka" untuk cara yang kedua dari musyawarah tidaklah sempurna.

Karena perkataan ini mendapat bantahan bahwa —tidak diragukan— ayat ini turun kepada Rasulullah saw. Dalam arti, ayat ini turun pada saat Rasulullah masih hidup di tengah-tengah kaum Muslimin. Akal dan agama tentunya melarang kaum Muslimin bermusyawarah tentang suatu urusan umum yang menyangkut urusan seluruh kaum Muslimin dengan tanpa kehadiran Rasulullah saw di antara niereka dan dengan tanpa merujuk kepada beliau. Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah harus berada di tengah mereka ialah, bahwa kata ganti hum (mereka) di dalam ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka " mencakup Rasulullah saw. Di samping itu, sesungguhnya konteks ayat di atas berbicara tentang sifat-sifat orang Mukmin yang menang, "Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal Dan (bagl) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi rnaaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka; dan merteka menafkahkan sebagian reieki yang Kami berikan kepada mereka." (QS. asy-Syura: 36-38)

Tidak diragukan bahwa seutama-utamanya ekstensi (mishdaq) orang-orang Mukmin adalah Rasulullah saw. Tidak diragukan bahwa Rasulullah saw adalah salah seorang dari mereka. Jika telah terbukti bahwa Rasulullah saw termasuk bagian dari musyawarah ini, maka tentu Anda tahu bahwa urusan musyawarah di dalam ayat ini kembali kepada Rasulullah saw, dan tentunya musyawarah ini tidak akan sempurna kecuali dengan ketetapan hati beliau, "Kemudian jika kamu telah berbulat hati maka bertawakallah kepada Allah."

Dengan demikian, sesungguhnya musyawarah ialah sebagaimana cara yang pertama. Seluruh yang terdapat di dalam ayat "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka" adalah bersifat umum dan mujmal, sedangkan ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apahila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah" adalah merupakan penjelas dan perinci baginya.

Setelah saya menjelaskan ini, dengan segera saya menambahkan bahwa kita akan sampai kepada hasil yang terbatas jika kita berpendapat bahwa ayat "Dan bermusyawarahlah dengan mereka..." ini hanya khusus untuk Rasulullah saw, dan tidak untuk ulil amri. Karena jika demikian musyawarah tidak akan bisa berlangsung kecuali dengan adanya Rasulullah. Dan jika Rasulullah saw meninggal dunia maka tidak ada musyawarah, disebabkan tidak adanya salah satu rukun dasar di dalam musyawarah, yaitu Rasulullah saw. Namun jika kita me-ngatakan ayat ini tidak hanya khusus terbatas bagi Rasulullah saw saja, maka berarti kita mengatakan ayat ini juga mencakup ulil amri, sehingga dengan begitu musyawarah tetap ada dan sah dengan syarat adanya wali amri di dalamnya. Dan wali amri memiliki hak-hak yang dimiliki oleh Rasulullah saw di dalam musyawarah, karena dia menempati tempat Rasulullah. Sehingga dengan demikian, makna "Dan urusan mereka (diselesaikan) dengan permusyawatan di antara mereka' ialah mereka tidak dapat menyimpulkan suatu urusan dengan tanpa bermusyawarah kepada Rasulullah saw, di dalam urusan-urusan agama yang mereka perlukan. Sebagaimana firman Allah SWT, "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri dari mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri)."

Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka pandangan musyawarah di dalam pengangkatan khalifah menemui jalan buntu, yang berakibat kepada batalnya pandangan tersebut. Berdasarkan pendapat pertama, yaitu yang mengatakan "Dan bermusyawarahlah dengan mereka di dalam urusan itu..." hanya khusus untuk Rasulullah saw, sebagaimana diketahui bahwa musyawarah yang diselenggarakan untuk meng-angkat khalifah pertama itu dilakukan setelah wafatnya Rasuullah saw, sehingga dengan begitu tentunya dia merupakan musyawarah yang tidak sah menurut hukum Islam dan pandangan Al-Qur'an, dan dengan begitu maka berarti seluruh keputusan yang dihasilkan darinya adalah tidak sah, yang salah satunya adalah pengangkatan khalifah pertama, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kitab-kitab sejarah dan kitab-kitab hadis tentang tata cara pengangkatannya, pada sebuah tempat yang mereka namakan dengan Saqifah Bani Sa'idah. Adz-Dzahabi telah merekam peristiwa tersebut di dalam kitab sejarahnya. Sebagaimana peristiwa ini direkam juga di dalam Sahih Bukhari, di dalam kitab al-hudud, bab merajam wanita yang mengandung hasil perbuatan zina, dengan riwayat dari Umar bin Khatab. Ibnu Jarir ath-Thabari juga merekam peristiwa ini di dalam kitab sejarahnya tatkala dia menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 11 Hijrah, di dalam jilid 2 dari kitab sejarahnya. Demikian juga Ibnu Atsir, dan Ibnu Qutaibah di dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa, jilid 1. Dan begitu juga kitab-kitab referensi sejarah lainnya.


MUSYAWARAH DALAM KENYATAAN PELAKSANAAN

KEDUA:

Musyawarah Dan Saqifah Bani Sa'idah

Para sejarahwan menyebutkan bahwa kekhalifahan Abu Bakar diperoleh melalui jalan pencalonan dan pemilihannya di Saqifah Bani Sa'idah. Peristiwa Saqifah, pada kenyataannya merupakan pijakan dasar yang dijadikan sandaran oleh Abu Bakar di dalam kekhalifahannya atas kaum Muslimin. Tidak mungkin seorang Muslim berpegang kepada kekhalifahannya kecuali jika dia mempercayai bahwa apa yang terjadi di Saqifah itu benar, dan menganggapnya sebagai satu-satunya jalan untuk bisa menentukan khalifah kaum Muslimin. Oleh karena pada pembahasan yang lalu kita telah membuktikan ketidakbenaran konsep musyawarah sebagai alat untuk mengangkat khalifah kaum Muslimin, maka pada kesempatan ini kita bermaksud ingin mengemukakan peristiwa Saqifah, yang merupakan penerapan lapangan dari konsep musyawarah, sehingga kita dapat menyingkap sampai sejauh mana kelurusan dan kebenaran konsep ini, untuk kemudian kita menyimpulkan apakah akan berpegang kepadanya atau tidak berpegang kepadanya.


Saqifah Di Dalam Kitab Tarikh Thabari.

Thabari menceritakan peristiwa ini secara rinci di dalam kita tarikhnya, jilid 2, terbitan al-Istiqlal Kairo, tahun 1358 Hijrah, atau bertepatan dengan tahun 1939 Masehi. Kita akan menukilkannya secara ringkas, sesuai kebutuhan, dari halaman 455 - 460 sebagai berikut:

"Orang-orang Anshar telah berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah. Mereka meninggalkan jenezah Rasulullah saw yang sedang dimandikan oleh keluarganya. Mereka berkata, 'Kami menyerahkan urusan ini kepada Sa'ad bin 'Ubadah sepeninggal Rasulullah saw. Kemudian mereka menghadirkan Sa'ad bin 'Ubadah ke tengah-tengah mereka yang ketika itu sedang sakit. Maka Sa'ad bin 'Ubadah pun mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, lalu dia menyebutkan kedahuluan mereka di dalam agama, keutamaan-keutamaan mereka di dalam Islam, pemuliaan mereka terhadap Rasulullah dan para sahabatnya, serta jihad mereka di dalam melawan musuh-musuhnya, sehingga bangsa Arab tegak dan Rasulullah saw meninggal dunia dalam keadaan rida kepada mereka. Sa'ad bin 'Ubadah berkata, 'Maka gengamlah kuat-kuat urusan ini, jangan sampai orang lain yang menggenggamnya.' Orang-orang Anshar menjawab, 'Sungguh tepat pendapat Anda, dan sungguh benar perkataan Anda. Kami tidak akan melanggar apa yang Anda perintahkan, dan akan kami angkat Anda sebagai pemimpin. Dan kaum Muslimin yang saleh tentu akan menyenangi.'

