BREAKING NEWS

AHLUL BAIT NABI SAW: KESAKSIAN-KESAKSIAN AHLUS SUNNAH, SMS +6281809556588

Sabtu, 06 Mei 2017

Kenyataan Sejarah Dan Hadis Ahlus Sunnah


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Adapun kenyataan sejarah juga mendustakan hadis ini. Sejarah menyebutkan bahwa sunah yang suci belum ditulis pada masa Rasulullah saw, dan bahkan di sana terdapat hadis-hadis yang berasal dari saluran Ahlus Sunnah yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw melarang penulisan hadis. Seperti perkataan Rasulullah saw,

"Janganlah kamu menulis sesuatu dariku. Barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur'an maka hendaknya dia menghapusnya." Sebagaimana yang terdapat di dalam Sunan ad-Darimi[17] dan Musnad Ahmad.

Di dalam sebuah riwayat disebutkan, "Mereka meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menulis hadis beliau, namun Rasulullah saw tidak mengizinkan mereka." Dan riwayat-riwayat lainnya secara jelas melarang penulisan hadis yang berasal dari Rasulullah saw. Semua itu tidak lain merupakan upaya perancang untuk mencegah tersebarnya hadis Rasulullah saw, supaya kebenaran tidak kelihatan. Mereka tidak berhenti sampai di sini, Umar telah berijtihad secara gamblang untuk menghapus hadis. Urwah bin Zubair telah meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ingin menulis sunah, lalu dia bermusyawarah tentang hal itu dengan para sahabat. Para sahabat memberi isyarat supaya dia menuliskannya. Maka mulailah Umar beristkharah kepada Allah tentang hal itu selama sebulan. Kemudian, pada suatu hari Allah menetapkan hatinya, lalu dia berkata,

"Tadinya saya bermaksud ingin menulis sunah, namun kemudian saya ingat satu kaum sebelum kamu yang menulis kitab-kitab dan menekuni pekerjaan itu lalu mereka meninggalkan Kitab Allah. Demi Allah, saya tidak akan mengenakan sesuatu apapun kepada Kitab Allah untuk selama-lamanya."[18]

Dari Yahya bin Ju'dah disebutkan bahwa Umar bin Khattab hendak menuliskan sunah, kemudian tampak baginya untuk tidak menuliskannya, maka dia pun mengumumkan di kota-kota, barangsiapa yang mempunyai sesuatu (hadis) di sisinya maka hendaknya dia menghapusnya.[19]

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa setiap kali Khalifah Umar bin Khattab mengirim seorang hakim atau gubernur ke sebuah negeri dia memberikan pesan, dan salah satu dari pesannya ialah, "Ringkaskan Al-Qur'an, sedikitkan riwayat dari Muhammad, maka aku menyertaimu”.[20]

Sejarah telah mencatat bahwa Khalifah Umar bin Khattab telah berkata kepada Abu Dzar, Abdullah bin Mas'ud dan Abu Darda, "Hadis apa ini yang engkau sebarkan dari Muhammad?!"[21]

Juga disebutkan bahwa Umar bin Khattab mengumpulkan hadis dari seseorang, mereka mengira Umar bin Khattab hendak memeriksa dan meluruskannya sehingga tidak ada perselisihan di dalamnya, maka merekapun membawa tulisan-tulisan hadis mereka, lalu Umar mem-bakarnya seraya berkata, "Kebohongan sebagaimana kebohongan Ahlul Kitab." Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Khatib dari al-Qasim di dalam kitab Tagyid al-'Ilm.

Adapun alasan yang disebutkan oleh Umar bin Khattab untuk menyita sunah adalah alasan yang tidak dapat diterima oleh seorang yang bodoh sekali pun, apalagi oleh seorang yang berilmu. Karena hal itu bertentangan dengan Al-Qur'an, ruh agama, dan akal. Bagaimana dia dapat mengatakan "Ringkaskan Al-Qur'an dan sedikitkan riwayat", padahal Al-Qur'an sendiri mengatakan bahwa kehujjahannya berdiri dengan sunah. Karena sunah adalah penjelas, pen-takhsis, pen-taqyid dan lain sebagainya. Allah SWT telah berfirman, "Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan."

Bagaimana Rasulullah saw menerangkan Al-Qur'an?! Bukankah dengan sunah?! Allah SWT telah berfirman, "Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. "

Apa manfaat wahyu jika kita diperintahkan untuk menyembunyikan dan membakarnya. Adapun sunah yang mereka gunakan sebagai hujjah akan wajibnya mengikuti sunah, telah mengalami serangkaian silsilah persekongkolan. Persekongkolan ini dimulai sejak jaman Abu Bakar di mana dia membakar lima ratus hadis yang ditulis pada masa Rasulullah saw di jaman kekhilafahannya.[22] Aisyah berkata, "Ayah saya mengumpulkan lima ratus hadis Rasulullah saw, lalu dia tidur dengan keadaan berguling-guling (tidak tenang). Pada saat bangun pagi dia berkata, 'Wahai anak perempuanku, kemarikan hadis-hadis yang ada padamu.' Maka saya pun membawakannya, dan lalu dia membakarnya. Kemudian Ayah saya berkata, 'Saya takut saya mati sementara hadis-hadis ini masih berada di sisimu.'"[23]

Umar bin Khattab telah memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri pada masa kekhilafahannya, bahwa barang siapa telah menulis sebuah hadis maka dia harus menghapusnya.[24]

Utsman pun melakukan hal yang sama. Karena dia telah memberi tanda tangan untuk meneruskan jalan yang telah ditempuh oleh Syeikhain, yaitu Abu Bakar dan Umar. Usman berkata di atas mimbar, "Tidak boleh seorang pun meriwayatkan sebuah hadis yang belum pernah didengar pada masa Abu Bakar dan Umar."[25]

Kemudian sepeninggalnya jalan tersebut diteruskan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah bin Abi Sufyan berkata, "Wahai manusia, sedikitkan riwayat dari Rasulullah saw, dan jika kamu menyampaikan hadis maka sampaikanlah hadis sebagaimana yang telah disampaikan pada masa Umar."[26]

Dengan begitu, perbuatan menghentikan penulisan hadis menjadi sebuah sunah yang diikuti, dan perbuatan menulis hadis dihitung sebagai sebuah kemunkaran.

Propaganda yang menyesatkan yang dilakukan oleh para penguasa dalam masalah penulisan hadis ini tidak lain bertujuan untuk menutupi keutamaan-keutamaan Ahlul Bait. Mungkin alasan ini tidak bisa diterima oleh banyak orang, namun inilah kenyataan yang ditemukan oleh para peneliti sejarah. Lalu setelah itu, sunah yang mana yang telah diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk diikuti?!

Apakah sunah yang telah dihapus oleh Umar atau sunah yang telah dibakar oleh Abu Bakar?!

Lalu apa yang harus diperbuat oleh orang yang hendak berpegang kepada sunah sepeninggal Rasulullah saw?!

Sebagai contoh, seseorang hidup bersama para sahabat. Lalu untuk mengetahui sebuah sunnah Rasulullah saw, apakah dia harus mencari semua sahabat yang tersebar di berbagai negeri, yang mana sebagian dari mereka ada yang menjadi gubernur dan komandan?!

Apakah dia harus menemui mereka semua untuk menanyakan sebuah hukum yang ingin dia ketahui, atau apakah cukup dengan hanya merujuk kepada para sahabat yang ada, namun yang demikian tentunya tidak mencukupi, karena terdapat kemungkinan adanya pembatal (nasikh), pengkhusus (mukhashshish) dan pembatas (muqayyid) sunnah tersebut, dengan hadirnya seorang atau dua orang sahabat yang tidak ada di kota yang bersangkutan? Dan kehujjahan sunah —sebagaimana kata Ibnu Hazm— tidak dapat tegak berdiri kecuali dengan mereka.

Jika yang demikian ini sulit bagi orang yang bertemu dengan para sahabat, padahal jumlah mereka sedikit, maka apa lagi setelah kekuasan Islam bertambah luas dan telah banyak negeri yang ditaklukkan, sementara semakin banyak pertanyaan yang muncul tentang berbagai kejadian.

Dengan apa mereka bisa menjawab?!

Begitulah banyak hadis dan hukum yang hilang, dan ini memang merupakan tujuan dari persekongkolan yang mereka lakukan. Umar bin Khattab dengan lantang mengatakkan hal itu pada masa Rasulullah saw, ketika Rasulullah saw bersabda pada saat hendak meninggal dunia,

"Ambilkan aku tulang pundak dan tinta, supaya aku tuliskan sebuah tulisan yang kamu tidak akan sesat selama-lamanya sesudahnya." Lalu Umar berkata, "Sesungguhnya dia sedang mengigau, cukup bagi kita Kitab Allah saja."[27]

Tujuan yang melatarbelakangi pelarangan mendatangkan tulang pundak dan tinta bagi Rasulullah saw yang hendak menuliskan sebuah tulisan yang akan mencegah mereka dari kesesatan adalah tujuan yang sama dengan yang melatarbelakangi pelarangan pengumpulan dan penulisan hadis.

Bagaimana bisa mereka meriwayatkan hadis "Berpegang teguhlah kepada sunahku" sementara para sahabat dan khalifah tidak berpegang kepadanya, dan bahkan dengan lantang mereka mengatakan sesuatu yang lain dari itu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh adz-Dzahabi di dalam kitab Tadzkirah al-Huffadz. Adz-Dzahabi berkata, "Sesungguhnya Abu Bakar Shiddiq mengumpulkan manusia sepeninggal wafatnya Nabi mereka. Lalu Abu Bakar berkata kepada mereka, 'Sesungguhnya kamu menyampaikan hadis-hadis Rasulullah saw namun kamu berselisih tentangnya, dan orang-orang sepeninggalmu akan lebih keras perselisihannya, maka oleh karena itu janganlah kamu menyampaikan satu hadis pun dari Rasulullah saw. Dan jika ada orang bertanya kepadamu maka katakanlah, di antara kita terdapat Kitab Allah, maka halalkan lah apa yang dihalalkannya dan haramkan lah apa yang diharamkannya."[28]

"Sesungguhnya yang normal ialah tidak ditetapkannya sesuatu yang belum tersusun dan terbukukan sebagai sumber penetapan hukum bagi umat, kecuali jika terdapat penanggung jawab yang menjadi rujukan tentangnya."[29]

Umat Islam sepakat bahwa sunah Nabi belum dibukukan pada masa Rasulullah saw dan pada masa para khalifah, dan sunah tidak dibukukan kecuali setelah satu abad setengah dari wafatnya Raslullah saw. Lantas dengan alasan apa mereka mengatakan, "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku ..."

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Referensi - Referensi Hadis


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Sesungguhnya kesulitan pertama yang dihadapi hadis "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin ..." ialah Bukhari Muslim membuangnya dan tidak meriwayatkannya. Dan ini berarti kekurangan di dalam derajat kesahihannya. Karena sesahih-sahihnya hadis adalah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh dua orang Syeikh, yaitu Bukhari dan Muslim. Kemudian yang diriwayatkan oleh Bukhari saja. Lalu yang diriwayatkan oleh Muslim saja. Kemudian yang memenuhi syarat keduanya. Kemudian yang memenuhi syarat Bukhari saja. Dan kemudian yang memenuhi syarat Muslim saja. Keutamaan-keutaman ini tidak terdapat di dalam hadis di atas.

Hadis di atas terdapat di dalam Sunan Abu Dawud, Sunan Turmudzi dan Sunan ibnu Majah.

Para perawi hadis ini selurahnya tidak lolos dari kelemahan dan tuduhan dalam pandangan para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil. Orang yang meneliti biografi mereka dapat melihat hal ini dengan jelas. Pada kesempatan ini saya tidak bisa mendiskusikan seluruh para perawi hadis ini seorang demi seorang, dengan berbagai macam jalannya, dan dengan menukil pandangan para ulama ilmu al-Jarh wa at-ta'dil tentang mereka. Melainkan saya akan mencukupkan dengan hanya mendhaifkan seorang atau dua orang perawi dari musnad setiap riwayat. Itu sudah cukup digunakan untuk mendhaifkan riwayat tersebut, se-bagaimana yang disepakati oleh para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil. Karena, bisa saja perawi yang dhaif ini sendiri yang telah membuat riwayat ini.


Riwayat Turmudzi

Turmudzi telah meriwayatkan hadis ini dari Bughyah bin Walid. Dan, inilah pandangan para ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil tentang Bughyah bin Walid: Ibnu Jauzi berkata tentangnya di dalam sebuah perkataan, "Sungguh kami ingat bahwa Bughyah telah meriwayatkan dari orang-orang yang majhul dan orang-orang lemah. Mungkin saja dia tidak menyebutkan mereka dan tidak menyebutkan orang-orang yang meriwayatkan baginya."[6]

Ibnu Hiban berkata, "Tidak bisa berhujjah dengan Bughyah."[7] Ibnu Hiban juga berkata, "Bughyah seorang penipu. Dia meriwayatkan dari orang-orang yang lemah, dan para sahabatnya tidak meluruskan perkataannya dan membuang orang-orang yang lemah dari mereka."[8]

Abu Ishaq al-Jaujazani berkata, "Semoga Allah merahmati Bughyah, dia tidak peduli jika dia menemukan khurafat pada orang tempat dia mengambil hadis."[9]

Dan ucapan-ucapan lainnya dari para huffadz dan ulama ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil. Dan apa yang telah kita sebutkan itu sudah cukup.


Sanad Hadis Pada Abu Dawud

Walid bin Muslim meriwayatkan hadis dari Tsaur an-Nashibi. Sebagaimana kata Ibnu Hajar al-'Asqolani, "Kakeknya telah terbunuh pada hari Muawiyah terserang penyakit sampar. Adapun Tsaur, jika nama Ali disebut dihadapannya dia mengatakan, "Saya tidak menyukai laki-laki yang telah membunuh kakek saya."[10]

Adapun berkenaan dengan Walid, adz-Dzahabi berkata, "Abu Mushir mengatakan Abu Walid seorang penipu, dan mungkin dia telah menyembunyikan cacat para pendusta."[11]

Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata "Ayah saya ditanya tentangnya (tentang Walid), dia menjawab, 'Dia seorang yang suka mengangkat-angkat."[12]

Dan begitu juga perkataan-perkataan yang lainnya. Itu sudah cukup untuk mendhaifkan riwayatnya.


Sanad Hadis Pada Ibnu Majah.

Diriwayatkan melalui tiga jalan:

- Pada jalan hadis pertama terdapat Abdullah bin 'Ala. Adz-Dzahabi berkata tentangnya, "Ibnu Hazm berkata, 'Yahya dan yang lainnya telah mendaifkannya.'[13] Dia telah meriwayatkan hadis dari Yahya, dan Yahya adalah seorang yang majhul dalam pandangan Ibnu Qaththan."[14]

- Adapun pada jalan yang kedua terdapat Ismail bin Basyir bin Manshur. Dia itu seorang pengikut aliran Qadariyyah di dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib.[15]

Adapun pada jalan ketiga disisi ibnu majah adalah sebagai berikut: Hadis diriwayatkan dari Tsaur —seorang nashibi— Abdul Malik bin Shabbah. Di dalam kitab Mizan al-I'tidal disebutkan, "Dia dituduh mencuri hadis."[16]

Di samping itu, hadis tersebut sebagai hadis ahad. Seluruh riwayatnya kembali kepada seorang sahabat, Urbadh bin Sariyah. Hadis ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah, disamping Urbadh termasuk pengikut dan agen Muawiyah.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dan Tersingkaplah Kebohongan


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki (Ulama dan mufti Suriah)

Hadis yang menyatakan "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin sepeninggalku, dan peganglah erat-erat serta gigitlah dengan gigi gerahammu" dan hadis yang menyatakan "Sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunahku", keduanya bagi saya merupakan dalil terkuat yang saya gunakan ketika saya cenderung kepada pemikiran Wahabi. Saya hafal betul kedua hadis tersebut sering diulang-ulang oleh para ulama mereka di dalam buku-buku dan ceramah-ceramahnya, tidak terlintas di dalam benak saya untuk memeriksa referensi aslinya. Bagi saya kedua hadis itu sebagai sesuatu yang pasti dan tidak perlu diragukan lagi. Karena kedua hadis itu merupakan dasar utama bangunan pemikiran Ahlus Sunnah, lebih khusus lagi pemikiran Wahabi yang dibangun kokoh di atas dasar kedua hadis ini. Tidak terlintas sedikit pun di dalam benak saya untuk meragukan kesahihan kedua hadis tersebut. Hadis ini pula yang menjadi landasan titik tolak bergabungnya saya ke dalam mazhab Ahlus Sunnah. Oleh Karenanya, keraguan terhadap hadis tersebut merupakan keraguan akan keanggotan saya ke dalam mazhab Ahlus Sunnah.

Pemikiran ini bukanlah merupakan produk jaman sekarang atau produk pemikiran Ahlus Sunnah, melainkan telah dirancang sejak masa silam dengan tujuan untuk menyembunyikan kebenaran dan menghadapi jalan Ahlul Bait, memerankan Islam dengan bentuknya yang paling indah. Namun sangat disayangkan, kebanyakkan mazhab pemikiran berdiri di atas reruntuhan perancang yang jahat itu. Mereka menganut pemikiran-pemikirannya sedemikian rupa, sehingga seolah-olah sebagai sesuatu yang turun dari Allah. Mereka menyebarkan dan membelanya dengan segala cara. Wahabi merupakan contoh yang jelas dari korban perancang jahat tersebut, yang telah menjerumuskan umat Islam ke dalam jurang perpecahan.

Kita akan berusaha menyingkap sedikit tipu daya dan persekongkolannya pada tiap-tiap bab buku ini.

Yang perlu menjadi perhatian kita dari perancang di atas, di dalam masalah ini, ialah bahwa kedua hadis di atas adalah merupakan langkah pertama untuk menyelewengkan agama, merubah perjalanan risalah dan menjauhkan kaum Muslimin dari hadis Rasulullah saw, "Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang sangat berharga, yang jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku", yang merupakan hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah dan Syi'ah, namun tangan-tangan jahil telah berusaha menyembunyikannya dari pandangan manusia, dan sebagai gantinya mereka menyebarkan hadis "Kitab Allah dan sunahku" dan hadis "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin...." yang kelak akan tersingkap ke-dhaifan-nya.

Saya terkejut manakala mendengar pertama kali hadis "... Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku". Saya takut ... dan berharap hadis itu tidak sahih, karena dia akan meruntuhkan bangunan pemikiran agama saya, dan bahkan lebih jauh lagi akan merobohkan tiang penyangga Ahlus Sunnah. Namun, angin bertiup tidak sebagaimana yang diinginkan perahu .... dan yang terjadi justru sebaliknya manakala saya memeriksa kedua hadis di atas ke dalam referensi-referensi aslinya, saya menemukan bahwa hadis ".. Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku ..." termasuk hadis sahih yang tidak dapat seorang pun meragukannya. Berbeda dengan hadis "... Kitab Allah dan sunahku ..", yang tidak lebih hanya merupakan hadis ahad yang marfu' atau mursal. Melihat itu hati saya menjadi terpukul. Dari sinilah awal mula saya melakukan pembahasan. Setelah itu mulailah terkumpul beberapa petunjuk satu demi satu, sehingga pada akhirnya tersingkaplah kebenaran dengan sejelas-jelasnya. Di sini kita akan buktikan ke-dhaif-an hadis "Kamu harus berpegang kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin .." dan hadis ".. Kitab Allah dan sunahku ..", serta sekaligus kesahihan hadis ".. Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku ..", yang merupakan peluru pertama yang mengenai jantung pemikiran Ahlus Sunnah.


Hadis "Kamu Harus Berpegang Teguh Kepada Sunahku Dan Sunah Para Khulafa` Rasyidin" Merupakan Kebohongan Yang Nyata

"Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin sepeniggalku, dan peganglah erat-erat serta gigitlah dengan gigi gerahammu."

Orang yang melihat hadis ini untuk pertama kali dia akan mengira hadis ini merupakan hujjah yang kokoh dan petunjuk yang jelas akan kewajiban mengikuti mazhab para Khulafa` Rasyidin. Yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dan tidak mungkin membawanya ke arti lain, kecuali dengan melakukan takwil yang didasari ta'assub. Dari sini tampak sekali kehebatan tipuan dan kelihaian para pemalsu. Di dalamnya mereka menetapkan kebenaran mazhab Ahlus Sunnah —madrasah Khulafa` Rasyidin— dihadapan madzhab Syi'ah —madrasah Ahlul Bait. Dari sini kita dapat menjelaskan bahwa pertumbuhan madrasah-madrasah pemikiran Ahlus Sunnah adalah di dalam rangka menentang mazhab Ahlul Bait. Karena madrasah-madrasah tersebut berdiri di atas dasar hadis ini dan hadis-hadis lain yang sepertinya.

Namun, dengan menggunakan pandangan ilmiah dan dengan sedikit bersusah payah di dalam meneliti kenyataan sejarah dan hal-hal yang melingkupi hadis ini dan hadis-hadis lain yang sepertinya, atau dengan melihat ke dalam ilmu hadis dan ilmu al-Jarh wa at-Ta'dil, niscaya akan tampak dengan jelas kebohongan hadis ini.

Sungguh sangat bodoh jika seorang Ahlus Sunnah berhujjah kepada orang Syi'ah dengan hadis ini. Itu dikarenakan hadis ini hanya ada di kalangan Ahlus Sunnah, sehingga mereka tidak bisa memaksa orang Syi'ah dengan hadis yang tidak mereka riwayatkan di dalam kitab-kitab referensi mereka.

Namun, disebabkan saya seorang pembahas dari kalangan Ahlus Sunnah maka mau tidak mau saya harus bertitik tolak dari kitab-kitab referensi Ahlus Sunnah, sehingga dapat menjadi pegangan bagi saya; dan ini yang menjadi acuan saya di dalam melakukan pembahasan. Kita harus bersandar kepada acuan ini di dalam berdialog dan berargumentasi. Karena sebuah argumentasi tidak dapat dikatakan argumentasi kecuali jika mengikat pihak lawan, sehingga menjadi hujjah baginya. Dan ini yang tidak disadari oleh kebanyakkan ulama Ahlus Sunnah manakala mereka berhujjah kepada orang-orang Syi'ah. Misalnya, mereka berhujjah dengan menggunakan hadis ini, sementara orang Syi'ah berhujjah dengan menggunakan hadis ".. Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku .." Perbedaan di antara kedua hujjah ini sangat besar sekali. Karena hadis "sunahku" hanya ada di dalam kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah sementara hadis "'itrah Ahlul Baitku" dapat ditemukan di dalam kitab-kitab hadis kedua kelompok.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sejarah Hidupku


Oleh: Syeikh Muhammad Mar’i Al-Amin Al-Antaki

Hari-Hari Masa Kecilku

Minat keagamaan telah muncul sejak aku kecil, ada fitrah yang menarikku untuk berpegang teguh kepada agama. Dalam bayanganku ke masa depan, pikiranku tidak pernah keluar dari kerangka agama. Aku melihat diriku sebagai pahlawan dan mujahid Islam yang mampu mengembalikan kehormatan agama dan kemuliaan Islam. Pada saat itu aku belum lulus dari sekolah tingkat pertama. Maklum, pemikiranku waktu itu masih dangkal. Begitu pula pengetahuanku tentang sejarah kaum Muslimin dan peradabannya masih sangat terbatas. Aku belum mengetahui kecuali beberapa kisah tentang Rasulullah saw dan peperangan yang dilakukannya terhadap orang-orang kafir, dan kisah tentang kepahlawanan dan keberanian Imam Ali as. Aku mempelajari pemerintahan Mahdiyyah di Sudan, aku merasa kagum dengan kepribadian Usman Daqnah. Dia adalah salah seorang komandan pasukan Mahdi yang pemberani di daerah timur Sudan. Jihad yang telah membangkitkan minat saya manakala guru sejarah kami menggambarkan keberanian dan keagungan kepribadiannya kepada kami. Dia seorang mujahid di antara bukit dan lembah. Begitulah hatiku tertarik kepadanya. Saya bercita-cita ingin menjadi seperti dirinya. Mulailah saya berpikir dengan pikiran saya yang masih dangkal, bahwa untuk bisa mencapai tujuan ini maka jalan satu-satunya yang terbayang di dalam benak saya ketika itu ialah saya harus menjadi lulusan akademi militer, sehingga saya terlatih dalam strategi perang dan penggunaan senjata. Bertahun-tahun saya hidup di atas angan-angan ini, hingga akhirnya saya pindah ke sekolah tingkatan menengah. Pada tingkatan ini, pemahaman dan pengetahuan saya mulai berkembang. Mulailah saya mengenal para pemimpin kemerdekaan dunia Islam, seperti Abdur­rahman al-Kawakibi, as-Sanusi, Umar Mukhtar dan Jamaluddin al-Afghani, seorang pejuang dan pemikir cemerlang yang bertolak dari Afhghanistan, dan kemudian berpindah-pindah dari satu ibu kota negara Islam yang satu kepada ibu kota negara Islam yang lain, dan begitu juga ke negara-negara bukan Islam, untuk menyebarkan pemikiran yang hidup, yang berbicara tentang sisi-sisi keterbelakangan dunia Islam dan bagaimana cara menyembuhkannya.