Kemudian mereka saling bertukar kata di antara mereka. Sebagian di antara mereka berkata, 'Bagaimana apabila kaum Muhajirin menolak dan berkata, 'Kami adalah kaum Muhajirin dan sahabat-sahabat Rasulullah saw yang pertama, kami adalah keluarganya dan wali-walinya, maka kenapa Anda hendak bertengkar dengan kami mengenai kepemimpinan sesudah Rasulullah saw?' Lalu sebagian mereka yang lain berkata, 'Jika demikian, maka kita akan menjawab, 'Seorang pemimpin dari kami, dan seorang pemimpin dari kamu. Selain begini, kita sama sekali tidak akan rela. Kita adalah pemberi perumahan, pelindung dan penolong, sementara mereka yang melakukan hijrah. Kita berpegang kepada Al-Qur'an sebagaimana mereka. Apa pun alasan yang mereka ajukan, kita akan mengajukan dalil yang sama. Kita tidak hendak memonopoli kekuasaan terhadap mereka, maka bagi kita harus ada seorang pemimpin dan bagi mereka seorang pemimpin.' Maka berkatalah Sa'ad bin 'Ubadah, 'lniah awal kelemahan!'

Abu Bakar dan Umar mendengar apa yang tengah dilakukan oleh orang-orang Anshar, maka mereka berdua pun bergegas pergi ke Saqifah dengan ditemani oleh Abu 'Ubaidah bin Jarrah, dan kemudian bergabung bersama mereka Usaid bin Hudhair, 'Awim bin Sa'idah dan 'Ashim bin 'Adi, dari kalangan Bani 'Ajlan. Kemudian Abu Bakar berbicara, setelah sebelumnya melarang 'Umar berbicara. Pertama-tama Abu Bakar mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, dan kemudian menyebutkan kedahuluan orang-orang Muhajir di dalam membenarkan Rasulullah saw, sebelum seluruh orang Arab yang lain. Abu Bakar berkata, 'Mereka adalah orang-orang yang pertama menyembah Allah SWT di muka bumi dan beriman kepada Rasulullah saw. Mereka itu adalah keluarganya dan wali-walinya, dan manusia yang paling berhak atas urusan ini sepeninggalnya, serta tidak ada yang bertengkar dengan mereka di dalam urusan itu kecuali orang yang zalim.' Kemudian Abu Bakar menyebutkan keutamaan-keutamaan orang Anshar. Setelah itu dia berkata, 'Setelah orang-orang Muhajir yang pertama tidak ada orang yang mempunyai kedudukan di sisi kita selain orang-orang Anshar. Maka oleh karena itu kami adalah pemimpin sedangkan Anda adalah wazir (pembantu).'

Maka Hubab bin Mundzir berkata, 'Wahai kaum Anshar, peganglah urusan Anda. Sesungguhnya manusia berada di bawah naungan Anda, dan tidak akan ada seorang pemberani yang berani menentang Anda. Oleh karena itu, janganlah Anda berselisih, sehingga akan merasak pendapat Anda dan menodai urusan Anda. Apabila mereka menolak kecuali sebagaimana yang telah Anda dengar, maka biarlah dari kita seorang pemimpin dan dari mereka seorang pemimpin.'

Umar berkata, 'Demi Allah, dua pedang tidak akan masuk ke dalam satu sarung. Orang Arab tidak akan menerima kepemimpinan Anda, wahai orang Anshar, karena Nabi bukan berasal dari Anda. Akan tetapi orang Arab tidak akan keberatan dipimpin oleh kaum yang Nabi berasal dari mereka. Tentang ini, kami mempunyai bukti yang jelas. Siapa yang memperselisihkan kami atas kekuasaan Muhammad dan pemerintahannya, padahal kami adalah wali-walinya dan kaum kerabatnya.'

Hubab bin Mundzir berdiri dan berkata, 'Wahai kaum Anshar, jangan Anda dengarkan orang-orang ini, Umar dan sahabat-sahabatnya. Mereka akan mengambil hak Anda dan merampas kebebasan kalian untuk memilih. Jika mereka tidak setuju, kirim mereka pulang dan biarkan mereka membentuk pemerintahannya sendiri di sana. Demi Allah, Anda lebih berhak menjadi pemimpin dari mereka. Karena dengan perantaraan pedang Anda, orang-orang yang sebelumnya tidak memeluk agama ini menjadi memeluk agama ini.'

Umar berkata, 'Kalau begitu, mudah-mudahan Allah SWT membunuhmu.'

Hubab bin Mundzir berdiri, 'Tidak, justru mudah-mudahan kamu yang dibunuh oleh Allah SWT.'

Abu 'Ubaidah berkata, 'Wahai kaum Anshar, Anda adalah yang pertama membela Islam, maka janganlah Anda menjadi orang yang pertama memisahkan diri dan berubah.'

Maka berdirilah Basyir bin Sa'ad al-Khazraji, ayah Nu'man bin Basyir berkata, 'Wahai kaum Anshar, kita kaum Anshar telah memerangi kaum kafir dan membela Islam bukanlah untuk kehormatan duniawi, tetapi untuk memperoleh keridaan Allah SWT. Kita tidak mengejar kedudukan. Nabi Muhammad adalah orang Quraisy, dari kaum Muhajirin, dan layaklah sudah apabila seorang dari keluarganya menjadi penggantinya. Saya bersumpah dengan nama Allah, bahwa saya tidak akan melawan mereka. Saya harap Anda sekalian pun demikian.'

Kemudian Abu Bakar berdiri dan berkata, 'lni Umar, dan ini Abu 'Ubaidah, silahkan Anda baiat yang mana saja di antara mereka yang Anda suka.'

Tetapi keduanya berkata, 'Demi Allah, kami tidak akan mau memegang urusan ini selama Anda masih ada.'

Lalu Abdurrahman bin 'Auf berdiri dan berkata, 'Wahai kaum Anshar, meskipun Anda berada di atas keutamaan, namun tidak ada di tengah Anda orang seperti Abu Bakar, Umar dan Ali.' Mendengar itu Mundzir bin Arqam berdiri dan berkata, 'Kami tidak menolak keutamaan orang-orang yang Anda sebutkan, namun di antara mereka ada seseorang yang jika dia menuntut urusan ini maka tidak ada seorang pun yang memperselisihkannya, yaitu Ali bin Abi Thalib.'

(Maka orang-orang Anshar atau sebagian orang Anshar berkata, 'Kami tidak akan membaiat kecuali Ali.')

(Umar berkata, 'Suasana menjadi hangat dan suara-suara menjadi keras, dan untuk menghindari perpecahan saya berkata, 'Bentangkan tangan Anda, wahai Abu Bakar, supaya aku membaitmu!') Manakala keduanya bangkit hendak membait Abu Bakar, Basyir bin Sa'ad men-dahului keduanya membait Abu Bakar.

Hubab bin Mundzir berteriak kepada Basyir bin Sa'ad, 'Wahai Basyir bin Sa'ad! Hai orang durhaka, orang tuamu sendiri tidak menyukaimu. Engkau telah menyangkal ikatan keluarga, engkau dengki dan tidak mau melihat saudara sepupumu menjadi pemimpin.'

Basyir bin Sa'ad berkata, 'Tidak, demi Allah, aku tidak mau berselisih dengan satu kaum tentang suatu hak yang telah Allah SWT jadikan untuk mereka.' Manakala kaum Aus melihat apa yang telah dilakukan Basyir bin Sa'ad, apa yang diseru oleh kaum Quraisy dan apa yang diminta oleh kaum Khazraj untuk menjadikan Sa'ad bin 'Ubadah sebagai pemimpin, sebagian mereka berkata kepada sebagian mereka yang lain, di antaranya adalah Usaid bin Hudhair, 'Demi Allah, bila kaum Khazraj sekali berkuasa atas dirimu, mereka akan seterasnya mempertahankan keunggulannya atas diri kamu, dan tidak akan pernah membagi kekuasaan itu kepadamu untuk selama-lama-nya; maka berdirilah, dan baiatlah Abu Bakar.'

Maka mereka pun berdiri dan membaiatnya. Dan hancurlah kesepakatan yang telah mereka peroleh atas Sa'ad bin 'Ubadah dan kaum Khazraj. Orang-orang berdatangan dari semua sudut untuk membaiat Abu Bakar, hingga hampir saja mereka menginjak Sa'ad bin 'Ubadah.

Para sahabat Sa'ad bin 'Ubadah berkata, 'Hati-hati, jangan sampai menginjak Sa'ad.'

Pada saat itu Umar berkata, 'Bunuh dia, mudah-mudahan Allah membunuhnya.'

Kemudian Umar mendekatinya seraya berkata, 'Saya ingin menginjak-injak engkau sampai remuk.'

Putra Sa'ad bin 'Ubadah, Qais, menjambak janggut Umar dan berkata kepadanya, 'Bila engkau menyentuh sehelai saja rambutnya, aku akan rontokkan semua gigimu!'