Yang amat menarik perhatian saya ialah metode jihad yang dilakukannya.Dia melakukannya melalui hikmah, penyebaran pengetahuan dan pengembangan pemikiran di kalangan umat Islam, tidak melalui jalan memanggul senjata.

Saya pernah berkeyakinan bahwa setiap orang yang hendak berjuang dan membela kaum Muslimin, mau tidak mau dia harus menghunus pedang dan masuk ke dalam medan peperangan. Sementara cara yang ditempuh oleh Jamaluddin al-Afghani sama sekali berbeda dengan apa yang selama ini saya bayangkan. Metode kata dan pendidikan yang sadar adalah sesuatu yang baru dalam pemikiran agama saya. Saya tidak mampu dengan mudah melepaskan diri dari pemikiran dan cita-cita yang telah saya bangun selama ini di dalam benak saya, meskipun saya sadar bahwa krisis yang dialami umat ini ialah krisis pendi­dikan dan pemikiran. Karena pendidikanlah yang mampu menjadikan setiap individu mau mengemban tanggung jawabnya. Inilah Jamaluddin, dia mengelilingi dunia untuk menebarkan cahaya dan keberkahan, dan menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya, yang mendapat sambutan yang hangat dari kaum Muslimin. Karena, pemikiran-pemikiran yang dilontarkannya mampu menyelesaikan berbagai permasalahan mereka dan sekaligus sejalan dengan kenyataan mereka. Yang demikian ini amat mencemaskan kekuatan penjajah. Karena majalah al- 'Urwah al-Wutsqa[1] saja sudah merupakan tantangan yang berat bagi mereka, yang memaksa mereka untuk melarang penerbitannya.

Pertanyaan yang selalu menghantui benak saya ialah,

Bagaimana seorang individu mampu mengubah perimbangan ini, dan bagaimana seorang individu mampu membuat takut seluruh kekuatan besar?!

Untuk menjawab pertanyaan ini, di hadapan saya terbuka beberapa pintu pertanyaan. Sebagiannya sederhana dan sebagiannya lagi tidak ada jawabannya di Sudan. Ini menjadikan saya berusaha untuk dapat lepas dari kenyataan ini, dan sekaligus melepaskan berbagai belenggu yang selama ini mendorong saya untuk tunduk kepada kenyataan agama yang ada, supaya saya berjalan di dalam hidup ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh kakek-kakek saya. Akan tetapi, rasa tanggung jawab yang ada di dalam diri saya, dan begitu juga kecintaan saya ke­pada Jamaluddin al-Afghani membunyikan lonceng bahaya di dalam fitrah saya, sehingga menjadikan saya bertanya-tanya,

Bagaimana saya bisa menjadi seperti Jamaluddin al-Afghani? Apakah agama yang saya warisi ini mampu membawa saya kepada tingkatan itu? Kemudian saya berkata, "Kenapa tidak?!" Apakah Jamaluddin mempunyai agama yang berbeda dengan agama kita?! Dan Islam yang berbeda dengan Islam kita?!"

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya terombang-ambing selama bertahun-tahun, dan setiap kali saya sampai kepada sebuah jawaban, maka itu berarti perubahan pada pemahaman saya tentang agama secara umum. Maka saya pun melihat Jamaluddin sebagai idola dan panutan, setelah sebelumnya Usman Daqnah, sehingga dengan begitu tentunya berubah pula cara yang harus ditempuh. Setelah sebelumnya akademi militer sebagai jalan keluar satu-satunya dalam pandangan saya, maka sekarang cara damailah yang memperkenalkan saya kepada pemikiran Islam yang orisinil, yang dari sela-selanya akan muncul kebangkitan Islam.


Bagaimana Permulaannya

Pembahasan tentang cara-cara dan pemikiran yang benar dan bertanggung jawab adalah sesuatu bahasan yang sulit. Tahapan ini adalah tahapan yang sulit, meski pun pembahasan yang saya bahas bersifat spontan. Sepanjang kehidupan saya, saya sering bertanya, berdiskusi dan lain sebagainya, dan tidak ada waktu yang kosong dari pembahasan.

Setelah serangan keras yang dilancarkan oleh kaum Wahabi ter­hadap Sudan, dan pengintensifan diskusi dan dialog, serta semakin berkembangnya pergerakan agama, mulailah tersingkap banyak kebenaran,dan semakin jelas berbagai perselisihan dan pertentangan sejarah, keyakinan dan fikih. Kemudian mulailah upaya-upaya pengkafiran terhadap beberapa kelompok dan keluar mereka dari tali ikatan Islam, yang mendorong kepada terbentuknya mazhab-mazhab yang berbeda.

Meskipun pahit apa yang telah terjadi, namun minat saya untuk melakukan pembahasan malah semakin bertambah, dan saya merasakan realitas pertanyaan-pertanyaan spontan yang selama ini menggangu benak saya.

Besarnya perhatian saya kepada ajaran wahabi dikarenakan diskusi-diskusi dan seminar-seminar yang mereka laksanakan telah menarik perhatian saya. Hal terpenting yang saya pelajari dari mereka ialah keberanian menentang ajaran yang ada. Saya pernah meyakini bahwa ajaran adalah sesuatu yang sakral, yang tidak dapat diserang dan dikritik, meskipun saya banyak memberikan catatan terhadap kenyataan yang ada, yang didasari oleh pertimbangan nurani dan fitrah saya.

Saya terus berjalan bersama mereka, dan banyak sekali diskusi yang terjadi diantara saya dan mereka, yang pada kenyataannya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membingungkan benak saya. Saya memperoleh jawaban yang memuaskan bagi sebagian pertanyaan saya, sementara jawaban sebagian yang lain tidak dapat saya temukan pada mereka. Hal ini menjadi jaminan bagi saya untuk bersimpati dan membantu mereka, namun dengan tetap disertai beberapa catatan yang merintangi saya untuk berpegang secara penuh kepada ajaran wahabi. Yang pertama dan yang terpenting dari itu ialah saya tidak menemukan di sisi mereka apa yang dapat memenuhi cita-cita risalah saya. Kadang-kadang, rasa was-was menghinggapi diri saya dengan mengatakan, sesungguhnya apa yang engkau pikirkan dan yang engkau cari adalah sesuatu yang utopis yang tidak ada kenyata­annya, dan ajaran wahabi adalah ajaran yang paling dekat dengan Islam yang tidak ada tandingannya.

Saya berjalan mengikuti rasa was-was ini dan sekaligus membenarkannya, disebabkan ketidaktahuan saya terhadap pemikiran-pemikiran dan ajaran-ajaran yang lain. Namun, dengan cepat saya sadar bahwa apa yang dilakukan oleh Jamaluddin tidak mungkin merupakan pemikiran wahabi. Saya pernah berteriak lantang, "Sesungguhnya ajaran wahabi adalah jalan yang paling dekat kepada Islam — disebabkan mereka mengemukakan dalil-dalil dan nas-nas yang membenarkan mazhab mereka, yang tidak saya temukan pada kelompok-kelompok lain di Sudan namun kesulitan mereka ialah bahwa mazhab yang mereka bangun tidak ubahnya seperti rumus-rumus matematika. Yaitu berupa kaidah-kaidah yang kaku, yang tanpa memiliki refleksi peradaban yang jelas dalam kehidupan manusia, juga dalam meng-hadapi berbagai macam tataran kehidupan. Baik dalam tataran individu, tataran sosial, tataran ekonomi atau tataran politik, dan bahkan di dalam tata cara berhubungan dengan Allah SWT. Bahkan sebaliknya, ajaran ini menjadikan manusia menjadi liar dan terasing dari masyarakat, dan sekaligus memberikan surat jaminan untuk mengkafirkan kelompok masyarakat yang tidak sepaham dengan mereka. Setiap orang dari mereka tidak bisa hidup bersama dengan masyarakat. Dia selalu membedakan diri dari masyarakat dengan pakaian dan tingkah lakunya. Seluruh sisi kehidupannya tidak sejalan kecuali dengan teman-temannya. Saya merasakan kesombongan dan keangkuhan dari mereka. Mereka memandang manusia mempunyai kedudukan yang tinggi, namun dalam kehidupannya mereka tidak mau bekerja sama dan membaur dengan masyarakat.

Bagaimana mungkin mereka dapat bekerja sama dengan masya­rakat?! Sementara seluruh yang dilakukan masyarakat adalah bid'ah dan sesat dalam pandangan mereka.

Saya masih ingat benar manakala bantuan wahabi masuk ke desa kami, dalam jangka waktu yang tidak berapa lama, dengan tanpa didasari pengkajian dan kesadaran, sekelompok besar dari para pemuda ikut bergabung ke dalam barisan wahabi, namun tidak berapa lama kemudian mereka semua keluar dari barisan tersebut. Menurut perkiraan saya ini disebabkan karena mazhab baru ini melarang mereka berbaur dengan masyarakat, dan mengharamkan banyak sekali ke-biasaan yang sudah mendarah daging pada diri mereka, yang sebenarnya kebiasaan itu tidak bertentangan dengan agama.

Ada baiknya saya sebutkan, bahwa salah satu di antara yang menyebabkan para pemuda yang bergabung dengan mazhab wahabi menderita ialah bahwa ada kebiasaan di desa kami, dimana para pemudanya biasa duduk-duduk di atas hamparan pasir yang bersih di saat malam-malam bulan purnama, di mana mereka menghabiskan malamnya dengan mengobrol. Saat itulah merupakan satu-satunya kesempatan bertemu bagi para pemuda desa setelah bekerja sepanjang had di ladang dan tempat-tempat kerja lainnya. Kini pemimpin mereka melarang perbuatan itu dan mengharamkannya, dengan alasan bahwa Rasulullah saw telah mengharamkan perbuatan duduk-duduk di atas jalan. Padahal tempat-tempat tersebut tidak terhitung jalan. Kedua, dan ini merupakan masalah seluruh orang wahabi, yaitu bahwa setiap orang dari mereka dalam waktu yang singkat dan dengan ilmu yang sedikit telah menjadi seorang mujtahid yang berhak memberikan fatwa dalam masalah apapun. Saya masih ingat, pada satu hari saya duduk berdiskusi dengan salah seorang dari mereka mengenai banyak hal. Di tengah-tengah diskusi dia bangkit berdiri setelah mendengar azan Magrib di mesjid mereka. Saya katakan kepadanya, "Sabar, kita selesaikan dulu diskusi kita." Dia menjawab, "Tidak ada lagi diskusi. Telah datang waktu salat, mari kita salat di mesjid." Saya berkata kepadanya, "Saya salat di rumah", meskipun biasanya saya selalu salat bersama mereka. Dia berteriak lantang, "Batal salat Anda." Saya merasa heran dengan kata-kata ini dan sebelum saya sempat meminta penjelasan darinya dia telah berbalik dan pergi. Saya berkata kepadanya, "Sebentar, apa yang menyebabkan salat saya di rumah batal?"

Dia menjawab dengan penuh kesombongan, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Tidak ada salat bagi tetangga mesjid kecuali di mesjid.'" Saya berkata kepadanya, "Tidak ada perselisihan di dalam keutamaan salat berjamaah di mesjid, namun ini bukan berarti hilangnya kesahan salat di selain tempat ini. Hadis di atas sedang menekankan keutamaan di mesjid, bukan sedang menjelaskan hukum salat di rumah. Adapun dalilnya ialah kita belum pernah melihat di dalam fikih disebutkan bahwa salah satu yang membatalkan salat ialah salat di rumah, dan tidak ada seorang pun dari fukaha yang memberikan fatwa demikian. Adapun yang kedua, dengan hak apa Anda mengeluarkan hukum ini?! Apakah Anda seorang fakih?! Karena sulit sekali bagi seorang manusia untuk bisa memberikan fatwa dan menjelaskan hukum tentang permasalahan tertentu. Seorang fakih harus mempelajari seluruh nas yang berkaitan dengan masalah tersebut. Dia harus mengetahui petunjuk perintah (dilalah al-amr) dan petunjuk larangan (dilalah an-nahy) di dalam nas. Apakah perintah menunjukkan kepada hukum wajib atau hukum mustahab, apakah larangan menunjukkan kepada hukum haram atau hukum makruh. Sungguh, agama ini amat dalam, maka selamilah dengan kehati-hatian."

Tampak kegusaran pada wajahnya. Dia cemberut dan berkata, "Anda telah mentakwil hadis, dan takwil itu haram." Lalu dia pun pergi.

Saya serahkan urusaan saya kepada Allah SWT dari manusia dungu seperti ini, yang tidak memahami apa pun.

Pikiran inilah yang menjadi penyebab kedua yang menghalangi saya menjadi seorang wahabi, meski pun saya banyak terpengaruh dengan pikiran-pikiran mereka dan membelanya.

Dalam keadaan ini untuk beberapa waktu, saya bingung dan tidak mempunyai arah. Terkadang saya mendekati mereka dan terkadang pula saya menjauhi mereka. Saya melihat bahwa jalan satu-satunya yang ada di hadapan saya —sebagai ganti dari sekolah di akademi militer— ialah saya harus belajar di fakultas atau universitas Islam, sehingga saya dapat melanjutkan pengkajiaan saya dengan lebih teliti. Setelah menyelesaikan ujian masuk universitas, di mana di sana terdapat enam universitas atau institut yang diminati oleh para mahasiswa, saya memilih fakultas Islam. Kini, saya telah selesai diterima di salah satu fakultas Keislaman (yaitu fakultas studi Islam dan bahasa Arab di universitas Wadi an-Nil di Sudan). Saya sangat senang dengan penerimaan ini. Setelah menunaikan latihan kemiliteran (bela negara) —yang tidak mungkin seseorang dapat memasuki perguruan tinggi kecuali setelah menunaikan latihan militer ini— mulailah para utusan dari seluruh penjuru Sudan datang ke Universitas, dan saya termasuk yang pertama dari mereka. Pada saat interview, direktur fakultas bertanya kepada saya, tokoh mana yang Anda kagumi? Saya katakan kepadanya, "Jamaluddin", dan saya jelaskan kepadanya alasan saya mengaguminya. Direktur fakultas merasa puas dengan jawaban saya. Setelah banyak mendapat pertanyaan, akhirnya secara resmi saya pun diterima di fakultas. Di fakultas, saya sering mengunjungi perpustakaan, terdapat banyak buku-buku dan ensiklopedia yang tebal-tebal. Akan tetapi, kesulitan yang saya hadapi ialah dari mana saya harus mulai? Dan apa yang harus saya baca?

Saya tetap dalam keadaan ini, berpindah dari suatu buku ke buku yang lain, tanpa mempunyai program yang jelas. Salah seorang dari kerabat saya telah membukakan pintu yang luas dan penting di dalam pembahasan dan penyelidikan, yaitu mempelajari sejarah dan mengkaji mazhab-mazhab Islam, untuk bisa mengetahui kebenaran di antara mereka. Sungguh ini merupakan pertolongan Allah SWT yang tidak saya duga, saya bisa bertemu dengan kerabat saya Abdul Mun'im —dia lulusan fakultas hukum— di rumah paman saya di kota Athbarah. Saat itu dia sedang berbincang-bincang di halaman rumah dengan seorang anggota Ikhwanul Muslimin yang merupakan tamu di rumah paman saya. Saya menajamkan pendengaran saya untuk bisa melndengar apa yang sedang mereka perbincangkan.... Dengan segera saya menuju kepada mereka manakala saya tahu topik yang menjadi perbincangan mereka adalah masalah-masalah agama. Saya duduk di dekat mereka, dan memperhatikan perkembangan perbincangan. Tampak sekali Abdul Mun'im begitu tenang di dalam perbincangan tersebut, meski pun begitu gencar provokasi dan serangan dari pihak lawan. Saya tidak mengetahui secara menyeluruh watak diskusi yang sedang berlangsung, hingga akhirnya anggota Ikwanul Muslimin itu berkata, "Sy'iah itu kafir dan zindiq!!"

Di sini saya mulai mengerti, dan timbul pertanyaan di benak saya....

Siapakah Syi'ah itu? Kenapa mereka kafir?

Apakah Abdul Mun'im orang Syi'ah?

Apa yang dikatakannya sesuatu yang asing. Apakah itu perkataan Syi'ah?!

Harus diakui bahwa Abdul Mun'im telah dapat mengalahkan lawannya pada setiap masalah yang dikemukaan di dalam diskusi, di samping tampak sekali kemampuan logika dan kekuatan argumentasinya.

Setelah selesai diskusi dan mengerjakan salat magrib, saya mendekati Abdul Mun'im. Saya bertanya kepadanya dengan penuh hormat, "Apakah Anda seorang Syi'ah? Siapakah orang Syi'ah itu? Dan, dari mana Anda mengenal mereka?"

Abdul Mun'im berkata, "Pelan-pelan, satu pertanyaan demi satu pertanyaan”.

Saya berkata kepadanya, "Maaf, saya masih bingung dengan apa yang saya dengar dari Anda."

Abdul Mun'im menjawab, "Ini sebuah pembahasan yang panjang, yang merupakan hasil kerja keras selama empat tahun, dan itu pun masih belum sampai kepada kesimpulan yang diinginkan."

Saya potong pembicaraannya, "Kesimpulan apakah itu?"

Abdul Mun'im menjawab, "Kita hidup di atas timbunan kebodohan dan pembodohan sepanjang hidup kita. Kita berjalan di bela kang masyarakat kita dengan tanpa bertanya, apakah agama yang ada di sisi kita ini adalah yang dikehendaki oleh Allah SWT, yaitu Islam? Setelah melakukan pengkajian, menjadi jelas bagi saya bahwa kebenaran sejauh dalam pandangan saya, yaitu Syi'ah.

Saya berkata kepadanya, "Mungkin Anda tergesa-gesa, atau Anda salah... !"

Mendengar itu dia tersenyum sambil berkata, "Kenapa Anda sendiri tidak mengkajinya dengan teliti dan penuh kesabaran? Apalagi Anda mempunyai perpustakaan di universitas, yang akan memberikan manfaat yang banyak sekali kepada Anda."

Saya berkata dengan penuh keheranan, "Perpustakaan kami perpustakaan Ahlus Sunnah, bagaimana mungkin saya dapat mengkaji Syi'ah?"

Abdul Mun'im menjawab, "Salah satu bukti dari kebenaran Syi'ah ialah mereka berargumentasi atas kebenaran mereka dengan menggunakan kitab-kitab dan riwayat-riwayat ulama Ahlus Sunnah. Karena di dalamnya banyak sekali hal-hal yang menjelaskan kebenaran mereka dengan jelas sekali."

Saya menimpali, "Kalau begitu, sumber-sumber rujukan Syi'ah adalah sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah itu sendiri?"

Abdul Mu'im menjawab, "Tidak, Syi'ah mempunyai sumber-sumber rujukan tersendiri, yang jumlahnya berkali-kali lipat dibandingkan sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dan semuanya diriwayatkan dari Ahlul Bait as dan dari Rasulullah saw. Namun demi-kian, mereka berargumentasi kepada Ahlus Sunnah dengan menggunakan riwayat-riwayat yang ada di dalam sumber-sumber rujukan Ahlus Sunnah, dikarenakan Ahlus Sunnah tidak percaya kepada apa yang ada pada sisi mereka, maka mau tidak mau mereka harus berhujjah dengan apa-apa yang diyakini oleh kalangan Ahlus Sunnah."

Pembicaraannya menyenangkan saya dan membuat saya tambah berminat untuk melakukan pembahasan. Saya tanya kepadanya, "Kalau begitu, bagaimana saya harus memulai?"

Abdul Mu'in menjawab, "Apakah di perpustakaan Anda terdapat kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad, Turmudzi dan Nasa'i?"

Saya menjawab, "Tentu saja, di perpustakaan kami terdapat sekumpulan besar kitab-kitab hadis rujukan."

Abdul Mu'im berkata, "Mulailah dari sini. Kemudian, bacalah kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab sejarah, karena di dalam kitab-kitab ini terdapat hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya mengikuti ajaran Ahlul Bait as."

Mulailah dia menyebut beberapa contoh darinya, dengan tidak lupa menyebutkan sumbernya, sekaligus dengan nomer jilid dan nomer halamannya. Saya terheran-heran. Dengan penuh perhatian saya mendengarkan hadis-hadis yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Saya ragu apakah hadis-hadis ini benar-benar ada di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah. Namun dengan segera Abdul Mun'im memotong keraguan saya itu dengan mengatakan, "Catat hadis-hadis ini oleh Anda, dan kemudian carilah di perpustakaan. Nanti kita ketemu lagi pada hari Kamis yang akan datang —Insya Allah.''


Pada Hari Jumaat

Setelah saya merujuk hadis-hadis tersebut ke dalam Sahih Bukhari, Muslim dan Turmudzi di perpustakaan universitas kami, saya menjadi yakin akan kebenaran apa yang dikatakannya. Saya kaget dengan serangkaian hadis-hadis lain yang lebih menunjukkan kepada wajibnya mengikuti Ahlul Bait, yang membuat saya menjadi shok. Kenapa kita belum pernah mendengar hadis-hadis ini sebelumnya?!

Maka saya pun menunjukkan serangkaian hadis ini kepada sebagian teman-teman saya, supaya mereka pun ikut serta berpartisipasi di dalam kesulitan ini. Sebagian dari mereka memberikan perhatian, sementara sebagiannya lagi tidak begitu peduli. Namun saya telah bertekad untuk melanjutkan pengkajian, meski pun untuk itu saya harus menghabiskan seluruh umur saya. Ketika tiba hari Kamis, saya pergi ke Abdul Mun'im. Dia menyambut kedatangan saya dengan penuh senang hati. Dia berkata, "Anda tidak boleh tergesa-gesa, Anda harus melanjutkan pengkajian Anda dengan penuh kesadaran."

Kemudian kami mulai membahas permasalahan-permasalahan lain yang beraneka macam, dan itu terus berlangsung hingga Jumat sore. Saya banyak mendapatkan manfaat dari pembahasan-pembahasan itu, dan banyak mengetahui sesuatu yang sebelumnya saya tidak ketahui. Sebelum saya kembali ke kampus dia meminta saya untuk membahas beberapa masalah. Demikianlah hal itu berlangsung hingga beberapa waktu. Diskusi yang berlangsung di antara saya dengan dia selalu berubah dari waktu ke waktu. Terkadang saya berbicara keras kepadanya, dan terkadang saya membantah beberapa permasalahan yang sudah amat jelas. Sebagai contoh, ketika saya merujuk beberapa hadis di dalam kitab-kitab rujukan, dan saya meyakini keberadaannya, saya katakan kepadanya, "Hadis-hadis ini tidak ada." Sampai sekarang saya tidak tahu apa yang mendorong saya melakukan itu, selain dari pe-rasaan merasa terdesak dan menginginkan kemenangan.

Dengan cara ini, dan dengan semakin bertambahnya pembahasan, tersingkaplah kebenaran di hadapan saya yang tidak saya perkirakan sebelumnya. Sepanjang periode ini saya banyak melakukan diskusi dengan teman-teman. Ketika meraka tidak mampu lagi menghadapi saya, mereka meminta saya untuk berdiskusi dengan doktor yang mengajarkan mata kuliah ilmu fikih kepada kami. Saya katakan, "Tidak ada halangan bagi saya, namun terdapat penghalang di antara saya dengan dia yang menghalangi saya dapat berbicara bebas dengannya." Mereka tidak merasa puas dengan jawaban saya. Mereka mengatakan, "Di antara kami dan Anda ada dosen, jika argumentasi Anda dapat memuaskannnya maka kami akan bersama Anda..!"