Abu Bakar berteriak, 'Tenang Umar! Dalam keadaan seperti ini kita harus tenang.'

Maka Umar pun pergi meninggalkan Sa'ad, tetapi Sa'ad berteriak, 'Demi Allah, seandainya aku dapat berdiri, aku akan membuat huru hara di kota Madinah, agar engkau dan teman-temanmu bersembunyi ketakutan. Kemudian aku akan menjadikanmu pelayan, bukan penguasa. Bawa aku dari tempat ini.' Maka mereka pun membawa Sa'ad bin 'Ubadah dan memasukkannya ke dalam rumahnya..."

Kejadian ini tidak memerlukan penjelasan dan komentar lagi, dia sendiri dapat menyingkap bagaimana proses terjadinya pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifab... Sungguh proses tersebut jauh sekali dari proses musyawarah. Musyawarah tidak layak dilakukan di tempat yang tidak tepat ini, di mana Saqifah Bani Sa'idah terletak di sebuah ladang di luar kota Madinah. Tentunya Mesjid Rasulullah saw lebih utama untuk dijadikan tempat melakukan hal ini. Karena Mesjid Rasulullah saw adalah tempat berkumpulnya kaum Muslimin dan tempat dilakukannya musyawarah untuk membahas urusan-urusan dunia dan urusan-urusan agama. Di samping juga waktunya tidak sesuai, karena jenazah Rasulullah saw masih terbujur dan belum di-makamkan. Bagaimana bisa mereka meninggalkan jenazah Rasulullah saw dalam keadaan seperti ini, untuk memperebutkan urusan kekhalifahan, sementara sahabat-sahabat besar sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah saw.

Apakah ada seorang yang berakal yang menamakan peristiwa ini sebagai musyawarah?!

Pada kenyataannya mereka tidak sedang mencari kekhilafahan Islam yang mendapat petunjuk, yang dengan perantaraannya akan terjaga persatuan dan eksistensi kaum Muslimin. Kata-kata yang mereka ucapkan memberi petunjuk kepada hal ini.

Kata-kata Sa'ad yang berbunyi, "Maka genggamlah kuat-kuat urusan ini, jangan sampai orang lain yang menggenggamnya", lalu orang-orang Anshar menjawab, "Sungguh tepat pendapat Anda, dan sungguh benar perkataan Anda. Kami tidak akan melanggar apa yang Anda perintahkan", dan begitu juga kata-kata Umar yang berbunyi, "Siapa yang memperselisihkan kami atas kekuasaan Muhammad dan pemerintahannya?"

Seluruh kata-kata ini menyingkap jati diri mereka. Mereka tidak menginginkan apa-apa kecuali kekuasaan.

Di samping kata-kata kasar yang terjadi di antara para sahabat, padahal Rasulullah saw telah bersusah payah mendidik mereka selama dua puluh tiga tahun. Misalnya perkataan Umar terhadap Hubab, "Mudah-mudahan Allah membunuhmu", dan begitu juga perkataan Hubab terhadap Umar, "Tidak, justru mudah-mudahan engkau yang dibunuh oleh Allah." Atau perkataan Umar kepada Sa'ad bin Ubadah, "Bunuhlah dia, mudah-mudahan Allah membunuhnya." Atau perkata-an Umar yang lain kepada Sa'ad, "Saya akan menginjak-injak engkau hingga remuk." Atau perkataan Qais bin Sa'ad kepada Umar sambil menjambak janggutnya, "Demi Allah, apabila engkau sentuh satu helai saja dari rambutnya, aku akan rontokkan semua gigimu." Semua ini memberikan gambaran yang jelas bagi Anda.

Kata-kata keji yang seperti ini yang dilontarkan di tempat pemilihan yang sangat sensitif ini, hingga sampai tahap ancaman, pemukulan dan ajakkan untuk membunuh, semua ini menunjukkan betapa orang-orang yang berkumpul tersebut dipenuhi dengan rasa kedengkian dan permusuhan terhadap satu sama lain. Bagaimana mungkin kita bisa menerima musyawarah dari orang-orang seperti mereka —itu pun apabila musyawarah itu sah.

Kemudian, lihatlah kata-kata dan argumentasi yang mereka lontarkan terhadap satu sama lain, semua itu adalah argumentasi yang kosong dan jauh dari kebenaran. Sebagai contoh —misalnya— argumentasi Umar, yang merupakan argumentasi yang paling kuat, "Orang Arab tidak akan menerima kepemimpinan Anda, wahai orang Anshar, karena Nabi bukan berasal dari Anda. Akan tetapi orang Arab akan menerima dipimpin apabila oleh kaum yang Nabi berasal dari mereka."

Jika orang Arab tidak menerima kepemimpinan orang yang jauh dari Rasulullah saw, maka tentu mereka akan menerima kepemimpinan orang yang paling dekat hubungannya dengan Rasulullah saw, yaitu Ali bin Abi Thalib as. Oleh karena itu, Amirul Mukminin as berhujjah, "Mereka berhujjah dengan pohan kenabian namun mereka meninggal-kan buahnya."[92]

Jika orang Arab tidak menerima kepemimpinan Ali as, maka tentu mereka lebih tidak menerima lagi kepemimpinan seorang laki-laki yang berasal dari kabilah Tim. Jika ini yang menjadi hujjah mereka, maka tentu hal ini akan menjadi hujjah yang kuat bagi Ali as

Abu Bakar al-Jawahiri berkata tentang argumentasi Ali as, "Ali berkata, 'Saya adalah hamba Allah dan saudara Rasulullah.' Berita itu sampai kepada Abu Bakar. Lalu Abu Bakar berkata kepada Ali, 'Berbaiatlah.' Ali as menjawab, 'Aku lebih berhak dari Anda atas kepemimpinan ini. Aku tidak akan berbaiat kepada Anda, justru Anda yang lebih layak berbaiat kepadaku. Anda telah merebut kepemimpinan ini dari kaum Anshar dengan berhujjah kepada mereka dengan kekerabat-an Anda dengan Rasulullah, maka mereka pun menyerahkan kepe-mimpinan kepada Anda. Dan sekarang saya mengajukan hujjah yang sama dengan hujjah yang Anda ajukan kepada orang-orang Anshar. Maka bersikap adillah kepada kami, jika Anda memang mengkhawatirkan Allah atas diri Anda. Dan berikanlah pengakuan yang serupa kepada kami sebagaimana yang telah diberikan oleh kaum Anshar kepada Anda. Jika tidak, maka berarti Anda telah berlaku zalim dan Anda mengetahuinya.'

Umar berkata kepada Ali, 'Anda tidak akan dibiarkan hingga Anda berbaiat.'

Ali menjawab, 'Anda sedang memerah susu untuk Abu Bakar dan diri Anda sendiri. Anda bekerja untuknya hari ini, dan besok dia akan mengangkat Anda menjadi penggantinya. Demi Allah, saya tidak akan menerima kata-kata Anda, dan tidak akan mengikuti Anda.'"[93]

Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan baiat dari Ali, bahkan dengan cara kekerasan sekali pun.

Umar berkata, "Kita mendapat kabar bahwa Ali dan Zubair serta orang-orang yang bersamanya memisahkan diri dari kita dan ber-kumpul di rumah Fatimah."[94]

Kemudian Umar datang beserta rombongannya dengan membawa kayu bakar dan bermaksud membakar rumah Fatimah. Maka Fatimah datang menemui mereka dan berkata, "Apakah Anda datang dengan maksud hendak membakar rumah kami, wahai Putra Khattab?"

Umar menjawab, "Ya, atau Anda semua melakukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh umat."[95]

Dalam kitab Ansab al-Asyraf disebutkan,

"Fatimah menemui Umar di pintu dan berkata kepadanya,

'Wahai Putra Khattab, apakah Anda akan tetap membakar rumah sementara aku berada di belakang pintunya?'

Umar menjawab, 'Ya.'"[96]

Para sejarahwan mencatat orang-orang yang datang menyerbu untuk membakar rumah Fatimah:
1. Umar bin Khattab.
2. Khalid bin Walid.
3. Abdurrahman bin 'Auf.
4. Tsabit bin Qais bin Syammas.
5. Ziyad bin Labid.
6. Muhammad bin Muslim.
7. Zaid bin Tsabit.
8. Salmah bin Salamah bin Waghasy.
9. Salmah bin Aslam.
10. Usaid bin Hudhair.