Saya katakan, "Yang menjadi masalah bukanlah memuaskan atau tidak memuaskan, yang menjadi masalah ialah dalil dan argumentasi, dan pencarian akan kebenaran...."

Pada permulaan mata kuliah fikih mulailah saya berdiskusi dengan dosen saya dalam bentuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Nampak dia tidak banyak menentang saya, bahkan sebaliknya dia menekankan kecintaan kepada Ahlul Bait as dan keharusan mengikuti mereka, serta menyebut keutamaan-keutamaan mereka. Selang be­berapa hari dia meminta saya untuk menemuinya di kantornya, di kantor pusat universitas. Setelah saya pergi menemuinya, dia menyodorkan kepada saya sebuah kitab yang terdiri dari beberapa juz, yaitu kitab Sahih al-Kafi, yang termasuk kitab rujukan hadis yang paling dipercaya di kalangan Syi'ah. Dia meminta kepada saya untuk tidak semberono terhadap kitab ini, karena kitab ini merupakan warisan dari Ahlul Bait. Saya tidak dapat berbicara sepatah kata pun karena saking gugupnya, lalu saya ambil kitab itu dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Saya pernah mendengar kitab ini namun saya belum pernah melihatnya. Hal ini menjadikan saya ragu apakah doktor ini seorang Syi'ah, meski pun saya tahu dia itu seorang Maliki. Setelah bertanya ke sana ke mari, menjadi jelas bagi saya bahwa dia itu se­orang sufi yang mencintai Ahlul Bait as.

Ketika teman-teman saya melihat kesesuaian di antara saya dengan dosen tersebut, mereka meminta kepada saya untuk berdiskusi dengan dosen lain, yang mengajarkan mata kuliah hadis. Dosen mata kuliah hadis tersebut adalah seorang laki-laki yang taat beragama, sangat tawadu dan baik akhlaknya. Saya amat mencintainya. Maka saya pun memenuhi permintaan mereka. Mulailah terjadi diskusi di antara kami dalam banyak masalah. Saya menanyakan kepadanya tentang kesahihan beberapa hadis, dan dia pun menguatkan kesahihan hadis-hadis tersebut. Setelah berjalan beberapa waktu, saya merasakan ketidaksukaan dia dengan diskusi-diskusi saya, dan begitu juga teman-teman saya merasakan hal yang sama. Maka saya pun berpikir bahwa cara yang paling baik untuk melanjutkan diskusi ialah melalui tulisan. Lalu saya tulis sekumpulan hadis dan riwayat yang menunjukkan secara jelas akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait as, dan saya minta kepadanya untuk membahas kesahihan hadis-hadis ini. Setiap hari saya meminta jawaban darinya, namun dia membela diri dengan mengatakan tidak ada pembahasan. Saya terus mengikutinya dengan cara ini, hingga dia merasakan rasa kegelisahan saya.

Dia mengatakan kepada saya, "Semuanya sahih."

Saya katakan, "Semuanya jelas menunjukkan wajibnya mengikuti Ahlul Bait."

Dia tidak menjawab, melainkan bergegas pergi ke kantor. Tindakannya ini merupakan goncangan bagi saya, dan menjadikan saya merasakan kebenaran akan perkataaan Syi'ah. Namun saya ingin perlahan-lahan dan tidak ingin tergesa-gesa di dalam memutuskan.

Kebetulan, dekan fakultas kami adalah Profesor 'Alwan. Dia mengajar mata kuliah tafsir bagi kami. Pada suatu hari dia berbicara tentang tafsir firman Allah SWT yang berbunyi, "Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi",

"Sesungguhnya Rasulullah saw tatkala berada di Ghadir khum dia menyeru manusia, maka mereka pun berkumpul. Lalu Rasulullah saw mengangkat tangan Ali as seraya berkata, 'Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali sebagai pemimpinnya.' Berita itu pun tersebar ke seluruh pelosok negeri, dan sampai kepada Harits bin Nukman al-Fihri. Lalu dia mendatangi Rasulullah saw dengan menunggang untanya. Kemudian dia menghentikan untanya dan turun darinya. Harits bin Nukman al-Fihri berkata,

'Hai Muhammad, kamu telah menyuruh kami tentang Allah, supaya kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa kamu adalah utusan-Nya, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk menunaikan salat lima waktu, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk menunaikan zakat, dan kami pun menerimanya. Kamu peritahkan kami untuk berpuasa di bulan Ramadhan, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk melaksakan ibadah haji, dan kami pun menerimanya. Kemudian kamu tidak merasa puas dengan semua ini sehingga kamu mengangkat tangan sepupumu dan mengutamakannya atas kami semua dengan mengatakan, 'Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya. 'Apakah ini dari kamu atau dari Allah?'

Rasulullah saw menjawab, 'Demi Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnya ini berasal dari Allah SWT.' Mendengar itu Hants bin Nukman al-Fihri berpaling dari Rasulullah saw dan bermaksud menuju ke kendaraannya sambil berkata, 'Ya Allah, seandainya apa yang dikatakan Muhammad itu benar maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.' Maka sebelum Harits bin Nukman al-Fihri sampai ke kendara­annya tiba-tiba Allah menurunkan sebuah batu dari langit yang tepat mengenai ubun-ubunnya dan ke mudian tembus keluar dari duburnya, dan dia pun mati. Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya,

'Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Untuk orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.' "[2]

Setelah selesai pelajaran salah seorang teman saya menemuinya dan berkata kepadanya, "Apa yang telah Anda katakan adalah perkataan Syi'ah." Bapak dekan tertegun sejenak, kemudian memandang ke arah pemerotes seraya berkata, "Panggil Mu'tashim ke ruang kantor...!"

Saya merasa heran dengan permintaan ini, dan merasa takut bertemu bapak dekan. Namun saya cepat-cepat menguasai diri saya dan pergi menemuinya. Sebelum sempat saya duduk, bapak dekan berkata kepada saya, "Anda orang Syi'ah!"

Saya menjawab, "Saya semata-mata hanya seorang yang sedang mengkaji."

Bapak dekan berkata, "Pengkajian itu sesuatu yang bagus, dan sesuatu yang harus."

Bapak dekan mulai menyebutkan beberapa kecurigaan tentang Syi'ah yang banyak disebut orang. Namun dengan pertolongan Allah SWT saya bisa menjawab semua itu dengan sekuat-kuatnya dalil dan argumentasi, dan dapat lancar berbicara melebihi dari yang saya duga. Sebelum menutup pembicaraan kami, dia berpesan kepada saya akan kitab al-Muraja 'at. Dia mengatakan, "Kitab al-Muraja 'at termasuk kitab yang bagus dalam hal ini."

Setelah saya membaca kitab al-Muraja 'at, Ma'alim al-Madrasatain dan beberapa kitab yang lain, maka kebenaran pun menjadi jelas bagi saya dan tersingkaplah kebatilan dari hadapan saya, disebabkan dalil-dalil yang jelas, dan argumentasi-argumentasi yang terang, yang menunjukkan kebenaran mazhab Ahlul Bait as, yang terkandung di dalam kedua kitab ini. Dengan begitu, kekuatan saya di dalam berdiskusi dan mengkaji pun menjadi semakin bertambah, sehingga Allah SWT membukakan cahaya kebenaran di dalam hati saya, dan saya pun mengumumkan Kesyi'ahan saya.

Selanjutnya mulailah periode baru dari pergumulan. Orang orang yang tidak mampu berdiskusi, mereka tidak menemukan jalan lain selain dari jalan olok-olok, caci maki, ancaman, fitnah dan jalan-jalan kebodohan lainnya. Saya serahkan seluruh urusan saya kepada Allah SWT, dan saya sabar dengan apa yang terjadi, meskipun serangan-serangan yang dialamatkan kepada saya itu berasal dari teman-teman saya, yang telah mengharamkan makan dan tidur dengan saya dalam satu atap.

Mereka mengasingkan saya secara penuh, kecuali sebagian teman yang lebih paham dan lebih terbuka. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya saya bisa menormalkan kembali hubungan saya dengan semuanya, dan dalam bentuk yang lebih baik dari yang semula. Bahkan saya menjadi orang yang dihormati dan dihargai di tengah-tengah mereka. Sebagian mereka meminta pertimbangan saya di dalam setiap masalah yang kecil maupun yang besar, dari masalah-masalah kehidupannya. Namun ini semua tidak berlangsung lama. Api fitnah pun kembali menyala, setelah tiga orang mahasiswa lainnya mengumum­kan Kesyi'ahan mereka, di samping sekelompok besar mahasiswa yang menampakkan simpati dan dukungan mereka kepada Syi'ah. Serangkaian konflik dan guncangan pun mengelilingi kami, dan kami menghadapi semua itu dengan berpegang teguh kepada akhlak dan hikmah, sehingga kami mampu menghilangkan kemarahan dengan sesegera mungkin.


DI DESA KAMI

Desa kami (Nadi) adalah salah satu desa kecil yang berada di kawasan timur Sudan di tepian sungai Nil. Mayoritas penduduknya berasal dari kabilah Ribathab. Kabilah ini terkenal dengan kecerdasan dan ketajaman berpikiraya. Mata pencahariannya berkebun pohon kurma dan pertanian musiman.

Di desa ini, orang-orang wahabi mengeksploitasi penduduknya yang tulus dengan menyebarkan pikiran-pikiran wahabi. Mereka menanamkan pengaruhnya kepada pikiran dan pemahaman para penduduk desa dengan cara yang tidak langsung, yaitu dengan cara banyak menyelenggarakan berbagai ceramah dan pertemuan. Pada awalnya saya menahan diri, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca dan berdakwah kepada mazhab Ahlul Bait di kalangan keluarga dan saudara. Di antara saya dan kakak saya paling besar berlangsung perdebatan dan pertengkaran yang cukup sengit, hingga sampai kakak saya menolak untuk membaca buku-buku Syi'ah dan mengancam untuk membakarnya. Setelah melalui berbagai macam perdebatan, akhirnya saya mampu mempengaruhinya, dan dia pun mulai membaca beberapa buku, seperti Ahlul Bait al-Qiyadah Rabbaniyyah, al-Muraja'at, Ma'alim al-Madrasatain dan buku-buku lainnya. Hingga akhirnya Allah SWT menunjukkannya kepada cahaya Ahlul Bait as, dan kemudian dia pun mengumumkan Kesyi'ahannya. Adapun keluarga saya yang lain, umumnya mereka menunjukkan simpati dan dukungannya.

Dengan begitu maka tersebarlah misi saya di desa. Saya mulai menjelaskan Mazhab Ahlul Bait kepada para penduduk desa. Maka bangkitlah kemarahan para penganjur ajaran Wahabi, sehingga setiap ceramah yang mereka sampaikan selalu berisi kecaman dan fitnahan terhadap Syi'ah. Bahkan, terkadang mereka menyerang pribadi saya, namun saya menghadapi semua itu dengan sabar dan lapang dada. Dialog dengan Seorang Pemimpin Wahabi

Telah berlangsung dialog di antara saya dengan pemimpin mereka, yang bernama Ahmad Amin. Saya meminta kepadanya untuk menggunakan nalar dan meninggalkan kesemberonoan dan penyerangan yang tidak layak. Setelah merasa tidak tahan lagi, dan semakin bertambah kekeraskepalaan dan keta'asuban mereka, maka saya pun pergi ke mesjid mereka dan menunaikan salat Zuhur di belakang mereka. Setelah selesai salat Zuhur saya bertanya kepadanya, "Apakah saya pernah memprotes Anda selama ini dikarenakan Anda mengecam dan mengkafirkan Syi'ah melalui pengeras suara?!"

Dia menjawab, "Tidak."

Saya bertanya lagi, "Apakah Anda tahu sebabnya?"

Dia menjawab, "Tidak tahu."

Saya berkata, "Sesungguhnya perkataan Anda adalah penyerangan dan kebodohan, dan sekaligus penentangan terhadap pribadi saya. Saya takut memprotes Anda karena saya khawatir itu akan menjadi pembelaan bagi diri saya dan bukan pembelaan bagi kebenaran. Sekarang, saya minta kepada Anda untuk melakukan dialog ilmiah dan sistematis di hadapan semua yang hadir, sehingga tersingkap kebenaran."

Dia berkata, "Tidak ada halangan bagi saya."

Saya menjawab, "Jika begitu silahkan tentukan tema-tema yang akan didialogkan."

Dia berkata, "Penyimpangan Al-Qur'an dan keadilan sahabat."

Saya jawab, "Baik, namun ada dua perkara penting lainnya yang juga harus didialogkan, yaitu tentang sifat Allah dan tentang kenabian yang ada di dalam keyakinan riwayat Anda."

Dia menjawab, "Tidak!”

Saya tanya, "Kenapa?"

Dia berkata, "Saya yang menentukan tema-tema dialog. Jika saya meminta dialog kepada Anda, maka baru Anda yang berhak menentukan tema-tema dialog."

Saya jawab, "Tidak masalah, kapan kita lakukan?"

Dia berkata, "Hari ini, setelah salat Magrib." Dia mengira saya akan takut dengan waktu yang dekat ini. Maka saya pun menunjukkan persetujuan saya dengan senang, dan kemudian meninggalkan mesjid.

Setelah menunaikan salat magrib dialog pun dimulai. Mulailah pemimpin mereka, Ahmad Amin —sebagaimana biasanya— menyerang dan mengecam Syi'ah dengan tuduhan bahwa Syi'ah meyakini adanya penyimpangan terhadap Al-Qur'an (tahrif Al-Qur'an), sambil memegang kitab al-Khuthuth al-'Aridhah (Garis-Garis Peringatan) karya Muhibbuddin di tangannya. Setelah dia selesai bicara, mulailah saya bicara. Saya bangkit menjawab semua tuduhan yang dilontarkannya itu secara rinci. Saya katakan, Syi'ah sama sekali berlepas diri dari keyakinan tahrif Al-Qur'an. Setelah itu saya katakan kepadanya, "Sebagaimana perkataan Nabi Isa as, 'Engkau melihat jerami yang ada di pelupuk mata orang namun engkau tidak melihat batang pohon yang ada di pelupuk matamu', sesungguhnya riwayat-riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis Ahlul-Sunnah dengan jelas mengatakan adanya tahrif Al-Qur'an. Sehingga penisbahan keyakinan adanya tahrif Al-Qur'an kepada Ahlul-Sunnah jauh lebih dekat dari penisbah-annya kepada Syi'ah." Kemudian saya menyebutkan kurang lebih dua puluh riwayat, dengan disertai sumber dan nomer halamannya dari kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Musnad Ahmad dan kitab al-Itgan fi 'Ulum al-Qur'an, karya as-Suyuthi. Sebagai contoh,

Imam Ahmad bin Hanbal mengeluarkan di dalam Musnadnya, dari Ubay bin Ka'ab yang berkata, "Berapa ayat Anda membaca surat al-Ahzab?" Dijawab, "Sekitar tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan ayat." Ubay bin Ka'ab berkata, "Sungguh, saya telah membacanya bersama Rasulullah saw panjangnya seperti surat al-Baqarah, dan di dalamnya terdapat ayat rajam."[3]

Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, dengan bersanad dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa Umar bin Khattab telah berkata, "Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw dengan kebenaran dan telah menurunkan Al-Qur'an kepadanya. Di antara ayat-ayat yang diturankan oleh Allah itu ialah ayat rajam, yang kami telah membacanya, menghapalnya dan memahaminya. Oleh karena itu, Rasulullah saw melaksanakan hukum rajam, dan begitu juga kami sepeninggalnya. Sungguh aku khawatir jika jaman berlangsung lama atas manusia akan ada orang yang mengatakan, 'Demi Allah, kami tidak menemukan ayat rajam di dalam Kitab Allah', maka mereka pun menjadi sesat karena meninggalkan kewajiban yang telah diturunkan Allah..." Hingga Umar bin khattab mengatakan, "Begitu juga kami pernah membaca sebuah ayat di dalam Kitab Allah yang berbunyi,

'Janganlah kamu membenci bapak-bapakmu, karena yang demikian itu adalah kekufuran bagimu, dan sesungguhnya kekufuran bagimu ialah kamu membenci bapak-bapakmu."[4]

Muslim meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, "Perawi berkata, 'Abu Musa al-Asy'ari diutus menemui para pembaca Al-Qur'an dari penduduk Basrah, maka dia pun menemui tiga ratus orang yang baru selesai membaca Al-Qur'an. Abu Musa al Asy'ari berkata kepada mereka, 'Anda adalah sebaik-baiknya penduduk Basrah dan para pem-baca Al-Qur'an (qori) mereka, maka bacalah, dan janganlah Anda semua menunda-nunda sehingga hati Anda menjadi keras sebagaimana orang-orang sebelum Anda. Sungguh kami pernah membaca sebuah surat yang dari segi panjang dan kekerasannya serupa dengan surat al-Bara'ah, namun saya telah lupa dan hanya satu ayat saja yang masih saya hapal, yaitu 'Sekiranya seorang anak Adam mempunyai dua lembah harta nicaya dia akan mencari lembah yang ketiga, dan tidak ada yang memenuhi perut anak Adam kecuali tanah.' Begitu pula kami pernah membaca sebuah surat yang hampir sama dengan salah satu surat yang diawali dengan tasbih, namun kami telah lupa kecuali satu ayat darinya,

'Wahai orang-orang yang beriman, kenapa Anda mengatakan apa yang Anda tidak lakukan. Maka akan ditulis kesaksian pada leher-leher Anda, dan kelak Anda akan ditanya tentangnya pada hari kiamat. '"[5]

Pada saat saya menyebutkan riwayat-riwayat ini, saya lihat kedua mata Syeikh terbelalak, mulutnya ternganga, dan tampak sekali keheranan di wajahnya. Ketika saya berhenti bicara, dengan segera Syeikh berkata, "Saya belum pernah mendengar dan melihat riwayat-riwayat ini. Saya minta Anda menghadirkan kitab-kitab rujukan ini ke hadapan saya."

Saya jawab, "Baru saja Anda menyerang Syi'ah dan menuduhnya meyakini tahrif Al-Qur'an, kenapa Anda tidak menghadirkan kitab-kitab mereka yang belum pernah Anda lihat selama hidup Anda. Anda harus menghadirkan kitab-kitab rujukan Anda. Ini perpustakaan Anda, di dalamnya terdapat sahih Bukhari, sahih Muslim dan kitab-kitab hadis lainnya. Coba ambilkan kitab-kitab ini, sehinga saya tunjukkan riwayat-riwayat ini kepada Anda. Ketika dia tidak menemukan jalan keluar, dengan serta merta dia lari ke tema yang lain, yaitu bahwa Syi'ah meyakini konsep taqiyyah. Bagaimana kita dapat membenarkan perkataan mereka?!

Timbullah kegaduhan di kalangan hadirin, hingga akhirnya bangkit salah seorang dari mereka mengumandangkan azan Isya. Selesai mengerjakan salat kami sepakat untuk meneruskan dialog pada hari-hari yang akan datang, yaitu dengan cara memilih setiap harinya satu tema yang akan kami dialogkan. Keesokan harinya di waktu pagi saya tengah duduk di depan rumah saya, kemudian Syeikh itu lewat dan memberi salam kepada saya dengan penuh hormat seraya berkata, "Sesungguhnya pembahasan-pembahasan ini tidak dipahami oleh masyarakat umum, maka alangkah bagusnya jika kita berdialog secara khusus, antara saya dan Anda."

Saya menjawab, "Saya setuju, namun dengan syarat Anda harus menghentikan serangan kepada Syi'ah." Sejak saat itu saya tidak mendengar lagi dia menyerang Syi'ah.


BEBERAPA CATATAN YANG HARUS DIPERHATIKAN

Sebelum saya merekam beberapa pembahasan saya di dalam buku ini, saya ingin mengisyaratkan beberapa catatan yang dapat saya simpulkan dari pengalaman-pengalaman saya mengenai metode pembahasan.

1. Yakin dan tawakkal kepada Allah SWT adalah merupakan titik tolak pembahasan. Allah SWT telah memberikan cahaya akal kepada manusia, dan menyerahkan urusan penggunaannya ke tangan manusia. Barangsiapa yang mengabaikan cahaya ini dan tidak menyalakannya untuk menyingkap kenyataan, niscaya dia akan hidup di dalam timbunan kebodohan, khurafat dan kesesatan. Berbeda dengan mereka yang menggunakan dan mengembangkan akalnya. Perbedaan di antara kedua kelompok ini kembali kepada satu sebab, yaitu yakin dan tidak yakin. Orang yang merasa lemah dan kalah, dia tidak akan memperoleh manfaat dari akalnya. Adapun orang yang yakin kepada Allah SWT dan kepada akal yang telah diberikan-Nya niscaya dia akan sampai kepada puncak pengetahuan dan peradaban. Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menentang cara saya di dalam pembahasan, mereka menggunakan cara ini untuk melemahkan keyakinan diri saya. Mereka mengatakan, "Dari mana Anda mempunyai kemampuan untuk membahas masalah-masalah ini?! Sementara ulama-ulama besar kita belum sampai kepada apa yang yang Anda katakan. Apa kedudukan Anda di hadapan ulama-ulama besar?!" Dan hal-hal lain yang digunakan untuk menghancurkan keyakinan diri.

2. Menjauhkan diri dari tindakan menipu diri. Dalam arti, mencegah merembesnya kebenaran ke dalam akal. Terkadang itu dilakukan dengan cara menutup diri terhadap kenyataan, sehingga menjadikan seseorang bersikap ta'assub dan tidak mau mendengarkan kata-kata dan pikiran orang lain, tidak mau membaca buku-buku, dan tidak mau bersikap terbuka terhadap keilmuan orang lain. Setiap seruan yang menyuruh kepada penutupan diri, dengan tidak melakukan pembahasan dan tidak mencari ilmu, maka seruan yang seperti ini adalah seruan yang ingin mempertebal kebodohan dan menjauhkan manusia dari kebenaran. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh orang-orang wahabi, yang melarang manusia membaca buku-buku Syi'ah, dan duduk serta berdiskusi dengan orang-orang Syi'ah, adalah cara yang lemah, dan merupakan logika yang tidak sehat. Al-Qur'an al-Karim telah mengecam cara berpikir yang seperti ini dengan firman-Nya, "Katakanlah, 'Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar." (QS. Al-Baqarah:111)

3. Memperkuat keinginan dalam menghadapi gelombang syahwat dan tekanan masyarakat, yang mengelak dari setiap orang yang menentang dan membangkangnya. Seseorang harus menghadapi tekanan-tekanan ini dengan kesabaran dan kemauan kuat, karena kebenaran tidak terbentang mudah bagi masyarakat dan karakter manusia. Sejarah para nabi Allah telah menunjukan kepada kita betapa mereka mendapat berbagai macam siksaan yang sangat keras dari masyarakat mereka. Bani Israil telah membunuh tujuh puluh orang nabi dalam sehari. Allah SWT berfirman, "Dan tiada seorang nabipun datang kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-oloknya." (QS. az-Zukhruf: 7)

4. Di sana terdapat banyak hijab, yang terkadang menjadi penghalang tersingkapnya kebenaran. Kita harus memperhatikan dan mengawasinya sehingga kebenaran menjadi lebih jelas. Di antara hijab-hijab itu ialah:

a) Kecintaan terhadap diri. Ini merupakan seburuk-buruknya penyakit yang menimpa setiap manusia. Dari penyakit inilah terpantul seluruh sifat yang tercela, seperti hasud, dengki dan keras kepala. Ketika seorang manusia menjadikan pikiran dan keyakinanya sebagai bagian dari diri dan eksistensinya, sehingga meskipun pikiran dan keyakinannya itu merupakan sesuatu yang khurafat dia tidak mungkin mau menerima segala macam bentuk kritikan yang ditujukan kepadanya. Karena dia menganggap kritikan itu sebagai kritikan terhadap diri dan eksistensinya. Dengan insting mempertahankan diri dan kecintaan terhadapnya, dia akan berperang membela pikiran dan keyakinnya dengan tanpa kesadaran. Dan terkadang dia bersikap ta'asub terhadap sebuah pemikiran disebabkan pemikiran itu menda-tangkan manfaat baginya atau menolak bahaya darinya. Oleh karena itu, dia akan sekuat tenaga membelanya dan menolak segala macam bentuk pemikiran yang lain, meskipun kebenarannya tampak jelas di hadapan matanya. Atau, terkadang juga dia menyukai sebuah pemikiran karena pemikiran itu sejalan dengan hawa nafsunya atau hawa nafsu masyarakatnya, sehingga dia tidak akan mau surut darinya.