Ya'qubi berkata, "Mereka datang berkelompok menyerang rumah, hingga pedang Ali patah dan mereka masuk ke dalam rumah."[97]

Thabari berkata, "Umar memasuki rumah Ali, sementara di dalam rumah ada Zubair, Thalhah dan beberapa orang dari kaum Muhajir. Kemudian Zubair keluar dengan pedang terhunus, namun dia tergelincir dan pedangnya lepas dari tangannya. Maka mereka pun menangkap dan membawanya."[98]

Fatimah melihat apa yang dilakukan Umar terhadap keduanya – Ali dan Zubair— maka dia berdiri di samping pintu kamar dan berkata, "Hai Abu Bakar, alangkah cepatnya Anda menyerang keluarga Rasulullah. Demi Allah, saya tidak akan berbicara dengan Umar sampai saya menemui Allah."[99]

Karena peristiwa ini dan juga karena peristiwa penahanan warisan yang diterimanya dari Rasulullah saw serta peristiwa-peristiwa lainnya, Fatimah marah kepada Abu Bakar, dan tidak mau berbicara dengannya hingga meninggal dunia. Fatimah az-Zahra hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah saw. Ketika Fatimah az-Zahra wafat, jenazahnya dikuburkan oleh suaminya pada malam hari, dan tidak diizinkan Abu Bakar untuk melihat jenazahnya.[100]

Pada sebuah riwayat disebutkan bahwa Fatimah az-Zahra berkata kepada Abu Bakar, "Demi Allah, saya akan mendoakan keburukan bagimu pada setiap salat yang saya kerjakan."[101]

Oleh karena itu, Abu Bakar berkata pada saat hendak meninggal dunia, "Tidak ada satu pun yang saya sesali dari dunia ini kecuali tiga hal yang telah saya lakukan. Saya sangat berharap tidak melakukannya." (Hingga dia mengatakan), "Adapun ketiga hal yang telah saya lakukan itu: Saya sangat berharap tidak membuka paksa rumah Fatimah, meski pun mereka menguncinya untuk melakukan peperangan."[102]

Di dalam Tarikh Ya'qubi disebutkan, "Oh, seandainya saya tidak membuka paksa rumah Fatimah dan memasukkan orang-orang ke dalamnya meski pun mereka menguncinya untuk melakukan peperangan."[103]

Seorang penyair Mesir, Hafidz Ibrahim, menulis di dalam syairnya,

"Kepada Ali, Umar berkata, 'Rumahmu akan kubakar!

Bila engkau tidak berbaiat kepada Abu Bakar'

Meski pun Fatimah putri Musthafa ada di dalam

Abu Hafshah tidak segan melawan Ali, pahlawan Adnan."

Tidak hanya sampai di situ, bahkan mereka mengancam akan membunuh Ali. Mereka menyeret Ali dengan paksa keluar dari rumahnya, dan membawanya ke hadapan Abu Bakar. Mereka berkata, "Berbaiatlah." Ali berkata, "Kalau aku tidak mau, bagaimana?"

Mereka menjawab, "Kalau demikian, demi Allah, kami akan penggal kepalamu." Ali menjawab, "Kalau begitu, kamu akan memenggal kepala hamba Allah dan saudara Rasulullah?"[104]

Kekhalifahan yang dimulai dengan pemaksaan dan diakhiri dengan ancaman pembunuhan tidak dapat menjadi bukti bagi konsep musyawarah.

Ketika Abu Bakar dan Umar menyadari keburukan yang telah dilakukannya, mereka datang untuk meminta maaf kepada Fatimah. Namun kesempatan telah terlambat.

Fatimah berkata kepada mereka, "Apakah Anda mau mendengar apabila aku katakan kepada Anda suatu perkataan yang berasal dari Rasulullah saw, yang Anda kenal dan Anda telah berjuang untuk beliau?"

Mereka berdua menjawab, "Ya."

Kemudian Fatimah berkata, "Apakah Anda tidak mendengar Rasulullah saw telah bersabda, 'Keridaan Fatimah adalah keridaanku, dan kemarahan Fatimah adalah kemarahanku. Barangsiapa yang mencintai Fatimah, Puteriku, maka berarti dia telah mencintaiku, dan barangsiapa yang membuat Fatimah marah, maka berarti dia telah membuatku marah?"

Mereka berdua menjawab, "Ya, kami telah mendengarnya dari Rasulullah saw."

Kemudian Fatimah berkata, "Saya bersaksi kepada Allah para malaikat-Nya, sesungguhnya Anda berdua telah membuat saya marah dan Anda berdua telah membuat saya tidak rida. Seandainya kelak saya bertemu dengan Nabi saw, saya akan adukan Anda berdua kepada beliau."

Selanjutnya Fatimah berkata kepada Abu Bakar, "... Demi Allah, saya akan mendoakan keburukan bagimu pada setiap salat yang saya kerjakan."[105]

Demikianlah, Abu Bakar tidak berhak atas kekhalifahan kaum Muslimin melalui syura. Karena musyawarah tersebut tidak sah secara teoritis, dan tidak ada wujudnya dalam tataran kenyataan. Jika kita tetap mengakui bahwa Abu Bakar telah memperoleh kekhalifahan kaum Muslimin melalui syura, dan itu merupakan satu-satunya cara untuk itu, maka yang perlu kita tanyakan ialah, atas hak apa Abu Bakar mengangkat Umar menjadi khalifah sepeninggalnya?

Oleh karena itu, Abu Bakar dan kekhalifahannya menghadapi dua masalah:

Pertama, musyawarah sebagai jalan yang Allah SWT tetapkan untuk mengangkat seorang khalifah. Maka di sini berarti Abu Bakar telah membangkang perintah Allah SWT dengan mengangkat Umar sebagai khalifah penggantinya, tanpa proses musyawarah.

Kedua, musyawarah bukan merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT. Maka dengan demikian kekhalifahan Abu Bakar tidak sah, karena muncul melalui musyawarah yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT.

Demikian juga kekhalifahan Umar dan Usman tidak sah, kecuali kekhalifahan Ali as. Seluruh umat sepakat untuk membaiat Ali setelah Usman terbunuh, di samping nas-nas dari Allah dan Rasul-Nya yang menunjukkan kepada kekhalifahan dan keimamahannya. Jika di sana terdapat musyawarah maka kekhalifahan untuk Ali, dan begitu juga jika ditetapkan berdasarkan pengangkatan maka kekhalifahan tetap untuk Ali. Sebagaimana yang diceritakan secara mutawatir oleh riwayat-riwayat.

Untuk menyempurnakan pembahasan, marilah kita akhiri pembahasan ini dengan dialog berikut:

Ali bin Maitsam ditanya, "Kenapa Ali duduk berdiam diri tidak memerangi mereka?"

Ali bin Maitsam menjawab, "Sebagaimana duduk berdiam dirinya Harun terhadap Samiri, padahal mereka telah menyembah patung anak sapi. Seperti Harun ketika mengatakan, '(Harun berkata), 'Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah.' (QS. al-A'raf: 150) Seperti Nuh tatkala berkata, 'Aku ini orang yang dikalahkan, oleh karena itu menangkanlah (aku).'(QS. al-Qamar: 10) Seperti Luth tatkala mengatakan, 'Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).' (QS. Hud: 80) Dan seperti Musa dan Harun tatkala mengatakan, 'Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku.'" (QS. al-Maidah: 25)]

Makna ini dapat kita ambil dari perkataan Amirul Mukminin as manakala sampai berita kepadanya bahwa dia tidak memerangi dua orang yang pertama. Imam Ali as berkata, "Saya mempunyai suri teladan dari enam nabi. Yang pertama ialah Ibrahim al-Khalil as, tatkala dia mengatakan, 'Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah.' (QS. Maryam: 48)

Jika Anda mengatakan, 'Dia menjauhkan diri dari mereka dengan tanpa ada sesuatu yang tidak disukai', maka Anda telah kafir.

Jika Anda mengatakan, 'Dia menjauhkan diri dari mereka disebabkan dia melihat sesuatu yang tidak disukai', maka washi dimaafkan.

Yang berikutnya adalah Luth as, tatkala dia mengatakan, 'Seandainya aku ada mempunyai kekuatan untuk menolakmu atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).' (QS. Hud: 80)

Jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya Luth mempunyai kekuatan untuk menolak mereka', maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya dia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak mereka', maka washi dimaafkan.

Yang berikutnya adalah Yusuf as tatkala dia mengatakan, 'Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku.' (QS. Yusuf: 33)

Jika Anda mengatakan, 'Nabi Yusuf meminta penjara dengan tanpa adanya sesuatu yang tidak disukai yang dibenci oleh Allah SWT', maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya dia diajak kepada sesuatu yang dimurkai Allah', maka washi dimaafkan.