b) Kecintaan terhadap nenek moyang. Kecintaan ini mendorong manusia mengikuti mereka dengan tanpa didasarkan kepada pemikiran dan perenungan. Karena dorongan penghormatan dan rasa takut, disamping pendidikan, seseorang tunduk dan menyerah secara mutlak kepada pemikiran dan keyakinan nenek moyang mereka. Ini merupakan salah satu hijab terbesar yang menghalangi manusia untuk bisa menyingkap kebenaran.

c) Kecintaan kepada salaf. Pandangan mengkultuskan para ulama dan orang-orang besar terdahulu, menuntun manusia untuk bertaklid kepada mereka secara mutlak dan bersandar kepada pemikiran-pemikirannya. Ketundukan yang seperti ini merupakan pendorong bagi manusia untuk menyimpang dari kebenaran. Allah tidak menjadikan akal mereka sebagai hujjah bagi kita, melainkan justru akal seluruh manusia sebagai hujjah baginya. Penghormatan kita kepada mereka tidak melarang kita untuk mendiskusikan dan mengkaji pemikiran-pemikiran mereka, supaya kita tidak termasuk ke dalam kelompok orang yang dikatakan oleh Allah SWT, "Dan mereka berkata, 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.'" (QS.al-Ahzab: 67)

d) Salah satu faktor lain yang mendorong manusia jatuh pada kesalahan ialah ketergesa-gesaan. Ketergesa-gesaan ini buah dari senang kepada kemudahan. Dengan tanpa mau bersusah payah dirinya di dalam pembahasan dan penyelidikan, ia ingin mengeluarkan hukum sedini mungkin. Barangsiapa yang menginginkan kebenaran maka dia harus memaksa dirinya untuk bekerja keras di dalam melakukan pembahasan.

Dan begitu juga catatan-catatan ilmiah lainnya yang mau tidak mau harus diletakkan oleh seorang pembahas di hadapan kedua matanya sebelum mulai melakukan pembahasan. Ini pun harus disertai dengan penerimaan total manakala kebenaran itu muncul. Di samping juga memohon pertolongan kepada Allah SWT supaya Dia menerangi hati Anda dengan cahaya kebenaran. "Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu kebenaran dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya, dan perlihatkanlah kebatilan itu kebatilan dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk menjauhinya." (Hadis)●

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Syeikh Muhammad Mar’i Al-Amin Al-Antaki (Ulama dan Mufti Suriah): Ketika Kupilih Mazhab Ahlulbait


Terlintas di hatiku untuk menulis satu tajuk yang menduka-citakan kami dan memalukan tentang ahli agama yang senantiasa mencari aib Muslimin as salihin, terutama, mengenai upaya memburuk-burukkan orang-orang Syi’ah (pengikut risalah Muhammad dan ahlulbait penerus risalahnya) yang baik, pengikut Ahlul-Bait AS. Mereka tak ubahnya virus kejahatan yang berusaha untuk melakukan kerusakan di bumi. Mereka tidak hidup dengan jiwa yang bersih bersama golongan-golongan Islam yang hanif dan ikhlas tanpa dengki, dan menjamin hak-hak mereka.

Alih-alih menyebarkan kebajikan, mereka menaburkan fitnah dan kezaliman di kalangan barisan Muslimin untuk menyebarkan sebab-sebab kefasadan (fitnah dan kerusakan) bagi menangguk di air yang keruh, bagi menikmati kesenangan duniawi sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka. Seolah-olah berpegang kepada mazhab Ahlul-Bait AS menurut pandangan mereka yang jahat, telah terkeluar daripada agama Islam (padahal ahlulbait lah pewaris Islam Muhammad yang sejati).

Oleh mereka, darahku pada masa itu menjadi halal untuk ditumpahkan dan penghormatan tidak ada lagi untukku.

Jikalau mereka kembali kepada pendapat yang betul dan berdiri di atas mazhab Ahlul-Bait AS, niscaya mereka mengetahui sesungguhnya Syi’ah berada di pihak yang hak dan benar. Sesungguhnya orang yang memperkuatkan mazhab ini adalah Nabi Muhammad SAWAW sendiri. Dan orang yang menetapkan dan menegakkan tiang-tiangnya ialah Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah dan anak-anaknya (11 imam penerusnya) yang disucikan oleh Allah daripada kekotoran dan dosa (lihat tathir dan ayat mubahalah). Dialah yang menjaga mereka dari melakukan dosa kecil ataupun besar. Lantaran itu hadith mereka ialah hadith anak dari bapaknya dari datuknya dari Rasulullah SAWAW dari Jibril dari Allah SWT (ahlulbait adalah tali Allah atau hablullah yang menghubungkan langit dan bumi).

Begitulah Syi’ah telah mengambilnya dari tangan ke tangan, kebenaran dari kebenaran, di mana yang akhir dari mereka tidak membelakangi yang awal dari mereka. Adalah mengherankan sekali, justru orang yang benar itu dibunuh dan orang yang batil itu dilepaskan? Adakah orang yang berpegang kepada mazhab ini dicela? Dan orang yang beribadah menurut cara mereka dianggap sesat, ia dikafirkan dan dilontarkan dengan batu?

Adakah hartanya dirampas, anak-anaknya dibunuh dan semua manfaat ditegah untuknya? Adakah dikatakan kepadanya wahai penyembah berhala sedangkan dia menyembah Allah SWT dengan kebenaran dan keyakinan yang sanad-nya paling sahih dari Muhammad Rasulullah. Hatinya tersimpul kepada wilayah Allah, RasulNya dan para imam yang suci “Dan siapa yang mewalikan Allah, Rasu-lNya dan orang-orang yang beriman, maka sesungguhnya partai Allah yang mendapat kemenangan” (Surah al-Maidah (5): 56).

Tetapi sudah menjadi lumrah bahwa pendusta (kaum munafik) dimuliakan di dunia sementara orang yang benar dihina.

Lihatlah apa yang dilakukan oleh Bani Umayyah terhadap Rasul SAWAW, kepada itrahnya ahlulbait AS dan Syi’ah mereka yang terpilih. Abu Sufyan telah menentang Rasul SAWAW, Muawiyah menentang Amirul-Mukminin Ali Bin Abi Thalib AS, Yazid menentang Sayyid Syuhada Husain AS dan membantainya dengan keji di Karbala, Bani Marwan menentang Syi’ah yang baik dan berpegang pada Islam Muhammad yang sejati.

Begitulah keadaannya sehingga Allah memotong belakang mereka. Begitulah keadaannya di hari kami memilih mazhab Syi’ah. Berlakulah kiamat dan penentangan mereka terhadap kami.

Kami tidak mencela orang yang mempunyai akhlak seperti ini. Sebab itulah cara mereka dididik. Mereka menjadi tali barut Bani Umaiyyah dan antek-antek Bani Marwan. Pertalian yang rapat di antara satu sama lain di mana tidak ada perbedaan di antara akhir mereka dengan yang awal mereka (sebagaimana pertalian kami yang juga kuat kepada penerus Risalah Muhammad al Mustafa, yaitu para imam suci) sehingga tiba suatu hari orang yang zalim diberikan balasan dan orang yang dizalimi diselamatkan.

Kezaliman lebih dikenali oleh orang yang teguh menghadapinya. Dan itulah duka-nestapa para penentang dan pendengki ahlulbait Rasulullah Muhammad al Mustafa.

Sumber: Limadha Akhtartu Madhhab Ahlul-Bait AS karya Syeikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki [Edisi Pertama, Cetakan Halab, Syiria, 1402 H]

(Hapsarian/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Syaikh Muhammad Mar'i Al-Amin Al-Antaki: Lawatan ke Iraq dan Iran


Sikap Imam Akbar Ayatullah al-Burujurdi terhadap kami

Apabila berita kesulitan hidup kami sampai kepada Sayyid Syarafuddin RH, dia mengutus surat kepada Ayatullah al-'Uzma Sayyid al-Husain al-Tabataba'i RH menerangkan keadaan kami. Lalu Ayatullah Burujurdi menolong kami. Pada hakikatnya dialah yang menyokong kami di dalam menyampaikan mazhab yang benar daripada Allah, Rasul dan itrahnya yang disucikan AS. Begitulah juga Sayyid Syarafuddin RH yang telah memainkan peranan yang tidak kurang juga pentingnya. Lantaran itu kami membuat keputusan untuk melawat Iraq dan Iran kerana sebab-sebab tertentu.


Lawatanku ke Iraq

Pada tahun 1370H/1950M, dengan taufik Allah SWT aku dapat menziarahi makam-makam yang suci di Iraq. Aku juga diberi kesempatan untuk bertemu dengan para ulama dan para mujtahid yang mulia, dengan penuh kemesraan yang aku tidak dapat membayangkannya.


Bandar Baghdad

Di Baghdad aku menjadi tetamu kepada Sayyid al-Sadr, Perdana Menteri Iraq. Sepanjang aku di Baghdad, aku berjumpa dengan kebanyakan ulama di Baghdad seperti Allamah Sayyid Hibat al-Din al-Syarastani, Sayyid Ali Naqiyy al-Hadiri, Ustaz Ahmad Amin, pengarang buku al-Takamul fi l-Islam dan lain-lain.


Bandar Kazimiyyah yang mulia

Aku juga berjumpa dengan para ulama di Kazimiyyah seperti al-'Allamah Ahmad al-Kisywan, al-'Allamah al-Sayyid 'Ali al-Sadr, al-'Allamah al-Sayyid Muhammasd al-Mahdi al-Isfahani al-Kazimi, al-'Allamah Syaikh Marzah Ali Zanjani dan lain-lain.


Bandar Karbala al-Muqaddasah

Di bandar ini aku menjadi tetami kepada al-'Allamah al-Sayyid al-'Abbas al-Kasyani. Aku juga sempat berjumpa mujtahid Sayyid Mirza Hadi al-Khurasani, Mujtahid al-Sayyid al-Hasan Aghamar, Mujtahid Syaikh Muhammad al-Khatib, Mujtahid Mahdi Syirazi, Mujtahid Muhammad Ridha al-Asfahani al-Hai'ri, Mujtahid Sayyid Muhammad al-Tahir al-Bahrani, Sayyid Murtadha daripada keluarga Tabataba'i, al-'Allamah Syaikh Muhammad 'Ali daripada keluarga Sibawaih, Sayyid al-Milani, Syaikh Ja'far al-Rasyti dan lain-lain.


Bandar Najaf al-Asyraf

Di Najaf aku menjadi tetamu kepada Ayatullah al-'Uzma Sayyid al-Muhsin al-Hakim al-Tabataba'i. Semasa di Najaf aku berjumpa para mujtahid yang masyhur seperti Ayatullah al-'Uzma Sayyid Mirzah 'Abdu l-Hadi Syirazi, Ayatullah al-'Uzma Sayyid Mahmud al-Syahrudi, Ayatullah al-'Uzma Sayyid Abu l-Qasim al-Khu'i. Ayatullah Sayyid al-Husain al-Hamami, Ayatullah Sayyid Mirzah Agha al-Istahbanani, Ayatullah al-'Uzma Syaikh Muhammad al-Hasan al-Muzaffar, Ayatullah Syaikh Muhammad al-Baghdadi, Ayatullah Agha Bazrak al-Tahrani, Al-'Allamah 'Abdu l-Muhsin Ahmad al-Amini, Syaikh Nasrullah al-Khalkhali dan lain-lain lagi. Mereka menghormatiku sesuai dengan kedudukanku. Kemudian aku pulang dengan penuh kegembiraan.


Lawatanku ke Iran

Aku meninggalkan Iraq menuju ke Iran untuk menziarahi malam imam Ridha AS dan bertemu dengan Marja' Taqlid Ayatullah al-'Uzma Sayyid Agha Husain al-Tabataba'i al-Burujurdi. Aku berjumpa dengannya di bandar Qom al-Muqaddasah. Aku mendapatinya seorang yang tenang, mempunyai kehebatan dan keistimewaan tertentu. Dia menghormatiku sejajar dengan kedudukanku. Dan aku kembali dengan senang hati. Aku menyedari bahawa kebanyakan pemimpin-pemimpin dunia Islam dan individu-individu yang masyhur datang menziarahinya. Walaupun begitu mereka tidak dibenarkan berjumpa dengannya secara terus. Ini disebabkan kesibukannya melayani urusan Muslimin. Dia telah memberi kepadaku hadiah yang sesuai dengan kedudukannya dan kedudukanku. Selamat sejahtera di hari dia dilahirkan dan selamat sejahtera di hari dia dimatikan dan selamat sejahtera di hari dia dibangkitkan.


Bandar Qom al-Muqaddasah

Sepanjang aku berada di sini, aku sempat berjumpa dengan para mujtahid yang masyhur seperti Ayatullah Sayyid Muhammad al-Hujjah, marja' taqlid Ayatullah Sayyid Sadr al-Din Sadr, Ayatullah Sayyid Muhammad Taqi al-Khunsari, Ayatullah Sayyid Syahabuddin Najafi al-Mar'asyi, Ayatullah Sayyid Kazim Syariat Madari, Ayatullah Sayyid Muhammad Ridha Gulpaigani, Ayatullah al-'Uzma Sayyid Ruhullah al-Musawi al-Khumaini. Ayatullah Syaikh Mirzah Ahmad Isytiani, Ayatillah Syaikh Muhammad al-Ghurawi Kasyani dan lain-lain.


Bandar Khurasan

Di Khurasan aku menziarahi makam imam Ridha AS. Aku berjumpa marja' taqlid yang termasyhur Ayatullah al-'Uzma Muhammad al-Hadi al-Milani dan lain-lain. Aku begitu gembira dengan layanan dan sambutan mereka yang begitu mesra yang layak dengan kedudukanku. Aku meneruskan khidmatku untuk menyebarkan mazhab Ahlu l-Bait AS. Meskipun aku menghadapi berbagai-bagai ugutan dan tekanan yang menyedihkan. Aku menyerahkan urusanku kepada Allah SWT. kerana Dia sebaik-baik wakil, sebaik-baik maula dan sebaik-baik pembantu. La haula wala Quuwata illabillahi l-'Azim.

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Tokoh Pertama Kali Menterjemahkan AHLUL BAIT NABI: Mengapa Aku Memilih Ahlul-Bait as?


Pengantar Penterjemah

Bersyukur kepada Allah SWT kerana akhirnya kami dapat juga menyelesaikan penterjemahan buku Mengapa Aku Memilih Ahlul Bayt AS? karangan Syaikh Muhammad Mar'i al-Amin an-Antaki, seorang bekas Qadhi Besar Mazhab Syafi'i di Halab, Syria, meskipun menghadapi beberapa kesulitan. Dengan ini ianya akan memberi pendedahan secara akademik terhadap permasalahan yang dipertikaikan di antara Sunnah dan Syi'ah berdasarkan buku-buku Ahlus Sunnah sendiri. Apatah lagi di akhir-akhir ini, lebih 20 buah buku yang bersifat anti Syi'ah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia. Buku-buku tersebut telah ditulis oleh musuh-musuh Syi'ah terutamanya dari kalangan Wahabi yang menyamar sebagai Ahlus Sunnah.

Buku-buku tersebut telah meracuni fikiran orang ramai dan sebahagian para ulama yang tidak luas wawasan dan pemikiran dengan mengkafirkan Syi'ah secara umum kerana mencaci para sahabat, Syi'ah mempunyai al-Qur'an yang lain?, ketiga-ketiga khalifah telah merampas jawatan khalifah daripada Ali AS dan lain-lain. Sebenarnya "aqidah" bahawa para sahabat yang meyalahi perintah Allah dan RasulNya dengan melakukan pencurian, perzinaan, peminuman arak, perjudian, penipuan, pembohongan, pengamalan rasuah dan pencacian terhadap Nabi dan lain-lainnya, sebagai adil, thiqah boleh dipercayai dan menjadi contoh, adalah "aqidah" yang bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah RasulNya. Oleh itu Allah dan RasulNya menolaknya, para sahabat sendiri menolaknya; al-Bukhari dan Muslim menolaknya. Kerana mereka berdua telah mencatat keburukan sebahagian para sahabat di samping kebaikan mereka di dalam Sahih-sahih mereka. Tetapi kita Ahlus Sunnah kurang mengetahuinya. Dan apabila dikemukakan kepada kita catatan tersebut, kita menakwilkannya atau menolaknya kerana aqidah "keadilan atau kekebalan para sahabat di sisi hukum Allah dan Sunnah RasulNya" dengan alasan ijtihad telah menular di dalam pemikiran kita.

Justeru itu al-Bukhari dan Muslim umpamanya, telah mencatat para sahabat yang menyalahi perintah Allah dan RasulNya. Malah mereka juga mencatat para sahabat yang mencaci Nabi SAWAW. Tetapi jika difahami bahawa catatan mereka itu sebagai perbandingan di antara Sunnah Rasul dan Sunnah sahabat dan bukan sebagai cacian terhadap sahabat, maka ianya juga mesti dilakukan terhadap Syi'ah. Justeru itu Syi'ah tidak mencacu sahabat sebaliknya menerangkan hakikat sesuatu berdasarkan nas. Justeru itu penyelesaian mengenai sahabat boleh dilakukan secara akademik yang berteraskan nas. Tetapi kita Ahlus Sunnah tidak ingin menyelesaikannya kerana kita menyedari bahawa setiap kajian yang dilakukannya, akan mendedahkan percanggahan "aqidah" kita mengenai sahabat umpamanya dengan hakikat sebenar.

Bagi menutup hakikat ini, sebahagian kita meneruskan propaganda "Syi'ah mencaci sahabat". Dengan ini mereka dapat menyemarakkan sentimen dan kemarahan orang ramai serta pihak penguasa supaya membenci dan menentang Syi'ah dengan pelbagai cara. Mereka tidak lagi menghormati ilmu. Oleh itu adakah sentimen dan kemarahan yang berasaskan "aqidah" yang bertentangan dengan al-Qur'an itu patut dilayani atau pemikiran yang berasaskan keilmuan menurut al-Qur'an itu harus ditentangi? Adakah sama orang yang mengkaji dengan fikiran yang terbuka dengan orang yang tidak mahu mengkaji dengan fikiran asabiyahnya?

Lantaran itu sebahagian kita terus memandang Syi'ah Ja'fariyyan sebagai kafir atau sesat dan ianya disokong pula oleh sebahagian pegawai-pegawai agama. Sepatutnya kita memandang orang Islam bersaudara serta memberi hak yang sewajarnya. Apatah lagi Rektor-rektor Universiti al-Azhar seperti Syaikh Syaltut, Salim al-Busyra, Muhammad al-Fahham, dan Abdul Halim Mahmud telah memberi fatwa-fatwa mereka yang masyhur tentang sahnya berpegang kepada mazhab Syi'ah Imamiah Imam 12 atau dikenali dengan mazhab Ja'fari.

Perhatikanlah sebagai contoh, hak-hak yang diberikan oleh saudara-saudara kita Syi'ah kepada mazhab Ahlus Sunnah kita dan lain-lain sekalipun banyak hukum-hukum dan aqidah-aqidah di dalam mazhab-mazhab tersebut menyalahi nas. Perkara 12 di dalam Perlembagaan Republik Islam Iran menyatakan:
"Ugama rasmi bagi Republik Islam Iran ialah Islam dan mazhab Ja'fari Imam 12. Adapun mazhab-mazhab Islam yang lain yang terdiri dari mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki, Hanbali dan Zaidi semuanya menikmati kehormatan sempurna. Dan pengikut-pengikut mazhab-mazhab tersebut pula bebas mengerjakan upacara-upacara keislaman mereka menurut fiqh mereka. Malah mazhab-mazhab tersebut diambil kira secara rasmi di dalam pengajaran, pendidikan Islam, undang-undang keluarga (perkahwinan, talak, pusaka, dan wasiat) dan perkara-perkara yang berkaitan dengan penghakiman. Dan setiap kawasan pengikut-pengikut salah satu dari mazhab-mazhab tersebut menikmati suara majoriti. Kerana hukum-hukum tempatan bagi kawasan tersebut menurut kemuslihatan majlis-majlis syura tempatan adalah sejajar dengan mazhab tersebut. Di samping menjaga hak-hak pengikut-pengikut mazhab-mazhab lain."

Ini menunjukkan kemampuan mazhab Ja'fari menjadi induk kepada mazhab-mazhab lain kerana tradisi ilmu dan aliran pemikiran mazhab-mazhab lain dihormati oleh para ulama mereka, dengan memberi kebebasan yang sewajarnya. Kita belum dapati di dalam dunia Sunni kita sebuah negara yang mengamalkan sistem satu mazhab, memberi kebebasan kepada mazhab-mazhab (Sunni) yang lain di dalam pelajaran, nikah kahwin, talak, undang-undang keluarga dan lain-lain sebagaimana telah diberikan oleh mazhab Ja'fari di Iran.

Ini disebabkan oleh kesempitan pemikiran kebanyakan para ulama kita apatah lagi mereka terlalu fanatik kepada mazhab yang dianuti tanpa kajian yang jujur dan mendalam meskipun terhadap mazhab sunni yang lain. Lantaran buku ini akan menerangkan hakikat sebenar secara akademik dan ianya sebagai perbandingan di antara buku-buku karangan musuh-musuh Syi'ah dan buku-buku karangan Syi'ah sendiri. Dan iannya juga ditulis berdasarkan pengalamannya, di samping hujah-hujah dari al-Qur'an, Sunnah dan Sejarah. Rujukan-rujukan utamanya adalah diambil dari buku-buku Ahlus Sunnah wal-Jama'ah. Oleh itu sekiranya para ulama Ahlus Sunnah kita berbohong di dalam catatan mereka mengenai keburukan sebahagian sahabat atau sahabat menyalahi nas, maka merekalah yang berdosa, dan mereka pula tidak boleh dipercayai lagi. Dan sekiranya apa yang dicatatkan oleh mereka itu benar, kenapa kita tidak mahu menerima hakikatnya? Dan kenapa cacian dan kemarahan pula ditujukan kepada Syi'ah?

Semoga saudara-saudara kita Ahlus Sunnah dan saudara-saudara kita yang bermazhab Wahabi yang bermusuhan dengan Syi'ah membaca buku ini sehingga selesai kemudian membuat penilaian yang adil. Dan kepada mereka kita ingin mengungkapkan kata-kata khalifah Ali AS:
"Manusia menjadi musuh kepada apa yang mereka tidak mengetahuinya." Baqir al-Sadr RH berkata:"Sekiranya saudara-saudara kami Ahlus Sunnah membaca buku-buku mereka, nescaya mereka sependapat dengan kami dan perselisihan dapat diselesaikan semenjak awal lagi." Dan kami berkata:"Apa salahnya tahu, kerana kalian bukan semestinya beramal dengan apa yang kalian tahu."

Oleh itu tujuan penterjemahan buku ini adalah untuk akademik yang tinggi bagi mencapai matlamat wawasan 2020 dan ianya bukanlah untuk kita bertukar mazhab kerana apa yang penting ialah mencintai Ahlu l-Bait Rasulullah SAW dengan hakikat yang sebenarnya. Buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa utama di Eropah dan telah dibaca oleh berbagai lapisan masyarakat Islam dan juga bukan Islam. Semoga ianya akan memperluaskan wawasan pemikiran Islam di Nusantara berdasarkan keilmuan yang tinggi.

Akhir sekali, kami bertawakkal kepada Allah yang Maha Perkasa dan Maha Adil di dalam segala-galanya

(Ahlulbaytku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Commet Facebook Umum ABNS

 
Copyright © 2014 AHLUL BAIT NABI SAW Powered By AHLUL BAIT NABI SAW.