Yang berikutnya adalah Musa as, tatkala dia mengatakan, 'Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu.' (QS. asy-Syu'ara: 21)

Jika anda mengatakan, 'Sesungguhnya Nabi Musa as lari dengan tanpa ada sesuatu yang ditakutkan', maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Sesungguhnya dia lari meninggalkan mereka disebabkan mereka ingin berbuat jahat kepadanya', maka washi dimaafkan.

Yang berikutnya adalah Harun, tatkala dia berkata kepada saudaranya, 'Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku.' (QS. Al-A'raf: 150)

Jika Anda mengatakan, 'Mereka tidak menganggap Harun as lemah dan tidak hampir membunuhnya', berarti Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Mereka telah menganggap Harun as lemah dan hampir membunuhnya, dan oleh karena itu dia mendiamkan mereka', maka washi dimaafkan.

Selanjutnya adalah Muhammad saw tatkala dia lari ke gua dan meninggalkan saya di ranjangnya, dan saya mempersembahkan nyawa saya kepada Allah.

Jika Anda mengatakan, 'Muhammad telah lari dengan tanpa adanya sesuatu yang mengancamnya dari pihak mereka', maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, 'Mereka telah mengancamnya, dan tidak ada jalan lain baginya kecuali lari ke gua', maka washi dimaafkan."

Lalu orang-orang berkata, "Anda benar, wahai Amirul Mukminin."[106]


KETIGA 

PARA SAHABAT DAN AYAT INQILAB

"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakahjika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imran: 144)

Sesungguhnya titik berat ayat yang mulia ini berbicara tentang wafatnya Rasulullah saw dan peristiwa pembelotan yang terjadi sesudahnya. Titik berat pembicaraan ayat ini terkumpul di dalam tiga ungkapan, yaitu ungkapan "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", "Apakah jika dia wafat atau dibunuh", dan "Kamu akan berbalik ke belakang?" Untuk mendalami ayat ini dan membahasnya secara rinci, mau tidak mau kita harus melontarkan beberapa pertanyaan yang tajam, untuk menggali pemikiran dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Mengapa Allah SWT tidak cukup hanya dengan mengatakan "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", melainkan melanjutkannya secara langsung dengan kata-kata "Apakahjika dia wafat atau dibunuh", padahal konteks ayat di atas berdiri tegak dengan ungkapan pertama?

Apa perbedaan antara mati dan terbunuh? Huruf "aw" athaf (atau) memberikan arti pemisahan antara ma'thuf dengan ma'thuf 'alaih, lantas apa perbedaan di antara keduanya? Mengapa pengulangan ini muncul dari Allah SWT, padahal Dia mengetahui bahwa Rasulullah akan mati? Siapa orang yang disinggung di dalam firman-Nya "Jika kamu berbalik ke belakang"! Dari apa mereka berbalik ke belakang? Dan apa hubungannya antara pembelotan (berbalk ke belakang) dengan wafatnya Rasulullah saw?

Konteks ayat ini berbicara tentang sikap istiqamah, lantas kenapa ayat ini menggunakan kata-kata "Dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur", dan tidak mengatakan "Dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang istiqamah, orang-orang Muslim, atau orang-orang Mukmin?"

Sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mau tidak mau kita harus menyebutkan dua mukaddimah berikut:

Pertama, tentang sebab-sebab turunnya ayat ini. Para mufassir menyebutkan bahwa yang menjadi sebab turunnya ayat ini ialah kekalahan yang diderita oleh kaum Muslimin setelah peperangan Uhud, di mana kaum musyrikin menyebarkan berita bahwa Rasulullah saw telah terbunuh di dalam peperangan. Berita ini telah menciptakan kerapuhan, kemunduran dan keraguan pada sebagian kaum Muslimin. Maka Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai teguran terhadap kaum Muslimin atas yang demikian.

Kedua, mana yang pokok di dalam ayat-ayat Al-Qur'an? Apakah yang pokok ialah bahwa ayat-ayat Al-Qur'an cocok untuk seluruh jaman, kecuali yang dikecualikan oleh suatu dalil? Atau, apakah justru sebaliknya?

Maksudnya ialah, jika ayat-ayat Al-Qur'an cocok untuk seluruh jaman, maka kita dapat mengumumkan makna ayat di atas kepada jaman-jaman yang lain selain dari jaman yang menjadi sebab-sebab turunnya ayat. Jika tidak, maka berarti kita terikat dengan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat di atas, dan penggenaralisiran ayat di atas kepada jaman-jaman yang lain selain dari jamannya itulah yang memerlukan alasan.

Para ulama Islam, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah sepakat bahwa pengambilan pelajaran berdasarkan keumuman lafaz, bukan berdasarkan kekhususan sebab. Jika yang menjadi pokok ialah tidak berlakunya ayat-ayat Al-Qur'an pada setiap jaman, niscaya akan batallah pelaksanaan Al-Qur'an pada jaman-jaman berikut, atau kita akan meninggalkan sebagian besar ayat Al-Qur'an di dalam kebekuan dan ketidak-sesuaian dengan jaman. Hal ini jelas tidak sejalan dengan ruh Islam, dan juga tidak sejalan dengan ajaran-ajarannya serta keumumannya. Ini adalah dalil akal. Dan sebagian besar ayat Al-Qur'an mendukung dalil ini, dimana ayat-ayat tersebut mendorong manusia untuk mau bertadabbur dan mengamalkan Al-Qur'an, serta mengecam perbuatan sebaliknya.

Jika kita membenarkan pendapat yang kedua, niscaya tidak akan ada artinya firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat." Karena, ayat ini mengisyaratkan kepada seluruh Al-Qur'an, dan tidak mengkhususkan kepada sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an, melainkan kita harus berusaha untuk bisa memahami seluruh ayat-ayat Al-Qur'an, memperhatikannya dan me-metik pelajaran darinya. Hal ini sebagaimana yang Allah perintahkan kepada kita untuk mentadabburinya, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?"

Al-Qur'an al-Karim mengecam orang yang mengimani sebagian Al-Qur'an dan tidak mengimani sebagian lainnya, "(Yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi.

"(Yaitu) orang-orang beriman kepada sebagian al-Kitab (Al-Qur'an) dan kafir kepada sebagian yang lain."

Allah SWT berfirman,

"Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan." (QS. al-Kahfi: 54)

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?" (QS. al-Qamar: 17)

"Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. " (QS. Fushshilat: 3)

"Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya." (QS. az-Zukhruf: 3)

Ayat-ayat ini mendorong kita untuk berpegang kepada Al-Qur'an seluruhnya, tidak sebagiannya.

Alhasil, jika kita berpegang kepada pendapat yang kedua, maka tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang menerimanya. Kalau pun seandainya kita berpegang kepada pendapat yang kedua, sesungguhnya ayat yang sedang menjadi pembahasan kita mempunyai dalil-dalil yang membuktikan bahwa dia tidak hanya khusus bagi jaman pada saat dia turun, melainkan dia terus berlaku sepanjang kehidupan Rasulullah saw, dan bahkan sesudahnya. Adapun dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya berita yang tersebar pada saat peperangan Uhud ialah berita terbunuhnya Rasulullah saw. Dan ayat ini berbicara tentang kejadian wafatnya Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh... " Seandainya ayat ini hanya dikhususkan bagi jaman pada saat dia diturunkan, maka tentu Allah SWT akan berkata, "Apa-kah jika dia dibunuh ". Sepertinya, penyebutan kata "wafat" adalah untuk menunjukkan bahwa perbuatan berbalik ke belakang yang terjadi pada peperangan Uhud juga akan terjadi pada saat setelah kematian Rasulullah saw.

Faidah praktis dari mukaddimah ini dalam pembahasan kita ialah, kita tidak dibebani kewajiban untuk mengemukakan sebuah dalil yang mengumumkan ayat inqilab ini kepada kejadian yang bukan merupakan sebab turunnya ayat ini, jika pendapat pertama yang benar, dan ini adalah pendapat yang benar —sebagaimana yang Anda saksikan. Adapun berdasarkan pendapat yang kedua, mau tidak mau harus ada sebuah dalil khusus untuk membuktikan bahwa ayat ini tidak hanya dikhususkan bagi kejadian tempat dia diturunkan, melainkan berlaku sepanjang kehidupan Rasulullah saw, dan bahkan jaman sepeninggal beliau. Seandainya pendapat yang kedua itu yang benar, maka dalil yang menunjukkan berlakunya ayat ini sepanjang kehidupan Rasulullah saw dan bahkan jaman sepeninggal beliau, terdapat di dalam ayat itu sendiri. Di mana, dan bagaimana?

Adapun pertanyaan "di mana", maka jawabannya ialah di dalam firman Allah SWT yang berbunyi "Apakah jika dia wafat atau dibunuh..." Sedangkan pertanyaan "bagaimana", maka jawabannya ialah bahwa berita yang tersebar luas di sekitar dan di dalam kota Madinah pada saat terjadi peperangan Uhud ialah berita terbunuhnya Rasulullah saw, yang menyebabkan sebagian dari para sahabat murtad dan berbalik ke belakang. Jika Allah SWT hendak mengkhususkan ayat ini hanya bagi peperangan Uhud, niscaya Allah SWT akan mengatakan, "Apakah jika dia terbunuh..." Namun penyebutan kata "wafat" oleh Allah SWT di dalam ayat, "Apakahjika dia wafat atau terbunuh...", memberikan pengertian yang pasti bahwa keadaan yang sama benar-benar akan terulang pada saat Rasulullah saw meninggal dunia.

Insya Allah, akan datang penjelasan lebih rinci kepada Anda yang menguatkan bahwa ayat ini tidak hanya terbatas kepada peristiwa perang Uhud, melainkan juga mencakup jaman hingga meninggalnya Rasulullah saw, dan bahkan jaman sesudahnya.

Ketahuilah, sesungguhnya mati mempunyai dua arti: Mati dalam arti umum, yaitu peristiwa dicabutnya ruh,

"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendatangi kamu, meski pun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (QS. an-Nisa: 78)

"Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi)." (QS. al-Hajj: 66)

Juga terdapat mati dalam arti khusus, sebagai lawan dari terbunuh. Yaitu orang yang mati disebabkan telah rusaknya bangunan kehidupannya. Dan ayat mana saja yang menyebutkan kedua kata tersebut secara bersamaan, yaitu kata mati dan terbunuh, maka yang dimaksud dengan mati adalah mati dalam arti khusus. Pengertian ini lebih bertambah kuat lagi manakala digunakan kata aw (atau), yang memberikan arti pemisahan di antara ma'thuf dan ma'thuf 'alaih. Contohnya ialah firman Allah SWT yang berbunyi,

"Dan sungguh kalau kamu terbunuh di jalan Allah atau meninggal dunia, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan." (QS. Ali Imran: 157)

"Dan sungguh jika kamu meninggal dunia atau terbunuh, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan." (QS. Ali Imran: 158)

"Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh." (QS. Ali Imran: 156)

Karena, jika kata "mati" di dalam ayat-ayat ini bermakna umum maka tentu tidak diperbolehkan menggunakan kata "terbunuh", karena sudah tercakup di dalamnya. Dan jika hal itu dilakukan, maka ini berarti bertentangan dengan kefasihan bahasa. Dari sini kita dapat membuktikan bahwa yang dimaksud dengan mati di dalam ayat Inqilab ialah mati dalam arti khusus, yang merupakan lawan dari kata terbunuh.

Kenapa Allah SWT menekankan kepada sifat kerasulan pada diri Rasul-Nya, dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang rasul, sebagaimana telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Untuk tujuan itu sebenarnya Allah SWT cukup dengan hanya mengatakan, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", namun kenapa Allah SWT melanjutkannya secara langsung dengan mengatakan, "Apabila dia wafat atau dia dibunuh"?

Yang terbayang pertama kali di dalam menjawab pertanyaan ini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian para mufassir, yaitu bahwa Allah SWT hendak menarik perhatian kaum Muslimin kepada sebuah hakikat, bahwasannya Nabi Muhammad saw itu tidak kekal. Dia itu akan mati dan berlalu. Keadaannya persis sebagaimana rasul-rasul yang lain yang telah mati dan berlalu. Makna ini adalah makna yang tampak, namun bukan satu-satunya makna. Karena kalau sekiranya maksud Allah SWT hanya sebatas hendak menetapkan sifat kematian bagi Rasulullah saw, maka tentunya Allah SWT akan me-ngatakan, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang manusia, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang manusia." Untuk menekankan kepada kefanaan dan ketidak-langgengan yang sudah merupakan tabiat manusia. Juga terdapat beberapa arti yang lebih luas dan lebih dalam dari arti ini, yang menuntut dikemukakannya dan ditekankannya sifat kerasulan. Yaitu,

Pertama, sebagaimana keberadaan agama tidak digantungkan kepada kehidupan rasul-rasul yang lalu, maka demikian juga keberadaan agama ini tidak digantungkan kepada kehidupan Rasulullah saw. Sebagaimana para nabi terdahulu meninggal dunia dan agama tetap berlangsung sepeninggal mereka, maka demikian pula manakala Rasulullah saw meninggal dunia atau terbunuh, agama akan tetap berlangsung sepeninggalnya.

Kedua, ini merupakan arti yang paling dalam dan paling mencakup, yaitu penekanan terhadap hakikat kesesuaiaan sunah-sunah di antara umat sepeninggal rasul-rasulnya. Maka apa yang telah terjadi atas umat-umat tersebut, akan terjadi pula atas umat ini. Al-Qur'an, sunah Rasulullah saw dan kenyataan menguatkan hakikat ini. Adapun Al-Qur'an al-Karim mengatakan,

"Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putra Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan ruhul qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akn tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya." (QS. al-Baqarah: 253)

Dhamir (kata ganti) hum kembali kepada kata ar-rusul (rasul-rasul). Jika yang dikehendaki oleh Allah SWT hanyalah Isa as maka tentu Allah SWT akan menggunakan ungkapan "min ba'dih" (sesudahnya). Juga tidak bisa dikatakan bahwa yang dikehendaki oleh Allah dengan dhamir "hum" (mereka) adalah Isa as, sebagai penghormatan. Karena kedudukan dhamir "hum" pada kata "min ba'dihim" (sesudah mereka) dengan maksud sebagai pengagungan, itu bertentangan dengan kefasihan. Adapun berkenaan dengan orang yang mengatakan bahwa dhamir "hum" hanya merupakan makna majazi (kiasan), maka kita katakan, sesungguhnya jika terjadi keraguan apakah suatu lafaz itu digunakan dalam arti majazi (kiasan) atau hakiki (arti sebenarnya) maka kita berpegang kepada arti hakiki. Pada penggunaan dhamir hum dalam arti hakiki maka dhamir hum kembali kepada "rasul-rasul itu", yang salah satu di antaranya adalah Rasulullah saw, berdasarkan petunjuk ayat sebelumnya yang berbunyi, "Itu adalah ayat-ayat Allah. Kami bacakan kepadamu dengan benar, dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus." Kemu-dian Allah SWT melanjutkan, "Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagi-an dari mereka atas sebagian yang lain."

Kemudian, sesungguhnya perihal kesesuaian sunah-sunah juga ditunjukan oleh banyak riwayat yang masyhur dan sahih, yang disepakati oleh kaum Muslimin. Seperti sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Niscaya kamu akan mengikuti sunah-sunah orang sebelummu. Bulu anak panah dengan bulu anak panah, dan sandal dengan sandal. Bahkan jika mereka memasuki lubang biawak, niscaya kamu pun akan memasukinya." Dalam sebuah hadis yang lain Rasulullah saw bersabda, "Janganlah sepeninggalku engkau kembali menjadi orang-orang kafir, yang sebagianmu memenggal sebagian leher yang lain." Rasulullah saw juga telah bersabda, "Orang-orang Yahudi telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, sementara orang-orang Kristen telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akn berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua golongan darinya berada di dalam neraka, dan hanya satu golongan yang selamat." Bahkan, banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kepada fenomena ini. Seperti firman Allah SWT yang berbunyi,

"Mereka tidak menunggu-nunggu kecuali kejadian-kejadian yang sama dengan kejadian-kejadian yang menimpa orang-orang yang telah terdahulu sebelum mereka." (QS. Yunus: 102)

"Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, danAllah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan Kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki di antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya." (QS. al-Baqarah: 213)

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. al-Ankabut: 2)

Sesunggunya dalil terbesar yang menunjukkan kepada kesesuaian di antara sunah-sunah umat terdahulu dan umat kemudian ialah kenyataan yang terjadi pada para sahabat sepeninggal Rasulullah saw, yaitu di mana sebagian mereka mengkafirkan sebagian mereka yang lain, dan masing-masing dari mereka memfasikkan yang lainnya, hingga berakhir dengan terjadinya peperangan yang dahsyat di antara mereka, yang menelan korban lebih dari seratus ribu kaum Muslimin. Inilah ekstensi dari ayat yang berbunyi, "Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang yang datang sesudah rasul-rasul itu." (QS. al-Baqarah: 253)

Setelah ini, tidak bisa seseorang mengatakan, bagaimana mungkin para sahabat berbalik ke belakang padahal merekalah yang telah mengorbankan harta dan diri mereka, dan telah memerangi keluarga mereka serta telah berdiri tegar di sisi Rasulullah saw dalam keadaan susah dan lapar, serta mereka telah melihat ayat-ayat dan mukjizat-mukjizatnya!! Karena di samping alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, keragu-raguan ini dapat dijawab dengan hal-hal berikut,

a. Sesungguhnya kata ganti orang kedua di dalam ungkapan "inqalabtum" (kamu berbalik ke belakang) ditujukan kepada mereka para sahabat. Karena tidak logis jika yang dimaksud adalah orang-orang kafir atau orang-orang munafik, karena mereka adalah orang-orang yang menyimpang atau berbalik ke belakang sejak awal.

b. Ilmu tidak menjamin pemiliknya untuk lurus. Betapa banyak manusia yang mengetahui bahwa kebenaran berada di suatu tepian, namun disebabkan hawa nafsunya dia justru cenderung kepada tepian yang lain. Bahkan, kebanyakan pembangkangan terjadi setelah datangnya pengetahuan tentang kebenaran. Allah SWT berfirman,

"Dan tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka." (QS. Ali Imran: 19)

"Dan tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang-orang yang telah didatangkan Kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki di antara mereka sendiri." (QS. al-Baqarah: 213)

Segala sesuatunya terang dan jelas, namun mereka berselisih dan saling berbunuh-bunuhan, "Dan kalaulah Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang yang datang sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan." (QS. al-Baqarah: 253)

"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, dan kemudian Allah membiarkannya sesat atas ilmunya. " (QS. al-Jatsiyah: 23)

c. Sesungguhnya pengorbanan-pengorbanan yang lalu dan kesabaran atas berbagai musibah, tidak menjamin manusia untuk tidak jatuh ke dalam penyimpangan di masa yang akan datang. Pengorbanan dan kesabaran yang mereka (para sahabat) tunjukkan tidak lebih besar dari pengorbanan dan kesabaran yang ditunjukkan oleh Bani Israil manakala Fir'aun memotong kaki dan tangan mereka, menyalib mereka, membiarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan anak-anak perempuan mereka, dan membunuh kaum laki-laki dari mereka, namun mereka tetap sabar berpegang kepada seruan Nabi Musa as, dan mereka melihat dengan jelas mukjizat-mukjizat besar yang ditunjukkan oleh Nabi Musa as, yang mana yang terbesar darinya ialah membelah lautan menjadi dua bagian, sehingga tidak ubahnya menjadi dua buah gunung yang besar. Namun, tatkala Nabi Musa as meninggalkan mereka beberapa hari, mereka kembali menyembah patung anak sapi. Sehingga sepertinya sudah menjadi watak manusia melakukan pelanggaran manakala dia merasa cukup dan aman,

"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas." (QS. al-'Alaq: 6)

d. Betapa pun seorang manusia telah tinggi di dalam derajat keimanan, dia tetap tidak dimaksum oleh Allah SWT, sehingga bisa saja dia berbalik ke belakang dan kembali kafir. Tidak ada contoh yang lebih besar dari Bal'am bin Ba'ura,

"Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), makajadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesunggunya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi." (QS. al-A'raf: 175-178)

Apakah ada salah seorang dari sahabat telah mencapai tingkat keimanan yang seperti ini, hingga mencapai tingkat membawa Ism al-A'zham? Sungguh telah menyimpang orang yang telah mencapai derajat ini, apalagi orang yang ada di bawahnya?

Timbul pertanyaan di sini, "Pembelotan (perbuatan berbalik ke belakang) itu terjadi atas apa?"

Bahkan, merupakan tugas kita untuk menanyakan, atas apa pembelotan itu biasanya terjadi?

Di dalam ayat Inqilab terdapat unsur-unsur dasar yang dapat menghantarkan kita kepada jawaban pertanyaan ini, dengan melakukan analisa dan penarikan kesimpulan darinya:

a. Ayat Inqilab mempunyai hubungan yang langsung dengan wafatnya Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang?"

b. Pembelotan menunjukkan adanya satu dasar yang menjadi tempat terjadinya pembelotan. Yaitu suatu dasar yang dikenal di kalangan seluruh orang yang membelot. Karena jika orang-orang yang membelot itu tidak mengetahui dasar ini, maka tentu tidak dikatakan kepada mereka, "Kamu berbalik ke belakang." Bahkan, sesuatu yang menjadi tempat terjadinya pembelotan adalah sesuatu yang dipegang teguh oleh para pembelot untuk beberapa waktu hingga terjadinya pembelotan.

c. Sesungguhnya perkara ini mempunyai hubungan yang langsung dengan Allah dan Rasul-Nya saw, dan dari mereka berdualah mereka membelot.

d. Sesungguhnya bahaya pembelotan ini akan mengenai orang-orang yang membelot, baik di dunia maupun di akhirat, "Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. " Allah SWT berfirman sebelumnya, "Maka dia tidak dapat mendatangkan madharat sedikit pun kepada Allah. " Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur bagi dirinya sendiri. "

Allah SWT menjelaskan bahwa manfaat syukur kembali kepada hamba itu sendiri, dan demikian juga perbuatan tidak bersyukur madharatnya akan kembali kepada si hamba sendiri.

e. Sesungguhnya pembelotan ini mempunyai kaitan dengan sunah- sunah orang-orang terdahulu. Apa yang orang-orang terdahulu telah membelot darinya maka orang-orang terkemudian pun akan membelot darinya.

f. Allah SWT tidak mengatakan, Dia akan memberi balasan kepada orang-orang Mukmin dan orang-orang Muslim, melainkan Allah SWT mengatakan, "Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." Ini memberikan pengertian bahwa orang yang tidak membelot atau berbalik ke belakang sedikit jumlahnya, "Dan hanya sedikit dari hamba-hamba Kami yang bersyukur. " Ini dikuatkan dengan perkataan-Nya, "Kamu berbalik ke belakang", yang memberikan pengertian umum dan banyak. Kalau sekiranya orang-orang yang membelot itu sedkit jumlahnya, maka tentu Allah SWT akan mengatakan, "Sebagian kamu berbalik ke belakang", dan tentunya tidak benar mengecam mayoritas.

g. Pembelotan ini benar-benar terjadi. Ini didasarkan petunjuk "jawab syarat" yang memberikan pengertian terlaksana manakala terlaksananya "syarat", dan penggunaan bentuk fi'il madhi (kata kerja lampau) yang memberikan pengertian terlaksananya sesuatu.

h. Sesungguhnya ucapan Allah SWT ini khusus ditujukan kepada kaum Muslimin, dan tidak ditujukan kepada orang-orang kafir, karena mereka adalah orang-orang yang menyimpang sejak awal. Demikian juga ayat ini tidak ditujukan kepada orang-orang munafik saja, karena hal ini bertentangan dengan zahir ayat. Kalaulah yang dimaksud dalam ucapan Allah SWT ini hanyalah orang-orang munafik saja, maka tentu Allah SWT akan mengatakan, "Kamu menampakkan pembelotanmu", padahal pembelotan (perbuatan berbalik ke belakang) itu terjadi pada saat Rasulullah saw meninggal dunia.

Untuk mengetahui esensi pembelotan ini, maka kita harus memperhatikan seluruh unsur dasar ini pada saat melakukan analisa dan menarik kesimpulan, dan hendaknya kesimpulan yang ditarik harus sesuai dengan unsur-unsur dasar ini. Karena jika tidak, maka berarti bukan kesimpulan yang benar.

Rasulullah saw adalah seorang pemimpin kaum Muslimin, dan setelah beliau wafat terjadi pembelotan... Lantas kita bertanya, setelah wafatnya seorang pemimpin, atas apa biasanya terjadi pembelotan?! Pada sisi apa Rasulullah saw berperan sebagai katup pengaman bagi umat dari perselisihan, yang jika sekiranya Rasulullah saw tidak ada akan terjadi perselisihan dan pertentangan. Apakah Al-Qur'an al-Karim menjelaskan hal ini? Al-Qur'an al-Karim tidak menjelaskan secara jelas perkara yang amat besar ini, yang tidak diterima oleh sebagian besar manusia, dan yang Rasulullah saw sendiri merasa takut menyampaikannya kepada umat, namun Allah SWT memerintahkan,

"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, maka berarti katnu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjaga kamu dari (ganguan) manusia." (QS. al-Maidah: 67)

Dengan memperhatikan secara sekilas ayat di atas kita dapat menyingkap beberapa poin berikut:

1. Sesungghnya perkara yang wajib disampaikan ini, bobotnya menyamai bobot menyampaikan seluruh risalah. Sehingga jika Rasulullah saw tidak menyampaikannya maka dia sama dengan tidak menyampaikan risalah. Sebaliknya, pengingkaran terhadapnya sama dengan pengingkaran terhadap risalah, dan sikap berbalik ke belakang darinya sama dengan sikap berbalik ke belakang dari risalah.

2. Sesungguhnya perkara ini adalah perkara yang banyak mendapat penentangan dari manusia. Bahkan, Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya dari manusia untuk menyampaikan perkara ini. Oleh karena itu, Allah SWT meyakinkannya, "Dan Allah menjaga kamu dari (gangguan) manusia."

3. Perkara ini merupakan penyempurna risalah. Karena jika Rasulullah saw menyampaikan perkara ini maka berarti Rasulullah saw telah menyampaikan risalah dan menyempurnakannya,

"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk katnu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu sebagai agamamu. " (QS. al-Maidah: 3)

Ini sejalan dengan ayat Inqilab yang mengatakan bahwa sikap berbalik ke belakang dari perkara ini adalah berarti sikap berbalik ke belakang dari agama ini seluruhnya.

4. "Allah menjaga kamu dari (gangguan) manusia." Ini memberikan arti bahwa sebagian besar manusia tidak menyukai perkara yang Rasulullah saw diperintahkan untuk menyampaikannya? Perkara apakah ini yang Rasulullah saw diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikannya?

Pertama-tama, sesungguhnya perkara ini mempunyai kaitan dengan sikap berbalik ke belakang. Dan ini didasarkan kepada beberapa hal:

1. Karena perkara ini berkaitan dengan risalah, dan berbalik ke belakang darinya adalah berarti berbalik ke belakang dari risalah.

2. Di dalam perkara ini terdapat sikap berbalik ke belakang, disebabkan ketidak-relaan kelompok mayoritas terhadap perkara ini.

3. Rasulullah saw harus menyampaikan perkara ini disebabkan ajalnya sudah dekat, "Sudah hampir masanya aku dipanggil oleh Allah dan aku mesti menjawab panggilan-Nya", sehingga tidak meninggalkan alasan bagi mereka untuk bisa berbalik ke belakang, dan sekaligus menegakkan hujjah yang sempurna atas mereka. Karena perbuatan berbalik ke belakang mempunyai kaitan dengan wafatnya Rasulullah saw.

4. Sesungguhnya perkara yang Allah SWT inginkan Rasulullah saw menyampaikannya ialah satu perkara yang sangat dimungkinkan manusia berpaling darinya. Karena, Rasulullah saw telah menyampaikan seluruh risalah, dengan segenap cabangnya, namun tidak tampak tanda-tanda ketidak-relaan dari kaum Muslimin terhadap seluruh yang telah disampaikan Rasulullah saw, kecuali perkara ini. Rasulullah saw sendiri merasa khawatir untuk menyampaikannya, maka Allah SWT pun memberikan jaminan kepada Rasulullah saw untuk menjaga dan melindunginya dari gangguan manusia.

5. Rasulullah saw berperan sebagai katup pengaman dalam masalah ini. Jika Rasulullah saw meninggal dunia, maka lumpuhlah keamanan, dan manusia akan melakukan yang sebaliknya.

6. Tidak ada sesuatu yang menjadi objek dari sikap berbalik ke belakang selain dari kekhalifahan yang ditetapkan dari sisi Allah SWT. Kekhalifahan siapa yang Rasulullah saw sampaikan?

Hadis-hadis mutawatir, dan begitu juga beratus-ratus kitab referensi kaum Muslimin menceritakan peristiwa al-Ghadir dan pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah kaum Muslimin, sebagaimana yang telah disebutkan.

Dari sini, dan dari beribu-ribu hadis lainnya tampak jelas bahwa Rasulullah saw telah menetapkan Ali sebagai khalifah dan Imam atas seluruh makhluk, namun hal ini tidak mendapat kerelaan dari kaum Muslimin. Manakala Rasulullah meninggalkan dunia yang fana ini, dengan segera mereka pun berbalik ke belakang darinya dan merampas apa yang menjadi haknya. Dan hanya sedikit sekali dari mereka yang tetap berpegang teguh. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Allah SWT pada bagian akhir ayat Inqilab, "... dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." Dari ayat ini tampak jelas:

Pertama, mereka itu sedikit jumlahnya. Dengan alasan,
a. Kata "ingalabtum " (kamu berbalik ke belakang), memberikan arti umum dan mayoritas.
b. Firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan hanya sedikit dari hamba-hambaku yang bersyukur."

Kedua, syukur di sini sebagai lawan dari kufur, yaitu berbalik ke belakang, "Maka di antara mereka ada yang beriman dan di antara mereka ada yang kafir", "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus: ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." Jalan ini sudah dikenal, berdasarkan beberapa petunjuk berikut,
a. Petunjuk-Nya kepada jalan yang lurus, "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus."
b. Perbuatan berbalik ke belakang dari jalan yang lurus. Karena ayat di atas mengatakan, "Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang bersyukur." Yaitu mereka yang mengikuti jalan yang luras ini. Sehingga selain dari mereka adalah orang- orang kafir, karena mereka berbalik ke belakang dari jalan yang lurus.

c. Alif lam ta'rif.

Jalan ini merupakan tempat ujian dan kenikmatan pada waktu yang bersamaan. Yaitu ujian yang dengannya manusia diuji, dan kenikmatan bagi orang yang melaluinya. Biasanya, perbuatan berbalik ke belakang yang menyamai kekufuran adalah perbuatan berbalik ke belakang dari kenikmatan. Manakala kepemimpinan Ali merupakan sebuah kenikmatan, "Dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku", maka perbuatan berbalik ke belakang terjadi atasnya, dan hanya sedikit saja yang menerima kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana yang dikuatkan oleh hadis Rasulullah saw yang bersabda,

"Ketika aku sedang berdiri tiba-tiba datang sekelompok orang yang aku kenal. Lalu keluarlah seorang di antara kami dan berkata, 'Mari.' Aku bertanya, 'Ke mana?' Dia menjawab, 'Ke neraka, demi Allah.' Aku bertanya, 'Apa kesalahan mereka?' Dia men-jawab, 'Mereka telah murtad sepeninggalmu dan telah berbalik dari kebenaran.' Dan aku tidak melihat yang tersisa kecuali sedikit sekali, seperti sekelompok unta yang tersisih."

Hadis ini menguatkan apa yang dikatakan di dalam ayat inqilab, yaitu hanya sedikit orang yang bersyukur terhadap kenikmatan. Rasulullah saw mengatakan, "Aku tidak melihat yang tersisa kecuali sedikit sekali, seperti sekelompok unta yang tersisih." Sebagaimana kelompok unta yang terpisah dari rombongannya sedikit sekali jumlahnya, maka demikian pula para sahabat yang selamat sedikit sekali jumlahnya.

Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda, "Aku akan mendahului kamu di telaga. Siapa yang berlalu dariku dia akan minum, dan siapa yang telah minum dia tidak akan dahaga selama-lamanya. Kelak ada sekelompok orang yang aku kenal dan mereka juga mengenalku, datang kepadaku. Kemudian mereka dipisahkan dariku. Aku akan berkata, 'Sahabatku, sahabatku.' Lalu dijawab, 'Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.' Dan aku pun berkata, 'Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah sepeninggalku.'"

Rasulullah saw pernah berkata kepada Abu Bakar, manakala Rasulullah meyaksikan para syuhada ahli surga. Rasulullah saw berkata, "Adapun berkenaan dengan mereka, aku memberikan kesaksian bagi mereka." Lalu Abu Bakar berkata, "Dan juga bagi kami, hai Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab, "Adapun mengenaimu, aku tidak mengetahui apa yang akan kamu lakukan sepeninggalku. •

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Commet Facebook Umum ABNS

 
Copyright © 2014 AHLUL BAIT NABI SAW Powered By AHLUL BAIT NABI SAW.